Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,649
Rahasia Hamidah
Horor

Note!

Cerita di bawah ini mengandung kisah horor dan adat kepercayaan. Hati-hati bagi Anda yang memiliki riwayat penyakit jantung.

Cerita dalam cerpen ini merupakan salah satu isi kumpulan cerita Buku Mappabajik yang ditulis oleh Ainun Jariah. Ainun merupakan penulis kelahiran Makassar, 1995. Menyukai dunia tulis menulis sejak SMP. Dan sampai kini, setidaknya telah menerbitkan delapan buku yang terdiri dari berbagai genre. Di antaranya Novel, Kumpulan Cerpen, Puisi, Kumpulan Esai, Cerita Anak dan lainnya.

Cerita ini boleh jadi amat membekas bagi Anda terutama yang tinggal di wilayah Sulawesi Selatan. Ada berbagai kepercayaan yang masih dianut oleh sebagian orang tua. Entah kepercayaan itu benar atau tidak, namun nyatanya masih disimpan oleh sebagian besar masyarakat.

Ada yang memercayainya sebagai suatu peristiwa dan ada juga hanya sebatas kisah yang diceritakan secara turun temurun. Namun, Ainun dalam penceritaannya mampu membawa tokoh-tokoh mengisahkan dirinya sendiri. Dengan pembukaan kisah yang akan membuat pembaca penasaran hingga pada puncak problem dari sebuah cerita.

Alur dan setting dibuat lebih nyata begitu pun kosakata yang digunakan dalam cerita ini, begitu melekat dengan kita sebagai masyarakat Indonesia. Kita tak boleh menutup mata akan kisah lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pun, sepatutnya kita sebagai generasi harus mengingat dan menghargai kisah kisah lokal yang diceritakan oleh nenek moyang kita secara turun temurun. Terlepas dari apakah kisah itu fakta atau hanya sebatas khayalan untuk mengibur saja. Demikian.

Silakan membaca cerita pendek ini.

_________________________________________________________________________

WAJAH Sanusi terlihat berseri-seri. Ia sudah lama duduk di teras rumahnya, menanti sang kekasih turun dari mobil yang siap menyuguhkan senyumnya. Bagaimana tidak, hari ini istrinya Hamidah sedang dalam perjalanan pulang dari kampung sebelah. Sudah tiga bulan Sanusi tak bertemu istrinya. Hamidah baru saja pulang dari kampung orang. Tiga bulan lalu, ia meminta izin kepada suaminya untuk pergi memperdalam ilmu agama. Berbekal dukungan suaminya yang membuat Hamidah berani berangkat.

Setelah menunggu lama, sebuah mobil kijang berhenti di depan rumahnya. Sanusi langsung lompat dari tempat duduknya. Ia yakin dari atas mobil itu akan turun seorang perempuan yang akan melemparkan senyum ke arahnya.

Benar, itu adalah Hamidah. Senyum perempuan itu membuat Sanusi lebih mempercepat langkah demi menjemputnya di pinggir jalan. Setelah menyalami suaminya, Hamidah langsung memeluk Sanusi. Menggugurkan kerinduan yang telah bertumpuk di dada mereka.

***

BEBERAPA hari telah berlalu. Tak ada yang berubah dari Hamidah. Hanya wajahnya yang semakin terlihat cantik di mata Sanusi.

“Bagaimana di sana, Midah? Belajarmu bagus?” Tanya Sanusi kepada istrinya saat mereka sedang bersantai di ruang tamu.

“Baik, Mas, di sana menyenangkan,” ujar Hamidah singkat.

“Jadi bagaimana sawah kita, Mas. Apa tikus masih banyak berkeliaran di sana?" Tanya Hamidah mencoba mengalihkan topik.

“Semuanya baik-baik saja, cuma beberapa tikus nakal yang biasa tertangkap.”

Sanusi mengerutkan dahi. Ini kali ke tiga ia mencoba menanyakan perihal ilmu yang Hamidah dapatkan dari kampung sebelah. Namun selalu saja Hamidah seolah-olah menghindar dari pertanyaan lanjutan yang akan dilontarkan oleh Sanusi.

Akan tetapi, Sanusi berusaha berpikiran positif pada istrinya. Mungkin saja istrinya masih lelah setelah melakukan perjalanan jauh.

