Cerpen
Disukai
4
Dilihat
5,501
Rumah Cemara
Thriller

Sorot matanya seksama kepadaku tiap kali aku berbicara. Dia pikir aku tak tahu apa yang sedang bersarang di benaknya dan apa yang sedang dia rencanakan untukku. Dia pikir, dia paling tahu segalanya tentang anak-anak.

Memang, memang dia pernah menjadi anak-anak dan aku sendiri belum pernah menjadi manusia dewasa. Tapi bukankah terlalu pongah jika dia merasa paling tahu pikiran anak-anak hanya karena dia sudah pernah menjadi seorang anak?

“Saya pernah seusiamu, saya paham apa yang sedang kamu rasakan.”

Sok tahu. Dulu aku penasaran mengapa anak lain begitu menyukainya, lambat laun aku paham bahwa dia adalah perempuan manipulatif. Dia mencoba mengulik perasaan kami dan mengubah kami menjadi apa yang orang dewasa inginkan. Apa sebenarnya yang orang dewasa inginkan dari kami?

“Kami ingin kalian hidup normal dikemudian hari dan tidak terbebani oleh kesalahan yang pernah kalian perbuat. Kami tahu kalian tidak sengaja saat melakukan hal-hal buruk ini.” Lagi-lagi, dia terlalu pongah.

Dulu aku enggan berbicara dengannya setelah satu atau dua kali dia mengajakku bicara. Tapi lambat laun aku paham bahwa dia adalah orang yang bisa membuatku keluar dari tempat ini, tempat yang mirip seperti Rumah Cemara namun jauh lebih membosankan.

Orang-orang memanggilnya Dokter Aillin. Bukan, aku bukannya sedang sakit secara fisik. Sebab dokter Aillin bukanlah dokter yang mengobati orang yang terluka fisiknya meskipun dia dipanggil Dokter oleh semua orang.

Mereka bilang dokter Aillin adalah dokter yang khusus menyembuhkan perasaan orang yang sedang sedih, kacau atau tak terkontrol jiwanya. Aku tak paham. Yang aku paham, perkataan dokter Aillin tentang jiwaku bisa membuatku keluar lebih cepat dari tempat ini atau justru membuatku dikurung selamanya.

Maka, hari itu kuputuskan untuk mengikuti permainannya agar aku bisa secepatnya kembali ke Rumah Cemara.

“Bagaimana rasanya dilahirkan?” tanyaku.

“Apa maksudmu? Tentu semua manusia dilahirkan.”

“Aku tidak dilahirkan, aku ditemukan.”

“Sebelum ditemukan, kau jelas dilahirkan.”

“Tidak, percaya padaku. Aku tidak pernah dilahirkan, aku ditemukan saat semut merah yang lapar sedang memakan mata sebelah kananku.”

“Ibumu melahirkanmu, Leo.”

“Apakah dilahirkan menjadi sangat penting?”

Sebab aku tidak tahu bahwa hari kelahiran adalah hari yang penting hingga keluarga itu datang ke mari. Suster Ema sangat menghormati keluarga itu. Selama lima tahun, mereka tak pernah absen membuat acara ulang tahun di Rumah Cemara. Sebuah acara meriah dengan banyak sekali makanan dan barang-barang menarik. Acara yang khusus dibuat untuk merayakan hari kelahiran anak mereka yang bernama Rico.

Mereka datang membawa kegembiraan, makanan, serta barang-barang yang menarik. Semua ini dilakukan oleh mereka untuk merayakan hari di mana mereka melahirkan Rico. Aku sendiri selalu mendapat tugas memimpin nyanyian ulang tahun karena suaraku bagus, kata mereka.

Mereka meminta kami untuk mendoakan Rico sebagai imbalan atas makanan serta barang-barang yang telah mereka berikan. Tentu kami tak pernah keberatan. Sebab berkat mereka, kami bisa mendapatkan barang-barang yang tidak mungkin bisa kami miliki tanpa diberi. Berdoa? tentu sangat mudah bagi kami.

Kata Suster Ema, kami adalah anak-anak spesial yang doanya paling didengar oleh Tuhan. Maka dari itu orang-orang sering meminta bantuan kepada kami untuk menyampaikan keinginan-keinginan mereka melalui doa-doa kami.

