Masukan nama pengguna
Bencana banjir bandang melanda Desa Sugih Waras. Penyebabnya adalah tanggul utama Sungai Sembrani jebol, tidak kuat menahan desakan arus sungai. Akibatnya air merendam desa tersebut. Bahkan kedalamannya mencapai dua meter. Di beberapa tempat bahkan lebih dari itu. Akibatnya ratusan rumah terendam, hanya menampakkan atap-atap yang dominan berwarna merah. Banjir juga menghancurkan kebun-kebun dan sawah-sawah penduduk. Gagal panen menghantui. Padahal padi-padi sudah menguning, kebun-kebun sayur dan buah sudah mulai ranum. Namun harapan untuk memanen hasil bumi sebagai hasil jerih keringat petani tersebut telah pupus.
Bencana kali ini merupakan bencana terbesar yang melanda desa, memaksa para penduduk meninggalkan rumah-rumah mereka, memaksa para penduduk memadati tenda-tenda pengungsian. Mereka meninggalkan semua harta benda mereka, kecuali hanya beberapa helai pakaian yang sempat mereka pesiapkan sebelum mengungsi. Wajah-wajah murung menghiasi tenda pengungsian. Hanya tawa riang anak-anak yang belum memahami keadaan yang sedikit memberikan warna.
Di antara para pengungsi yang mendiami tenda pengungsian adalah Rani. Gadis cilik itu tampak duduk memeluk lutut, sendirian. Dia terpisah dari keluarganya. Saat diselamatkan, Rani menjadi prioritas bagi ayahnya untuk diselamatkan.
Bencana itu terjadi tanpa peringatan, di saat orang-orang terlelap tidur. Saat air mulai menggenangi rumah, sang ayah membangunkan Rani dengan paksa. Dengan setengah kesadarannya, Rani menuruti semua perintah ayahnya yang tampak panik. Saat air sudah mulai meninggi, barulah Rani tersadar bahwa ada bahaya yang mengintai.
Air naik cepat sekali. Sang ayah segera berlari keluar dengan menarik lengan Rani. Sekoci penyelamat berlalu tepat di depan rumah Rani. Sayangnya, di atas sekoci itu telah ada empat orang penduduk, dan dua orang dari tim penyelamat. Hanya satu orang saja yang diperbolehkan naik. Maka ayah menaikkan tubuh Rani ke atasnya.
Rani menangis. Sang ayah berusaha menenangkannya. Aya berkata bahwa dia akan baik-baik saja. Sekoci yang membawa Rani akhirnya berlalu. Setelah itu, ayahnya pergi menjauh untuk menyelamatkan benda-benda berharga yang bisa diselamatkan. Air semakin memburu, Rani semakin cemas, mencemaskan sang ayah.
Di tenda, suasana temaram. Lampu penerangan tidak cukup menyinari seluruh sudut tenda. Para relawan tampak berlalu lalang. Ada yang membagikan logistik, ada yang memeriksa kesehatan, juga ada yang membagikan makanan. Hari sudah semakin larut, namun Rani belum mendapatkan kabar tentang ayahnya.
Di saat Rani sedang cemas, seorang gadis relawan mendatanginya. Di tangan relawan tersebut ada sebuah kotak makanan. Sang gadis relawan berdiri tepat di hadapan Rani, namun Rani bergeming. Akhirnya sang relawan pun berjongkok. Senyum tersimpul di bibirnya.
“Hai, nama kamu siapa?” Sang relawan bertanya, Rani hanya membisu. Sejenak suasana jadi hening, namun sang relawan berinisiatif memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. “Aku Maya. Salah satu relawan muda. Boleh aku duduk di sampingmu?” Maya, sang relawan meminta izin. Rani mengangguk lemah. Suasana kembali hening.
Di seberang kedua gadis tersebut, seorang perempuan paruh baya menghampiri keduanya. Senyum wanita itu mengembang. “Kau di sini rupanya, Maya. Kamu jangan pergi terlalu jauh ya. Berbahaya.” Wanita tersebut berkata.
“Baik, Bu.” Maya menjawab singkat. Wanita yang merupakan ibu Maya itu akhirnya menjauh, masuk ke dalam tenda yang dijadikan sebagai rumah sakit darurat.
