Cerpen
Disukai
1
Dilihat
7,653
Sahabatmu, Selingkuhanku
Drama

“Sayang!” Aku melompat ke dalam pangkuan kekasihku Adrian, dia sedikit terkejut dengan apa yang aku lakukan. “Ada apa? Kamu tak merindukanku?” selidikku melihat wajah Adrian yang terkesan risih dengan apa yang aku lakukan.

“Bukan begitu sayang.” Kekasih tampannku itu mulai tersenyum dan mengusap lembut wajahku yang mungkin terlihat kesal di matanya. “Hanya saja ....”

Aku yang sangat merindukannya dengan cepat menangkap wajah Adrian dan mengecup bibirnya. “Apa?” tanyaku kembali, begitu melihat ekspresi kekasihku itu semakin terlihat cemas.

Aku memutuskan turun dari pangkuannya dengan menunjukan gelagat amarah, aku berdiri tepat di hadapannya, tanganku terlipat dengan tatapan tajam penuh selidik. “Kamu tidak suka aku mengganggu waktu istirahatmu?” nada suaraku mulai bergetar, rasanya sedih memikirkan kalau aku saja yang merindukannya.

Sudah lama sejak aku bertemu dengan kekasih yang sudah aku pacari selama 5 tahun itu. Pacarku Adrian adalah orang yang sibuk, pekerjaannya sebagai produser selalu membuatnya sibuk akan dunianya sendiri. Bahkan saat bertemu dia akan mengurung dirinya di kamar. Namun kali ini berbeda, dia bilang hari ini hari bebasnya dan aku sengaja memberikan kejutan padanya.

Aku masuk dengan mudah ke dalam Apartemennya, seakan aku juga penghuni di dalamnya. Itu sudah menjadi kebiasaan diriku untuk keluar masuk seenaknya ke dalam Apartemnnya, bahkan meski ia tengah sibuk di luar kota.

Biasanya Adrian akan menyambutku dengan bahagia, bahkan ia akan lebih agresif dibandingkan dengan apa yang aku lakukan. Tapi hari ini dia terlihat berbeda seakan ada yang menahannya.

“Ya sudah, aku pulang saja.” Dengan kesal aku siap pergi, tapi Adrian dengan sigap menahanku.

Adrian tersenyum dan memegang pinggangku yang sejajar dengan dirinya, ia memutar tubuhku ke arah berlainan. “Ada sahabatku sayang,” ucapnya.

Deg!

Jantungku berhenti seketika saat melihat seorang pria duduk di seberang meja dengan tatapan yang tak bisa aku artikan, bahkan tangan terlipatku yang tadi menunjukan keangkuhan seketika terjatuh lemas seakan tak bertenaga.

Tangan hangat Adrian yang tadi di pinggang kini berada di lenganku, seakan menopang diriku yang akan ambruk. “Maaf Kevin, kekasihku suka seperti itu kalau kami sudah lama tak bertemu.”

Adrian mencoba menjelaskan atas sikapku dengan meminta maaf pada sahabatnya itu, ia bahkan tertawa malu dengan kuping yang memerah. Biasanya aku akan gemas dengan sikap Adrian yang tengah salah tingkah karena menerutku itu sangat imut.

Namun berbeda kali ini, aku hanya bisa terdiam. Ada mata yang tak bisa aku tatap di sebarang sana. Bahkan dengan bantuan Adrian aku bisa duduk dengan baik di sofa tepat di belakangku.

“Sayang, kamu tak perlu malu.” Adrian mencoba membuatku agar nyaman, tapi sikapnya justru membuatku semakin kaku dan tak bertenaga. “Aku akan membuatkan minuman untuk kalian berdua, mengobrolah. Kamu akan tahu betapa menyenangknnya kekasihku ini,” kekeh Adrian sebelum akhirnya meninggalkan aku dan pria itu berdua.

Kepergian Adrian membuat suasana semakin tegang, tatapanku hanya fokus pada jemariku yang bertautan satu sama lain. “Kamu memperlakukan kita sama? Ah, bahkan kamu meperlakukannya lebih spesial, hm?” suara yang sejak tadi tak terdengar kini terdengar meski setangah berbisik.

Wajahku seketika terangkat menatap wajah yang kini tersenyum, mungkin sebagian orang akan tersipu malu dengan senyuman itu. Bagaimana tidak, pria di hadapanku tak kalah tampan dengan Adrian terlebih saat ia tersenyum.

Tapi itu tidak berlaku padaku sekarang, karena aku tahu maksud dari senyuman itu. Bahkan sorot matanya yang jernih itu mulai mengintimidasiku.

“Kevin, tolong jangan bilang pada Adrian.” Aku segera memohon dengan suara pelan, sesekali melihat ke arah pintu dapur.

Kevin yang tadinya duduk sedikit condong, kini menyandarkan punggungnya dengan kaki menyilang. Seakan ia kini adalah Bos yang menguasai permaianan dan aku adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya.

“Memberitahu kalau aku pacarmu, ah pacar keduamu?” ucap Kevin dengan tangan terlipat di dada dan senyuman kembali terkembang di wajahnya.

