Masukan nama pengguna
Di dunia ini, setiap jiwa adalah rumah.
Beberapa rumah berdiri megah, penuh warna dan cahaya. Temboknya kokoh, dihiasi jendela-jendela besar yang mengundang sinar matahari masuk ke dalam, menciptakan kehangatan yang tidak akan pernah hilang. Rumah-rumah ini melambangkan kebahagiaan dan kedamaian dalam jiwa pemiliknya. Tapi ada juga rumah-rumah yang hancur, berdebu, dan retak. Atapnya ambruk, pintu-pintunya hilang, dan tidak ada satu pun jendela yang dibiarkan terbuka. Di dalam rumah-rumah ini, hanya ada kegelapan, dan kegelapan itu melahap semua yang mendekatinya. Rumah seperti ini menandakan jiwa yang terluka parah oleh trauma dan penderitaan.
Disinilah tugas Anya, sebagai salah satu agen yang ditugaskan untuk memperbaiki rumah-rumah yang hancur itu. Mereka adalah penjaga jiwa-jiwa yang tersesat, memperbaiki kerusakan, dan mencari jalan menuju penyembuhan. Walau kenyataannya, tidak semua rumah bisa diselamatkan.
Seperti hari itu, ketika Anya melangkah masuk ke sebuah kasus baru yang sangat berbeda dari kasus lainnya, dan kasus ini jauh lebih sulit.
Hari itu…
Anya berlari terburu-buru menuju ruang kerjanya. Langkahnya cepat dan teratur, menyusuri koridor yang penuh dengan teknologi canggih yang tersembunyi di balik tampilan yang sederhana.
“Hei, Anya! Darimana saja kamu?” sapa rekan satu timnya, Firly, ketika mereka berpapasan.
“Aku buru-buru Fir, kita bicara nanti di ruang restorasi, dah!” Anya setelahnya melenggang pergi.
Di tempat ini—The Inner Haven, Anya dan agen-agen lainnya menjalani tugas yang luar biasa. The Inner Haven adalah sebuah lembaga unik yang berfokus pada penyembuhan jiwa-jiwa yang terluka. Tempat ini diciptakan dengan pemahaman bahwa setiap manusia memiliki "rumah" dalam dirinya, sebuah ruang metaforis yang mewakili kondisi emosional dan mental mereka. Ketika trauma, stres, atau kehilangan menghantam pemiliknya, rumah tersebut bisa runtuh, retak, gelap, dan rusak. The Inner Haven berdiri untuk membantu memperbaiki rumah-rumah itu, mengembalikan keseimbangan dan kesehatan mental pasien melalui pendekatan yang menyeluruh dan mendalam.
The Inner Haven memiliki beberapa tim yang terdiri dari para agen, psikolog, serta ahli teknologi dan ilmuwan yang bekerja bersama. Agen seperti Anya adalah garda depan yang masuk ke dunia bawah sadar pasien. Mereka dibantu oleh psikolog yang memberikan wawasan tentang trauma yang dihadapi pasien, serta ahli teknologi yang memastikan keamanan selama proses masuk ke dalam alam bawah sadar. Disini para agen bertindak seperti "pembangun jiwa", memperbaiki bagian-bagian yang rusak, membersihkan debu trauma, dan membawa cahaya ke dalam kegelapan yang mengelilingi pasien.
Kembali ke Anya
Di ruang kerjanya, Anya menatap layar hologram di hadapannya, mempelajari profil pasien barunya dengan saksama. Nama pasien itu adalah Sarah. Di bagian bawah profil, tertulis diagnosis yang sederhana namun sarat makna: “Trauma Berat akibat Kehilangan Anak.” Kalimat itu tampak biasa, tetapi Anya tahu, di baliknya tersimpan luka yang tak terperi.
"Anya, pasien sudah tiba di ruang restorasi," suara speaker terdengar, terhubung ke ruangannya.
Anya menekan tombol di meja kerjanya. "Aku ke sana," jawabnya singkat.
Ruang restorasi adalah tempat khusus berisi perangkat teknologi mutakhir yang digunakan untuk menyambungkan dunia nyata ke alam bawah sadar pasien. Fungsinya adalah sebagai pusat operasi di mana tim dapat memantau dan membantu proses penyembuhan mental pasien. Melalui teknologi canggih ini, para agen bisa "memasuki" alam bawah sadar pasien untuk memperbaiki trauma dan luka psikologis yang tampak seperti "rumah" dalam jiwa mereka.
Setibanya di ruang restorasi, Anya disambut oleh dua rekannya yang sudah lebih dulu berada di sana. Firly, psikolog tim mereka, dan Alan, ahli teknologi yang sedang sibuk mempersiapkan peralatannya.
“Kau sudah baca profil pasien yang ku kirim?” tanya Firly sambil membantu Anya mengenakan perangkat untuk memasuki alam bawah sadar pasien.
“Sudah,” jawab Anya.
“Kali ini mungkin akan sulit,” Firly mengingatkan, sambil menatap pasien yang terbaring di ranjang.
Anya menoleh, memandangi Sarah sejenak. “Aku tahu,” gumamnya pelan.
“Kau pasti bisa, Anya. Tak ada agen sehandal dirimu,” ujar Alan dengan nada ringan, sembari menyerahkan helm neuro-sinkronisasi. Ia mengenakannya pada Anya dengan sedikit ceroboh.