“Tadi itu ibuku. Dia adalah seorang dokter.” Maya memperkenalkan ibunya. Maya berharap agar Rani tidak merasa asing dengannya. Benar saja, akhirnya Rani mau berbicara singkat. “Aku Rani.”
“Sudah, jangan bersedih. Tetap bersemangat, Ran. Ayo, kita makan.” Maya meletakkan kotak makanan yang dia pegang ke hadapan Rani. Rani masih bergeming, suasana hening.
"Aku mengkhawatirkan ayahku. Aku takut terjadi sesuatu kepadanya," jawab Rani risau.
"Kau tidak perlu khawatir. Ayahmu pasti baik-baik saja. Mungkin dia berada di tenda pengungsian yang lain," ucap Maya menenangkan Rani. Benar saja, wajah Rani langsung menyemburatkan keceriaan.
"Benarkah?" Rani bertanya antusias. "Iya, kau mau kutemani mencarinya?" ucap Maya menawarkan. Rani mengangguk. “Tapi sebelum kita pergi, makanlah terlebih dahulu,” bujuk Maya “nanti kamu sakit.” Akhirnya Rani mengambil kotak makanan yang dari tadi tergeletak di hadapannya. Rani melahapnya tanpa sisa. Seusai makan, Rani merasa bersemangat kembali. Dia mengulurkan tangannya kepada Maya. Kedua anak tersebut berjalan keluar tenda, ibu Maya melihat keduanya keluar, kemudian mencegahnya.
“Kalian berdua mau ke mana?” Ibu Maya menyelidik. “Kami mencari ayah Rani, Bu. Di tenda lain.” Maya menjawab. “Malam sudah larut. Kalian tidur saja. Besok saja kalian mencarinya, ya.” Maya dan Rani saling memandang. Benar kata ibu Maya, hari sudah sangat larut. Akhirnya kedua anak perempuan itu menuruti anjuran ibu Maya, dan kembali ke tenda.
Keesokan harinya, Rani dan Maya mencari keberadaan ayah Rani. Mereka memeriksa setiap tenda yang ada di kawasan pengungsian. Namun hasilnya nihil. Rani makin cemas dan kebingungan. Mengetahui hal tersebut, Maya berusaha menghibur Rani.
Banjir yang menggenangi desa tersebut belum surut. Intensitas hujan di bagian hilir sungai masih tinggi, menyebabkan aliran sungai menuju hulu masih deras. Akibatnya, tanggul yang jebol belum bisa diperbaiki akibat arus yang sangat deras. Sangat berbahaya jika nekat melakukan perbaikan saat ini.
Sementara, banyak penduduk yang masih bertahan di atap rumah-rumah mereka. Tim penyelamat beserta relawan terus bekerja keras, mengerahkan seluruh upaya untuk mengevakuasi penduduk yang masih terjebak di rumah-rumah mereka.
Kecemasan Rani makin menjadi-jadi saat mendengar kabar adanya penduduk yang meninggal dunia karena bencana. Dia semakin khawatir karena dia belum mendengar kabar apapun tentang ayahnya.
Rani terduduk. Kakinya lemas. Maya tetap berada di sisi Rani. Maya terus memberikan Rani semangat, berusaha menghibur Rani.
“Ayahmu akan baik-baik saja, Rani. Tim penyelamat akan segera membawa ayahmu ke mari. Dan kamu bisa berkumpul lagi bersama ayah.” Maya meyakinkan Rani. bahwa ayahnya baik-baik saja di luar sana.
“Aku harap begitu, Maya. Terima kasih, ya,” balas Rani lirih.
“Oh iya, bagaimana kalau kamu bergabung dengan tim relawan bersamaku? Ayo, ikut aku.” Maya menarik lengan Rani menuju ke suatu tempat. Di sana mereka bertemu dengan beberapa orang relawan. Maya memperkenalkan Rani kepada relawan-relawan lainnya. Mereka sangat antusias dengan kehadiran Rani. Lalu Rani diberikan tanda pengenal dan rompi relawan. Sejak hari itu, Rani dan Maya bersama-sama menjadi relawan cilik yang bekerjasama demi kemanusiaan.
***
Di hari ketiga, tim relawan menemukan sesosok jenazah mengapung di sungai. Jenazah tersebut akhirnya dibawa ke rumah sakit darurat untuk diidentifikasi. Kabar penemuan jenazah tersebut tersebar dengan cepat di pengungsian. Penduduk yang kehilangan anggota keluarganya berharap dalam kecemasan, termasuk Rani.
