Masukan nama pengguna
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang wanita dengan kursi roda melihat seorang wanita pemalu yang terus mengamati pintu masuk divisi 15.
“Umm ... saya ingin mencari Mas Aybe Rahm,” jawab wanita pemalu itu dengan gugup. Wanita berkusi roda itu menatap dengan sorotan menyelidik. Dia tidak mengingat temannya itu memiliki teman wanita di luar divisi 15.
“Namamu siapa ya?” tanya wanita kursi roda itu penasaran. Wanita pemalu itu akhirnya menyebutkan namanya setelah terdiam untuk beberapa saat.
“Naila Shiro,” lirih wanita pemalu itu kemudian berharap dia tidak menyebutkan bagian nama keluarga. Wanita kursi roda itu terkejut mendengar nama keluarga besarnya disebutkan. Dia jelas tidak hafal seluruh keluarga besar Shiro yang sangat banyak.
“Ah, maaf aku gak sadar kamu keluarga Shiro. Aku Sayekti,” ucap wanita kursi roda itu memperkenalkan namanya. Naila sebenarnya mengetahui Sayekti, tetapi dia terlalu malu untuk menyebut namanya.
Keluarga besar Shiro banyak yang menolak mengakui Sayekti setelah wanita itu mengalami kecelakaan di salah satu misinya sekitar 25 tahun lalu. Keluarga Shiro menyebut Sayekti Shiro sebagai memalukan keluarga besar Shiro. Semenjak itu, Sayekti Shiro sepenuhnya berada di bawah naungan divisi riset alias divisi 15 dari tim penjaga. Sayekti tidak memakai nama Shiro semenjak itu pula.
Ada rumor bahwa Aybe Rahm mengajukan Sayekti untuk diintegrasikan ke keluarga Rahm, tetapi ditolak oleh pemimpin besar keluarga Rahm yang merupakan ayah Aybe sendiri, Xarris Rahm.
Meskipun banyak pihak keberatan dengan kehadiran Sayekti Shiro di militer baik dari Shiro maupun pihak lainnya, Affad Rahm yang kala itu menjadi kepala divisi mengatakan bahwa Sayekti Shiro bukan bagian dari militer. Wanita itu menjadi bagian dari tim riset internal divisi 15. Sayekti adalah satu-satunya tim riset yang tidak berperan di militer.
Sayekti sendiri masih terlihat seperti dewasa awal, mengingat seorang penjaga seperti Sayekti dan Naila sangat lamban menua. Naila secara penampilan sekitar tiga tahun lebih muda dibandingkan Sayekti, meskipun mereka sekitar dua puluh lima tahun berbeda secara usia.
“Salam kenal, Mba Sayekti,” ucap Naila seramah mungkin. Dia takut jika Sayekti tidak menyukai kehadirannya karena nama Shiro yang dia pegang. Naila melihat Sayekti berpikir sejenak sebelum mempersilakan Naila masuk.
“Kenapa mencari Aybe?” tanya Sayekti sementara mereka berjalan menuju kantor Aybe yang sekarang menjadi kursi ketiga divisi 15. Sayekti mengetuk pintu kantor itu.
“Siapa di sana?” terdengar suara Aybe dari luar. Suara pria itu terdengar lelah, seakan tidak bertenaga.
“Sayekti. Aku bawa tamu, Aybe,” jawab Sayekti. Naila dan Sayekti mendengar Aybe batuk kecil, kemudian beranjak membuka pintu. Naila melihat Aybe yang memiliki mata panda, sepertinya kelelahan. Pakaian pria itu terlihat lumayan berantakan.
“Ah maaf. Aku pulang dari misi dan belum sempat istirahat cukup,” ucap Aybe memohon maaf atas kondisinya. Naila melihat Sayekti langsung menegur Aybe.
“Kamu itu, sudah dibilang kalau selesai misi istirahatnya jangan di kantor!” tegur Sayekti dengan sorotan tajam. Aybe menggaruk kepalanya kikuk.