Perangkat mutakhir itu memungkinkan Anya terhubung langsung dengan alam bawah sadar pasien.
“Pasanglah dengan benar, Alan!” keluh Anya, sedikit jengkel.
Alan hanya mengangkat bahu. “Jika kau sudah siap, aku akan mengaktifkannya.”
Anya membetulkan posisi perangkat di kepalanya. "Aku siap."
Mendengar itu, Alan langsung menekan tombol pada keyboard. Perangkat mulai aktif, dan seketika tubuh Anya terasa melayang. Ruangan di sekitarnya memudar perlahan, dan dalam hitungan detik, ia telah berdiri di depan sebuah rumah baru—rumah yang ada di dalam jiwa Sarah.
Rumah itu tampak sangat tua, terlihat lebih tua dari yang seharusnya, mengingat pasien tersebut—Sarah, usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun. Anya memandang bangunan di hadapannya. Rumah itu tampak mengerikan. Banyak tanaman rambat yang menjuntai, dinding dengan cat terkelupas, kaca jendela yang pecah, seperti rumah yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Suasana di sekelilingnya begitu sunyi, seperti rumah ini memeluk rasa sakit yang mendalam. Setiap langkah Anya terasa berat, seolah-olah kapan saja ia bisa terjerumus ke dalam kehampaan yang tak terlihat.
Dia menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya tetap fokus. Setiap rumah punya cerita. Setiap cerita dimulai dengan rasa sakit. Tapi Anya percaya, tak ada rumah yang mustahil untuk diperbaiki—setidaknya, itulah yang selalu ia coba untuk yakini.
Ketika dia melangkah lebih dalam, suara yang terdengar dari perangkat kecil di telinganya. "Anya, hati-hati kali ini. Kondisinya parah, trauma yang dia alam... terlalu dalam," suara Alan, rekannya, mengingatkan.
“Aku tahu,” jawab Anya pelan, matanya menyapu ruangan yang penuh dengan kepingan masa lalu yang hancur. "Tapi kita harus mencoba.”
Anya melangkah perlahan menuju pintu depan yang menggantung tak rata, seolah-olah siap terjatuh kapan saja. Dengan hati-hati, ia mendorong pintu itu terbuka, menciptakan suara derit yang membuat bulu kuduknya berdiri. Saat pintu terbuka, pemandangan di dalam rumah tidak lebih baik dari luar. Atapnya hampir seluruhnya roboh, dinding-dinding penuh retakan besar, sebagian bahkan sudah runtuh, meninggalkan puing-puing di lantai. Furnitur yang ada terlihat rusak, kayunya rapuh dan berdebu, sementara lantai dipenuhi serpihan kaca dan sisa-sisa kehancuran lainnya.
Anya berdiri di tengah ruangan utama, memeriksa sekelilingnya. Setiap sudut rumah ini adalah cerminan dari kedalaman rasa sakit Sarah. Trauma yang terjadi bukan sekadar pukulan emosi, ini adalah kehancuran yang menyelimuti seluruh jiwanya. Dari tempat Anya berdiri, ia bisa merasakan keputusasaan yang melingkupi ruangan, seakan seluruh rumah ini bernafas dalam kegelapan dan duka yang mendalam.
Langkah Anya membawa dirinya ke ruangan pertama, sebuah ruang tamu yang gelap dan hening. Gorden yang robek berkibar pelan meski tak ada angin, dan cahaya redup masuk melalui jendela yang tertutup debu. Saat mendekati sofa tua yang berada di tengah ruangan, Anya mendapati foto keluarga yang tergeletak di atas meja. Ia mengangkatnya, membersihkan debu yang menutupi kaca bingkai, dan menatap foto tersebut. Sarah, di masa lalu, berdiri dengan senyum lebar di samping seorang anak kecil—anak yang kini telah pergi.
Anya mendesah pelan. Kehilangan itu terpancar begitu jelas di sini.
“Huft, kau bisa, Anya.” Anya bersiap untuk mulai bekerja, mengambil langkah pertama dalam memperbaiki kerusakan di rumah ini.
Anya memandangi retakan di dinding rumah Sarah. Tangannya yang cekatan mulai menyentuh permukaan kasar, mencoba memperbaiki satu per satu kerusakan kecil. Namun, setiap kali ia berhasil memperbaiki satu bagian, bagian lain runtuh, seakan rumah ini menolak untuk dipulihkan. Patahan dinding yang baru saja diperbaiki, dengan sekejap kembali terbelah, seolah memprotes kehadirannya.
“Kenapa?” gumam Anya, lelah. Tangannya gemetar saat menyeka keringat dari dahinya. Kegelapan yang menyelimuti ruangan semakin pekat, seperti kabut yang menolak pergi. Anya tahu, ini bukan sekadar masalah fisik, ini adalah penolakan dari dalam jiwa Sarah sendiri.
“Sarah…” gumam Anya, menyadari apa yang terjadi. “Jiwanya menolak untuk disembuhkan.”
