Masukan nama pengguna
Your documents, photos, databases and other important files have been encrypted!
Teks pesan itu terus terngiang di kepalaku, memberikan efek menohok berkali-kali, seperti migrain yang tidak bisa diobati. Bahkan ketika kutinggalkan layar sejenak untuk merenggangkan pinggang yang kaku akibat dipeluk pegal seharian, kata-kata bernada ancaman itu tetap enggan beranjak pergi dari benakku.
You only have 72 hours. After that you won’t be able to recover your files forever.
Ini adalah malam ketiga sejak serangan siber itu mengenkripsi semua data dalam komputer induk server perusahaan. Artinya hanya dalam hitungan beberapa jam lagi, yaitu besok pagi, seluruh database penting tak akan bisa dibuka, atau bahkan hilang selamanya. Cara kerjanya, kuharap salah, pada waktu yang telah mereka tentukan itu virus yang telah menginfeksi setiap file akan otomatis merusak dirinya sendiri sekaligus merusak file yang mereka hinggapi. Hingga detik ini aku berharap itu hanya isapan jempol saja. Tentu tujuan utama mereka mendapat bayaran, bukan?
Decryption key to save your files is on us. You just have to pay in …
Lanjutan pesan itu mencantumkan sejumlah nilai dalam cryptocurrency yang harus dibayar guna menebus kunci pemulih semua data. Nominal dan jenis mata uang kripto yang terpampang itu sangat besar, sungguh terlampau besar untuk membayar pembajak siber nan licik macam mereka. Lebih jauh, setelah dibayar pun tak ada jaminan mereka akan segera memberikan decryption key yang dijanjikan. Kalaupun disanggupi, itu hanya akan membuat mereka semakin semangat untuk mengulangi kejahatan serupa di kemudian hari.
Aku pun teringat pesannya: “Langkah pertama menghadapi pemeras adalah jangan pernah mengabulkan permintaan pemeras itu.”
###
“Aku mau tetap di sini malam ini!” serunya tegas.
“Ayolah, Tasya, ini sudah terlalu larut. Tak ada jaminan juga semua bisa selesai malam ini,” pintaku. Tasya adalah bagian dari timku, tentu saja aku bertanggung jawab atas dirinya.
“Aku juga bagian dari tim ini. Aku harus membantu.”
Aku tak bisa memaksa. Lebih tepatnya, berdebat dengan gadis keras kepala itu hanya akan menghabiskan waktu yang sejatinya bisa kugunakan untuk fokus menyelesaikan serangan siber yang sudah menguras energi kami beberapa hari terakhir.
Aku memilih opsi itu.
Entah dari mana asalnya, di pagi yang biasa-biasa saja itu, dua hari yang lalu, seluruh komputer induk pengendali server lumpuh total. Dalam sekejap semua data berubah format menjadi file baru dengan ekstensi “.GXDE” yang belum pernah ditemui sebelumnya. Imbasnya, semua website internal tak bisa diakses, juga website eksternal tak bisa digunakan oleh pelanggan karena user ID database juga terenkripsi.
Kocar-kacir seluruh pegawai Unit IT memutus sambungan dan jaringan internet secara manual, berharap serangan ransomware itu tidak menjangkit lebih jauh.
Kecurigaanku tersemat pada terlalu bebasnya penggunaan perangkat laptop yang kini dimiliki setiap pegawai. Sejak berlakunya jadwal work from home, semua orang bisa membawa masing-masing laptop mereka ke luar kantor. Di luar sana, jelas penggunaannya tidak bisa sepenuhnya dikendalikan. Komplotan peretas itu bisa masuk melalui e-mail phising, pengunduhan file dari situs ilegal, atau penggunaan VPN yang tidak aman. Dan mencari penyebab serta pelaku pertama di antara ratusan karyawan jelas seperti mencari sebatang korek di tumpukan batu bara. Aku memutuskan, Unit IT Risk harus terlebih dahulu bekerja untuk megaktifkan back up database, mengalihkan layanan pelanggan ke server cadangan, kemudian mencari cara untuk memulihkan server utama.
