Masukan nama pengguna
Warning!
Mengandung konten sadis dan gore! Tidak untuk ditiru. Baca dengan resiko sendiri.
___________________________________________
Aku berjalan menelusuri lorong gelap. Jalanan bising oleh mobil beserta dengan klakson yang berkali-kali berbunyi. Aku benci keramaian. Aku benci orang-orang dengan kebahagiaan mereka.
Aku lelah dengan kehidupanku. Berusaha mengikuti semua kemauan kedua orang tuaku, memenuhi semua ekspektasi orang lain. Siapa aku? Ketika yang kuinginkan tidak pernah tercapai. Diam-diam aku membunuh mereka dalam pikiranku. Meracuni mereka, menampar, memukuli mereka. Rasanya semakin lama semuanya tidak cukup lagi. Aku butuh yang lebih.
Malam itu, aku berjalan menghindari keramaian. Duduk dibawah jembatan yang minim pecahayaan, meperhatikan setiap orang yang lewat. Bagaimana kehidupan mereka? Memamerkan kebahagiaan mereka di social media, sementara aku terpuruk dengan penderitaan tanpa akhir. Seakan mencari targetku, aku membayangkan wajah ketakutan mereka dalam kepalaku. Tangisan dan teriakan minta tolong. Seperti nyanyian yang merangsang gairahku. Ketika aku menggoreskan pisau di kulit putih mereka dan darah segar mengalir, mencabuti gigi-gigi mereka dan membiarkannya tersedak oleh darah. Menyetubuhi mereka dengan rantai berduri. Semakin meronta, semakin dalam durinya menusuk kulit mereka. Betapa indahnya. Aku yakin, Michael Angelo pun tak akan bisa menyaingi karya seni terindahku.
Sekian lama aku duduk. Kesabaranku semakin habis. Aku kembali berjalan dengan pisau lipat ditanganku, menelusuri jalanan sempit, gelap dan lembab. Memandang iri anak-anak yang berlari memeluk orang tuanya. Menyipitkan mata dan berdecak masam. Aku bosan.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba seorang wanita membuka pintu sebuah bar. Ia bersandar pada dinding dengan wajah resahnya. Rambutnya hitam legam. Namun matanya abu-abu, seakan menyala dalam kegelapan. Ia mengenakan kaos dan jaket hitam serta boots tinggi. Elegan. Aku tak dapat berhenti menatapnya seakan aku berjalan melewatinya. Ia menorehkan senyum di bibir merahnya ketika tatapan kami bertemu. Beberapa meter kemudian aku bersembunyi dibalik dinding gedung sebelah, belum puas aku mengamatinya. Ia begitu menarik perhatianku. Aku jatuh cinta pada kegelapan yang ditampilkannya. Ia begitu menawan.
Seorang pria keluar dari dalam pintu. Aku melihat mereka beragumen sebentar, kemudian mereka berciuman. Aku marah. Aku cemburu. Namun, yang dapat kulakukan hanyalah melihat mereka dari kejauhan. Tanpa kusadari, dibalik itu sang wanita menatapku seolah sadar jika sedang kuperhatikan. Mata abunya mengkilat disinari cahaya lampu jalan. Tatapannya langsung menusuk kedalam hatiku.
Malam itu aku tidak dapat tidur membayangkan betapa molek tubuhnya yang tergurat penuh luka.
Aku yang penasaran kembali ke bar itu malam berikutnya. Ia disana, bersandar ke tembok yang sama. Ia melihatku datang dan menatapku. Ketika aku sampai tepat didepannya, ia melangkah maju. Menghampiriku dengan senyuman misteriusnya. Ketika aku dapat melihat wajahnya dengan jelas, hatiku semakin meronta. Betapa cantik kulit putihnya yang hampir seputih vampir. Dia menyapaku dengan anggun. Setelah mengobrol beberapa lama, ia mensugestikan agar kami mencari tempat lebih private. Hatiku semakin tidak karuan. Aku terlalu tidak sabar ingin mengulitinya. Akhirnya aku menyarankan agar kami pergi kerumahku dengan pancingan sebotol anggur. Ia langsung menyetujuinya tanpa curiga. Rasanya aku ingin berteriak gembira.
Aku membukakan pintu rumah, memperlakukannya sebaik mungkin. Menuangkan anggur merah terbaik, tentu saja yang sudah dicampur dengan obat tidur. Dengan hati yang berdebar, aku duduk. Setelah meminum beberapa teguk, aku terkantuk.
***
Aku membuka mata perlahan. Didepanku duduk wajah pucat yang sangat kukenal. Ibuku. Ia tersenyum. Dibalik bibir mungilnya yang kujahit, aku menorehkan sedikit senyum. Dimeja terdapat rangkaian jari-jari yang telah kupotong dan kujahit menjadi satu. Gantungan rangkaian telinga menghiasi dinding. Sepotong tubuh wanita yang kuikat kail dengan kulit terbuka sehingga menampilkan bagian dalam organ tubuhnya menjadi pajangan dibelakang. Kulitnya masing-masing ditarik kail. Karya terindah yang kubanggakan. Ini ruang kerjaku.
Setelah kesadaranku penuh, aku dalam kondisi terikat, telanjang. Wanita itu membuka pintu,dengan sebilah pisau dapur yang cukup besar. Bibir merah menggairahkan itu kembali tersenyum.
“Mungkin hanya kau yang dapat memberikanku kepuasan sejati yang selama ini kucari.” Kataku tidak sabar.