Cerpen
Disukai
0
Dilihat
12,208
Proposal Hati (Series 3)
Drama

Catatan Penulis :

1. Mohon maaf untuk kalimat kasar ataupun vulgar yang terdapat dalam cerita ini.

2. Mohon untuk tidak meniru/terinspirasi adegan tidak baik di dalam cerita ini.

3. Mengingat ada begitu banyak kasus plagiarism, bila ada kesamaan tokoh, atau kesamaan apapun di dalam cerita ini, maka itu adalah 100% unsur ketidaksengajaan.

4. Warning! Setiap ketikan di cerita ini adalah pertanggung jawaban saya sendiri sebagai penulis baik di dunia maupun di akhirat, maka daripada itu mohon hanya mengambil sisi baiknya saja dari cerita ini.


•__•__•

Brakk.

Aku tidak sengaja menabrak seseorang dan terjatuh. Telapak tanganku terasa perih karena refleks menumpu tubuhku dari kasarnya aspal.

Uluran tangan mengambang di depan wajahku, spontan aku menengadah, melihat pemilik tangan tersebut.

Seorang pria.

Deg.

Aku segera bangun dan menepuk pelan telapak tanganku yang kotor. Kuhindari tatapannya dan mencoba mengalihkan pandangan kemana saja asal tak bertemu pandang dengannya.

Ada berapa kota di Indonesia? Setahuku ada ribuan, tapi kenapa pria ini harus berada di kota yang sama denganku.

Sudah lama aku tak mendengar kabarnya tapi terakhir kali ku ingat ia berada jauh di kota lain. Lantas kenapa ia ada di depanku saat ini?

"Maaf," ujarku tanpa menatapnya, lalu beranjak pergi namun tertahan saat ia tiba-tiba bersua.

"Nandhia." Panggilnya.

Aku berdiri kaku, tak bergeming sedikitpun. Pria itu mendatangiku dan berdiri di hadapanku.

"Nandhia, kan?" tanyanya memperjelas.

"Saya tidak kenal kamu." Aku segera melewatinya, berjalan cepat berharap bisa sejauh mungkin darinya.

Serigala.

Anggaplah dia serigala, dan karena itu aku menjauhinya.

Disaat aku berjalan cepat, ponselku bergetar, menandakan ada notifikasi yang masuk.

Aku segera mengambil ponselku dan terhenyak saat mengecek isi notifikasi tersebut.

Sebuah pesan yang berisi foto undangan pesta ulang tahun beberapa tahun silam.

Kuhentikan langkahku lalu berbalik badan, pria itu tampak berjalan santai mendatangiku dengan wajah datar khasnya itu yang tak pernah berubah.

"Maaf harus pakai cara ini, mau bagaimana lagi ... kamu bilang tidak kenal dengan saya. Apa sekarang kamu sudah mengingat saya?" tanyanya tak lupa dengan senyum asimetris khasnya yang sengaja ia tunjukkan.

Nandhia menyimpan kembali ponselnya ke saku seraya memasang raut wajah tak ramah, untuk menunjukkan ketidaksukaannya pada cara pria itu menahan dirinya.

"First time, saya lihat kamu memasang wajah semasam ini," ujarnya, terdengar bercanda.

"Ada perlu apa? Saya sibuk," balasku dingin.

"Saya ingin berbicara denganmu," pria itu kemudian melihat arlojinya, "Tapi ini sudah larut malam, jadi saya antar kamu pulang dan kita berbicara di mobil saja."

"Kamu sadar atau tidak dengan ucapanmu?" tanya Nandhia tajam.

"Tentu, saya sudah lama berhenti minum." Ia berkilah, aku tau ia mengerti maksud dari pertanyaanku.

"Saya tidak peduli kamu sudah berhenti minum atau belum tapi maksud saya ialah tidak mungkin saya pulang dengan kamu. Kamu orang asing,” tolakku, dengan menekan suara pada kalimat terakhir.

"Saya orang asing atau kamu tidak percaya dengan saya? Kamu takut saya antar pulang?" sanggahnya.

"Ti-tidak! Ke-kenapa saya harus takut!" tampikku terbata. Yaps, sebenarnya aku cukup ketakutan.

Aku takut bukan karena pria itu pernah melakukan hal buruk padaku tapi ... aku takut kembali terjerumus pada pria ini, hingga rela kehilangan harga diri lagi.

"Ini jam 12 Nadhia. Saya cukup terkejut kamu ada di sini di jam selarut ini." Ia masih saja keukeuh, aku heran kenapa ia begitu bersikeras.

"Bukan urusanmu!"

Ia terdiam, mungkin ia cukup terkejut melihat betapa berbedanya aku pada waktu itu dengan sekarang.

"Apa saya benar-benar sudah tidak ada tempat di hidup kamu lagi?" tanyanya tiba-tiba, terdengar lirih.

Deg

Pertanyaan itu membuatku terdiam membeku, namun aku sadar debaran aneh itu … kembali, seperti dulu.

Gagal.

Pertahanan diriku runtuh. Sia-sia saja pagar yang kubangun selama ini. Bertahun-tahun, namun runtuh hanya dengan pertemuan singkat ini. Celaka.

"Disaat saya sudah hampir melupakan kamu, disaat saya sudah berhasil memperjuangkan harga diri saya. Kenapa kamu harus kembali? Harusnya kamu tidak menyapa saya, menganggap saya tidak ada ... seperti dulu kamu memperlakukan saya,” ungkapku dengan menunduk dalam, menyembunyikan air mata yang mulai menetes, aku menyeka pipiku lalu mendongak, menatap pria di hadapannya, Narendra Ashraf Kaif.

"Ada yang mau saya bicarakan denganmu, mari kita bicarakan di mobil, sekaligus saya antar kamu pulang." Pinta Narendra lembut, ia nampak merasa bersalah, namun masih tetap membujukku.