“Siap, Ketua Tim,” jawab Aybe dengan nada tertawa kecil. Naila merasa dia sedang mengganggu. Aybe kemudian melihat ke arah tamunya, lalu ada senyuman tipis terlukis di wajahnya.
“Oh, Naila Shiro ya. Aku ada dengar dari Assar Rahm. Kursi sembilan dari divisi 14,” komentar Aybe santai. Naila terlihat tersipu malu dan wajahnya memerah mendengar nama itu disebutkan. Nama yang membuat Naila memutuskan untuk datang ke tempat ini dari semua tempat.
“Ada keperluan apa?” tanya Aybe kepada Naila. Naila panik di pikirannya, bingung ingin mengatakan apa. Tubuh Naila mematung, membuat Sayekti dan Aybe bingung.
“Ummm ... saya mau ... dibantu belajar ... awakening,” ucap Naila terbata-bata. Sayekti dan Aybe terkejut dengan permintaan itu. Sayekti tampak ingin protes melihat kenekatan Naila.
“Kamu sudah bisa manifestasi?” tanya Aybe. Naila menggelengkan kepalanya.
“Mungkin kamu mulai dari sana dulu,” saran Sayekti. Aybe menganggukkan kepala sebagai persetujuan.
“Aku akan mengajarkan tentang awakening dengan syarat kamu sudah bisa melakukan manifestasi. Kalau aku boleh tahu, apa alasanmu mencoba mendapatkan awakening?” tanya Aybe seraya menjelaskan persyaratan dia berkenan melatih Naila. Naila tampak terdiam mendengar pertanyaan itu.
Wanita itu mempertimbangkan opsinya. Apakah pantas untuk berbohong pada calon gurunya? Naila merasa itu adalah sebuah hal yang sangat tidak elegan. Cepat atau lambat, kebohongan Naila akan segera terbongkar.
“Mas Aybe, Mba Sayekti, apa boleh ... alasan saya ... tidak di tempat terbuka seperti ini?” pinta Naila dengan nada pelan. Aybe dan Sayekti saling menatap satu sama lain, sama-sama penasaran dengan alasan Naila meminta kerahasiaan. Akhirnya, Aybe dan Sayekti kembali melihat ke arah Naila dan menganggukkan kepalanya.
“Masuk ke ruanganku. Kita bicarakan di sana,” ucap Aybe dan Naila menganggukkan kepalanya. Sayekti melihat ke arah Aybe seakan bertanya apa sebaiknya dia ikut atau kembali dengan pekerjaannya.
“Kamu ikut juga, Sayekti,” ucap Aybe lagi. Aybe kemudian berjalan untuk membawa Sayekti dan kursi rodanya ke ruangan Aybe.
“Baiklah. Apa alasanmu, Naila?” tanya Aybe seraya memposisikan Sayekti di samping meja kerjanya. Aybe sendiri duduk di kursi kerjanya.
“Assar Rahm,” jawab Naila setelah hening cukup lama. Sayekti seakan langsung bisa menghubungkan apa yang sebenarnya tidak dikatakan dari melihat Naila yang langsung menutup wajahnya dengan malu. Aybe tampak sedikit bingung.
“Oh. Kamu ingin buat Assar takjub gitu ya?” tanya Sayekti dengan nada riang. Aybe langsung memahami dari kalimat Sayekti. Dia juga tersenyum tipis melihat Sayekti yang ceria. Naila tetap menutup wajahnya yang semakin memerah.
Aybe mengembuskan napas tipis, “Aku akan ajarkan dari sekarang kalau begitu. Untuk bisa mencapai awakening, kamu harus memiliki sebuah tujuan. Aku rasa kamu sudah memiliki itu. Selanjutnya, kamu harus lebih sering mengunjungi inner world dirimu sendiri untuk menyatukan ritme dengan senjatamu.”
