Cerpen
Disukai
2
Dilihat
10,574
Salad Buah
Drama

Isi lemari pendingin di dapur Alfi selalu membuatnya terpana setiap kali ia ingin mengambil air minum pelepas dahaga. Buah naga, jeruk, melon, kiwi, semua tampak harmonis layaknya warna pelangi. Buah-buahan yang hampir setiap hari dibeli ibunya di pasar yang jaraknya dua kali lipat lebih jauh daripada menuju ke sekolah Alfi. Entahlah alasannya apa, padahal buah-buahan rasanya hampir sama. Manis, asam, kecut, rasa pada umumnya.

“Ibu sudah langganan di sana, Nak.” Begitu jawabnya setiap kali Alfi merekomendasikan pasar yang jaraknya lebih dekat dari rumah karena buah-buahan yang dibawa dalam satu tas sama saja seperti mengendong bayi berusia 1 hingga 3 tahun.

“Terserah saja, Bu.” Akhirnya Alfi menyudahi perang mulut dengan ibunya, merasa percuma setiap kali memintanya pindah ke pasar terdekat.

Ya, ibunya sejak lama telah berjualan salad buah. Bisnis katering makanan penuh buah-buahan yang ditekuni terutama semenjak ayahnya putus kerja karena terserang stroke. Ayahnya sempat dirawat intensif di rumah sakit ketika Alfi masih berseragam sekolah merah putih. Tak ada satu pun yang curiga ayahnya terserang stroke karena beliau terkenal selalu menjalankan pola hidup teratur dan makan makanan sehat. Mungkin kehendak Illahi.

“Tidak hanya karena pola makan, kurang tidur, kurang olahraga, gaya hidup, bisa jadi beliau terlalu sering memendam emosi, Bu. Emosi yang tidak terkontrol akan menumpuk pada tubuh dan bisa berakibat imun tubuh turun drastis, suhu tubuhnya naik, depresi, berujung timbulnya penyakit akut termasuk stroke.” Begitu penjelasan dokter yang saat itu tengah menangani ayahnya.  

“Apa mungkin pekerjaan ayah membuatnya tertekan, ya?” Sesal ibunya kepada Alfi. “Ibu ternyata kurang peka, ibu selalu melihatnya pulang kerja tanpa beban, tidak pernah mengeluh.” Penyesalannya selalu terlontar kepada Alfi setiap kali selesai mengurus ayahnya yang hanya terbaring kaku di ranjang rumah sederhananya sebelum dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya kian kritis hingga mengembuskan napas terakhirnya beberapa minggu kemudian.

Alfi sangat terpukul ditinggalkan ayahnya padahal dewasa saja belum. 9 tahun usianya saat itu, tentu saja bukan keinginannya jika ia harus memulai menjalankan hari-harinya sebagai seorang anak yatim. Takdirlah yang membawanya. “Tabah, ya. Paman akan selalu ada jika kamu membutuhkan bantuan.” Ucap adik kandung satu-satunya dari ibunya itu.

Ia selalu hadir menemani dan menggantikan tugas ibunya mengurus almarhum ayahnya ketika masih tergeletak tak berdaya. Tubuh yang tak dapat lagi diperintah untuk bergerak, kelopak mata yang berkedip perlahan serta sorotan mata kosong, mulut yang yang tak mampu tertutup rapat mengeluarkan tetesan air liur yang perlu diusap setiap saat. Ia tak pernah sekalipun absen menguatkan Alfi, terlebih lagi almarhum ayahnya hanyalah anak semata wayang, tak memiliki keluarga lain yang bisa menghubunginya, mengunjunginya, dan menghiburnya.


***


Hari demi hari Alfi lalui dengan semangat, tanpa memperlihatkan sorot wajah kesedihan. Ketegaran menyelimuti senyum manisnya yang dipercaya menjadi satu-satunya kekuatan untuk ibunya. Ditemani matahari pagi yang terangnya masih setengah-setengah, ia berangkat ke sekolah yang biasa ditempuh dengan mengendarai sepeda bututnya. Pedalnya masih setia ia kayuh sekitar 20 menit sekali jalan saja. Itupun jika ia tidak sering singgah sekedar beristirahat di salah satu halte terdekat yang pasti dilewatinya sembari melihat-lihat kendaraan lalu-lalang.

Selang semenit menikmati lalu lintas beratapkan sinar matahari pagi yang menyapa hangat, tiba-tiba ada seseorang yang menjitak kepala Alfi dari arah belakang. Tuukkk..!!