"Saya mohon. Kamu bisa memaki dan memarahi saya sepuasnya. Tapi … " Narendra tiba-tiba menarik tasku seperti pencopet, untuk menahanku.

"Kamu bisa dihabisi kalau saya berteriak kamu pencopet!" ancamku sambil mencoba meraih tasku kembali. Namun gagal karena ia mengangkat tinggi tas tersebut.

"Silahkan saja. Saya ingin lihat bagaimana ekspresi kamu ketika melihat saya babak belur," balas Narendra, kamu harus banyak belajar sebelum mengancam saya, sambungnya dalam hati.

Aku terdiam sejenak, melihat sekitaran. Ada banyak orang di tempat itu, aku sempat menyesal memilih taman hiburan ini sebagai tempat pertemuan dengan rekan kerja, apalagi membuatku sampai bertemu dengan pria ini.

Narendra terlihat resah, saat aku menerawang sekeliling, mungkin dia sedikit panik, takut aku bener-benar berteriak.

"Saya tidak bisa berdua saja dalam satu mobil dengan kamu," jelasku.

Narendra tersenyum kecil, ia pasti senang karena akhirnya aku sedikit terbujuk.

"Kaca jendelanya dibuka saja. Saya akan menelpon seseorang selama diperjalanan, jadi kita tidak benar-benar berduaan. Bagaimana?"

Nandhia cukup takjub ia mengerti kenapa aku tidak mau berduaan, tapi aku tetap tidak mau.

Aku menggeleng pelan, "Apa yang mau kamu bicarakan? Kita bicarakan saja di sini," usulku menuruti kemauannya untuk berbicara, mungkin memang ada yang ingin ia sampaikan lagipula aku lelah berdebat dengannya, dari dulu juga tidak pernah menang.

"Ini terlalu malam." Celetuk Narendra, melihat arlojinya kembali.

"10 menit saja." Tukasku.

Air muka Narendra berubah seketika, ia terlihat terkejut, namun ia tidak protes justru terdiam

"Saya minta maaf. Untuk semua yang saya lakukan dulu." Ucapnya tak lama kemudian.

"Sebenarnya, itu semua juga salah saya. Kamu tidak perlu minta maaf," balasku.

"Tapi, seharusnya saya tidak pergi. Harusnya saya menjelaskannya kepada semua orang. Saya membuat kamu menanggung segalanya."

"Tidak apa-apa. Saya menganggap itu bayaran setimpal untuk segala tindakan bodoh saya."

Narendra kembali terdiam.

"Itu saja yang mau kamu bicarakan?" tanyaku karena Narendra tak kunjung bersua lagi.

"Malam itu ..."

Deg.

"Saya rasa kita ga perlu membicarakan tentang malam itu lagi," potongku, "saya sedang berusaha melupakannya dan saya harap kamu juga."

Narendra menatapku dalam, membuatku mengalihkan tatapan seketika.

"Tidak ada yang terjadi,” sambungnya.

Aku mengernyit bingung. "Apa?"

•__•__•

Malam itu malam ulang tahun gue, karena sweet seventeen, teman-teman gue nyaranin buat ngadain party. Gue ga masalah, cuma agak kaget ketika mereka juga nyaranin ngadain party di kelab malam. Masalahnya bukan gue sok suci ga mau di kelab, tapi gue jadi agak repot karena harus dapat izin supaya semua orang bisa masuk tanpa KTP.

"Kok malah duduk di sini, Ren? Tuh banyak cewek cakep lu anggurin aja," celetuk Bima begitu datang ke meja gue. Ia menunjuk cewek-cewek yang sedang asik di lantai dansa. Jujur gue ga kenal, ga tertarik juga buat kenalan.

Gue menggeleng pelan.

"Ini kan ultah lo, ayok lah, bro!" bujuknya lagi.

"Entaran deh," balasku malas serasa menyesap rokok. Kepulan asap memenuhi sekelilingku saat menghembus rokok, membuat pemandangan menjadi buram. Suasana kelab yang remang-remang juga sebenarnya sudah membuat penglihatan berkurang.

Bima kemudian ikut duduk setelah memesan wine, ia menerawang sekitar, mungkin mencari perempuan yang akan menjadi korban selanjutnya. He's a cassanova.

"Gila, itu bukannya Amara ya." Gue menyelidik arah tatapan Bima dan benar, perempuan itu di sana.

"Lo ngundang mantan juga ternyata," Bima tertawa keras.

"Gue ngundang satu angkatan, ya termasuk dia dan kenapa lo malah ketawa. Lupa ya kalau gue yang mutusin cewek itu." Gue meneguk wine hingga kandas.

"Iya sih, tapi setelah itu lo ga pacaran dengan siapapun sampai sekarang. Right? Gamon yak. Hahaha." Bima kembali tertawa keras, gue malas untuk menggubris kalimatnya lagi, terserahnya, namun mata gue menyipit ketika melihat seseorang yang cukup gue kenal.

"Lo liat siapa sampe segitunya?" Bima ikut melihat arah pandangan gue.

"Nandhia?" Bima melirik ke arah gue yang tak kunjung menjawab ucapannya.

"Dia …?" Gue menoleh ke Bima penuh arti, pria itu pasti langsung bisa menerjemahkan isi pikiranku.

"Gatau, gue ga pernah liat dia di club atau diskotik gitu. Gue pikir dia sekelas cewe yang main di tempat aman doang."

Gue acuh tak acuh dengan info tersebut, toh perempuan itu tak penting juga.

Bima kemudian berdiri lalu menyeringai, "Boleh juga tuh cewek, kayanya Nandhia masih segel deh, it's my favorite."

“Si anjir!” tuh anak otaknya emang udah konslet. Setan aja langsung istighfar kayanya kalau liat kelakuannya.

Gue melirik Bima yang berjalan santai mendatangi Nandhia, terserahnya lah. Perempuan itu bukan sesiapa gue untuk dikhawatirkan. Toh, salahnya sendiri datang ke tempat perkumpulan setan ini.