Anya menyadari bahwa ini bukan sekadar rumah yang rusak karena trauma, ini adalah rumah yang menolak untuk diperbaiki. Sarah belum siap untuk membiarkan rasa sakitnya pergi. Trauma yang ia rasakan akibat kehilangan anaknya begitu besar hingga jiwanya sendiri menolak perubahan. Bagian dalam diri Sarah masih sangat terikat pada rasa sakit itu, seolah-olah melepaskannya akan berarti melepaskan kenangan terakhir tentang anaknya.
Anya menegakkan tubuhnya, menguatkan diri. Ini akan menjadi lebih sulit dari yang dia duga.
Di ruang restorasi, Alan dan Firly ikut menyaksikan apa yang terjadi di alam bawah sadar Sarah melalui layar monitor di depan mereka. Keduanya tampak serius memperhatikan, tapi tiba-tiba layar monitor bergetar seperti eror. Mereka tampak cemas sekarang.
“Alan, biarkan aku berkomunikasi dengan Anya,” pinta Firly.
Alan memberikan perangkat di telinganya pada Firly.
“Anya, kau bisa mendengarku?”
“Apa ada masalah, Anya, jawab aku.” Firly tidak bisa mendengar jawaban dari Anya.
“Bagaimana?” tanya Alan khawatir.
Firly menggeleng. “Tidak ada jawaban.”
Hal itu sontak membuat Alan panik. “Sial! Apa alatnya rusak?!”
Kembali ke Anya.
Ia masih tetap mencoba memperbaiki rumah itu, walau hasilnya tetap sama—rumah itu menolak.
Di tengah itu, langkah Anya terhenti ketika dia mendengar suara kecil di belakangnya. Ketika dia berbalik, dia melihat seorang gadis kecil berdiri di sudut ruangan. Gadis itu tampak pucat, mengenakan gaun putih yang tampak lusuh, dan rambutnya tergerai acak-acakan.
“Kamu tidak bisa memperbaikinya,” kata gadis kecil itu dengan suara pelan tapi pasti.
Anya tersenyum kecil dan mendekat. "Siapa kamu?" tanyanya lembut, meski dia sudah mulai menyadari jawabannya.
Gadis kecil itu tidak menjawab, hanya mengangkat boneka usang yang tergantung di tangannya. Anya mengerti bahwa gadis kecil ini bukanlah orang asing. Dia adalah representasi dari Sarah yang dulu—versi dirinya yang masih polos, sebelum dihancurkan oleh trauma kehilangan.
"Apa kau bagian dari Sarah?" Anya bertanya lagi, kali ini lebih lembut.
Gadis kecil itu mengangkat kepalanya, matanya menatap dalam tanpa emosi. “Tidak ada yang bisa diperbaiki. Tidak ada yang bisa mengembalikan apa yang sudah hilang.”
Kata-kata itu menusuk Anya, namun dia berusaha menahan diri. “Kita bisa mencoba. Aku bisa membantumu,” kata Anya, berharap bisa menanamkan sedikit harapan pada gadis kecil itu.
“Tidak ada yang bisa dibantu,” jawab gadis kecil itu dengan nada dingin. “Rumah ini akan terus hancur, seperti jiwanya. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang terjadi.”
Anya menarik napas dalam. Trauma yang Sarah alami begitu besar hingga bahkan bagian dari dirinya sendiri tidak percaya pada penyembuhan. Setiap kali Anya memperbaiki sesuatu, rumah itu kembali runtuh, dan kini dia tahu alasannya—jiwa Sarah menolak pemulihan.
Namun, menyerah bukan pilihan bagi Anya. Dia tahu, Sarah tidak bisa dibiarkan tenggelam selamanya dalam rasa sakit ini. Meskipun perjalanan ini akan sulit, Anya tetap yakin bahwa tidak ada rumah—tidak ada jiwa—yang terlalu hancur untuk diselamatkan.
Namun, tiba-tiba, suara dari perangkat di telinga Anya menginterupsi momen itu.
“Anya! ANYA!” Suara Alan terdengar penuh urgensi.
Anya terkejut. Kenapa Alan memanggil namanya begitu? Ia mencoba tetap fokus pada gadis kecil di hadapannya, namun dalam sekejap, dunia di sekitarnya berputar. Cahaya memudar, dan ia tiba-tiba kembali berada di ruang restorasi.
“ANYA!” Alan dan Firly sekarang berdiri di depannya, ekspresi mereka penuh kekhawatiran.
“Kenapa kalian memindahkanku?” Anya bertanya, bingung dan kesal. Ia merasa interaksinya dengan gadis kecil itu telah diputus terlalu cepat.
“Koneksi kita tiba-tiba terputus. Kami tidak bisa menghubungimu, dan monitor sempat error,” Firly menjelaskan, nada suaranya masih cemas.
“Iya, sepertinya ada yang salah dengan perangkat ini,” timpal Alan sambil memeriksa layar di depannya. “Jadi kami cepat-cepat menarikmu kembali sebelum terjadi sesuatu yang lebih berbahaya.”
Anya mengangguk mengerti, meskipun ia merasa kecewa karena harus berhenti mendadak. Ia merasa ada sesuatu yang penting hampir terungkap dalam interaksinya dengan gadis kecil itu.
“Aku akan memeriksa peralatannya. Sebaiknya kalian beristirahat dulu,” ujar Alan, suaranya sedikit lebih tenang sekarang.
