Apakah kamu akan memberikan Novel ke ?
Berikan Novel ini kepada temanmu
Masukan nama pengguna
Blurb
"Andai waktu dapat kembali, satu hal yang ingin aku lakukan. Aku ingin ... menghabiskan waktu bersama mereka dengan senyum, canda, dan tawa."
Catatan akhir Smili, 21 Juni 2019
☀☀☀☀☀☀
Hari itu, Smili duduk di atas bukit Matanglau. Di bawahnya, tepat hamparan sawah dan aliran air jernih terukir indah bagai lukisan bernyawa.
Dari ufuk, mentari seolah enggan menampakkan diri. Smili tetap saja bergeming, berharap cerah datang membuka awan hitam yang siap mengguyur semesta alam.
Sesosok pria berjalan menghampirinya. Dandanannya sangat santai. Dengan mengenakan sweater merah berhodie, celana jeans membalut kaki besarnya, kemudian sepatu sneaker lusuh, tampak belum dicuci selama satu bulan. Tak lupa sebuah payung berwarna hitam yang ia pegang.
"Ayo kita pulang, akan turun hujan lebat!"
Dia mengulurkan payung itu pada Smili.
"Aku berharap, cerah akan datang," Smili memandang langit gelap seakan siap runtuh kapan saja.
Pria itu duduk di sampingnya. Menekuk kedua lututnya, kemudian membuka katup payung agar mengembang dengan sempurna.
"Aku akan menemanimu, hingga cerah itu tiba."
Dia bergeming dengan keadaan yang sama.
Smili hanya diam seribu bahasa. Hingga rintik mulai turun menimbulkan aroma tanah yang harum. Guyuran lebat dengan cepat menyiram seribu padi di hadapan mereka. Begitu pun pria itu, seketika pakaiannya basah kuyup. Tidak dengan Smili, payung yang diarahkan padanya menangkis air agar tak jatuh membasahi tubuhnya.
Selang tiga puluh menit, hujan mulai berhenti. Langit mendung membuka celah untuk sang surya. Sinar mentari mulai menyongsong, menyingkirkan sisa gelap awan kumulus.
Cerah ....
Itulah yang terjadi saat hujan berhenti. Bahkan barisan warna warni melengkung indah menghiasi sungai Enim.
Smili tersenyum manis. Akhirnya, cerah datang lagi. Ia bersyukur dengan keadaan ini, dapat menikmati sinar mentari di atas bukit Matanglau.
Sang pria menutup katup payung hitamnya. Smili terperanjat, seakan kesadarannya baru saja kembali. Selama hujan turun pria berambut ikal itu berada di sampingnya, melindunginya, mengorbankan dirinya hingga basah karena hujan.
"Kamu?"
Smili melihatnya menggigil, melipat kedua tangannya ke dalam. Bibirnya berwarna putih pasih, ujung-ujung tangannya berkerut, dengan mata yang mulai terkatup.
"Syukurlah, akhirnya cerah tiba ...." ujarnya sebelum menjatuhkan diri ke tanah. Warna warni lukisan alam seketika kabur berbayang. Cerah matahari berubah menjadi gelap gulita. Suara Smili terdengar samar, memanggil-manggil namanya, kemudian menghilang.
Satu hal yang Smili sadari. Setiap keinginan, tak harus menjadi kenyataan.
Meski akhirnya meraih apa yang dia inginkan. Namun, pengorbanan orang lain akan menjadi penyesalan terdalam.
Catatan akhir Smili, 21 Juni 2019
☀☀☀☀☀☀
Hari itu, Smili duduk di atas bukit Matanglau. Di bawahnya, tepat hamparan sawah dan aliran air jernih terukir indah bagai lukisan bernyawa.
Dari ufuk, mentari seolah enggan menampakkan diri. Smili tetap saja bergeming, berharap cerah datang membuka awan hitam yang siap mengguyur semesta alam.
Sesosok pria berjalan menghampirinya. Dandanannya sangat santai. Dengan mengenakan sweater merah berhodie, celana jeans membalut kaki besarnya, kemudian sepatu sneaker lusuh, tampak belum dicuci selama satu bulan. Tak lupa sebuah payung berwarna hitam yang ia pegang.
"Ayo kita pulang, akan turun hujan lebat!"
Dia mengulurkan payung itu pada Smili.
"Aku berharap, cerah akan datang," Smili memandang langit gelap seakan siap runtuh kapan saja.
Pria itu duduk di sampingnya. Menekuk kedua lututnya, kemudian membuka katup payung agar mengembang dengan sempurna.
"Aku akan menemanimu, hingga cerah itu tiba."
Dia bergeming dengan keadaan yang sama.
Smili hanya diam seribu bahasa. Hingga rintik mulai turun menimbulkan aroma tanah yang harum. Guyuran lebat dengan cepat menyiram seribu padi di hadapan mereka. Begitu pun pria itu, seketika pakaiannya basah kuyup. Tidak dengan Smili, payung yang diarahkan padanya menangkis air agar tak jatuh membasahi tubuhnya.
Selang tiga puluh menit, hujan mulai berhenti. Langit mendung membuka celah untuk sang surya. Sinar mentari mulai menyongsong, menyingkirkan sisa gelap awan kumulus.
Cerah ....
Itulah yang terjadi saat hujan berhenti. Bahkan barisan warna warni melengkung indah menghiasi sungai Enim.
Smili tersenyum manis. Akhirnya, cerah datang lagi. Ia bersyukur dengan keadaan ini, dapat menikmati sinar mentari di atas bukit Matanglau.
Sang pria menutup katup payung hitamnya. Smili terperanjat, seakan kesadarannya baru saja kembali. Selama hujan turun pria berambut ikal itu berada di sampingnya, melindunginya, mengorbankan dirinya hingga basah karena hujan.
"Kamu?"
Smili melihatnya menggigil, melipat kedua tangannya ke dalam. Bibirnya berwarna putih pasih, ujung-ujung tangannya berkerut, dengan mata yang mulai terkatup.
"Syukurlah, akhirnya cerah tiba ...." ujarnya sebelum menjatuhkan diri ke tanah. Warna warni lukisan alam seketika kabur berbayang. Cerah matahari berubah menjadi gelap gulita. Suara Smili terdengar samar, memanggil-manggil namanya, kemudian menghilang.
Satu hal yang Smili sadari. Setiap keinginan, tak harus menjadi kenyataan.
Meski akhirnya meraih apa yang dia inginkan. Namun, pengorbanan orang lain akan menjadi penyesalan terdalam.
Ulasan kamu
Ulasan kamu akan ditampilkan untuk publik, sedangkan bintang hanya dapat dilihat oleh penulis
Apakah kamu akan menghapus ulasanmu?
Disukai
0
Dibaca
1k
Rekomendasi dari romantis
Novel
Asa Ayuni
Falcon Publishing
Novel
Elegi Rinaldo
Falcon Publishing
Novel
Lara Miya
Falcon Publishing
Novel
Melankolia Ninna
Falcon Publishing
Novel
Lesap
Falcon Publishing
Novel
Replace
Falcon Publishing
Novel
Reverse
Falcon Publishing
Novel
Yusuf Zulaikha
Falcon Publishing
Novel
Menemani Setiap Detik Rasa Sepi
Falcon Publishing
Novel
Kalau Baper Makan Dulu
Falcon Publishing
Novel
Inikah Rasanya?
Falcon Publishing
Novel
Anna & Bara
Falcon Publishing
Novel
ASAL KAU BAHAGIA
Falcon Publishing
Novel
MEMBUNUH CUPID
Falcon Publishing
Novel
To You
Noura Publishing