Jam menunjukkan jam 12 malam, gue masih duduk di tempat tadi. Sudah tak terhitung berapa teman gue yang mengajak turun ke lantai dansa, berdisko ria. Tapi, gue tolak semua, termasuk ajakan perempuan-perempuan yang penampilannya bisa membuat iblis tepuk tangan.

Entahlah, gue lagi gak bernafsu untuk mendekati satupun perempuan.

Gamon? Tentu saja tidak, gue lebih percaya mungkin di masa depan gue dapat istri shalihah makanya malam ini gue puasa dari nidurin anak orang. Astaga, halu banget.

Perempuan shalihah mana yang mau sama gue?

Jodoh itu kan cerminan diri, nah, cewek yang lagi joget sambil dibelai di lantai disko yang ada di depan mata gue saat ini, itu lebih tepat jadi cerminan jodoh gue kayanya.

Tapi, ya Tuhan, hambamu yang kotor ini sebenarnya juga maunya sama perempuan baik-baik. Eh, sebentar, gue kan lagi di club, kenapa malah berdoa. Otak gue kayanya sama konsletnya dengan otak Bima.

Tak lama kemudian, beberapa teman-teman gue mendatangi gue lalu menyeret gue tanpa aba-aba, "Gue mau dibawa kemana, Anji*g?"

"Lu diam aja, kita punya hadiah spesial. Ya enggak guys!"

"Yoi!" jawab yang lain serempak. Akhirnya gue pasrah saja, terserah. Sampailah kami di depan pintu kamar.

Gue berdecak pelan, gue tau isi kamar ini pasti ada sesuatu, 99% perempuan mungkin.

"Come on, bro. Tau kan, gue ga suka PSK." Ujar gue, seraya melepas diri dari cengkraman mereka di lengan tangan.

"Lu liat dulu deh! Baru complain." Tukas Kara--kalau Bima adalah cassanova maka Kara itu iblis berkedok soft boy. Circle pertemanan gue emang gada yang bener, isi otak mereka cuma tiga; uang, kekerasan dan terakhir … nah, bener, apa yang terlintas di otak lo sekarang.

Kara kemudian memberi gue key card kamar itu lalu mengkode agar gue segera masuk. Sekali lagi gue bilang, sejujurnya gue ga bernafsu buat ngabisin malam ini dengan perempuan. Tapi, yeah ... setidaknya gue harus menghargai hadiah dari mereka. Kalau ga sesuai tipe gue, ya tinggal gue usir tuh perempuan.

Klik.

Pintu kamar itu kemudian terbuka, teman-teman gue masih anteng menunggu hingga gue masuk.

Klik. Pintu itu kemudian gue tutup kembali, seringaian Kara adalah yang terakhir gue liat sebelum pintu itu tertutup sempurna.

Gue meletak key card itu di atas nakas, tepat di samping tempat tidur. Dan tebakan gue benar, ada perempuan di atas kasur king size itu.

Perempuan itu terlihat nyenyak sekali. Posisi tidurnya damai, tapi rambutnya berantakan hingga menutupi sebagian besar wajahnya.

"Ini ga salah kalian ngasih cewe yang udah nyenyak tidur duluan?" gue bermonolog.

Tapi, ya sudahlah. Gue tersenyum asimetris dan senyum itu seketika pudar setelah gue menyibak rambut perempuan itu.

"Sial!" gue refleks mengepal tangan lalu turun dari kasur itu, berteriak keras dan hampir membanting lampu tidur yang ada di atas nakas.

"NANDHIA BANGUN!" teriak gue, menggema.

Perempuan itu tidak kunjung sadar. Kembali gue naiki kasur itu dan mencengkram dagunya kuat, "Woi, bangun! Lo ngapain di sini!" bentak gue.

Nihil, perempuan itu tidak menunjukkan reaksi apapun, ia masih terkulai lemah seperti orang pingsan, gue kemudian mencium aroma alkohol yang cukup kuat darinya.

"Mabok lu? Bangun, Nandhia! Astaga!" perempuan itu sama sekali tidak merespon, akhirnya gue letakkan kepalanya kembali ke bantal. Menutup tubuhnya dengan selimut hingga leher. Lalu, beranjak turun dari kasur.

Klik.

Tebakan gue benar, Kara dan Bima masih di depan pintu kamar.

"Diliat dari wajah lo, kayanya ga sesuai tipe lo ya? Ah, sayang banget. Padahal dia masih--"

Ucapan Kara terhenti begitu tinju gue tepat mengenai pipinya, ujung bibirnya pecah hingga terluka dan berdarah.

"Sial!" erang Kara seraya meludah darah.

"Lo apa-apaan, Ren!" seru Bima mendorong bahu gue.

"Lo yang apa-apaan!" bentak gue, "cewek itu kenapa bisa ada di sini, hah?"

Gue mencengkram kuat kerah Bima. "Lo bawa paksa? Lo bikin mabok atau lo kasih obat, hah?"

Bima terdiam, ia mungkin terkejut gue semarah itu. Dan gue juga gatau kenapa semarah itu.

“Jawab gue, Bangsat!”

Mungkin karena gue yakin Nandhia bukan perempuan semurah itu. Selama ini memang dia terus menempeli gue di sekolah. Selalu mencoba mendapatkan perhatian gue, bagaimanapun caranya. Tapi, memberikan tubuhnya ... gue ga yakin itu termasuk salah satu caranya dia. Gue yakin.

"Biasa aja kenapa sih, Ren. Cewek itu juga suka sama lo, cinta mati. Jadi, apa masalahnya?" Kara kembali bersuara seraya menyentak tangan gue, agar melepas cengkraman di kerah di baju Bima.

"Iya, lo kenapa semarah ini?" tanya Bima menyetujui ucapan Kara.