“Baik,” Firly setuju. “Hubungi kami setelah kau selesai memperbaikinya.” Ia memberi isyarat kepada Anya untuk keluar dari ruang restorasi.
Di ruang kerjanya, Anya duduk sendirian. Ia memutuskan untuk beristirahat di sana, sambil membuka kembali profil Sarah di layar hologramnya. Setiap detail dalam profil itu kini terasa semakin penting. Gadis kecil yang ditemuinya adalah refleksi dari luka paling dalam yang dialami Sarah.
Tak lama kemudian, Firly masuk membawa satu cup kopi dan menaruhnya di meja Anya. “Ini punyamu,” katanya, sambil tersenyum tipis.
“Terima kasih,” balas Anya, menerima kopi itu dengan senang hati.
Firly duduk di seberang meja, memperhatikan Anya dengan saksama. Ia masih teringat pada kejadian tadi, dan kekhawatiran sebagai seorang psikolog tidak bisa ia abaikan.
“Anya,” Firly membuka pembicaraan, “Kadang, kasus seperti ini lebih berat dari yang kita duga. Luka batin seperti yang dialami Sarah tidak mudah disembuhkan, dan kita tidak bisa memaksanya untuk segera pulih. Semua butuh waktu. Yang bisa kita lakukan adalah memastikan bahwa kita, dan pasien kita, siap menghadapi prosesnya.”
Anya menatap Firly sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia tahu apa yang Firly katakan benar. “Aku hanya ingin membantu,” bisik Anya, sambil memainkan ujung cup kopinya.
“Kau sudah melakukan yang terbaik,” Firly menenangkan. “Tapi ingat, penyembuhan adalah proses yang lebih besar dari apa yang bisa kita lakukan dalam sekali kunjungan. Terkadang, kita hanya bisa membuka pintu bagi pasien, dan membiarkan mereka mengambil langkah pertama sendiri.”
Anya tersenyum samar, menyadari kebenaran kata-kata Firly. “Kau benar. Terima kasih, Firly.”
Firly balas tersenyum. “Itulah kenapa kita bekerja sebagai tim, Anya. Kita semua ada di sini untuk saling mendukung.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan sejenak, menikmati kopi dan merenungkan apa yang baru saja terjadi. Meskipun perjalanan penyembuhan Sarah mungkin masih panjang, Anya tahu bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi tantangan ini.
Keesokan harinya, Anya kembali ke pusat The Inner Haven dengan perasaan campur aduk. Malam tadi ia menghabiskan banyak waktu memikirkan apa yang terjadi di ruang restorasi, terutama perasaan tak tuntas yang mengganggunya sejak ia dipaksa keluar dari alam bawah sadar Sarah. Gadis kecil itu, yang memegang boneka dengan cengkraman erat, terus muncul dalam pikirannya. Ada sesuatu yang mendesak, namun belum terungkap.
Setibanya di ruang kerja, Alan sudah menunggunya. Ekspresi wajahnya tampak lebih lega daripada kemarin. "Aku sudah selesai memeriksa perangkatnya," kata Alan saat Anya mendekat. "Tidak ada kerusakan sama sekali."
Anya berhenti sejenak, kebingungan menghampirinya. "Tidak ada yang rusak? Lalu kenapa kemarin aku ditarik keluar begitu cepat?"
"Itu yang anehnya," jawab Alan sambil menyilangkan tangan di dada. "Semua sistem berjalan normal, tidak ada kesalahan teknis. Koneksi mendadak terputus, tapi bukan karena peralatannya."
Anya mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang terlewat. Ia menoleh ke arah Firly yang juga sudah tiba dan mendengarkan pembicaraan mereka dengan seksama. “Kalau begitu, apa yang terjadi?” tanya Anya.
Firly menarik kursi dan duduk. “Aku berpikir ini mungkin lebih dari sekadar masalah teknologi. Alam bawah sadar Sarah bisa saja menolak kita. Trauma yang begitu dalam sering kali membuat pasien secara tidak sadar menutup diri dari upaya penyembuhan, meskipun kita sudah terhubung secara teknis.”
Anya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Firly. "Jadi, maksudmu, ini bukan karena alat, tapi karena Sarah sendiri yang menolak?" tanyanya.
"Ya," jawab Firly, pandangannya serius. "Dalam beberapa kasus trauma berat, pasien secara tidak sadar bisa membangun pertahanan yang bahkan perangkat kita tidak bisa tembus. Mungkin itu yang terjadi kemarin."
Alan menambahkan, “Sinyal yang kau terima sempat tidak stabil, tapi tak ada penjelasan teknis yang bisa menjelaskan gangguan itu. Jadi, mungkin Firly benar. Kita berurusan dengan sesuatu yang lebih mendalam.”
Anya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa ini akan menjadi salah satu kasus yang paling sulit yang pernah dihadapinya. Namun, ia juga merasa lebih termotivasi. Gadis kecil itu, yang mencerminkan luka Sarah, masih ada di sana, menunggu bantuan. "Baiklah," kata Anya akhirnya. "Aku akan mencoba lagi hari ini."
Di ruang restorasi, Anya kembali mengenakan helm neuro-sinkronisasi. Alan berdiri di sebelahnya, memastikan semua sistem berfungsi dengan baik. "Jangan khawatir, Anya. Semua sudah dipersiapkan," katanya dengan penuh keyakinan.