Naila tampak serius memperhatikan arahan Aybe dan menganggukkan kepalanya. Dia harus bisa membuat senjata apinya itu membantunya mencapai awakening.
“Kakakku pernah membuat beberapa ruangan rahasia di gedung ini untuk berlatih bagi orang-orang yang serius dan meminta padanya. Dia meninggalkan aksesnya kepada orang-orang penting di divisi 15 saat naik menjadi pasukan khusus penjaga Kaisar.”
Aybe beranjak dari kursinya lalu membawa kursi roda Sayekti seraya melihat ke arah Naila.
“Ikuti aku. Kita akan mencari tahu apa kekuatanmu,” jawab Aybe lagi dan mereka bertiga keluar dari ruangan Aybe. Aybe membawa mereka ke sebuah ruangan yang ternyata merupakan dimensi terpisah. Naila tampak kagum bahwa ruangan kecil ternyata menyimpan sebuah area latihan yang sangat luas.
“Aku tidak percaya ruangan yang dari luar tampak kecil ini ternyata sangat luas,” ucap Naila pelan kepada dirinya.
“Ini salah satu ruangan Affad Rahm yang dia ciptakan. Dia menjadi Pasukan Penjaga Kaisar atas pencapaiannya di bidang dimensi,” ucap Aybe lagi. Aybe memposisikan Sayekti di dekat salah satu area penonton di tempat latihan itu.
“Aku akan menguji kemampuanmu,” ucap Aybe seraya mengeluarkan busur panahnya. Naila menyadari bahwa Aybe terlihat serius dan Naila harus memberikan semuanya.
“Kamu tidak ingin aku dulu melatihnya?” tanya Sayekti. Naila terkejut mendengar kalimat itu. Naila melihat ke arah Sayekti. Naila tahu bahwa Sayekti dulu adalah salah satu anggota kursi di divisi 15, dengan kata lain kemampuannya termasuk top 10 di divisi 15 pada masanya. Hanya saja, itu 25 tahun lalu sebelum wanita itu mengalami insiden.
“Selama kamu tidak memaksakan dirimu, Sayekti. Aku tidak ingin Jendral Celice atau Letnan Dian mengamuk karena aku membuatmu kelelahan seperti waktu sparring bulan lalu,” komentar Aybe mengingatkan. Sayekti menganggukkan kepalanya. Naila tampak terkejut.
Bagaimana bisa Sayekti bertarung melawan Aybe sementara wanita itu menggunakan kursi roda? Menyerang sih memungkinkan, tetapi bertahan? Naila melihat Aybe membawa Sayekti ke salah satu sisi lapangan latihan.
“Naila! Kamu ambil sisi sana!” teriak Aybe yang membuat Naila kembali ke kenyataan sepenuhnya dan segera menganggukkan kepalanya. Naila memposisikan diri dan melihat Sayekti sudah mengeluarkan panahnya. Panah itu terlihat seperti panah biasa.
Naila sudah di posisinya dan menyiapkan panahnya pula. Aybe lalu mengambil posisi di area penonton.
“Bertarunglah seakan nyawa kalian dipertaruhkan. Aku akan menghentikan kalian jika serangan kalian akan berakibat lethal,” ucap Aybe dari posisi penonton, “Semua boleh kalian gunakan tanpa kecuali. Mulai!”
Naila melihat Sayekti langsung mengarahkan busurnya ke Naila dan Sayekti mengaktifkan pelepasan senjatanya. Busur itu bersinar menandakan kekuatannya telah dilepaskan dan kemudian ribuan panah menyerang ke arah Naila.
“Rain below, Light Rain!”
Naila segera mengaktifkan pelepasannya untuk membalas pelepasan Sayekti. Busurnya bersinar merah dan Naila segera melepaskan panah dari busurnya.
“Incinerate, Red Burning Tree!”