"Lo berdua gila ya!" ucap gue penuh penekanan.

"Lo gausah sok suci, deh, Ren!" tekan Kara.

"Gue emang ga suci, Kar! Tapi cewek itu bukan cewek yang biasa kita tidurin. Sekalipun dia cinta mati sama gue, gue tau dia bukan cewe yang rela nyodorin tubuhnya biar bisa dapat perhatian gue!"

Kara dan Bima terdiam.

"Mata kalian buta ya, sampe ga bisa bedain cewek mana yang memang mau diajak tidur sama cewek yang segoblok apapun dia karena jatuh cinta dia tetap ga mau ditidurin." Gue kemudian pergi meninggalkan kamar tersebut. Mengacuhkan panggilan Bima.

Keesokan harinya gue ga datang ke sekolah. Alasannya, gue belum bisa bertatap muka sama Nandhia. Terlepas gue sebetulnya bukan pihak yang bersalah.

Gue sempat bingung kenapa dia bisa ada di kamar itu. Apa mungkin itu keinginannya sendiri? Gue ga yakin. Rasanya gue pengen nanya dia langsung, tapi gue rasa Nandhia butuh waktu untuk bisa bertatap muka dengan gue lagi. Ada kemungkinan dia ingat kejadian malam tadi.

Seminggu setelah kejadian itu, gue masuk ke sekolah. Dan kabar ga terduga itu datang. Nandhia menghilang.

Gada kabar dia pindah sekolah tapi absensinya alfa beberapa hari belakangan.

"Nandhia izin kenapa?"

Dena mengernyit heran dengan pertanyaan gue. Sebagai sahabat karib Nandhia, dia paling tau gue ga pernah peduli dengan sahabatnya itu tapi sekarang malah tiba-tiba menanyai sahabatnya itu.

"Gatau. Kenapa? Lo merasa kehilangan? Telat, Narendra!" serunya dengan nada kesal, lalu pergi meninggalkan gue begitu saja.

Beberapa hari kemudian, Nandhia dinyatakan pindah sekolah, ia pergi tanpa berpamitan dengan teman-temannya dan ... gue tentunya.

"Kenapa Nandhia pindah sekolah? Dia pindah kemana?"

Dena menaikkan sebelah alisnya, perempuan itu kentara sekali menunjukkan ketidaksukaannya atas kehadiran gue.

"Bukannya bagus ya dia pindah sekolah. Jadi, gada lagi yang gangguin lo! Harusnya lo bersyu--"

Gue mencengkram bahu Dena kuat dan menatapnya tajam, "Lo lupa gue brengsek! Bikin bahu lo memar sekarang juga, gue bisa! Jawab aja pertanyaan gue, Bangsat!"

Dena bergidik ngeri, gue yakin bahunya juga mulai terasa nyeri. Dia tau gue ga main-main dan ga peduli mau dia cewek atau cowok, gue ga segan-segan untuk melukai.

"Dia pindah ke kota lain. Sumpah gue ga tau dia dimana, dia cuma bilang mau pergi keluar kota. Terus kontaknya gak aktif semua." Dena terlihat ingin menangis, bukan karena cengkraman tangan gue di bahunya tapi perempuan itu terlihat frustasi karena sahabatnya itu menghilang tanpa jejak.

"Gue bahkan ga tau keadaan dia gimana sekarang, Narendra." Dena mulai menangis sesegukan, gue mulai melepas cengkraman di bahunya dan menunduk dalam, entah kenapa gue ikut merasa sedih. Sial, ada apa dengan gue sebenarnya.

Tak lama kemudian tangisan Dena mulai mereka, perempuan itu menyeka air mata di pipinya.

"Nandhia itu cewek baik-baik. Gue gatau kenapa dia bisa suka sama cowok brengsek kaya lo. Kenapa sih dia harus suka sama lo, Narendra!" Setelah mengungkapkan kekesalannya itu, Dena kemudian beranjak pergi.

"Gue pernah liat dia clubbing terus mabok," ungkap gue, membuat Dena berhenti dan berbalik badan.

Ia kemudian tertawa, membuat gue mengernyit heran. "Lo liat di malam ulang tahun lo?" tanyanya.

Gue mengangguk.

Dena terdiam sejenak, perempuan itu tampak sedih, ia kemudian menghela nafas pelan. "Nandhia itu ga pernah minum apalagi clubbing. Dia mungkin terlihat murahan di mata lo karena dia terus ngejar-ngejar lo padahal udah lo tolak berulang kali. Sekarang lo ngerti kan kenapa dia bisa ada di sana.”

Setelah hari itu, Dena enggan bertemu dengan gue. Dia menghindar setiap apapun pertanyaan gue.

Hingga bertahun kemudian, kejadian itu masih melekat di pikiran gue. Gue berharap bertemu Nandhia tapi gue ga pernah mencari dia, lebih tepatnya gue gatau harus mencarinya dimana.

Hingga sebulan yang lalu, gue ga sengaja bertemu dengan Dena Malaysia. Gue langsung mendesaknya bicara dan akhirnya ia mau membuka suara setelah menampar gue di depan umum.

"Dia di Bogor. Setahun lalu gue baru kontakan lagi dengannya, Nandhia udah cerita ke gue tentang malam itu." Dena menatap gue tajam, sepertinya perempuan itu tidak puas dengan hanya menampar gue, mungkin dia berharap bisa mencekik gue atas kejadian malam itu.

•__•__•

"Setelah itu saya ke sini dan ga menyangka bisa ketemu kamu secepat ini," jelas Narendra seraya tersenyum ragu, ia melirik Nandhia sekilas.

"Hanya itu yang terjadi, saya tidak melakukan apapun malam itu. Saya bersumpah, demi Allah." Ucapku bersungguh-sungguh.

Nandhia tampak diam, wajahnya terlihat muram. Mungkin gadis itu tidak nyaman harus mengingat kejadian itu lagi.