“Mengapa Tuhan lebih mendengarkan doaku dibandingkan doa Rico, Suster?”

“Karena kau dan semua saudaramu yang tinggal di sini adalah anak-anak yang spesial”

“Mengapa kami spesial?”

“Kau sudah sering sekali menanyakan hal itu.”

Karena aku tidak pernah puas dengan jawaban suster Ema. Di benakku, Rico anak yang selalu merayakan ulang tahunnya di Rumah Cemara tiap tahun itu jelas jauh lebih spesial daripada kami yang tinggal di sini.

Kami semua tidak pernah merayakan ulang tahun seperti Rico. Tentu Aku sering menanyakan prihal ini kepada Suster Ema. Tapi jawaban bijaknya selalu tak mungkin bisa kusangkal, apalagi kusalahkan.

“Bisa-bisa, setiap hari kita mengadakan acara ulang tahun. Coba kau hitung ada berapa anak di rumah ini? Tidak mungkin merayakan ulang tahun kalian satu persatu. Maka dari itu kita menggantinya dengan merayakan ulang tahun Rumah Cemara. Rumah tempat kalian mendapatkan kehidupan dan keluarga.”

Ya. Di dalam rumah yang tidak begitu luas ini. Ada enam belas anak yang tinggal di dalamnya. Aku sendiri adalah anak yang paling tua. Usiaku sepuluh tahun, dan anak-anak lain berusia di bawahku. Empat diantaranya bahkan masih bayi merah. Suster Ema baru saja membawa pulang mereka beberapa hari setelah kami merayakan ulang tahun panti yang ke sepuluh.

Ulang tahun Rico dirayakan sebulan setelah kami merayakan ulang tahun Rumah Cemara. Hari itu, pada ulangtahunnya yang kesepuluh, Aku membuat pengakuan kepada semut yang berjalan di dinding rumah cemara dan tentu saja kepada Tuhan. Aku mengaku bahwa kali ini aku sungguh Muak. Aku sudah muak menyanyikan lagu ulang tahun untuk Rico.

Hari itu aku duduk di luar dan menggambar kueh ulang tahun lengkap dengan lilin buatan dari ranting kering. Kemudian aku menyanyikan lagu ulang tahun untuk diriku sendiri. Namun sayang, belum sempat aku meniup lilinnya. Suster Ema telah lebih dulu menyadari keberadaanku.

“Leo! Kemari cepat! Mereka sudah menunggumu!”

Aku tak bisa membantah perintah Suster Ema. Dia adalah satu-satunya manusia yang peduli kepadaku. Aku harus mematuhinya, meskipun tak pernah sekalipun dia pernah mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, seperti yang selalu dilakukan oleh Ibu Rico terhadap anaknya.

Aku berlari mengikuti Suster Ema menuju ruang tamu. Di sana, anak-anak sudah berkumpul dengan wajah berseri. Mata mereka memandang takjub ke arah kueh ulang tahun yang bertingkat dua. Jauh Sekali rupanya dengan kueh yang baru saja kugambar di atas tanah.

Ibu dan Ayah Rico tersenyum lebar saat melihatku. Senyum yang kadang muncul dengan sangat ramah, namun juga tenggelam dengan begitu cepat.

Rumah keluarga Rico tak jauh dari Rumah Cemara. Aku dan Rico yang seumuran sering bermain bersama. Namun akhir-akhir ini, senyum hangat Ibu Rico serasa lain di mataku. Dahulu, dia sering kali mengatakan padaku bahwa aku dan teman-teman yang tinggal di Rumah Cemara adalah anak-anak yang spesial, oleh sebab itu dia selalu merayakan ulang tahun anaknya bersama kami.

Jika aku memang spesial, mengapa aku ditemukan sementara Rico dilahirkan? Jika aku sungguh spesial mengapa Rico tidak boleh mamakai pakaian bekasku sementara aku diharuskan bersyukur saat menerima pakaian bekasnya? Jika aku memang spesial, mengapa wanita itu mulai memarahi Rico saat kami sering bermain bersama? Seolah aku tidak berada di derajat yang sama dengan anaknya.

Semua keganjilan yang aku amati tentang Ibu Rico membuat senyum wanita itu menjadi terasa aneh. Mungkin firasatku memang benar selama ini. Bahwa orang-orang dewasa hanya akan bersikap jujur kepada sesama orang dewasa. Sementara kepada anak-anak, mereka gemar melakukan sandiwara dan mengucapkan kebohongan.

