Masukan nama pengguna
Tidak ada manusia yang sempurna tanpa cacat. Apalagi cacat dalam cerita orang lain.
Budi menembus gelap malam bersama dua tetangga yang dia percaya demi menjemput putrinya di sebuah tempat. Belakangan baru dia tahu bahwa putrinya bekerja di sebuah tempat dimana lelaki hidung belang melampiaskan hawa nafsunya. Sialnya, putrinya lupa meminum pil KB hingga akhirnya dia harus menanggung sebuah aib. Seorang janin telah berkembang di rahimnya tanpa diketahui pasti siapa ayah biologisnya.
"Kenapa sampai lupa?" gertak seorang perempuan dengan tubuh suburnya. Perutnya bergelambir membentuk beberapa lekukan. Baju pres body yang dia kenakan semakin memperjelas lekuk-lekuk tubuh namun tidak menggoda itu. Dia lah bos besar dimana di bawahnya banyak bernaung anak buah yang menggantungkan hidup dengan mencari nafkah di tempat tersebut.
"Kamu itu aset paling berhargaku. Langgananku banyak yang memesan kamu. Kalau kamu pulang, menurun lah penghasilanku," marahnya.
Diolesnya lipstik warna merah segar ke bibirnya. Namun bukannya malah terlihat menawan, yang ada orang-orang tambah geli melihatnya. Dia terlihat seperti habis makan ayam hidup-hidup. Andai dia tidak memiliki kuasa di tempat itu, sudah pasti dia tidak ada harganya.
"Tapi bapak saya mau jemput saya pulang, Bos," ucap Santi sambil sesekali menggigit bibir. Dia tahu perempuan itu pasti menahannya dan menawarkan jalan lain dari masalahnya.
"Untuk apa pulang. Gugurin saja beres. Kamu bisa lanjut kerja lagi. Nggak sayang apa sama karirmu disini?" ucapnya seolah karir disitu adalah sesuatu yang pantas untuk dipertahankan.
"Saya mau pulang, Bos. Saya mau tobat. Saya nggak mau ngasih makan orang tua saya pakai uang haram terus. Mungkin kehamilan saya ini adalah teguran agar saya berhenti dari pekerjaan ini."
"Halah bulshit. Jangan-jangan kamu mau pindah ke tempat lain yang iming-iming hasilnya lebih besar. Dan kehamilanmu itu hanya alibi saja. Baru kali ini ada pelac*r nggak mau gugurin kandungannya. Jangan coba-coba membodohiku!" perempuan itu berkacak pinggang.
Dia paling benci dihianati. Pernah suatu waktu ada salah satu anak buahnya yang berhenti bekerja di tempatnya dan beralih ke tempat lain, dia yang tidak terima berusaha memburu hingga ketemu dan membuat perhitungan.
Namun Santi sedikit pun tidak ada niat untuk berhianat. Dia benar-benar ingin pulang dan pensiun dari pekerjaan haram itu. Dia tidak mau menggugurkan kandungannya karena tidak ingin menambah dosa. Biarlah dia akan mempertahankan, melahirkan dan merawat anak itu hingga besar. Meski mentalnya akan dipertaruhkan. Anggap saja semua itu bentuk dari pertanggungjawaban atas kesalahannya.
"Sudah aku bilang kalau sudah nyemplung disini susah untuk keluar," bisik salah satu teman yang berdiri di sampingnya.
"Tapi aku benar-benar ingin pulang, Mbak."
"Aku ingatkan kamu sekali lagi. Setelah kamu pulang nanti, hari-hari yang akan kamu jalani akan sangat berat. Akan banyak orang yang membicarakanmu bahkan tidak menghargaimu. Efeknya nggak cuma di kamu saja. Tapi di keluarga kamu juga. Apalagi kamu pulang dalam keadaan hamil tanpa suami. Lidah orang-orang desa itu tajam lho. Kamu nggak mau pikir-pikir lagi?"
"Jangan sampai nanti namamu jadi berita di koran. Seseorang telah bunuh diri karena tak kuat menahan tekanan batin dari orang-orang sekitar."
Santi tergugu. Dia berusaha membulatkan tekat beberapa kali meski mendapat banyak peringatan dari teman-temannya agar tidak pulang. Sepenuhnya dia menyadari bahwa apa yang diucapkan teman-temannya ada benarnya. Namun Santi berpikir ulang, kalau tidak sekarang lalu kapan lagi. Bisa jadi besok dia mati dan belum sempat bertobat. Maka dia putuskan meski dengan resiko berat, dia tetap memilih jalan untuk pulang.