"Saya tau kamu tidak melakukan apapun pada saya. Kamu ga perlu minta maaf, bahkan apapun yang terjadi setelah malam itu juga kesalahan saya, " Nandhia menunduk dalam. Dia tak berani mendongakkan wajah, bertatapan dengan Narendra, "harusnya saya yang meminta maaf karena ... dulu saya selalu mengganggu kamu," mengikuti kamu kemanapun, bersorak paling keras saat pertandingan basketmu, memaksamu memakan masakan saya, menelpon berkali-kali, mengirim pesan setiap hari, ‘mengejar-ngejarmu’ hingga membuatmu merasa terganggu, sambung Nandhia dalam hati.

Nandhia melihat arlojinya, "Saya rasa obrolannya sudah selesai. Saya pergi dulu--"

"Maaf saya tidak tau bahwa saat itu ada gosip bahwa saya meniduri kamu. Saya minta maaf, harusnya saya tidak absen selama seminggu dan harusnya saya menjelaskan segalanya saat kamu di--"

"Sudahlah, itu semua sudah berlalu." potong Nandhia seraya tersenyum getir, ia kemudian berjalan pergi meninggalkan Narendra.

Narendra masih ingin berbicara, namun suaranya tercekat. Ia seperti tertahan hingga hanya bisa membiarkan gadis itu pergi.

Setelah berjalan beberapa langkah, Nandhia tiba-tiba berhenti, "Terima kasih karena tidak menyentuh saya malam itu, Narendra." Ucapnya tanpa menoleh, lalu melanjutkan langkahnya.

Akhirnya, setelah sekian tahun Nandhia bisa menyebut nama pria itu kembali.

Ingatan tentang malam itu sekelebat datang memenuhi pikirannya. Mengingatkannya pada tiap-tiap memori menyakitkan.

"Menyukaimu adalah kesalahan terbesar dalam hidup saya." Ucap Nandhia lirih, menahan air mata yang ingin menetes kembali.

“Namun, itu juga pembelajaran berharga sepanjang saya hidup.” Nandhia menyeka pipinya, ia kemudian tersenyum untuk tiap-tiap ingatan menyakitkan yang perlahan termaafkan.

Hanandhia Azrina Khalid

•__•__•

Nandhia merengek meminta Dena untuk menemaninya ke kelab malam tempat pesta ulang tahun Narendra diadakan.

"Dena, temenin ya? Masa gue sendirian ke sana," bujuknya.

"Lo tau kan itu tempat apa? Lo tuh ga cocok di sana? Gue yakin minum segelas juga tepar lo!"

"Gue gada niatan mau minum. Janji. Kita cuma datang, duduk-duduk aja meriahin acaranya."

"Tanpa kita juga acara itu pasti meriah. Lagian..." Dena melirik kearah Narendra dan teman-temannya yang asik mengobrol di meja ujung. Beberapa perempuan terlihat menggelayuti teman-teman Narendra kecuali dirinya sendiri. Tapi, Dena tau tak ada bedanya antara Narendra dan teman-temannya itu. Geng berandalan.

"Lo kalau jatuh cinta bisa ga sih sama cowok baik-baik. Dilihat dari sudut manapun, Narendra itu gada baik-baiknya. Liat bajunya dikeluarin, pake kalung, telinga ditindik, lo kalau duduk di sebelah dia pasti kecium rokok sama bau alkohol. Apalagi teman-temannya tuh, ya ampun. Kalau lo ngecek isi ponselnya gue rasa isinya ... euuuh ... ga terbayangkan," Dena bersungut.

"Enggak, kok!" tampik Nandhia.

Dena menghela nafas kasar. Lelah menasehati temannya satu ini. Emang kalau udah jatuh cinta selain buta, otak juga ikutan ga bekerja sebagaimana mestinya.

"Udah ah, cape gue nyadarin lo tapi ga sadar-sadar. Intinya gue gamau ke sana. Pertama, lo ga cocok di tempat itu lagian kita belum punya ktp, ga bisa masuk ke club gituan. Yang kedua, ogah gue datang ke party-nya Narendra."

"Tapi, Narendra booking satu club itu jadi siapapun yang punya surat undangannya bisa masuk ke sana, ga perlu pake KTP, Na." Jelas Nandhia masih bersikeras.

Dena memijat dahinya, pusing dengan tingkah sahabatnya itu. Entah kenapa dia punya firasat buruk.

"Nandhia!" teriak seseorang, membuat Dena dan Nandhia menoleh pada pemilik suara tersebut.

"Narendra di sini, kangen lo katanya." Tawa renyah membuncah di meja tersebut. Teman-teman Narendra memang sering sekali meledek atau menggoda Nandhia.

Tapi tidak dengan Narendra, pria itu memasang wajah datar dan menyikut temannya yang berteriak tadi.

"Awas lo kalau ke sana!" peringat Dena, sambil membelalakkan mata.

"Sebentar doang." Nandhia menyunggingkan senyumnya lalu mendatangi meja tempat Narendra berada.

"Ya ampun. Stress gue lama-lama." Dena kembali memijat kening yang terasa pusing akibat melihat tingkah sahabatnya itu.

"Hai!" sapa Nandhia lalu duduk di samping Narendra, "gue duduk di sini ya."

"Duduk aja, cewek-cewek lain gada yang seberani lo kok dalam hal menempeli Narendra." Teman-teman Narendra kembali cekikian, sementara Nandhia hanya menyengir kecil menanggapinya, ia tak pernah memusingkan ledekan seperti itu.

"Gada yang lucu," celetuk Narendra membuat semua yang ada di meja itu terdiam, lalu memilih sibuk dengan urusan sendiri ketimbang meledek Nandhia kembali.

"Narendra." Panggil Nandhia.

"Hmm," jawab pria itu tanpa menoleh, matanya sibuk dengan layar di ponsel.

"Hari ini udah suka sama gue belum?"