Panah Naila yang berwarna merah dan membidik Sayekti menjalar seperti pohon yang rantingnya menyebar kemana-mana, memblokir sebagian besar serangan Sayekti tetapi kekuatan Naila jelas kalah dibandingkan Sayekti.
“Barrier 45: White Wall!”
Naila segera menciptakan dinding putih untuk memblokir panah Sayekti yang terlalu dekat untuk kenyamanan Naila. Dinding itu berhasil menghalau panah-panah Sayekti yang lolos dari ranting panah Naila.
Naila menembakkan panah kedua, begitu pula Sayekti dengan hujan panah kedua. Naila menyadari panah Sayekti membelah menjadi ribuan panah begitu ditembakkan. Jika Naila mencoba untuk mengadu panah, panah ranting Naila jelas kalah kekuatan. Naila harus mencari cara selain menggunakan panahnya.
Dinding yang Naila ciptakan juga retak dengan cepat oleh hujan panah kedua. Naila mempertimbangkan untuk maju, mengingat Sayekti tidak mungkin untuk bergerak terlalu cepat. Kemampuan keluarga Shiro miliknya seharusnya bisa membantu untuk itu.
Naila sebenarnya enggan menggunakannya. Dia memang tidak terlalu terlihat di kehidupan orang-orang sekitarnya, tetapi karena itu dia membenci kekuatan yang dia dapatkan karena membuat rasa tidak terlihat itu semakin menyakitkan. Selama ini, Naila tidak pernah memakainya karena dia membenci kekuatannya itu.
Naila mulai mengaktifkan The Transparent, kemampuan yang dia dapatkan dari panah suci keluarga Shiro. Untuk menyamarkan kemampuannya, Naila menembakkan beberapa panah yang membuat Sayekti membalas dengan sangat agresif. Dia juga membuat beberapa dinding putih untuk bertahan.
Saat seluruh asap dari serangan mereka yang saling beradu pudar, Sayekti menyadari Naila telah menghilang. Hanya saja, Naila bingung dengan Sayekti yang memilih untuk menutup matanya. Naila memutuskan untuk tidak ambil pusing dan berpindah posisi untuk memberikan serangan kejutan pada Sayekti.
“Kemampuanmu transparansi ya, Naila?” tanya Sayekti dengan tenang yang membuat Naila terkejut tetapi tidak memberikan balasan.
“Kamu seharusnya hati-hati melangkah. Akan sia-sia kemampuanmu jika orang bisa menjebakmu dengan mantra, seperti posisi kakimu saat ini,” komentar Sayekti yang membuat Naila terkejut dan menyadari dia telah menggeser sebuah kawat tipis yang merupakan mantra milik Sayekti.
“Bind 68: Ground-bound Heavenly Wires.”
Naila menyadari dia berada di tengah dari formasi bintang mantra Sayekti. Tubuhnya juga tidak bisa bergerak karena ada kawat yang mengikat kedua kakinya ke tanah.
“Destruction 72: White Flash Star Formation.”
Naila kaget mendengar mantra level 72, level sangat tinggi, digunakan tanpa mantra lengkapnya sama sekali. Sayekti juga baru saja menggunakan 68 tepat sebelumnya. Naila saja kesulitan menggunakan di atas 45 tanpa mantra lengkapnya. Dia bisa terluka parah dari kedua serangan itu.
Naila bisa mendengar ledakan dan tubuhnya seakan dihancurkan oleh ledakan itu. Transparansinya kembali ke kondisi normal, membuatnya terlihat bagi Sayekti dan Aybe. Tubuhnya terluka, pakaiannya juga rusak, tetapi serangan itu tidak se-berbahaya yang dia sangka.
Aybe segera memerintahkan mereka untuk menghentikan pertarungan dan pria itu segera memeriksa kondisi Naila. Naila menyadari ada sebuah energi perisai yang memudar perlahan.