Budi yang melihat keadaan putrinya beberapa kali mengusap air mata di kedua pipi. Dia tak menyangka anak yang sering dia banggakan bisa terperosok ke dalam tempat tak seharusnya itu.
Awalnya Santi hanya bilang dia ke kota untuk bekerja di sebuah pabrik. Tidak ada kecurigaan di hati Budi maupun istrinya jika anaknya melakukan pekerjaan haram. Yang penting dia sering pulang dan membawa uang dalam jumlah besar. Pikirnya anaknya berhasil menjadi orang sukses. Itu saja.
"Maafkan aku, Ayah. Selama ini aku membohongi ayah," ucap Santi kemudian mulai terisak.
Tangan Budi merengkuh lembut putrinya yang tengah rapuh. Baginya saat ini tidak ada waktu untuk menyalahkan. Karena selama ini mereka bisa lepas dari jeratan hutang juga berkat hasil kerja keras Santi. Meski sekarang mereka harus meneguk kecewa.
"Sudah. Ayo pulang! Jangan lama-lama disini! Nanti cerita lagi di rumah."
Santi lega akhirnya dia berani mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat tersebut. Meski masalah baru sedang menantangnya untuk bisa berdiri kuat. Hamil tanpa suami bukanlah suatu hal mudah yang dihadapi.
"Nanti kalau ada tetangga yang tanya bilang saja kamu sudah nikah siri. Dan suamimu sedang kerja keluar pulau," pesan ayahnya. Santi mengangguk saja. Aib itu harus ditutupi. Kalau tidak, bisa habis nama baik keluarganya.
Di desa, Santi jarang keluar rumah. Tentu saja itu mengundang tanda tanya para tetangganya. Apalagi di desa, kita hidup berdampingan dengan CCTV hidup. Yang setiap gerak-gerik kita diawasi dengan ketat. Lengah sedikit saja, semua rahasia kita akan tercabut sampai ke akarnya.
Bulan berganti dengan cepat. Kehamilan Santi sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Dia juga bosan berdiam diri di rumah terus. Suatu hari dia ingin mencari udara segar. Dia pikir bekal alasan yang ayahnya berikan sudah cukup bisa digunakan untuk berjaga-jaga jika ditanya oleh orang-orang. Namun ternyata mereka lebih pandai diluar perkiraan Santi.
"Suamimu orang mana? Kok nggak pernah pulang? Jangan-jangan nikah siri itu cuma alasanmu saja. Aslinya anakmu itu nggak punya bapak. Kamu nggak jual diri kan di kota?" serang seorang ibu-ibu yang terkenal dengan lidah tajamnya. Namanya tersohor ke seluruh penjuru sebagai tetangga dengan predikat paling julid. Sialnya lagi kenapa Santi mendapat kesempatan untuk bertemu dengannya.
Baru saat Santi ingin menjawab, perutnya mengalami kontraksi. Santi urung membela diri. Dia berjalan cepat menuju rumah dan meminta ayahnya untuk diantar ke bidan. Benar dugaannya, jalan lahir sudah mengalami pembukaan. Hanya dalam hitungan jam, bayi itu lahir ke dunia dengan keadaan sehat. Bu bidan sendiri heran melihat persalinan yang sangat lancar itu. Bahkan dia tidak memerlukan induksi.
Seorang bayi cantik itu dia beri nama Nur Aini. Karena bagi Santi dia bagai cahaya yang membawanya kembali dari kegelapan.
Karena keadaan ibu dan bayi dinyatakan sehat, Santi membawa bayinya pulang. Orang tuanya senang mendapat seorang cucu yang sangat cantik dan berkulit putih seputih susu. Mungkin dia mewarisi gen ayah kandungnya.
Namun tragedi buruk terjadi di hari selanjutnya. Bayi itu mendadak biru dan berhenti bernafas. Santi menjerit histeris sambil jatuh ke lantai. Beberapa warga yang datang tidak semuanya menolong. Ada satu dua yang fokus menyiapkan ponsel untuk merekam moment tersebut.
Bayi itu mengalami sesak nafas dan nyawanya tidak tertolong. Hancur, hancur sudah perasaan Santi. Kehilangan bayi yang baru dilahirkannya dan dijadikan tontonan banyak orang.
Sementara sebagian warga menyiapkan pemakaman, beberapa ibu-ibu bergunjing saat melayat.
"Sudah benar bayi itu mati. Daripada kalau dia hidup, dia akan menanggung malu karena nggak punya bapak. Anak hasil jual diri. Sudah bagus diambil sama Tuhan."
Kalimat itu terasa perih. Lidah mereka menyayat dengan tajam. Seolah tidak ada ampun bagi seorang pendosa meski dia sudah memutuskan untuk bertobat.