"Menurut lo?"

"Kayanya sih belum," jawab Nandhia lirih.

"Lo sukanya cewek yang gimana?" tanya Nandhia kembali bersemangat.

"Yang bisa ditidurin, Nan." Jawab Kara sembari tersenyum asimetris, pria itu baru saja datang ke meja itu dan tak sengaja mendengar pertanyaan Nandhia.

Mendengar ucapan Kara, Nandhia terdiam seketika. Ekspresi wajah gadis itu tampak muram, dan Narendra sadar dengan perubahan suasana tersebut.

Pria itu kemudian meletakkan ponselnya lalu menoleh pada Nandhia. "Iya, gue suka cewek yang mau diajak tidur." Narendra menyeringai, cukup membuat Nandhia merinding.

Perubahan ekspresi Nandhia semakin kentara, raut wajah gadis itu seakan marah, kesal, kecewa sekaligus sedih.

"Narendra suka cewek nakal, Nan." Kara menambahi.

"Oh, gitu ya." Ucap Nandhia lirih, ia memilin jari tangannya karena merasa asing dengan pembicaraan tersebut.

Narendra terlihat puas dengan respon gadis itu, ia rasa setelah ini gadis itu tidak akan mengganggunya lagi. Tanpa sengaja Narendra menunjukkan senyuman khasnya lalu kembali fokus pada ponselnya.

"Jadi, sebaiknya lu mundur aja, Nan." Kara kemudian mengode gadis itu agar lekas pergi.

Nandhia terdiam sejenak kemudian berdiri, "Gue ke kelas dulu ya, bye-bye Narendra." Ia kemudian beranjak pergi.

"Bye-bye, Nadi." Kara melambaikan tangannya, sekaligus tertawa renyah.

Setelah kepergian gadis itu, Kara dan Narendra beradu tos.

"Nice," celetuk Narendra seraya melihat siluet Nandhia yang semakin menjauh.

"Gue kan emang teman lo yang paling bisa diandalkan." Kara membusungkan dadanya, menyombongkan diri.

Dan ditanggapi Narendra dengan tawa renyah, "Ya terserah lo, deh."

"Btw, kenapa lo panggil dia Nadi?"

"Biar lebih simple aja, ketimbang Nandhia." Jawab Kara enteng sembari kembali menertawai kejadian tadi.

Narendra acuh tak acuh dengan penjelasan tersebut, ia kembali ikut tertawa renyah namun entah kenapa tawanya terkesan dipaksakan.

Hingga malam harinya, Dena tetap tidak terbujuk rayuan Nandhia untuk datang ke acara ultah itu. Namun, Nandhia tetap nekat datang sendirian.

Sesampainya di sana, ia langsung menyetujui kalimat Dena tadi. Kelab malam memang tidak cocok untuknya.

Nandhia memberikan surat undangan, dan langsung diizinkan masuk. Ia langsung mendengar suara musik yang membuat telinganya tak nyaman. Aroma alkohol tercium dimana-mana, ia bahkan sempat ditabrak beberapa kali hingga hampir terjatuh.

Setelah menyapa beberapa orang, ia melihat Narendra di kejauhan, pria itu tengah duduk di meja VIP sambil menyesap rokok.

Senyum Nandhia langsung merekah, ia ingin segera menemui pria itu namun urung saat melihat seorang gadis memakai baju minim mendekati Narendra, berbincang dengan pria itu dan hati Nandhia mencelos saat pria itu sesekali melempar senyum pada gadis berpakaian minim itu.

Narendra tidak pernah tersenyum setiap berbicara dengannya, pria itu selalu cuek mengabaikannya.

Seseorang menepuk bahu Nandhia, membuatnya tersadar dari lamunan.

"Hai, Nandhia. Wahh, gue surprised lo datang," tutur Amara, orang yang menepuk bahunya tadi.

Nandhia tersenyum kecil, "Ini juga baru sampai."

Amara kemudian memindai penampilan Nandhia dari atas hingga bawah, "Gue suka penampilan lo."

"Makasih--"

"Tapi, Narendra kayanya masih betah ngobrol sama cewek itu. Mending lo ikut gue dulu yuk. Kita ngobrol di sana." Amara menunjuk meja tempat beberapa temannya berada, lalu melambai ke arah mereka.

"Eh, tapi--"

"Udah, gausah malu. You look stunning. Nanti kalau Narendra udah selesai ngobrol sama cewek itu, baru lo ke sana."

Nandhia masih ragu untuk ikut, ia menimbang kembali tawaran Amara.

"Ntar gue kasih tips deketin Narendra deh, lo kan tau, gue mantannya."

Mendengar kalimat itu, Nandhia akhirnya setuju. Ia kemudian mengikuti Amara duduk berkumpul dengan teman-temanya yang rata-rata golongan anak hits di sekolah.

"Hai, guys. Liat gue bawa siapa," Amara berdiri di belakang Nandhia dan memegang bahu Nandhia, seakan perempuan itu benda yang sedang dipamerkan.

Beberapa orang di meja itu tampak bingung, Nandhia jelas bukan termasuk cewek-cewek yang cocok masuk di pergaulan itu.

"Ayo dong, di sapa," teman-teman Amara serempak menyapa Nandhia dan ditanggapi Nandhia dengan senyuman.

Nandhia bergabung cukup lama, Amara tidak membohonginya, gadis itu memberi tahu bagaimana dulu ia mendekati Narendra, namun Amara juga menahan Nandhia setiap gadis itu hendak beranjak menemui Narendra.

Tepat hampir jam 12, tragedi itu di mulai.

Nandhia tiba-tiba merasa pusing, kepalanya terasa berputar-putar.

"Lo kenapa, Nandhia?" tanya Amara pura-pura khawatir.

"Kepala gue sakit," Nandhia kemudian mengangkat gelas yang tadi ia minum, "ini apa, Amara?"