“Kamu gak sparring melawanku, Sayekti. Setidaknya aku bersyukur kamu tidak menggunakan White Blaze,” ucap Aybe melihat Naila yang mengalami luka bakar. Pria itu segera menggunakan kemampuan mantranya untuk menghapuskan luka-luka itu. Naila bisa merasakan bahwa kekuatan Aybe tidak terlalu di desain untuk memulihkan, tetapi pria itu jelas berusaha peduli. Sayekti juga menggerakkan kursi rodanya ke tempat Naila dan membantu memulihkan serta meminta maaf kepada Naila.
Naila menyadari bahwa Sayekti jelas lebih kuat dari dirinya. Jauh lebih kuat. Bagaimana bisa orang seperti Sayekti dicoret dari keluarga besar Shiro kala jelas Sayekti memiliki kekuatan yang jauh di atas orang seperti Naila, Cecilia, Haifa, dan Masturah yang merupakan wanita-wanita petarung terbaik di keluarga Shiro? Bahkan Camilia Shiro, Letnan Divisi 8 yang merupakan divisi khusus keluarga besar Shiro saja jelas tidak sampai se-ekstrem Sayekti.
“Kemampuan tadi ... kemampuan tingkat tinggi, Mba Sayekti,” komentar Naila pada akhirnya kala dirinya sudah merasa lebih baik berkat bantuan Aybe dan Sayekti. Naila takut kalimatnya menyinggung jika membahas bahwa dia berpikir itu tidak kekuatan penuh.
“Sayekti dibimbing oleh Jendral Celice dan Jendral Affad semenjak 25 tahun lalu,” komentar Aybe yang membuat Naila terkejut. Sayekti di bawah bimbingan jendral yang telah dipromosikan sebagai penjaga khusus secara langsung menjelaskan bagaimana wanita itu bisa menggunakan kemampuan seperti itu.
“Celice yang bersikeras kepada Affad memberikan pelatihan pada Sayekti. Dia mengatakan kondisi Sayekti adalah kesalahan Affad memberikan misi pada 25 tahun lalu itu,” ucap Aybe lagi.
Naila tidak terkejut bahwa Jendral Celice dari divisi 15 sangat peduli dengan anak buahnya maupun divisi lain. Di kalangan para penjaga, Jendral Celice terkenal baik kepada semua orang, meskipun dia termasuk letnan terkuat dengan potensi sebagai kapten saat Affad masih menjadi kapten. Dia adalah kontras dari Affad yang dicap egois dan apatis, serta normal dari keanehan sang kapten.
“Naila, kamu kursi 9 ‘kan?” tanya Aybe memverifikasi. Naila menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu, jangan terlalu memusingkan kekalahanmu. Sayekti adalah eks kursi 8. Saat ini dia bisa dibilang setara denganku, kursi 3,” ucap Aybe lagi menenangkan Naila. Naila menganggukkan kepalanya pelan.
Kursi 8 dan sekarang bisa dikatakan level Letnan. 25 tahun biasanya tidak secepat ini di kalangan penjaga. Sepertinya memang beda mereka yang dibimbing langsung oleh jendral seperti Celice dan Affad. Hanya saja, janggal jika kursi 3 menggunakan mantra tinggi berkelanjutan dan tidak merasakan lelah tetapi kekuatannya cukup terjaga. Itu setidaknya letnan kelas menengah atau tinggi, atau level jendral.
“Sayekti, aku tahu destruktif-mu itu seratus persen di level 70 sampai 75, jadi tolong banget kalau nanti melatih orang hati-hati banget dengan level 70 mu. Aku saja harus menggunakan mantra perisai 80 untuk menahan efeknya.” Naila terkesiap mendengar Aybe yang sedang menegur Sayekti. Dua orang itu sepertinya akan berdebat terkait penggunaan mantra Sayekti.
“Ya maaf ya. Kamu selalu memakai 70-an dan 80-an kalau kita bertarung jadi aku terbiasa memakai level tinggi,” balas Sayekti tidak terima.
