Masukan nama pengguna
Empat badan terpental akibat sebuah ledakan tak jauh dari pertarungan. Cedera yang didapat dari saling hajar kini semakin bertambah bersamaan suara batuk berebut udara di tengah tebaran debu.
Belum sempat merasakan sakit dari hantaman ledakan, sebuah kaki hendak melayang tepat ke kepalaku. Reflek, badanku berguling menghindar dan segera bangkit.
Laki-laki yang nyaris menendangku itu menegakkan badan, meski masih sempoyongan. Nampaknya ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan menghajarku, walaupun dirinya sendiri lebih mudah dirobohkan. Perlahan, langkahnya mulai melaju untuk melanjutkan pertarungan kami yang terhenti karena bom barusan.
Kuatur nafasku, membiarkannya mendekat. Sebenarnya ada kelegaan saat bom meledak, karena itu adalah ancaman utama yang sekarang sudah tidak perlu kami khawatirkan lagi. Jadi, aku bisa fokus pada sosok besar yang mulai melayangkan serangannya itu.
Pukulan kanan, kiri, atas, bawah, ditambah beberapa tendangan terlontar tanpa balasan. Hanya tangkisan yang membuat serangan itu menjadi kurang menyakitkan daripada yang seharusnya. Tapi laki-laki itu tidak menyerah dan terus menyerang meski nafasnya semakin terkuras. Hingga akhirnya, ia mundur sejenak untuk mengumpulkan oksigen.
“Sudah selesai?” tanyaku datar. “Aku sudah memberimu waktu untuk menghajarku. Sekarang giliranku,” kulangkahkan kaki mendekati lawanku itu.
“Jangan berlagak, cewek!” tangan kanannya melayang ke kepalaku.
Tangan kiriku dengan mudah menahan pukulannya. Selain karena tenaga lawanku sudah berkurang banyak, aku sendiri telah sedikit pulih di tengah pertahananku tadi. Kucengkram tangannya sambil menatap tajam tepat ke wajahnya. “Sudah kubilang, sekarang giliranku,” ucapku tepat sebelum kuputar tangan kanannya.
Ia meringis kesakitan, lalu menghentakkan tangannya agar terlepas. Tangan kirinya segera membalas, tapi malah tertahan dan tertarik seiring sebuah tendangan lutut menghantam rusuknya. Ia mencoba bangkit, namun serangan lain membuatnya tak berkutik. Pukulan kepala, badan, tendangan ke arah kaki, pinggang, rusuk, semua diterima tanpa perlawanan. Tenaganya yang terkuras belum sempat terisi kembali, dan kini ia harus menghindar sebisa mungkin dari semua hantaman.
Aku sudah tidak peduli dengan kondisi lawanku ataupun diriku sendiri. Tak kubiarkan lawanku itu mendapat celah untuk dapat membalasku. Sebuah memori terngiang kembali dan membutakan setiap inderaku. Tujuanku saat ini hanya menghabisi orang penyebab tewasnya kakakku, melampiaskan semua amarah yang kutahan selama ini.
Lawanku sudah kelelahan hingga roboh oleh satu tendangan bawah. Belum sempat menyadari posisinya, si penyerang duduk di atasnya dan kembali menghajar, tak peduli ceceran darah yang memercik kemana-mana.
“Tiga tahun!” kulanjutkan pukulanku ke wajahnya. “Tiga tahun kau berhasil kabur dari hukumanmu, Weld! Kakakku yang tewas karena aksi terorismu saat itu hanya bisa mendapat kasus yang tak terselesaikan. Jadi kini, biar kubayarkan penantian itu,” nadaku datar, tidak ingin membuang energi percuma dan memusatkannya pada kedua kepalanku. Entah berapa lama aku menghajarnya, hingga aku sendiri mulai kelalahan. Aku bergetar, air mataku mulai keluar. “Arrrggghh!!” teriakku sebagai pelampiasan.
“Lexa, cukup!” sebuah tangan menahan kedua hantamanku. “Dia sudah pingsan. Jika kau membunuhnya, tak ada keadilan baginya dan kau akan menjadi pembunuh, sama sepertinya,” ujarnya seraya menyamai tatapanku. “Aku yakin Allen tidak ingin kau bertindak terlalu jauh. Kau sudah cukup membalas dendamnya. Sekarang, biarkan hukum resmi yang menindak lanjuti.”
Satu teriakan kembali bergema dariku. Kupeluk Simmon dan melepaskan semua emosiku. Ia benar, dendamku sudah tersampaikan dan kini aku serahkan sisanya pada kepolisian.