"Lo ga bisa minum ya? Aduh, maaf gue gatau."

Mata Nandhia membulat, pantas saja ia sakit kepala, alkohol benar-benar tidak cocok untuknya.

Nandhia kemudian hendak berdiri, namun baru saja bangun, ia langsung terkulai lemas, tak sadarkan diri di kursi itu.

Amara tersenyum puas, ia kemudian mengode beberapa orang untuk segera membawa pergi Nandhia.

"Cewek itu salah apa sih, Amara?" tanya salah satu teman Amara.

"Gue enek liat dia nempel mulu sama Narendra," jawab Amara, seraya mengangkat gelas wine nya dan meneguk isinya.

"Udah gitu sok suci pula." Amara mencengkram gelas itu kuat hingga kukunya memutih.

Keesokan harinya Nandhia terbangun di atas kasur. Kepalanya terqsa berat dan sakit, ingatan tentang malam tadi sekelebat masuk ke pikirannya.

Nandhia seketika gemetaran, ia mengecek pakaiannya yang masih lengkap, namun ia masih syok dengan apa yang terjadi.

Malam tadi, ia tidak melihat wajah Narendra dengan jelas, tapi ia tau suara malam tadi jelas suara Narendra, Nandhia yakin itu.

Gadis itu mulai terisak, menyesali tindakannya datang ke pesta itu. Harusnya dia tidak datang.

Sekarang bagaimana ia menunjukkan wajahnya pada Narendra, pada semua orang yang tau tentang kejadian malam ini.

Terlebih lagi, Nandhia merasa ia benar-benar sudah kehilangan harga dirinya.

•__•__•

Keesokan harinya, Nandhia datang ke sekolah, ia tidak bisa libur karena orangtuanya pasti akan curiga, namun ternyata sebuah gosip itu telah menyebar.

Nandhia menyerahkan dirinya pada Narendra untuk ditiduri. Kalimat itu menyebar bagai virus kemana-mana.

Bukan hanya murid, beberapa guru terlihat mencemooh dengan dengan terang-terangan.

Dena satu-satunya yang tidak percaya dengan gosip itu, ia berdiri paling depan jika ada yang hendak menghina Nandhia. Ia yang ikut membersihkan meja Nandhia yang dicoret-coret kalimat kasar, membantu membersihkan loker Nandhia yang diacak-acak dan dipenuhi sampah.

Namun, Dena sendiri belum mendengar penjelasan Nandhia, sahabatnya itu memilih bungkam. Ia juga tidak ingin untuk bertanya lebih dulu, ia ingin Nandhia lebih dulu membahasnya.

Beberapa hari kemudian, Nandhia menghilang. Dena tidak bisa menghubungi semua kontak Nandhia.

Sebelum semua kontak Nandhia tidak aktif, gadis terakhir kali mengirim pesan bertuliskan, "Dena, maaf ya karena malam itu gue ikutin saran lo. Makasih ya, lo tetap ada di samping gue disaat gue terpuruk banget, disaat gada lagi satupun orang yang percaya sama gue ...

… terima kasih udah jadi teman gue, Na. Selama ini gue buta, ngejar-ngejar cinta sampai kadang gue ga menghargai lo dan selalu menomor dua kan lo …

… ohya, apapun yang terjadi sama gue itu semua salah gue, ga ada sesiapun yang ikut bertanggung jawab termasuk Narendra."

Beberapa tahun kemudian, saat Nandhia telah merasa berdamai dengan kejadian hari itu. Ia baru berani mengontak Dena kembali, menceritakan apa yang terjadi malam itu.

Dena benar-benar terkejut, ia tidak menyangka Amara ikut terlibat dalam kejadian tersebut, bahkan bisa dibilang dialah dalang atas kejadian tersebut.

Selama di sekolah, Dena maupun Nandhia tidak pernah mengusik Amara, tapi kenapa gadis itu bisa sejahat itu pada Nandhia?

Setahun setelah pertemuannya dengan Narendra malam, mereka tidak pernah bertemu lagi.

Nandhia duduk di meja makan dengan tablet di depannya, secangkir kopi menemaninya pagi hari ini.

Mama Nandhia datang dari arah dapur dan duduk di sebelah anak gadisnya itu, "Hari ini datang lagi," tutur Mama Nandhia.

Mendengar tuturan Mamanya, gadis itu melirik buku tipis berukuran A4 dengan hard cover berwarna biru langit, lebih tepatnya proposal pernikahan.

"Gamau diliat dulu?" Mama Nandhia memandang anak gadis semata wayangnya itu penuh perhatian.

"Masih orang yang sama?" tanya Nandhia, menoleh ke Mamanya.

Mama Nandhia mengangguk, "Ini udah ke delapan kalinya dia ngirim. Setidaknya kamu baca dulu isinya."

Nandhia meraih proposal biru langit itu, lalu memberikannya pada Mamanya, "Mama aja yang baca. Kalau menurut Mama cocok, langsung prosesi khitbah aja."

Mama Nandhia menghela nafas, ia kembali mendengar jawaban yang sama dari anaknya itu.

"Kamu yakin?" tanya Mama Nandhia lagi, dan Nandhia mengangguk seraya tersesenyum, "Aku percaya sama pilihan Mama."

Setelah hari itu hingga enam bulan kemudian, proposal biru langit itu tidak pernah datang lagi. Digantikan dengan kedatangan seorang pria bersama kedua orang taunya.

Nandhia berdiri di depan cermin, ia melihat penampilannya sekali lagi. Biasa saja, perempuan itu tidak memakai banyak riasan, model jilbabnya sederhana, warna pakaiannya bahkan terkesan gelap untuk hari yang suasana mendebarkan dan suka cita hari ini.

"Ayo, Nandhia." Mama Nandhia menuntun putrinya itu turun ke ruang tamu, tempat perjamuan acara khitbah tersebut.