Semakin berlalu waktu, jam demi jam yang terus mendekati batas waktu yang diberikan para peretas semakin membuatku seolah ingin meledak. Sebagai ketua tim IT Risk, pengamanan atas kinerja server dan jaringan menjadi tanggung jawabku. Aku merasa bodoh karena sudah lengah, lalai dan abai terhadap penjagaan yang kukira sudah kuat dan aman.
“EaseUS sudah?” tanyaku pada Donny, salah satu anggota tim.
“Recuva juga sudah, Bro. Gak ada yang berhasil.”
Bukan tanpa usaha, seluruh tim sudah menjalankan berbagai cara untuk memulihkan semua data. Namun nihil hasilnya. Segala jenis decryptor sudah dijalankan tapi tetap tidak bisa memecahkan kode enkripsi milik peretas. Bahkan cara terakhir sudah digunakan: melaporkan ke lembaga No More Ransom, berharap betul mereka punya solusinya. Namun meminta solusi ke lembaga nirlaba tentu tidak bisa berharap cepat. Apalagi manajemen memberikan statement untuk membereskan masalah ini sebersih mungkin dan tanpa tambahan biaya. Ya, aku pun sudah muak dengan birokrasi anggaran di kantor ini.
Hingga detik ini, semua buntu. Dengan kata lain, hanya dalam hitungan beberapa jam ke depan, jika ancaman si peretas menjadi nyata, maka karierku akan jadi taruhannya. Kalau hanya itu konsekuensinya, mungkin aku masih bisa menerima. Namun jika kejadian ini mengancam kelangsungan kerja anggota timku, aku akan merasa bersalah sepanjang hidupku.
Terlebih, ada dia di timku ini.
Keras kepalanya hanya menambah beban pikiranku. Sejak awal ransomware ini menyerang, kebijakanku adalah bahwa setiap anggota tim perempuan harus pulang sebelum larut, sedangkan yang pria harus tetap di kantor untuk berjaga dari serangan lanjutan, juga mengamankan database yang masih bisa diselamatkan. Bukan aku meremehkan perempuan, tapi memang harus ada pembagian waktu bertugas. Ketika yang pria sudah lelah akibat berjaga semalam suntuk, tenaga anggota perempuan sangat dibutuhkan di pagi harinya.
Namun malam ini dia sungguh memaksa.
“Aku gak yakin ini bakal berakhir sesuai harapan.”
“Memang mau berharap apa? Manajemen mengira kita adalah sekelompok dewa yang bisa mengubah keadaan, hanya dengan bekerja semalaman.”
“Setidaknya kita sudah mencoba sebisanya.”
Seandainya dia tahu kalau semua yang telah kami jalankan sepanjang hampir tiga malam itu sungguh sangat jauh dari kata berhasil, jika tak ingin disebut sia-sia. Hampir tak ada resep mujarab melawan serangan ransomware, karena para peretas selalu menciptakan kode enkripsi teranyar di setiap serangan barunya. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah memitigasinya. Melakukan back up data secara berkala, selalu melakukan pembaruan pada aplikasi antivirus, dan mengamankan seluruh akses masuknya perangkat liar ke komputer yang bisa terhubung dengan jaringan internal.
“Cantiknya ….” Lembut suara Tasya membuyarkan lamunku.
Setengah jam yang lalu, dengan dalih melepas sejenak penat, kuajak Tasya melarutkan diri bersama dalam seduhan kopi. Hanya berdua. Dia menyambut tanpa ragu. Anggota tim lain terlalu fokus untuk kuganggu. Atau bisa jadi mereka “sudah tahu” dan memberi kesempatan untuk aku dan Tasya saling berbagi hangat.
“Tidak kusangka saat malam pemandangan dari sini begitu menawan,” kagumnya lagi.
“Beberapa malam ini aku selalu melihatnya. Ya, tempat favorit untuk menyepi, lah.”
Dan aku tak pernah menyangka kan menikmati ini bersamamu, Tasya.