Firly berdiri di dekat pintu, menyemangatinya dengan pandangan tenang. “Jika sesuatu terjadi lagi, kami akan segera menarikmu keluar. Tapi percayalah pada instingmu.”
Anya hanya mengangguk, fokusnya sudah terpusat pada apa yang akan ia hadapi. “Aku siap.”
Alan menekan tombol enter, dan sekali lagi, dunia di sekitar Anya mulai memudar. Ruangan restorasi perlahan menghilang, berganti dengan pemandangan gelap dan suram. Dalam hitungan detik, ia berdiri kembali di depan rumah dalam jiwa Sarah.
Rumah itu masih tampak sama—tua, dengan retakan yang lebih dalam dan dinding yang suram. Namun, kali ini, Anya merasa ada sesuatu yang berbeda. Udara di sekitar terasa lebih tegang, seolah-olah rumah itu sendiri bersiap untuk menolaknya lagi.
Dengan langkah mantap, Anya berjalan menuju tempat di mana kemarin ia berpisah dengan gadis kecil itu. Namun, kali ini, gadis itu tak tampak di sana.
“Halo... kau di mana? Ini aku, Anya, yang kemarin ke sini,” panggilnya, suaranya menggema di antara reruntuhan rumah. Anya berharap gadis kecil itu akan muncul setelah mendengar panggilannya.
Waktu berlalu, Anya berdiri diam, menunggu. Namun, gadis kecil itu tak kunjung datang. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh, menjelajahi sudut-sudut rumah Sarah yang belum tersentuh. Mungkin di dalam ruang-ruang lain, dia akan menemukan petunjuk atau setidaknya memahami lebih dalam trauma yang telah menghancurkan jiwa ini.
Dia berjalan menyusuri lorong panjang yang dipenuhi debu dan bayangan gelap, langkahnya menggema dalam kesunyian. Di sebelah kirinya, sebuah pintu kayu terbuka sedikit. Anya merasakan sesuatu yang berat di belakang pintu itu, seolah ruangan tersebut memendam beban emosi yang besar.
Dengan hati-hati, Anya membuka pintu itu sepenuhnya dan menemukan dirinya di sebuah kamar anak yang kosong. Di tengah ruangan, ada tempat tidur kecil yang tertutup debu. Mainan berserakan di lantai, tapi semuanya tampak rusak—boneka-boneka tanpa lengan, mobil-mobil mainan yang remuk. Anya berjalan mendekati tempat tidur dan melihat sebuah foto tergantung di dinding. Foto itu menunjukkan Sarah dengan seorang anak laki-laki kecil, tersenyum dalam kebahagiaan sederhana. Namun, di foto itu, ada retakan panjang yang melintasi wajah anak itu, seakan memisahkan Sarah dari kenangan terindahnya.
Anya menyentuh foto itu dengan pelan, dan saat jari-jarinya menyentuh permukaannya, dia tiba-tiba merasakan kilasan masa lalu. Tangisan seorang ibu, jeritan seorang anak, dan kemudian keheningan panjang yang memekakkan telinga.
Sarah telah kehilangan putranya dalam kecelakaan tragis. Dan sejak saat itu, rumah dalam dirinya mulai runtuh.
Air mata menggenang di mata Anya saat dia menyadari kedalaman luka Sarah. Kamar ini adalah pusat trauma yang membuat semua bagian lain dari rumah ini hancur. Setiap kenangan yang pernah indah kini hanya menambah berat rasa bersalah dan duka Sarah.
Anya melangkah ke sudut ruangan, di mana sebuah kotak mainan terguling, isinya berantakan. Dia berlutut dan mulai mengatur mainan-mainan itu kembali, meskipun dia tahu ini hanyalah simbolis. Setiap sentuhan membawa lebih banyak ingatan yang tersembunyi. Setiap mainan rusak adalah bagian dari cerita yang hilang, perasaan Sarah yang tak terucapkan.
Tiba-tiba, gadis kecil itu muncul di pintu, menatap Anya yang berlutut. “Kenapa kamu kembali?” katanya dengan nada seperti mengusir. “Kenapa kau masih berusaha memperbaiki semua ini?”
Anya menoleh melihat sosok yang sudah ia kenali—gadis kecil dengan boneka beruang di tangannya. Gadis itu masih dengan pandangan kosong yang sama.
Anya perlahan mendekatinya dan berjongkok di hadapannya.
“Kau masih di sini,” ujar Anya lembut. “Aku datang kembali, karena aku ingin membantu.”
Gadis kecil itu menatap Anya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tangannya yang kecil masih mencengkeram boneka beruang tua itu, seolah-olah itu adalah satu-satunya benda yang menghubungkannya dengan dunianya.
“Semua orang selalu pergi,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Tidak ada yang bisa memperbaikinya.”
Anya merasakan perih di hatinya mendengar kata-kata itu. “Aku tidak akan pergi. Aku di sini untuk membantumu, jika kau mau.”
Gadis itu diam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Anya. Ada kegelapan mendalam dalam sorot matanya, tetapi juga ada kilatan harapan yang sangat kecil, seolah-olah ia ingin percaya pada Anya, namun masih takut.
“Aku tidak tahu caranya,” ujar gadis itu akhirnya, suaranya terdengar rapuh. “Aku tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semuanya.”