Kepadaku sendiri, kebohongan itu adalah soal anak spesial. Saat kini Aku sudah tak sekanak-kanak dulu, Mereka pun mulai jujur. Tidak dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan.

Pada suatu hari. Aku dan Rico berjanji untuk bermain bersama di dekat danau. Tentu kami melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sebab Dia musti bolos les matematika demi untuk bermain denganku. Jika ketahuan, dia akan kena jewer dan kena omel Ibunya.

Wanita itu juga akan mengomeliku dan mengatakan bahwa Rico bukanlah anak yang bisa bermain sepanjang waktu sepertiku.

“Tidak seperti kamu, dia harus disiplin! Jangan mengajarinya hal-hal buruk!”

Ada apa dengan anak sepertiku? Bukankah aku spesial? Bukankah doaku lebih didengar oleh Tuhan?

“Ibu tak suka jika aku bermain bola.” Rico sungguh tak tahu apa-apa soal apa yang dibenci oleh sang Ibu.

“Bukan tak suka jika kau bermain bola. Ibumu tidak suka kau bermain denganku”

“Oh ya? Dia memang mengomel tiap kali aku ijin pergi bermain denganmu. Tapi aneh, jika aku ijin untuk pergi bersama Damai, Ibu tak marah.”

“Siapa damai?”

“Ketua kelas. Anak kepala sekolah dan anak paling pintar di sekolah.”

“Sudah sangat jelas. Dia tidak suka jika kau bermain denganku ataupun dengan anak-anak lain dari rumah cemara.”

“Tapi Ibu selalu bilang bahwa kalian adalah anak-anak spesial dan aku harus selalu baik dan mengasihani kalian.”

“Mengasihani bukan berarti bisa bermain bersama.”

“Aku tidak tahu apa maksudmu.”

Ya. Kini aku semakin yakin dengan firasatku. Memang seperti itulah cara berpikir orang dewasa.

“Kau ingin aku membuktikan sesuatu?”

“Apa?”

“Ibumu pembohong.”

“Maksudmu?” Rico tampak tak suka.

“Dia pembohong besar.” Aku berdiri dan mencengkram lengannya.

Tubuh Rico lebih besar daripada tubuhku, namun anak itu tak lebih kuat dariku. Terlebih, dia tak tau apa yang sedang aku coba lakukan kepadanya.

Aku mengamati sekeliling. Hanya ada Kakek Parjo yang sedang mencari rumput untuk sapinya. Dia sudah tua, jika kami masuk ke danau. Dia tak akan bisa menyelamatkan kami. Dia akan berlari mencari pertolongan.

“Aku ingin tahu. Siapa sesungguhnya yang lebih spesial. Aku, anak yang ditemukan atau kamu, anak yang dilahirkan.”

Rico tak sempat menjawab karena aku langsung mendorongnya ke danau. Aku pun menyusul beberapa detik kemudian.

Kini, wanita itu nampak lebih serius menatapku. Mencoba menerawang lebih dalam ke alam pikiranku.

“Lalu? Apakah kau sudah menemukan jawabannya?”

 “Aku tidak spesial. Pada akhirnya, mereka menyelamatkan Rico terlebih dahulu.”

“Jadi. Kau sengaja menenggelamkan Rico untuk mencari tahu apakah dirimu spesial?”

“Mereka menyelamatkan Rico dan tidak menyelamatkanku. Mereka membiarkanku tenggelam sementara mereka memeluk, meratap dan menangisinya.”

“Apakah kau akan mengulangi perbuatanmu pada Rico atau kepada anak lain?”

Aku harus menggeleng. Aku sedang memegang kendali. Aku ingin dia mengeluarkanku dari tempat ini lalu mengembalikanku ke Rumah Cemara.

 “Tidak. Aku sungguh bersalah. Tidak seharusnya aku berbuat demikian. Aku sangat bersalah.”

Dia mengangguk puas. Sepertinya aku berhasil.

”Kapan aku bisa kembali ke panti?” tanyaku.

“Kau ingin kembali ke panti? Kau bisa tinggal di sini lebih lama.”

“Aku tahu tempat apa ini. Tempat anak-anak jahat dikurung.”