Uap kopi masih mengepul di atas gelas. Belum tersentuh sama sekali oleh Sanusi. Pikirannya masih khawatir, meski ia sendiri belum tahu apa yang harus dikhawatirkan.

***

SATU bulan telah berlalu. Sanusi mulai merasakan ada yang ganjil dengan tingkah laku istrinya. Hamidah lebih sering tidur terpisah dengan dirinya. Atau biasa juga saat ia bangun tengah malam, Hamidah tidak berada lagi di sebelahnya.

Termasuk malam ini ia tidak mendapati Hamidah di sampingnya. Karena penasaran, Sanusi memutuskan untuk mencari istrinya di dapur dan di kamar mandi. Tapi Sanusi tidak mendapati wajah istrinya di sana. Pikirannya mulai kusut. Ia mulai memikirkan hal-hal aneh tentang istrinya. Tetapi masih ada satu ruangan yang belum ia periksa. Kamar yang berada di dekat gudang rumahnya. Biasanya ia mendapati Hamidah di kamar itu sedang tertidur.

Dengan lincah, Sanusi menuju kamar itu. Saat Sanusi membuka pintu kamar, ia melihat tubuh istrinya sedang tertutupi kain putih dan bergerak.

Sanusi bernapas lega. Ternyata istrinya melakukan salat tahajjud. Sanusi langsung menepis pikiran kotornya terhadap istrinya dan bergegas mengambil air wudu.

Astaghfirullah, mengapa pikiran saya bisa sejahat ini?” Gumamnya.

***

KEESOKAN harinya tersiar kabar duka dari penduduk. Seorang anak ditemukan tewas di pinggir sungai. Dan di lehernya terdapat bekas gigitan. Belum diputuskan makhluk apa yang telah menggigitnya, yang jelas makhluk itu berhasil membuat bulu kuduk Sanusi berdiri.

“Midah, kamu dengar berita duka dari kampung sebelah? Katanya anak dari salah satu penduduknya meninggal karena digigit makhluk aneh.”

“Ah, serius Mas?"

“Iya aku serius,” jawab Sanusi meyakinkan Hamidah.

“Mungkin saja itu gigitan anjing. Mas tahu sendirilah di sini kan banyak anjing.”

“Iya juga sih, kamu ada benarnya juga.”

“Ah sudahlah, Mas. Tidak usah berpikiran yang aneh-aneh. Sekarang lebih baik sarapan dulu, nanti keburu dingin.”

Sanusi menuruti permintaan istrinya. Ia menyingkirkan rasa penasarannya dan makan.

***

SATU bulan telah berlalu sejak terdengar kabar meninggalnya Adit, anak kampung sebelah yang ditemukan tewas di pinggiran sungai dengan luka gigitan di lehernya.

Bulan telah membundar. Malam semakin larut. Suara lolongan anjing mulai terdengar ramai. Entah mengapa Sanusi sangat gelisah malam itu. Ia terbangun di tengah malam. Ia kembali tidak menemukan istrinya di sampingnya. Tapi kali ini ia tidak lagi khawatir. Ia sudah tahu kalau istrinya pasti sedang berada di kamar yang satu sedang mendirikan salat tahajjud.

Ia pun ikut bergegas menyusul istrinya. Ia ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. Lalu diam-diam mengintip istrinya dari luar pintu kamar. Tapi kali ini ia tidak menemukan siapa-siapa di kamar itu. Tidak ada Hamidah di sana. Dahinya terlipat. Ia melihat ada tangga di kamar itu. Tangga yang dapat menghubungkannya dengan loteng rumahnya. Karena penasaran, Sanusi masuk lalu memanjat tangga itu dan segera naik ke loteng. Sudah lama ia tidak naik ke sana. Sarang laba-laba terlihat di mana-mana.

Alangkah kagetnya Sanusi saat melihat sebuah baskom di hadapannya. Ia ingin muntah dibuatnya. Organ tubuh manusia terletak di sana. Entah mengapa Sanusi mengambil air panas lalu menyiram organ tubuh itu.

Sanusi bertambah shock saat melihat istrinya dengan kepala dan badan yang terpisah. Sanusi tidak tahu jika yang ia siram itu adalah organ milik istrinya. Setelah melihat jelas wajah perempuan itu, Sanusi seketika tumbang. Samar-samar terdengar permintaan maaf dari istrinya. Tubuh Hamidah yang tidak bisa kembali lagi menjadi organ utuh akhirnya meninggal.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)