“Sekarang gunakan level tinggi kalau lawan sparring mu bisa menyesuaikan deh,” ucap Aybe memberikan perintah halus. Sayekti tampak merengut kepada Aybe tetapi menganggukkan kepalanya.
“Iya iya,” ucap Sayekti malas. Nada wanita itu sangat kesal.
“Maaf bikin gak enak,” ucap Aybe lagi, “kemampuanmu jauh lebih baik. Terakhir kamu langsung terengah-engah setelah menggunakan berkelanjutan seperti itu.”
Rengutan di wajah Sayekti perlahan memudar, “Makasih.”
Naila terkadang bingung relasi Aybe dengan Sayekti.
“Kamu masih bisa bertarung lagi, atau mau dicukupkan?” tanya Aybe kepada Naila. Naila ingin menyerah, tetapi dia teringat bahwa dia ingin membuat Assar takjub bahwa seseorang di kursi 9 seperti dirinya bisa mencapai awakening. Dia mungkin juga akhirnya bisa melawan Celice jika dia memiliki kekuatan besar itu.
“Saya masih bisa, Mas Aybe,” jawab Naila dengan nada serius. Sayekti terlihat khawatir, sementara Aybe menganggukkan kepalanya.
“Sayekti, kamu tonton dari dekat saja. Akan lebih mudah menghentikanku jika aku berlebihan kalau kamu di sini,” ucap Aybe yang dianggukkan oleh Sayekti. Aybe kemudian menginstruksikan Naila untuk bersiap di posisi masing-masing.
“Siap. Mulai!” teriak Sayekti.
“Aim the skies, Electrica!”
“Incinerate, Red Burning Tree!”
Naila melihat sebuah perisai menghalau panah kilat milik Aybe di detik terakhir sebelum panah itu berhasil memotong tangan kanannya. Sayekti langsung menegur Aybe dengan teriakan.
“Ukur kekuatanmu, Aybe! Kamu tadi marah aku pakai 70-an! Itu panahmu hampir belah tangan anak orang!”
Naila menyadari bahwa serangan tadi tidak terencana sekuat itu. Aybe langsung berteriak balik seraya menonaktifkan pelepasan panahnya.
“Iya. Maaf maaf. Kita impas ya, Sayekti.”
Lawan Naila adalah seorang Rahm yang bersaudara dengan seorang penjaga khusus. Naila tidak bisa lengah sedikit pun.
Naila menembakkan empat panah dan sebaran ranting api dari panahnya itu jelas akan mengunci Aybe. Naila sebenarnya berharap panahnya memiliki kekuatan lain, semacam kemampuan turunan dari pelepasannya.
“Barrier 45: Shadow Wall!”
Naila tiba-tiba mendapatkan ide. Mungkin mantra bisa memberikan efek yang dia harapkan, yaitu ledakan dahsyat dari ranting panahnya. Selama ini, Naila tidak pernah terpikir menggabungkan senjatanya dengan mantra.
“Destruction 42: White Ball!”
Bola putih ditembakkan ke arah ranting-ranting panah Naila. Naila yakin ledakannya cukup untuk membuat Aybe setidaknya merusak pakaian. Hanya saja, Naila terkejut kala mendengar apa yang berikutnya digunakan oleh Aybe.
“Barrier 83: Shadow Separating Void!”
Ledakan yang dihasilkan oleh serangan itu sangat dahsyat hingga Naila harus melindungi matanya dari daya ledakan itu sendiri. Tubuhnya juga terhempas menjauh oleh angin ledakan, tetapi dia tidak terluka.
Saat ledakan itu memudar, mereka bertiga terkejut melihat perisai Aybe retak oleh serangan Naila. Naila tersenyum bangga melihat ide kecilnya meretakkan sebuah mantra di level 80-an.