Anya tersenyum lembut. “Tidak apa-apa. Kita tidak harus tahu caranya sekarang. Yang penting, kita mulai dari langkah kecil. Kita akan melakukannya bersama-sama.”
Gadis kecil itu menatap Anya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, Anya melihat ada sesuatu yang berubah. Sebuah pintu kecil dalam diri gadis itu mulai terbuka, meskipun masih perlahan. Anya tahu, ini adalah awal dari proses panjang, namun setidaknya sekarang, ia sudah diterima di dalam dunia Sarah.
“Bersama-sama,” ulang gadis kecil itu, suaranya pelan namun jelas.
Anya mengangguk, merasa bahwa langkah pertamanya telah tercapai. “Ya, bersama-sama.”
Meski ini awal yang bagus, tapi perjalanan ini belum selesai. Masih banyak ruangan di rumah ini yang harus dihadapi, dan masih banyak luka yang harus dihadapi Sarah sendiri.
Anya bangkit, membersihkan debu dari tangannya. Dia tahu ini akan menjadi perjalanan panjang dan sulit. Tapi dia tidak akan menyerah. Sarah membutuhkan dirinya untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan ini—dan Anya siap untuk membantunya melewati setiap langkah, sekecil apa pun.
Saat jam istirahat tiba, Anya kembali ke dunia nyata. Dia dan timnya beristirahat bersama di kafetaria. Wajah Anya terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya—mungkin karena gadis kecil di alam bawah sadar Sarah mulai menerimanya.
“Saat kau masuk tadi, monitor sempat eror lagi. Tapi beberapa menit sebelum kau keluar, semuanya kembali normal,” kata Alan, menceritakan apa yang terjadi.
Anya tersenyum tipis. "Semua berjalan lancar," ucapnya.
Firly tersenyum bangga. “Sudah kuduga, kau pasti bisa mengatasinya.”
Anya mengangguk, tetapi kemudian ekspresinya berubah serius. “Tapi... aku masih belum menemukan cara untuk memperbaiki trauma Sarah.”
Firly menatap Anya sejenak sebelum berbicara, suaranya lembut namun penuh makna. "Kau tahu, Anya, terkadang orang terlalu fokus ingin menghilangkan rasa sakit mereka, padahal... mungkin yang perlu dilakukan hanyalah menerima bahwa rasa sakit itu ada." Ia mengaduk kopinya perlahan, menatap cangkirnya seolah berpikir.
“Kau pernah lihat orang yang berhasil melewati masa-masa sulit, tapi tetap ingat jelas semua yang terjadi? Mereka tidak lupa, tidak menghapus apa yang pernah mereka alami. Tapi, entah bagaimana, mereka bisa hidup berdampingan dengan itu," lanjut Firly, tersenyum kecil. "Kadang, itu lebih baik daripada mencoba menghilangkan semuanya."
Anya menatap Firly sejenak, lalu mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. Ia mengerti apa yang Firly maksud. “Aku selalu bisa mengandalkanmu, Fir.”
Firly tersenyum balik. “Sudah tugasku,” jawabnya dengan ringan.
“Hei, bagaimana denganku? Kalian selalu mengabaikan aku,” rajuk Alan dengan nada bercanda, membuat mereka tertawa bersama, mencairkan suasana yang tadinya serius.
Setelah jam istirahat selesai, Anya kembali ke tugasnya.
Anya kini paham bahwa memperbaiki rumah Sarah sepenuhnya tidak mungkin tanpa kesiapan Sarah sendiri untuk menerima kenyataan yang menyakitkan. Usahanya harus berfokus pada satu hal penting, yaitu membantu Sarah menerima dan berdamai dengan masa lalunya. Trauma mendalam Sarah, yang berasal dari kehilangan anaknya, membuat jiwanya menolak kenyataan pahit itu, dan di situlah Anya harus mulai.
Anya kembali ke rumah dalam diri Sarah, kali ini dengan pandangan baru. Alih-alih memaksakan diri memperbaiki semua yang rusak, dia memutuskan untuk berhenti sejenak dan merenungkan setiap retakan dan kerusakan yang ada. Ruangan-ruangan yang sebelumnya terasa mengintimidasi kini tampak lebih seperti peta luka, masing-masing menceritakan kisah tersendiri.
Dia memulai di ruangan kecil tempat gadis kecil itu sering muncul. Ruangan itu masih sama, penuh debu tebal dan dinding-dinding yang retak. Namun, kali ini Anya tak langsung mengambil peralatan untuk memperbaikinya. Dia duduk di lantai yang dingin, menatap gadis kecil yang kembali muncul dengan boneka usang di tangannya.
“Kenapa kamu tidak memperbaikinya?” tanya gadis itu, suaranya datar, tapi menyimpan kedinginan.
“Aku tidak bisa memperbaiki ini sendirian,” jawab Anya, pandangannya lembut menatap gadis kecil itu. “Sarah harus ikut memperbaikinya. Dia harus siap untuk melepaskan rasa sakit itu.”
Gadis kecil itu terdiam. Boneka di tangannya jatuh ke lantai dengan bunyi yang nyaris tak terdengar, tapi bagi Anya, itu seperti langkah kecil menuju keterbukaan. “Dia tidak bisa,” ucap gadis itu akhirnya, suaranya terdengar rapuh. “Kalau dia melepaskannya, dia akan kehilangan segalanya. Itu satu-satunya yang dia punya.”