“Hehhh, bukannya langsung ke sekolah malah duduk-duduk santai di sini. Kamu gak takut terlambat?” Ucapnya ketus. Dengan kesal Alfi langsung memutar leher 180 derajat ke arahnya ingin mengumpat, “Ahhh, kenapa aku dijitak!” Umpatannya tertahan setelah jitakan yang diterima ternyata dilayangkan pamannya, adik kandung satu-satunya dari ibunya. Paman Sular atau Pak Su, sebutan akrab di sekolah karena ia sekaligus menjadi guru olahraganya saat ini.

Mengenai pamannya itu, tak sekalipun Alfi melihatnya dekat dengan seseorang, misalnya menggandeng seorang kekasih, bahkan hingga saat ini. Atau mungkin memang masih ingin membujang di usianya yang hampir kepala empat itu. Belum ada jodohnya? Alfi selalu penasaran dengan pamannya yang baik hati itu.

“Yuk, jalan ke sekolah sekarang.” Kata paman Sular segera setelah berhasil melayangkan jitakan. “Kantong apa itu?” tanyanya ketika melihat tas kecil yang bergoyang-goyang tergantung di gagang sepeda Alfi.

“Salad buah,” jawab Alfi semangat, seperti bocah yang berhasil menjawab teka-teki silang di majalah langganannya.

“Ohhhh, salad buah buatan ibu, ya?” tanyanya basa-basi.

“Iya. Alfi paling suka salad buah. Kadang aku titipkan beberapa salad buah ke kantin, kadang nanti ibu sendiri yang antar sebelum jam makan siang. Lumayan laris, syukurlah.” Alfi bangga menceritakan betapa salad buah ibunya itu terkenal di sekolah, berharap bisnis ibunya tetap berlanjut bahkan berkembang ke menu lainnya.

“Hmmmmm..” Ia hanya menggangguk-anggukkan ringan kepalanya, melangkahkan kakinya menyesuaikan roda sepeda Alfi yang berputar pelan karena dijinjing tangan kurusnya. Mereka berjalan beriringan sampai di depan gerbang sekolah lalu berpisah menuju ruangannya masing-masing. Alfi harus mulai memanggilnya Pak Su sejak berada di gedung ini. Sekolah Menengah Pertama Negeri 71, begitu tulisan di papan berukuran cukup besar yang terpajang kokoh di atas pintu gerbang sekolah.


***


Tingtongteng... Tingtongteng...

Bel makan siang yang selalu ditunggu khalayak terutama para pelajar di sekolah mulai terdengar. Alfi tak sabar melihat salad-salad buah buatan ibunya mulai dibeli, dikunyah, dan dihabiskan para pembelinya di kantin sekolah.

“Alfiiiiii, salad buah ibumu enakkkk! Besok-besok ditambah lagi buahnya. Kurang banyakkkk!” Sahut salah satu temannya penuh canda dari meja kantin terujung. Ia terlihat telah menghabiskan satu kotak salad buah berukuran kecil, hanya menyisakan tetesan cairan mayo.

“Iya, nanti aku bilang ke ibuku.” Jawab Alfi setengah ketawa sambil mulai menyantap bekalnya termasuk salad buah miliknya sendiri. Ia tersipu senang jika salad buah favoritnya juga disukai banyak orang termasuk teman-temannya di sekolah. Pemandangan di kantin yang selalu menjadi bahan diskusi asik dengan ibunya tak sabar diceritakan sepulangnya nanti.

Udara sejuk sore hari menampar-nampar lembut wajahnya ketika Alfi bergegas pulang ke rumah untuk membantu ibunya membuat salad buah. Setelah mengucapkan salam dan dan membersihkan diri, ia segera mendatangi ibunya di dapur yang telah sibuk mengupas kulit tumpukan buah-buahan.

“Sini, Bu, aku bantu.” Alfi mengambil pisau dapur dan mulai mengupas kulit buah mangga. “Hmmmm, mangganya manis, Bu. Coba sini, aaaaaaa...” Alfi menjulurkan sepotong buah mangga dari tangannya ke arah mulut ibunya sambil memperagakan mulutnya yang mangap.

“Tidak, Nak. Kamu saja.” Tolaknya sambil tersenyum.

“Kalau begitu, kiwinya saja, atau melon?” Tawar Alfi lagi.

“Ibu sudah kenyang.” Kata ibunya tersenyum lalu menyelesaikan kupasan buah terakhirnya untuk memulai kesibukannya yang lain.

Alfi lantas mulai menghabiskan waktunya yang tersisa di sore hari menjelang malam. Mengerjakan tugas sekolah di kamarnya atau sekedar bergurai dengan ibu di ruang tengah. Terkadang, pamannya datang sekedar singgah atau menginap untuk menghabiskan waktu bersama hingga mata siap terpejam demi menyambut hari esok.


