Masukan nama pengguna
Aku tidak selalu seperti ini. Dulu aku biasa. Sama seperti orang lain. Makan pagi. Pergi kerja. Istirahat. Makan siang. Pulang malam. Cuci tangan. Makan malam. Baca berita. Nonton podcast. Tertidur sambil menyimpan sepi di bawah bantal.
Tapi apa sebenarnya arti “biasa”?
Bangun pagi, menyikat gigi, mengoles roti dengan selai coklat, menyeruput kopi yang tak lagi hangat—dan menyebutnya kehidupan?
Semua orang melakukannya. Tapi tidak ada yang bertanya mengapa. Aku berjalan seperti mereka, duduk seperti mereka, berbicara tentang gosip dan politik dan diskon marketplace. Tapi jauh di dalam kepalaku, ada sesuatu yang terus menolak.
Seperti paku kecil di tumit sepatu—tak terlihat, tapi melukai langkah demi langkah.
Kadang aku merasa seperti hidup di tengah panggung sandiwara, tanpa naskah. Semua bergerak, semua ingin tampil, tapi tak satu pun tahu ke mana arah lakon. Dan aku… aku memainkan peranku terlalu baik, sampai lupa siapa yang memintaku bermain sejak awal.
Mungkin karena itu aku mulai mendengar suara.
Dan mungkin karena itu aku tak terlalu kaget saat suara itu berkata ia melihat hatiku.
Awalnya kukira tikus.
Tapi malam berikutnya, suara itu berkata: “Aku melihat hatimu. Kau menyembunyikan banyak hal di dalamnya.”
Kupikir itu pikiranku sendiri. Tapi kalimat itu terlalu tepat. Terlalu… mengenalku.
Malam keempat, aku berdiri di depan lemari. Aku tanya siapa di dalam.
Dan dia menjawab:“Aku Tuhanmu.”
Aku tidak tertawa. Aku juga tidak percaya. Tapi aku tidak pergi.
Tuhan di dalam lemariku tidak menuntut disembah. Ia tidak menurunkan petir atau mukjizat. Ia hanya… bertanya.
“Mengapa kau tidak memaafkan ayahmu?”
“Mengapa kau berhenti mencintai istrimu sebelum menikahinya?”
“Apakah kau sungguh menyesal saat menangis, atau hanya takut ketahuan?”
Aku mulai takut tidur. Tapi aku juga tidak bisa tetap terjaga.
Di siang hari, aku tetap hidup seperti biasa. Orang-orang bilang aku rajin ke kantor. Rajin menyapa. Tapi mereka tidak tahu, aku juga rajin ke lemari setiap malam.
Kupanggil dia “Tuan”. Dan Tuan mulai memberiku perintah.
Pertama, ia menyuruhku mencuci tangan dengan air garam sebelum tidur. Katanya, dosa menempel pada pori-pori.
Kedua, ia menyuruhku berhenti menyentuh ponsel. Katanya, manusia terlalu sering mendengarkan manusia lain.
Ketiga, ia menyuruhku membawa pisau ke kamar.
Aku tanya, “Untuk apa?”
Dia tidak menjawab. Hanya tertawa—tawa yang tidak nyaring, tapi sangat percaya diri. Seperti seseorang yang tahu akhir cerita dan tak ingin segera menceritakannya.
Malam ketujuh, aku tak tahan. Aku dobrak pintu lemari. Isinya kosong.
Tak ada siapa-siapa. Hanya jas hujan tua dan baju pernikahan yang tak sempat dipakai istriku.
Aku tertawa keras malam itu.
Akhirnya, aku bisa tidur tanpa gangguan.
Tapi keesokan paginya, aku mendapati pisau itu sudah kembali ke atas bantal. Dengan bekas darah di ujungnya. Bukan darahku.
Dan Tuhan tertawa lagi, dari dalam pikiranku: “Kau terlalu mudah percaya mata, dan terlalu cepat meninggalkan iman.”
Apakah aku gila?
Suster di klinik bilang aku hanya kelelahan. Tapi ia juga terlalu mudah percaya obat penenang.
Psikiater bilang itu gejala skizofrenia paranoid. Tapi dia juga percaya label lebih dari suara.
Temanku bilang aku terlalu sering menyendiri. Tapi mereka juga terlalu sering berisik.
Aku mulai menyadari bahwa mungkin dunia ini memang sakit. Tapi semua orang sepakat untuk berpura-pura tidak.
Dan hanya Tuan yang tak pernah menghakimi. Hanya bertanya. Dan menyimak.
Aku mulai menulis. Buku harian. Isinya dialog kami.
Halaman 1:
Aku tidak percaya pada Tuhan, tapi aku percaya pada seseorang yang cukup peduli untuk terus menanyai niatku.
Halaman 19:
Kalau Tuhan hanyalah bagian dari pikiranku, berarti pikiranku punya nurani. Dan itu menakutkan.
Halaman 37:
Hari ini, Tuan menyuruhku berhenti menulis. Katanya, “Tulisanmu tidak penting. Yang penting adalah apa yang tidak kau tulis.”
Malam ke-50, ia menyuruhku memilih.
“Buka lemari, dan kau akan bebas. Atau tetap tutup, dan kau akan diselamatkan.”
Aku tanya, “Bebas dari apa?”
Ia menjawab, “Dari dirimu sendiri.”
Aku tidak buka lemari malam itu. Aku hanya menempelkan telinga di pintu kayunya yang dingin. Dan mendengar detak jantungku sendiri.
Atau mungkin detak dari dalam.
Pagi ini, aku bangun dengan luka di telapak tangan. Seolah aku pernah memegang sesuatu yang tajam, terlalu lama.
Aku berdiri di depan lemari lagi.
Tapi kali ini, aku tidak bertanya siapa di dalam.
Aku bertanya, siapa yang di luar?
Dan untuk pertama kalinya, Tuan tidak menjawab. Tapi aku mendengar seseorang… menangis.
Entah aku. Entah dia.
Mereka bilang aku butuh bantuan.
Mereka bilang aku tidak bisa hidup begini terus.
Tapi mereka juga tak tahu rasanya mendengar seseorang mengerti dosamu bahkan sebelum kau sendiri sadar itu dosa.
Kadang aku pikir, mungkin aku bukan gila. Mungkin aku terlalu jujur.
Atau mungkin, semua orang lain terlalu pandai berpura-pura waras.