Anya memahami dengan baik—trauma Sarah telah menjadi jangkar. Meskipun menyakitkan, itu adalah cara Sarah untuk merasa dekat dengan anaknya. Melepaskan rasa sakit itu mungkin terasa seperti kehilangan bagian terakhir dari kenangan tentang anaknya.
“Kita tidak harus melupakan,” kata Anya dengan penuh empati. “Tapi kita bisa memilih untuk tidak terus terjebak dalam rasa sakit. Kenangan itu akan tetap ada, tetapi rasa sakitnya tidak harus mendominasi hidup kita.”
Anya berdiri perlahan dan mendekati gadis kecil itu. Ia berlutut di hadapannya, matanya menatap lembut dalam-dalam. “Kamu adalah bagian dari Sarah yang dulu, sebelum semuanya berubah. Bagian yang masih percaya pada kebahagiaan, pada masa depan. Aku tahu semuanya sulit dan gelap sekarang, tapi kita bisa mencoba memperbaiki sedikit demi sedikit. Kamu harus membantuku. Kita melakukannya bersama-sama, ingat?”
Gadis kecil itu mengangguk pelan. “Bersama-sama,” katanya dengan suara yang lebih lembut.
Anya tersenyum hangat. "Bersama-sama," bisiknya.
Di hari-hari berikutnya, Anya bekerja lebih pelan, lebih sabar. Dia tidak lagi memaksakan perbaikan fisik pada rumah itu, tetapi fokus untuk membuat Sarah lebih terlibat dalam proses tersebut. Dia mulai memperbaiki hal-hal kecil seperti membersihkan jendela agar cahaya bisa masuk ke dalam ruangan, memperbaiki kursi yang rusak, dan memoles lantai yang dipenuhi debu.
Setiap kali Anya memperbaiki sesuatu, gadis kecil itu ada di sana. Awalnya, dia hanya berdiri diam, tapi seiring waktu, dia mulai membantu Anya membersihkan debu dari sudut-sudut ruangan atau merapikan barang-barang yang berserakan. Meskipun perlahan, perubahan mulai terasa. Cahaya di dalam rumah mulai lebih sering masuk, walaupun ada bagian yang masih gelap dan penuh retakan.
Satu hal yang membuat Anya sadar bahwa ada kemajuan adalah ketika dia menemukan ruangan yang penuh dengan foto-foto keluarga. Dindingnya penuh dengan bingkai-bingkai berdebu, foto-fotonya retak, tapi jelas. Saat Anya melihatnya, Sarah muncul di sampingnya—versi dewasa dari Sarah, dengan tatapan yang penuh luka dan rasa bersalah.
“Aku bahkan tidak bisa melihat mereka lagi,” kata Sarah dengan suara serak, matanya terfokus pada satu foto anaknya yang tersenyum lebar. “Setiap kali aku melihat wajahnya, semua rasa sakit itu kembali.”
Anya mendekati Sarah, berdiri di sampingnya. “Rasa sakit itu nyata. Aku tahu. Tapi senyuman anakmu dalam foto ini juga nyata. Itu adalah bagian dari kenangan yang tidak harus hilang hanya karena kamu merasa bersalah.”
Sarah terisak pelan, air matanya mulai mengalir. Ini adalah pertama kalinya Anya melihat Sarah menangis—bukan air mata penyesalan atau kesedihan, tapi air mata penerimaan. Sarah mulai menyadari bahwa dia tidak perlu melupakan anaknya untuk bisa berdamai dengan kehilangannya.
Waktu berlalu, dan rumah dalam diri Sarah mulai berubah sedikit demi sedikit. Ruangan yang tadinya penuh kegelapan sekarang dipenuhi cahaya lembut, dan meskipun ada retakan di sana-sini, retakan itu kini menjadi bagian dari cerita yang dihidupkan kembali, bukan lagi sekadar simbol kehancuran.
Anya dan gadis kecil itu terus bekerja sama, memperbaiki hal-hal kecil, memperlambat kejatuhan rumah. Pada akhirnya, gadis kecil itu tersenyum untuk pertama kalinya. Anya tahu, itu adalah tanda bahwa Sarah mulai menerima kenyataan dan membuka dirinya untuk penyembuhan.
Namun, ada satu ruangan terakhir yang belum disentuh—ruangan tempat kenangan terburuk Sarah berada. Ketika Anya memasuki ruangan itu, dia merasakan beratnya rasa kehilangan dan rasa bersalah yang terkumpul di sana. Ruangan itu kosong, kecuali untuk satu tempat tidur kecil yang penuh debu.
Sarah muncul di belakang Anya, kali ini tanpa keraguan. “Aku harus melepaskannya, bukan?” tanyanya pelan.
Anya mengangguk. “Melepaskan tidak berarti melupakan. Itu berarti menerima bahwa masa lalu ada di sana, tapi masa depan masih bisa kamu bangun.”