***


Alfi bersepeda ke sekolah pagi ini ketika rumah sudah sepi. Ibunya sudah pamit pergi ke pasar seusai subuh diantar oleh pamannya. Selang beberapa menit mengayuh pedal sepedanya menuju halte seperti biasanya, tiba-tiba seorang wanita keluar dari mikrolet dan berhenti tepat di depannya. Ia mulai menyapa, “Kamu tidak bersama Pak Su?”

Mantan ibu guru bahasa Inggris di sekolah Alfi menyapanya. Sayangnya beberapa hari yang lalu ia telah dipindahtugaskan ke daerah lain. Ibu Ratna namanya.  

“Pagi, Bu Ratna.” Jawab Alfi canggung. “Tidak, Bu. Ibu masih ada perlu ke sekolah?”

“Tidak, sih. Kebetulan hari ini cuti, ada keperluan ingin bertemu pamannya Alfi.”

Alfi kernyitkan dahi, mengira tidak ada yang mengetahui jika Pak Su adalah pamannya. “Keperluannya apa, Bu?”

“Ibu soalnya kepikiran dengan penolakannya dipindahtugaskan bersama. Katanya pamanmu ingin fokus dengan toko buah yang dijalankannya. Apakah kamu bisa bantu ibu untuk mendukungnya pindahtugas?” Ucapnya serius.

“Memangnya paman seharusnya dipindahtugaskan juga?” Tanya Alfi penasaran.

“Iya. Tapi ia bersikeras ingin tetap di sini mengurus toko buah, padahal kesempatan berkarir akan lebih terbuka ketika dia mau ditempatkan di posisi selanjutnya di kota lain.” Ibu Ratna menjelaskan secara detail. “Katanya mau membantu bisnis ibumu. Apa kamu tau?”

“Maksudnya?” Raut wajah Alfi benar-benar terlihat bingung.

“Alfi memangnya tidak diberitahu sama pamanmu? Ia sewa tempat murah dan berjualan buah-buahan? Sepertinya tak lama setelah ayahmu meninggal.” Bu Ratna tampak serius.

“Katanya buah-buahannya untuk membantu bisnis ibumu membuat salad buah.” Ia tambahkan kepada Alfi yang malah mematung. Tangannya memegang gagang sepeda bututnya dengan erat. Mulutnya rapat tak bisa berkomentar. Isi kepalanya berusaha berpikir keras.

“Ibu pikir, jika ingin menyewa tempat sebaiknya jangan untuk berjualan buah-buahan. Bukannya ibu dan om kamu sama-sama tak bisa makan buah-buahan?” Lanjutnya lagi.

“Maksudnya?” Alfi bertanya pelan, tak ingin terlihat kaget luar biasa, mencoba rileks.

“Iya, mereka sama-sama tak bisa makan buah-buahan. Ibu kebetulan dekat dengan paman kamu, sempat diberitahu secara langsung jika mereka ternyata tak bisa menikmati buah-buahan, mulut dan tenggorokan pasti akan gatal-gatal, timbul sensasi terbakar, kadang mual dan muntah.” Jelasnya. “Ibu tak mengerti, untuk apa mempertahankan toko sewaan yang dagangannya malah dia sendiri tidak bisa menikmatinya.” Keluh ibu Ratna mengomentari omnya, yang ternyata kekasihnya juga.

Alfi memakluminya hingga batinnya tersadar mengenai alasan ibunya rela ke pasar yang letaknya lebih jauh, tak pernah mau makan buah yang dikupaskan olehnya, serta pamannya yang terlampau baik membantu bisnis kakak kandungnya tanpa mengindahkan kesempatan berkarir serta hubungan seriusnya dengan ibu Ratna itu.

“Apa semua ini karena Alfi?” Lalu bisnis salad buahnya harus diganti dengan apa, Ayah? Kenapa Ibu tak bilang jika selama ini tidak bisa makan buah-buahan? Kenapa paman tidak mau dipindahtugaskan?”

Alfi bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan dalam pikirannya. Ia dan almarhum ayahnya memang penikmat buah-buahan , bahkan selalu dihidangkan di rumah hampir setiap hari. Tak pernah ia sadari jika ibunya malah alergi buah-buahan. Sepedanya langsung terlepas dari genggamannya, terdiam tak kuasa menahan tangis.

Ibu Ratna sontak keheranan, “Alfi, kamu kenapa? Kamu sakit? Alfi? Alfi...?!”


***


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)