Masukan nama pengguna
Hijau menjadi daya tarik sebuah petak kosong yang kini menjadi objek penglihatan seorang perempuan berambut pendek sebahu.
Kuas ramping bergerak sesuai perintah sang tuan yang tengah meniru rumput liar di hadapannya.
"Menyenangkan menjadi kamu, ya?" Laki-laki dengan kemeja biru pastel menghampiri, mengambil duduk di samping kanvas yang sudah dipenuhi warna hijau.
"Orang asing, seharusnya tidak menilai seseorang begitu saja." Perempuan yang tidak menoleh menjawab.
Si laki-laki tersenyum paham. "Gue Fatir Akara, belum lama di sini tapi sering liat kamu," ucapnya seraya memperkenalkan diri.
Barulah si perempuan memberhentikan aktivitasnya, menatap lelaki yang telah menyebutkan nama dengan jelas. Senyum lebar jelas tercetak di bibir perempuan, melihat ketampanan Fatir.
"Araya Givani, pengangguran yang hobi melukis." Mungkin karena ketampanan si lelaki sifat sinisnya memudar.
Meluruskan kakinya lalu bersidekap di dada lelaki itu menimpali, "Baru kali ini, nemu perempuan sifatnya sinis terus ramah, lucu."
Oh tidak! Senyum yang tercetak di wajah si lelaki sungguh membuat oleng pemikiran Araya, sampai kuasnya asal menggores di kanvas.
Tersadar sikap salah tingkahnya ditertawakan, ia berdehem pelan lalu menegakkan badan sambil meletakkan kuasnya.
"Jadi, gak mungkin kan tiba-tiba menganggu pelukis amatiran seperti saya jika tidak ada apa-apa?" Kini Araya menggeser bangku kecilnya tepat di depan si lelaki.
Otomatis kaki Fatir kembali menekuk. "Oke." Ia berdiri setelah itu mencondongkan badannya. "Pelukis, tolong bantu saya," ucapnya membuat Araya sedikit merinding akibat embusan napas si lelaki.
Adegan itu selesai ketika dengan cepat Araya mengangguk meski sebenarnya si perempuan masih berpikir kenapa begitu cepat memberi jawaban tanpa pemberian imbalan?
Permintaan pertama dari si lelaki, membawa Araya ke sebuah jalan yang memang dilalui kendaraan untuk datang ke dusun di mana penduduknya mulai berkurang akibat bencana banjir bandang enam bulan yang lalu.
"Apa yang bisa saya lakukan wahai lelaki misterius peminta bantuan?" Araya terkekeh menggoda sang lelaki tampan.
Mata elang si lelaki semula menyiratkan kehampaan namun ketika mendengar kekehan dari Araya, ia tersenyum tipis.
"Pelukis, tolong gambar jalan ini dengan arah menuju tempat kita semula," ucapnya pelan.
Araya tak menolak, membuka kursi lipat juga kanvas tak butuh lama ia mulai menggores kuas dengan terampil. Sedikit heran karena jujur ia masih meraba-raba dunia atau hobi barunya yaitu melukis, tapi di satu sisi ia puas sebab kemampuannya yang datang ini terlihat oleh si lelaki.
"Stop, sudah untuk di sini. Kita lanjut yang kedua." Lelaki itu berkata sambil pergi membuat Araya tak mengikuti.
Tersadar bahwa Araya yang tak mengikutinya, Fatir menoleh ke belakang. "Kenapa, Araya?" tanyanya dari kejauhan.
"Oke, sepertinya kita terlibat kesalahpahaman." Berjalan mendekat pada Fatir. "Kamu meminta bantuan, oh detailnya satu kan?"
Fatir menyengir seperti merasa bersalah. "Ya, sebenarnya tidak hanya satu tapi tiga. Eum, tapi jika kamu keberatan tidak masalah nan-" kalimat penjelasan dari Fatir terhenti.