Sarah berjalan mendekati tempat tidur kecil itu, tangannya gemetar saat menyentuh kain debu yang menyelimutinya. Dengan napas dalam, dia perlahan menarik kain itu, memperlihatkan tempat tidur yang dulunya milik anaknya. Sarah memandang tempat tidur itu dengan tatapan pilu, tapi kali ini, tidak ada penolakan. Dia menerima bahwa kenangan itu akan selalu ada, tapi tidak akan menghancurkannya lagi.
Cahaya dari jendela yang baru dibersihkan menerobos masuk, menyinari ruangan tersebut. Anya menyaksikan saat rumah itu, untuk pertama kalinya, terasa utuh—bukan tanpa luka, tapi utuh dengan penerimaan.
Dengan rumah Sarah yang sekarang kembali berdiri, meski tidak sempurna, Anya tahu tugasnya sudah selesai. Sarah tersenyum, meskipun masih ada kesedihan di matanya, tapi ada harapan baru yang menyelinap di sana. Anya berpamitan pada Sarah dan gadis kecil itu.
“Tugasku hanya sampai di sini. Selanjutnya, semuanya ada di tangan kalian,” kata Anya dengan lembut.
“Terima kasih,” jawab Sarah dengan tulus.
Anya mengangguk dan tersenyum hangat. “Sama-sama.”
Dia kemudian meninggalkan rumah itu dengan keyakinan bahwa Sarah telah menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidupnya. Sarah kini siap membawa kenangan anaknya tanpa dibebani rasa bersalah, dan mulai membangun masa depan yang lebih cerah.
Perjalanan Anya dalam memperbaiki rumah dalam diri Sarah akhirnya selesai, tetapi Anya tahu, masih banyak rumah lain di luar sana yang menunggu untuk diperbaiki.
Anya melangkah keluar dari rumah Sarah, dan untuk pertama kalinya, dia merasa ringan. Rumah yang dulu penuh dengan kegelapan, retakan, dan rasa sakit kini terasa berbeda. Meski tidak sempurna, rumah itu telah berdamai dengan retakan-retakannya, sama seperti pemiliknya yang kini mulai berdamai dengan masa lalunya.
Beberapa hari kemudian.
Di dunia nyata, Sarah perlahan-lahan membuka matanya setelah sesi terapi yang dia jalani selama ini. Ia merasa perubahan itu. Tidak ada keajaiban yang tiba-tiba menghapus rasa sakitnya, namun untuk pertama kali dalam waktu yang sangat lama, ia tidak merasa tercekik oleh kenangannya. Trauma kehilangan anaknya masih ada, tapi kini Sarah bisa menatap foto anaknya dengan senyum tipis—bukan senyum penuh kebahagiaan, tapi senyum yang menandakan penerimaan.
Dari jauh luar ruang rawat Sarah, Anya diam-diam melihatnya sambil tersenyum lega.
Anya tahu, perjalanan Sarah masih panjang. Namun, langkah pertama sudah dimulai, dan itu adalah yang terpenting. Di dunia bawah sadarnya, Sarah kini punya kekuatan untuk terus memperbaiki rumahnya sendiri. Bukan dengan menghapus kenangan anaknya, tapi dengan belajar hidup bersama kenangan itu tanpa tenggelam dalam rasa bersalah.
“Lagi-lagi kau di sini, Anya,” Firly mendekat, menepuk bahu temannya.
“Syukurlah dia sudah sadar,” kata Firly, ikut melirik ke dalam ruangan tempat Sarah berada.
Anya mengangguk ringan. “Tugas kita sudah selesai. Ayo pergi,” ucap Anya sambil melangkah menjauh.
“Kau yang setiap hari terus mengecek keadaan Sarah, tentu saja sekarang lega, kan?” Firly menggeleng, tersenyum melihat perhatian yang Anya berikan pada pasiennya.
“Hei, tunggu aku!” Firly berlari mengejar Anya yang sudah berjalan lebih dulu.
Di luar gedung The Inner Haven, Anya berhenti sejenak, menengadah ke langit cerah. Udara segar memenuhi paru-parunya, membawa perasaan damai yang jarang ia rasakan.
“ANYA!” Sebuah teriakan terdengar dari arah gedung.
Anya menoleh dan melihat Firly serta Alan berlari menghampirinya.
“Kau mau bersenang-senang tanpa kami, ya?” Alan bercanda dengan ekspresi jenaka.
Anya tersenyum cerah. “Ayo, kemarilah,” katanya.
Alan dan Firly berlari mendekat dengan tawa dan senyum cerah. Kasus sulit mereka telah selesai.
Namun di kejauhan, sebuah rumah lain menunggu. Mungkin rumah yang penuh dengan luka, trauma, atau rasa sakit yang berbeda. Tapi kali ini, Anya melangkah maju dengan keyakinan baru—setiap rumah bisa diperbaiki, selama ada keinginan untuk berubah.
Dia tersenyum, siap menghadapi kasus baru. Tidak ada rumah yang benar-benar hilang, selama masih ada harapan dan keberanian untuk memperbaiki. Dalam diri setiap orang yang datang padanya, Anya tahu, ada peluang untuk menyembuhkan, dan itulah yang membuatnya terus melangkah.
Dan dengan itu, Anya melanjutkan perjalanannya. Bukan sebagai tukang perbaikan rumah biasa, tapi sebagai penyelamat jiwa, dan di setiap rumah yang diperbaikinya, ada harapan baru yang tumbuh.
TAMAT