“Setengah dari kekuatan penuh perisai level 80-an hancur oleh serangan seperti itu,” ucap Sayekti tidak percaya. Aybe juga tampak terkejut. Perlahan, senyuman terukir di wajah Aybe.
“Kamu tidak pernah melakukan seperti ini sebelumnya?” tanya Aybe seraya menghapus perisai yang retak itu. Naila menggelengkan kepalanya.
“Ide dari pelepasan panah saya adalah mengunci gerakan lawan sementara tubuhnya dibakar oleh api yang ada,” jawab Naila dengan nada cukup percaya diri. Menyaksikan kekuatannya mampu melawan level 80-an tentu membanggakan.
“Seharusnya aku menggunakan mantra lengkap ya,” komentar Aybe lagi seraya mengaktifkan pelepasan panahnya lagi.
“Electrica.”
Naila menyadari Aybe tidak memakai perintah pelepasan. Dia pernah mendengar dari Jendral Ridwan Rahm divisi 14 dia berada bahwa seseorang dengan awakening bisa memakai pelepasan tanpa perintah. Naila baru menyaksikan langsung hal itu.
“Ukur panahmu,” tegur Sayekti mengingatkan. Aybe menganggukkan kepalanya. Aybe langsung menembakkan banyak panah petir, tetapi kecepatannya tidak secepat panah kilat yang hampir memotong tangan Naila.
Naila membalas dengan menembakkan panah-panah ranting miliknya untuk mengimbangi hujan panah petir dari Aybe. Naila menyadari bahwa jumlah panah Aybe lebih sedikit dari Sayekti kala ranting-rantingnya berhasil menghalau semua panah Aybe.
“Wannabe banget ya, Aybe. Kamu tahu kalau adu cepat panah kamu kalah terus sama aku,” komentar Sayekti mengejek.
“Ingatkan aku bagaimana kamu tidak terbelah dua kalau bukan karena perisai Kak Affad?” ejek Aybe balik. Naila memahami bahwa teknik Aybe menyalin teknik Sayekti dan mereka sering bertengkar perihal hal sepele seperti itu. Mungkin hubungan mereka yang menggambarkan untuk Naila adalah kekasih yang sudah tua.
“Sepertinya kemampuan panahmu bagus. Bagaimana dengan mantra?” tanya Aybe datar. Naila yang akan menjawab dikejutkan dengan Aybe menembakkan sebuah peluru hitam dari tangan pria itu. Electrica Aybe sendiri sudah tersegel kembali menjadi busur dan panah biasa.
Naila mengelak dari peluru hitam itu, tetapi dia menyadari bahwa Aybe meminta jawaban dalam bentuk mantra. Naila segera menggunakan mantra untuk bertarung.
“Destruction 12: Flashing Light!”
Kilat cahaya nyaris mengenai Aybe, tetapi sebuah perisai menghalau cahaya itu. Naila langsung menyadari itu perisai lain dari Aybe. Hanya saja, perisai itu menyerap serangannya dan menembakkannya balik.
“Barrier 61: Thanathian Wall!”
Naila tiba-tiba menyadari bahwa selama ini misi-misinya tidak pernah melibatkan sihir kelas atas. Dia sendiri jarang memakai sihir di atas level 30. Rekan-rekan kursi lainnya juga, selama Naila perhatikan, jarang memakai di atas 50 kecuali Assar. Hari ini, dia mendengar lebih banyak mantra level 60 ke atas dibandingkan seluruh karirnya sebagai penjaga.
“Thanathian Wall menghalau serangan hingga setara level 63 mantra kehancuran,” komentar Aybe datar. Naila menyadari bahwa dia harus mencoba menggunakan mantra di level 60-an dengan inkantasi penuh. Ada satu yang sedang dia pelajari, tetapi terakhir dia mencobanya dengan Senya Aquila sebagai pengamat dan pemeriksa berakhir dengan dia di divisi 5 alias rumah sakit.
“Whisper the skies and the seas.”