Sesampainya di sana, ia melirik pria tersebut, dan mereka pun beradu tatap.

Deg.

Nandhia refleks terkejut, sementara pria itu tersenyum ramah, bukan senyum asimetris yang biasa ditunjukkannya.

"Assalamualaikum, Nandhia. Perkenalkan saya Narendra Ashraf Kaif, saya harap kamu mau membaca proposal pernikahannya sebelum menolak saya." Narendra kembali tersenyum penuh arti, Nandhia tidak tau jenis senyuman mana lagi yang kali ini pria itu tunjukkan tapi yang pasti senyuman yang satu ini, cukup membuatnya berdebar.

Kedua orang tua Narendra menepuk pelan bahu pria itu, "Ini acara penting, masih aja sempat-sempatnya bercanda."

Sementara orang tua Nandhia, hanya tertawa kecil, memaklumi.

Nandhia kemudian duduk diantara kedua orang tuanya, ia menunduk dan tidak sedikitpun berani melirik Narendra lagi.

"Wa'alaikumussalam," jawab Nandhia pelan.

Prosesi khitbah itupun berlangsung khidmat, selama acara itu Nandhia tidak banyak bicara bahkan tidak sekalipun melirik Narendra.

Narendra sempat khawatir Nandhia tiba-tiba meminta agar prosesi khitbah itu dibatalkan, namun hingga selesai perempuan itu hanya mengikuti alur acara tanpa protes apapun.

Setelah semua acara selesai sekaligus acara makan malam, Narendra sekeluarga beranjak pulang, keluarga Nandhia mengantar mereka hingga ke depan gerbang.

Nandhia dan kedua orang tuanya masih di depan pagar hingga siluet mobil Narendra tidak terlihat lagi.

"Mama harap kamu suka ya sama pilihan Mama," ucap Mama Nandhia seraya menggenggam tangan anak gadisnya itu, "tapi kalau kamu tidak suka. Mama akan membatalkan khitbahnya."

Nandhia tersenyum kecil, "Udaranya dingin, Mama sama Papa masuk aja. Biar aku yang tutup pagarnya." Nandhia mengalihkan pembicaraan.

Kedua orang tua Nandhia mengangguk lalu beranjak masuk ke rumah. Dan Nandhia menarik pagar rumahnya pelan, namun ekor matanya tak sengaja melirik ke arah jalanan.

Mobil Narendra kembali terlihat, menuju ke rumahnya.

"Kenapa dia kembali lagi?"

Tak lama kemudian mobil itu berhenti di depan rumah Nandhia, Narendra keluar dari pintu depan dan langsung bergegas mendatangi Nandhia.

"Ada yang ketinggalan?" tanya Nandhia.

Narendra mengangguk sambil mengatur nafasnya, ia mengontrol detak jantungnya yang mulai tak beraturan.

"Saya lupa bertanya satu hal," tukas Narendra.

"Apa?"

"Kamu yakin tidak menolak saya? Tadi saya serius mengenai ‘kamu harus baca proposal pernikahan dari saya sebelum menolak saya’." Ujar Narendra.

Nandhia terdiam sejenak, ia tersenyum kecil seraya mengunci pagar rumahnya.

"Saya tidak perlu membacanya kan kalau tidak menolak kamu?"

Deg

Narendra terkesiap.

"Kalau kamu heran kenapa saya tidak menolak kamu, saya justru lebih heran kenapa kamu melamar saya," sambung Nandhia, "Kalau kamu merasa bersalah dengan kejadian malam itu dan melamar saya sebagai bentuk pertanggungjawaban, kamu tidak perlu melakukannya."

Narendra menggeleng cepat, "Tidak! Saya melamar kamu karena saya menginginkannya, terlepas dari rasa bersalah maupun merasa bertanggung jawab atas kejadian malam itu."

Nandhia terdiam mendengar penjelasan itu. Jujur saya ia tidak tau pengirim 8 proposal berturut-turut selama ini ternyata Narendra, ia bahkan baru tau malam ini Narendra lah yang menjadi pilihan Mamanya.

Beberapa bulan lalu, setelah menyetujui untuk melakukan prosesi khitbah, Mama dan Papanya selalu menyebut pria itu dengan panggilan Kaf saat mereka diskusi tentang pria pengirim proposal biru itu.

Tapi setelah tau Kaf ternyata adalah Kaif (nama belakang Narendra), Nandhia tidak merasa ingin membatalkan khitbah itu. Entahlah. Mungkin memang takdir, lagipula …

"Rasanya menyenangkan setelah berdamai dengan masa lalu, Narendra. Kalau saya menolak kamu hanya karena kejadian di malam itu, itu berarti saya belum berdamai dengan masa lalu," jelas Nandhia.

"Mama saya juga telah memilih kamu, jadi saya tidak punya alasan lagi untuk menolak kamu," tambahnya.

"Jadi ... kamu setengah terpaksa atau pasrah begitu saja?" tanya Narendra, getir. Rasanya menyakitkan jika benar perempuan di hadapannya ini menerima lamarannya karena hal tersebut.

Nandhia menggeleng pelan, "Tidak...," ia kemudian memandang Narendra sekilas, "seperti kamu yang melamar saya karena kamu menginginkannya, saya juga menerima lamaran ini karena saya menginginkannya."

~Side story : After Married~

"Nandhia, kenapa dulu kamu sangat menyukai saya?"

"Dulu? Sekarang pun saya sangat menyukai kamu."

"Maksudnya, bagaimana dan kenapa kamu bisa menyukai saya?"

"Hemm, mungkin karena ...," Nandhia menatap Narendra dalam, "saya buta." Jawabnya lalu tertawa renyah.

"Saya serius, Nandhia."

"Allah membuat saya buta melihat pria lain, lalu menjadikan kamu sebagai penuntun untuk saya. Jadi, tolong tuntun saya, Narendra. Tuntun saya menuju surga-Nya."

~FIN~

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)