"Oke, aku bantu. Lagipula pengangguran tidak punya kesibukan, jika berguna buat orang lain mungkin bisa melupakan cuitan tetangga yang terus mengusik?"
"Saya memang tepat memilih kamu," katanya mengukir senyum manis.
Tempat kedua masuk ke rumah yang ditinggalkan warga korban bencana, begitu kotor dengan lumpur, rusak di bagian atap namun masih kokoh berdiri.
Araya kembali melukis, kini datang perasaan berbeda. Ia seakan meninggalkan dunia yang berbunga di dekat si tampan, merasa sesak dan ingin menangis tapi air mata tak kunjung turun.
"Araya, sebenarnya apa pekerjaan impian kamu?" Pertanyaan ini terlontar dari Fatir.
Baru saja ia akan menggores warna merah pekat, pertanyaan itu membuatnya terhenti sejenak namun kembali menorehkan warnanya. "Dulu sih jadi psikolog tapi seiring berjalannya waktu apa aja pekerjaan itu aku akan coba, asal tidak bergantung pada orang lain lagi," jujurnya bercerita.
"Asal kamu tahu, impian bisa saja kamu genggam erat tapi kenyataan mungkin tidak mengizinkan. Aku tidak mau menyalahkan takdir, sebab terkadang yang terbaik datang didahului rasa sakit."
Fatir bergeming. Ia mengingat sesuatu, kejadian yang mengawali keadaan sekarang lalu bertemu dengan Araya. Ternyata pelajaran, bisa dia dapat bahkan setelah dunia menghancurkannya.
"Bagaimana dengan melukis, bisa saja itu yang ditakdirkan untuk kamu." Fatir memberi tanggapan setelah cerita Araya.
"Tidak ingin berekspektasi tinggi, tapi ya kalo menurut kamu ada harapan semoga deh lukisan amatir buatan Araya ini bisa mengubah hidup pelukisnya," tuturnya melengkungkan bibir.
"Bukan hanya pelukisnya. Harus kamu tau ketika dunia sudah menyerahkan kita pada langit, tidak ada yang bisa kita lakukan selain mengikhlaskannya." Fatir membuat Araya bingung karena pembahasan ini cukup aneh.
Tatapan Araya membuat Fatir menolehkan pandangannya pada kanvas. "Araya, di sini bisa kamu gambar tetesan air berwarna merah pekat?"
Kembali pada kanvasnya, Araya mengangguk mendengar titah si peminta bantuan. "Bisa." Tangan mungilnya memegang kuas sedikit gemetar.
"Selesai." Fatir berbicara dengan pandangan yang fokus pada lukisan Araya.
"Oke, yang ketiga?" Mulai berbenah untuk pindah ke satu permintaan terakhir dari Fatir.
Mengangguk, mereka pun berjalan meninggalkan rumah rusak yang sudah tak berpenghuni. Rumah yang cukup membuat bulu kuduk Araya meremang, tapi anehnya ia bisa mengatasi rasa itu.
Lahan kosong objek pertama lukisan Araya terlewati, namun entah kenapa si perempuan ini merasa bahwa langkah Fatir terasa berat dan langkah biasa kembali terlihat setelah rumput liar terlewati.
Berhenti tepat di mana Fatir menemui perempuan yang sedang melukis, tempat pelarian Araya yang ingin tenang dari keruwetan yang terus bergelayut di otaknya.
"Jadi, lukisan apa yang bisa aku persembahkan wahai si pemberi perintah?" Kembali Araya menggoda Fatir, karena ia merasa kembali ke awal daripada setelah masuk ke lukisan kedua.
"Sudah kamu lukis, jadi sampai di sini Araya. Terima kasih."
"Hah, tapi lukisan sebelumnya itu ada coretan loh."
"Udah selesai, cukup Araya," ucapnya menegaskan kembali lalu tersenyum lebar.