Kopi di gelasku dan gelasnya sudah menghangat menuju dingin. Dari balik jendela tempat kami berdiri (dan memang seluruh gedung ini dibentengi kaca jendela), lampu-lampu di jalan utama ibu kota menyisipkan syahdu. Menyematkan candu. Protokol yang tadinya padat oleh mimpi dan ambisi khas manusia metropolitan, kini beralih sepi yang bahkan lebih senyap dari mimpi. Citra itu berhasil menghadirkan lanskap yang begitu manis. Layar LED jumbo di gedung seberang menampilkan pariwara tanpa jeda, gedung-gedung gelap dengan beberapa titik lampu yang menyala, berpadu dengan kerlip merah dari tombak-tombak penangkal petir di setiap bangunan menjulang yang saling padang-padam bergantian, menciptakan harmoni yang menggugah romansa.
Sejenak aku coba melupakan jika malam ini kami sedang bekerja. Nuansa itu seperti ironi yang memaju-mundurkan yakinku. Gadis berhidung manis itu kini membuang pandangannya menuju entah. Mata lentiknya membahasakan sesuatu yang aku pun tak mengerti. Dari sudut tatapku, Tasya terlihat begitu menggoda asa. Pantulan lelampu yang binar di matanya, juga bibirnya yang sedikit terbuka seakan siap mengatakan “Ya” jika di detik itu aku menyatakan “Maukah kamu mendampingi hatiku?”.
Haruskah kunyatakan sekarang? raguku menggoda.
Tepatkah saatnya? Di tengah serangan siber ini?
“Tasya.”
“Ya?” cergasnya seraya beralih menatapku. Kibasan rambut sebahunya menampar kagumku. Tatapannya begitu dalam, seolah menaruh harap sekaligus tidak sabar untuk membantuku mengeja kata cinta.
Suaraku tercekat kelu. Berusaha kudobrak dinding ragu itu, segera melayangkan tanya yang akan menyelesaikan semua pergulatan rasa:
“Sekarang jam berapa?” Sial. Aku gagal.
“Jam sepuluh,” jawab Tasya setelah mengintip jam tangannya dalam raut yang (sepertinya) kecewa.
“Ayo balik. Donny dan lainnya pasti sudah mencari-cari kita,” ucapnya, kemudian bergegas pergi memungkas kegagalanku.
###
Arlojiku menunjukkan tepat pukul satu dini hari, ketika kusadari Tasya tidak berada di ruang server. Mungkin ke toilet, gumamku dalam hati. Kutepis prasangka bahwa dirinya tengah menjauh setelah peristiwa beberapa jam yang lalu itu. Toh, aku dan Tasya kembali ke ruang server bersama, melanjutkan kerja seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Di pojok sana Donny sudah terkapar dalam lelap di atas lantai beralaskan karpet, hanya berbantalkan jaket dan berselimut dekapan tangannya sendiri. Kondisi itu sudah cukup menggambarkan betapa lelah dirinya. Sama seperti aku dan lainnya. Tiga anggota tim yang lain terpekur masing-masing di hadapan laptopnya, masih berkutat melakukan hal yang sama: mencadangkan sebanyak mungkin data dan terus berupaya agar website eksternal bisa diakses lagi.
Dengan komputer induk server di hadapanku, kusandarkan punggung dan kepala pada kursi kerja yang sudah dua hari tiga malam terakhir menemaniku. Merenggangkan kaku, meluruskan tengkuk yang tegang dirangkul pegal. Serangan malware belum cukup membebaniku, ditambah kegagalan pernyataan rasaku pada Tasya beberapa jam yang lalu itu, seperti
Kuputuskan rehat kembali.
Baru sesaat kupejamkan mata, tiba-tiba aroma nikmat melintas di hidungku. Syahdu kuhirup wangi itu dalam pejam, seolah kutemui dia dalam mimpi. Aroma itu menggugah gairah, membangkitkan semangat dan mengundang seleraku yang memang sudah kelaparan sedari tadi.
“Late dinner time!!!” Aku tercekat sadar setelah mendengar seruan Donny. Dia sudah lebih dulu bangkit dari lelap.
Belum cukup aku tertegun, kemudian kulihat Tasya muncul dari ambang pintu membawa nampan yang penuh berisi mangkuk dan piring. Serentak aku dan seluruh anggota tim terundang untuk berkumpul di meja tengah, tempat yang selalu dijadikan lokasi diskusi.
“Tasya? Kamu?”
“Malam ini spesial, aku yang masakin buat kalian,” jawabnya menampar raguku.