Di saat seperti ini, Rani menyadari bahwa dia harus bersiap dengan kemungkinan terburuk: kehilangan sang ayah. Namun dia tidak berhenti berharap agar ayahnya ditemukan dalam kondisi selamat.
Di luar rumah sakit darurat, beberapa orang berkumpul. Rani adalah salah satunya. Mereka menunggu pengumuman hasil identifikasi jenazah yang ditemukan tadi. Berdasarkan identitas yang ditemukan, jenazah itu diidentifikasi sebagai: Hendra Susena, 42 tahun.
Mengetahui itu, tubuh Rani ambruk. Itu adalah jenazah ayahnya. Tangisnya pecah. Perasaannya hancur. Seorang anak yang hanya memiliki ayah semata wayang, tidak memiliki siapa-siapa selain sang ayah, kini dia harus mendapati kenyataan bahwa sang ayah telah meninggal dunia. Perasaan siapa yang tidak hancur melihat pemandangan itu?
Maya duduk bersimpuh. Tubuhnya mendekap erat Rani. Tubuh Rani terguncang hebat, hatinya pun demikian. Rani menangis sejadi-jadinya. Maya berusaha menenangkan Rani dengan dekapannya, terus mendekapnya, berusaha memberikan rasa nyaman dan ketenangan untuk Rani. Semua orang yang berada di tempat itu turut bersimpati, merasakan seperti yang Rani rasakan.
***
Hari ini, tiga tahun setelah bencana yang merenggut nyawa ayahnya, Rani kembali. Dia mengunjungi pusara ayahnya. Di sampingnya, ada Maya dan ibunya. Gundukan tanah yang dulu menggunung, kini tampak rata dengan rerumputan yang tumbuh di atasnya. Batu nisannya sudah mulai usang, namun nama yang tertulis di atasnya masih bisa terbaca dengan jelas: Hendra Susena, Lahir: 9 Juli 1978; Wafat: 17 September 2020.
Di hari kematian ayahnya, Rani merasa sangat berduka. Hari itu, Maya membujuk ibunya agar menerima Rani sebagai anak angkatnya, Rani tidak memiliki siapa-siapa. Awalnya ibu Maya merasa keberatan. Namun Maya berusaha keras meyakinkan sang ibu, serta mengiba. Setelah negosiasi yang alot, akhirnya ibu mengabulkan permintaan Maya.
Akhirnya Rani tinggal bersama Maya dan ibunya di rumah mereka. Di rumah itu, Maya dan ibunya menjadikan Rani selayaknya seorang anak, dan saudara bagi Maya. Rani sudah dianggap seperti sebagai bagian dari keluarga tersebut. Ibu Maya menyayangi Rani seperti anak sendiri.
Rani juga kerap menyertai Maya dan ibunya dalam berbagai kegiatan sosial, juga aktif sebagai relawan di lokasi-lokasi bencana.
Rani duduk di samping pusara sang ayah. Tangannya cekatan mencabuti rerumputan yang tumbuh di atasnya. Maya dan ibu duduk di samping kiri dan kanan Rani. Kemudian Rani mengangkat kedua tangannya, memanjatkan doa untuk sang ayah.
“Yah, aku pulang. Maaf karena lama tidak berziarah. Aku kangen, Yah. Hari ini aku kembali. Semoga ayah mendapatkan ketenangan di sisi-Nya.” Kali ini air mata Rani menetes. Kalimatnya tersekat. Ibu mengusap pundak Rani menguatkan. Maya merangkulkan kedua tangannya ke tubuh Rani. Tangis Rani semakin menjadi. Suasana hening.
“Yah, ini Maya.” Tangan Rani memegang tangan Maya, “Tiga tahun yang lalu kami berjumpa. Sejak hari itu hingga hari ini, kami bersahabat. Bukan sahabat biasa, Yah. Maya adalah saudaraku.” Lalu Rani mengambil tangan ibu, kemudian menciumnya. “Dan ini, ibuku. Yah, mereka keluargaku. Mereka baik sekali. Jadi, ayah tidak perlu khawatir denganku.”
Rani memeluk Maya dan ibunya. Tangisnya pecah kembali. Mereka saling berpelukan. “Terima kasih, Bu. Terima kasih, Maya.”