Jantungku seakan berhenti saat Kevin mengatakannya, refleks aku kembali menoleh ke arah pintu untuk memastikan Adrian masih berada di sana. “Pelankan suaramu,” omelku tanpa sadar.

“Kamu selalu memikirkan dia di bandingkan aku,” suara Kevin kini memiliki intonasi yang berbeda.

Aku sangat tahu betap marahnya pria di sebarang sana dan aku juga tahu konsekunsi apa yang akan aku terima bila melawannya.

“Kalian sudah saling berkenalan?”

Suara Adrian membuat jantungku seakan berhenti untuk kesekian kalinya hari ini. “Kami ....”

“Sebenarnya aku mengenal kekasihmu,” ucap Kevin tiba-tiba yang membuat mataku tanpa sadar membelalak.

“Benarkah?” tanya Adrian antusias sambil menaruh minuman di atas meja dan duduk di sampingku.

“Aku perrnah satu sekolah dengannya.” Kevin mengambil gelas di meja dengan tatapan penuh arti padaku.

“Wah, aku iri. Kamu bisa tahu bagaimana kekasihku ini dulu di sekolah.” Adrian merangkulku dengan lembut. “Aku cemburu, seperti kalah start darimu. Benarkan Sayang?” kekeh Adrian.

Aku hanya bisa tersenyum asal, terlebih saat Kevin tersenyum miring di balik gelas yang sedang di minumnya. “Dia wanita perhatian, gampang bergaul, ceria, penyayang, dan sangat manja.”

 Penjelasan Kevin membuatku tak berkutik, sejauh ini Kevin lah yang justru lebih banyak mengetahui sikap asli ku ketimbang Adrian. “Ah, benarkah? Kamu dulu manja sayang?”

Adrian menatapku bingung, pasalnya aku kurang menunjukkan sisiku itu padanya, semua bukan tanpa alasan. Aku hanya tak ingin membebani Adrian yang nyatanya sudah sangat sibuk, meski terkadang rasa itu membuat kekecewaan besar.

"Dulu? Sampai sekarang ia juga sangat manja." Kevin bergumam yang bisa sangat jelas kudengar.

"Apa?" Adrian melihat ke arah Kevin dengan wajah bingungny, bisa aku simpulkan Adrian tak mendengar jelas apa yang dikatakan Kevin.

“Sayang, aku tidak mau menganggumu dengan sahabatmu. Aku sebaikanya pulang dan datang lain waktu saja.” Aku mencoba melarikan diri dari situasi yang sesak ini.

“Tapi ....” Adrian terlihat ingin menahan langkahku.

“Aku akan menghubungimu lagi,” potongku dengan kecupan kembali mendarat di bibir Adrian seperti yang biasa aku lakukan padanya kalau kami berpisah.

Sialnya aku lupa kalau Kevin kini tengah melihat dan memperhatikan gerak-gerikku. Dengan secepat kilat aku pergi dan keluar dari Apartemen, berjalan dengan cepat tanpa menghiraukan apapun. Pikiranku seakan kosong.

TIN!

Klakson sebuah mobil sukses membuyarkan lamunanku yang kini entah sedang melamunkan apa.

“Masuk!” perintah seseorang dari balik kemudi mobil, begitu jendela mobil terbuka.

Aku terkejut bukan main melihat siapa pemilik mobil, tanpa berpikir apapun aku masuk ke dalam mobil. Mobil melaju dengan cepat dan berakhir berhenti di pinggir jalan, keheningan terjadi sesaat sampai sang pengemudi merubah posisi duduknya menghadap padaku.

“Apa senang menujukkan semua itu padaku?”

“Kevin, Aku ....” Aku berusaha menjelaskan pada Kevin. Ya, Kevin. Pria di balik kemudi saat ini adalah Kevin, pacarku. Lebih tepatnya pacar keduaku.

“Apa harus kembali menciumnya di depanku?” tanyanya lembut dengan tatapan yang terlihat biasa saja, seakan tak mau menekanku.

“Aku tidak mau Adrian curiga,” jawabku asal, aku sangat tahu Kevin sedang sangat marah padaku.

Kevin tiba-tiba mendekatiku, bahakan mata kami kini saling bertatapan. “Aku benci kamu bersamanya, aku benci kamu menyentuhnya.”

Rasanya jantungku tak karuan melihat pria yang sudah setahun ini mengisi kehidupanku dengan getaran berbeda itu, kini tengah menunjukan rasa cemburunya. “Sampai kapan kamu mau menjadikan aku yang kedua?”

Tangan hangat milik Kevin kini berada di leherku sekarang, jemarinya yang besar mengusap sebagian wajahku. “Berikan yang lebih dari apa yang kamu berikan padanya,” bisiknya dengan penuh tuntutan, wajahnya mendekat dan membuat perasaanku kembali tak menentu.

“Kevin ....”

“Aku tak mau memiliki perlakuan yang sama dengannya, meski dia adalah sahabatku.”

"Aku akan memberikannya, tapi tetaplah menjadi kedua untukku."

"Aku akan menyandang kata 'kedua' itu, asal bisa bersamamu."Kevin menatapku dengan wajah yang selalu aku suka, keputusasaan.

Aku pun tersenyum, "Baiklah."

Pada akhirnya akulah pemegang kekuasaan tertinggi, bukan?

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)