“Cuma mi instan, ya. Gue buka chef.”
Aku menatapnya. Tasya balas menatapku, lalu menyimpulkan senyum. Semua baik-baik saja. Aku yakin begitu.
Sejatinya ini bukan yang pertama. Setiap malam sejak ransomware itu menyerang, kami selalu menyempatkan berkumpul di tengah kesibukan menikmati kudapan malam. Bukan sekadar menuntaskan lapar, semangkuk kehangatan itu mampu mengusir lelah, mengembalikan mood yang sempat redup, dan memompa semangat untuk kembali bekerja keras. Namun biasanya office boy yang menyiapkannya untuk kami. Malam ini berbeda. Kusadari, kehadirannya kini kini terasa semakin spesial.
“Dua mi rebus buat Dika dan Alfa, yang mi goreng buat Lutfi, dan ini mi kuah tambah cabe buat kamu, Donny. Sudah pedas banget itu, awas kalau habis makan molor lagi.”
Obrolan ringan yang diselingi tawa membuat semua anggota tim dapat sejenak melupakan beban dan tekanan kerja, merelaksasi hati, membawa kami menepi dari tegangnya pikiran dan hati.
“Maaf, yang pakai telur cuma satu, ya,” ujar Tasya sambil menyiapkan piring terakhir dari nampan itu. Lagi-lagi gadis itu membuatku tertegun. Kupikir itu untuk dirinya sendiri, tapi dia malah menyodorkan piring berisi mi goreng dengan telur di atasnya itu kepadaku.
“Untuk supervisor kita, yang sudah berusaha keras hingga hari ini, the one and only, Rizal Gunadi.” Kuterima dengan tangan terbuka. Melihat porsinya, aku langsung tahu apa yang tersaji di piring itu.
“Mi goreng dobel pakai telur? Seleraku banget ini. Thanks, ya, Sya.”
“Asyik …, sudah tahu banget seleramu, Bro” ujar Donny, “bisa kali jabatan Tasya naik jadi Bu Rizal.” Aku pun tahu, Donny memang jahil dan penggoda yang ulung. Keberadaannya membuat timku sungguh berwarna dan menghadirkan keakraban yang tidak membosankan. Mendengar godaan dari Donny itu, Tasya sigap langsung menyodorkan sendok ke mulutnya.
“Tinggal makan aja, berisik banget.” Tawa pun pecah. Namun Tasya tak bisa menyembunyikan rona tersipu dari wajahnya itu. Malam yang seharusnya dingin kini menghangat.
“Setiap orang punya selera, dan mi goreng resep begini udah gue banget,” sebutku.
“Seandainya,” timpal Tasya, “masalah kita saat ini bisa diselesaikan dengan selera kita. Pasti seru, ya.”
Kali ini aku terperanjat oleh ucapannya. Sejenak kurenungkan semua kemungkinan, lalu aku pun segera beranjak. Kuletakkan piring yang masih bersisa separuh porsi itu.
“Tasya.”
“Ya?”
“Idemu itu sungguh brilian!”
Saat dia dan anggota tim masih saling berpandangan karena bingung dengan ucapanku, aku sudah meraih laptop pribadiku. Kunyalakan dalam fitur safe mode, kemudian kujalankan aplikasi decryptor yang sejak awal sudah ada di sana. Decryptor itu sebenarnya bukan aplikasi baru, dan Lutfi pun sudah mencoba menggunakannya. Namun dia gagal di percobaan pertama. Kali ini berbeda, karena decryptor pada laptopku itu sudah kumodifikasi sehingga bisa membaca histori data yang masuk ke server melalui jaringan LAN.
Akan kuselesaikan sesuai seleraku!
“Apa kali ini bakal bisa?” tanya Lutfi.
“Konsekuensinya hanya ada dua.”
“Apa itu?”
“Jika berhasil kita akan dapat kode pembuka enkripsi, tapi kalau gagal maka ransomware itu bakal menginfeksi data di laptopku.”
“Kamu gak apa-apa?” Kini Tasya yang bertanya. Ada kekhawatiran di sana.
“Ini risiko yang pantas kita ambil,” tegasku.