"Oke, kalo gitu nih lukisannya. Memang kalo boleh tahu buat apa?" Kini Araya tidak bisa menyembunyikan lagi rasa penasarannya.
"Kamu bawa saja besok, sampai jumpa." Perlahan Fatir mulai melangkah meski langkahnya mundur.
Kerutan jelas tercetak di dahi si perempuan yang merasa dipermainkan begitu saja.
"Eh, gini doang? Bisa jelasin dulu nggak, sok misterius banget sih. Ayo aku ada waktu sekitar lima menit," teriaknya sebab Fatir sudah berjarak.
Adzan maghrib berkumandang, Araya menoleh ke sumber suara namun ketika ia kembali ke pandangan semula ternyata Fatir sudah tidak ada.
"Oke, kita tagih besok. Kalo perlu minta bayaran!" Menggerutu tapi ia juga harus pulang karena jujur petang cukup seram jika masih berada di sini.
***
Dengan baju terbaik yang ia punya Araya sudah berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Fatir, lelaki misterius yang membuatnya penasaran.
Langkahnya terhenti ketika banyak penduduk dan suara sirine ambulans yang menjadi satu, tentu saja ia bertanya-tanya.
Apa ada kecelakaan di jalan ini?
Semakin masuk, ia semakin tercengang melihat garis kuning mengitari rumah rusak dan juga sekitar lahan kosong yang memiliki rumput liar hijau yang ia jadikan objek gambar.
"Ada apa ya, Mbak?" Berhasil mengumpulkan keberanian ia bertanya pada penduduk.
"Penemuan jasad dari saudara Fatir, seorang mahasiswa jurnalistik kabarnya dibunuh oleh buronan yang berhasil ditangkap. Kasian loh, mana sebentar lagi kabarnya Fatir ini akan menikah."
Lemah.
Denyut jantungnya seakan bertambah lebih kencang, ia pening setelah mendengar kabar dari salah satu penduduk.
"Duh, Mbak kenapa?" tanya salah satu penduduk tapi tidak dihiraukan, Araya memberanikan diri masuk ke garis polisi dengan mata berlinang.
Sempat dihadang oleh beberapa polisi, tapi ia tidak gentar untuk terus menerobos dan tanpa sengaja melihat kartu tanda penduduk.
Mengambilnya ia menangis dengan diam. Bibirnya kelu, tapi tubuhnya berontak dari penjagaan polisi.
Hingga satu kalimat membuatnya bebas dari cekalan. "Sa-ya bertemu dengan Fatir. Di-a, euum hiks! Sebentar, ini lukisan." Mengusap air matanya ketika polisi mulai mendengar ceritanya.
"Mungkin ini ... Hiks ... Bisa membantu, penyelidikan."
Fatir Araka yang ditemui Araya ternyata meminta bantuan yang cukup besar. Mendengar penjelasan Araya, seorang gadis sebaya dengannya langsung memeluk.
Keduanya menangis bersama, meski Araya baru saja bertemu dengan Fatir jika dibanding gadis ini yang bahkan akan menikah dengan lelaki tampan kemarin.
Fatir menjadi pengalaman pertama menguak sesuatu, entah apa yang akan semesta berikan padanya melalui kasus ini.
Rumput liar yang diam, tumbuh tanpa bisa memilih menjadi saksi bisu warna merah kental yang merenggut jiwa. Meski hijau tapi menyembunyikan kelam, layaknya manusia tidak bisa hanya penampilan yang menjadi tolak ukur.
Satu tahun berlalu ...
"Fatir, selesai. Aku sudah membantu kamu, terima kasih menjadikan aku seseorang yang berguna dan membuktikan bahwa tidak hanya orang hidup yang pantas tentang keadilan."
Sampai jumpa, lelaki tampan yang memikat hati tapi ternyata sudah tidak satu dunia.
R.I.P Fatir Araka.
Tamat.