“Tidak, Leo. Kamu atau anak-anak lain di sini bukanlah anak yang jahat.”

Wanita itu beranjak. Dia tak mengatakan kapan aku bisa kembali ke panti. Tapi aku tahu bahwa aku akan segera kembali ke sana. Wanita itu sama seperti orang dewasa lainnya. Tak jujur dan gemar membohongi anak-anak.

“Leo. Jawabanmu salah. Kamu adalah anak spesial karena kamu bisa menyelamatkan dirimu sendiri dan berhasil bertahan hidup seorang diri. Baik saat kamu tengelam atau saat semut merah memakan mata kananmu.”

Dia tersenyum saat mengatakan kebohongan itu. Tapi aku tak boleh marah. Aku sedang berusaha untuk kembali ke Rumah Cemara. Maka kubalas senyum penuh kebohongan tersebut dengan senyum kebohongan milikku. Apa itu artinya aku juga sudah mulai menjadi orang dewasa?

Yang jelas, pada akhirnya aku menang berkat senyum itu. Sebab, beberapa bulan kemudian Suster Ema datang untuk menjemputku.

“Ah. Suster Ema! Ceritakan lebih banyak tentang suster Ema!”

“Suster Ema adalah pendiri Rumah Cemara. Seminggu setelah pemancing menemukanku di semak-semak belukar di pinggir danau dekat Gereja, aku dibawa pulang oleh suster Ema dari rumah penampungan sementara. Sebulan setelah Suster Ema membawaku pulang. Rumah Cemara ini pun diresmikan.”

“Bagaimana dengan sepuluh anak yang lain?”

“Ada yang ditemukan seperti diriku, ada pula yang dilahirkan.”

“Jika dilahirkan, itu berarti mereka memiliki Ibu. Mengapa suster Ema membawa mereka tinggal di Rumah Cemara padahal mereka memiliki ibu?”

“Tidak semua Ibu ingin melahirkan anak mereka. Suster Ema adalah seorang bidan. Seringkali dia membujuk wanita yang ingin melakukan aborsi supaya membatalkan niatnya. Suster Ema berjanji merawat anak mereka jika wanita-wanita itu mau bertahan sedikit lagi untuk melahirkan bayinya ke dunia.”

“Wah. Dia sungguh wanita berhati mulia! Lalu, mengapa Anda tidak melakukan apa yang dilakukan oleh Suster Ema? Kami semua ditemukan, bukan dilahirkan. Setidaknya, mereka yang dilahirkan tetap memiliki ibu, meskipun tidak diinginkan. Jelas mereka lebih baik daripada kita.”

Tidak. Suster Ema telah melakukan kesalahan yang fatal. Mereka tidak harus menanggung penolakan sepanjang hidup jika sejak awal mereka tidak ada. Ibu mereka sendiri tidak menginginkannya, bagaimana dengan orang lain?

Tapi tidak mungkin aku berbicara demikian pada anak-anak manis ini. Nanti, saat mereka dewasa, mereka akan menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

“Tidak. Kalian tidak lebih baik atau lebih buruk dari siapapun.”

“Oh ya? Tapi Suster Ema pernah berkata padaku-“

“Suster Ema sedang dihukum oleh Tuhan. Oleh sebab itu dia terbaring tak berdaya selama lima belas tahun karena sakitnya. Kalian tak perlu meresapi perkataanya.”

Dua puluh tahun sudah sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa dimana aku telah menghilangkan nyawa temanku sendiri dengan mendorongnya ke dalam sebuah danau yang teramat dalam dan dingin. Lima tahun kemudian, Suster Ema terbaring sakit. Bukan sakit fisik, melainkan mental.

Awalnya, aku terus bertanya-tanya apa sesungguhnya yang membuat mentalnya hancur padahal aku berhasil pulang dengan cepat dari lembaga pembinaan anak pada saat itu? Mungkinkah Suster Ema merasa bersalah atas kematian Rico? Atau Dia merasa bersalah atas tindakan yang telah ku lakukan? Mengapa rasa bersalahnya begitu besar hingga ia berakhir menjadi wanita gila?

Baru-baru ini, setelah aku menjabat sebagai kepala panti di Rumah Cemara, aku pun menemukan jawabannya. Ya. Suster Ema sedang menjalani hukuman. Suster Ema sedang dihukum oleh Tuhan. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)