Aku mengetik beberapa kode perintah, lalu memastikan kembali tidak ada satu huruf pun yang tertinggal. Semua siap. Kusambungkan kabel LAN ke laptopku.
“Donny, pada aba-abaku, sambungkan kabel LAN itu ke komputer utama.”
“Siap!” seru Donny. Dia pun bergegas menuju komputer utama dan mempersiapkan perangkat yang dibutuhkan. Aku mengetik kode perintah terakhir, lalu berdoa.
“Sekarang!”
Kabel LAN pun terhubung. Saat kupastikan kedua komputer sudah terjalin, segera kutekan tombol Enter untuk mengeksekusi perintah. Sisanya adalah menunggu.
Semua mata tertuju ke laptopku. Lambat garis biru di layarku itu berjalan, membawa kami dalam kecemasan. Detik berjalan perlahan, seiring persen demi persen decryptor itu menunjukkan progresnya. Pada saat indikator memasuki angka 90%, semua hening. Ruangan benar-benar senyap dan hanya menyisakan dengung power supply server yang membuat saat-saat menentukan itu terasa sangat menegangkan.
Decryptor pun selesai menjalankan proses.
Semua masih terdiam saat aku berbalik di kursi kerjaku. Semua kini beralih menatapku, ingin memastikan apa yang sudah terjadi.
“Proses selesai. Kita berhasil. Kerja bagus semuanya.”
“Horeee!!!” seru Donny memecah keheningan, kemudian mengajak semua anggota tim berpelukan merayakan kemenangan. Berkumpul dan berputar menyanyikan Campione seolah baru saja menjuarai sebuah lomba yang melelahkan.
Saat kami melepas peluk, sejenak berselang dari perayaan itu, kutemukan mata Tasya sedang memandangku dalam binar yang bahagia. Bagiku, selebrasi ini belum usai. Kuraih tangannya, kutarik tubuhnya ke arahku, lalu kudekap dirinya. Seperti menyimpulkan semua rasa, Tasya membalas pelukanku itu dengan merangkulkan kedua tangannya di punggungku.
Kerja ini sama sekali belum selesai, bahkan baru akan dimulai. Namun kemenangan melawan peretas adalah loncatan yang hebat sekaligus sebuah langkah besar untuk kelangsungan perusahaan dan timku ini.
Dan yang lebih spesial, itu semua berkat kehadirannya.
###
Lanskap malam dari balik jendela itu masih sama indahnya. Deret lelampu dari jalan dan gedung-gedung sekitar masih menampilkan harmoni yang menyusupkan syahdu. Juga rindu. Semuanya masih sama, bahkan segelas kopi yang menemaniku dalam hangat kenangan dan penyesalan. Karena semua masih sama, kecuali dirinya.
Selepas malam yang menyandingkan keberhasilan dan kegagalan itu. Sikap Tasya sepenuhnya berbeda. Keakraban kami masih sama, profesionalisme juga berjalan tanpa cela. Yang berbeda hanya dirinya yang selalu menjauh dari terciptanya kesempatan kedua bagiku. Ragu kini menghujamkan kelu, apa benar Tasya sekecewa itu padaku?
Tasya lalu menegaskan jawabnya tanpa sepatah pun kata. Dua bulan sejak hari itu, dia mengajukan pengunduran diri. Dengan alasan yang professional, tak mungkin kuutarakan pertanyaan “apa karena aku?” yang malah bisa membekaskan canggung. Aku tak mau melepasnya dengan cara itu. Aku masih berharap, tentu saja, kesempatan itu akan datang di waktu dan jalan berbeda.
Setidaknya selama enam bulan harapan itu kupelihara. Dan akhirnya hanya berujung sia-sia.
Kumatikan lampu ruangan itu setelah membereskan semuanya dan bersiap pulang. Meninggalkan gelap di seluruh lantai, mengingat aku yang terakhir beranjak. Sebelum kututup pintu, aku terdiam sejenak, kembali menatap sebuah benda yang kubiarkan tergeletak di atas meja. Sebuah undangan pernikahan yang ditujukan untukku. Pada tampak mukanya tertulis nama “Tasya & Donny”.
Kututup pintu. Lalu pulang.
TAMAT