Naila yang mulai mencoba melakukan mantra lengkap menyadari bahwa Aybe tidak akan tinggal diam dan pria itu menembakkan mantra-mantra level rendah untuk mengganggu konsentrasi Naila. Naila harus mencari cara mendistraksi Aybe atau fokus dengan mantra lengkapnya.
“Shake the light and darkness fades away. Barrier 28: Crawling Light Wall!”
Aybe tersenyum melihat Naila memotong mantra lengkap dengan mantra lain tetapi energinya tidak terinterupsi. Menembakkan mantra level rendah ke perisai itu jelas tidak berguna.
“The convergence of twin light upon one point. Thee fires cleanse darkness twin not.”
Aybe mempertimbangkan menggunakan mantra level 30-an, tetapi dia menyadari energi berkumpul untuk menyerangnya. Naila telah selesai dengan mantra lengkapnya.
“Destruction 67: Twin Light Convergence!”
Aybe melihat dua sinar cahaya ditembakkan oleh Naila ke arahnya. Perisai Thanathian Wall dengan cepat retak oleh serangan cahaya itu dan Aybe menyadari bahwa dirinya akan terluka berat, tetapi dia sempat mempersiapkan perlindungan lain tepat di detik terakhir.
“Aybe!” teriak Sayekti menyaksikan ledakan dari mantra Naila. Naila dan Sayekti memperhatikan asap ledakannya mulai memudar. Sepasang sayap melindungi tubuh Aybe.
“Cumulonimbus Storm.”
Naila terkejut Aybe sampai menggunakan awakening untuk menghadapi mantra level 67 miliknya. Aybe seharusnya bisa menciptakan mantra perisai lain.
“Ah. Aku terlalu panik untuk memikirkan mantra sehingga mengaktifkan ini secara insting,” ucap Aybe dengan jujur. Naila terkejut mendengar kata ‘insting’. Aybe bisa mengaktifkan awakening secara insting?
“Bukankah kita harus melakukan posisi tertentu untuk mengaktifkan awakening, seperti kita mengaktifkan pelepasan?” tanya Naila kepada Aybe.
“Dengan latihan, awakening bisa diaktifkan bahkan saat terjepit tanpa respons aktivasi yang lazim digunakan. Kak Ridwan biasanya bisa melakukan ini,” jawab Aybe. Naila tampak berpikir sejenak setelah sempat terkejut untuk sesaat.
Naila ingat kala Letnan Aquila nyaris di bunuh oleh musuh di salah satu misinya beberapa pekan silam dan Jendral Rahm menghalau serangan fatal itu. Setelahnya, para anggota elit divisi 14 semua mengetahui awakening Jendral Ridwan Rahm. Mereka tidak pernah memikirkan lebih jauh soal aktivasi hari itu sangat instan mengingat Jendral Ridwan Rahm tidak dalam kondisi awakening saat sampai di depan Letnan Aquila untuk menghalau serangan.
“Saya ... tidak terpikirkan sewaktu satu kali menyaksikannya,” ucap Naila pada akhirnya. Aybe memahami apa yang dimaksud Naila.
“Misi melawan salah satu monster dengan kemampuan menghalau serangan pelepasan dan sebagian besar mantra ‘kan? Aku ingat Kak Ridwan tiba-tiba panik dan meninggalkan posisi sampai dia dihukum oleh Jendral Besar. Ibu menceritakannya padaku,” komentar Aybe. Sayekti menjadi penasaran.
“Sama seperti misi kita dulu?” tanya Sayekti. Aybe tiba-tiba terdiam.
“Iya,” ucapnya sedikit getir setelahnya. Aybe terkadang lupa bahwa monster yang sama nyaris membunuh dirinya dan Sayekti. Sudah 25 tahun mereka tidak mendapatkan informasi monster serupa.
“Kemampuan monster itu mungkin menyebar di kalangan penghancur,” komentar Aybe sedatar mungkin untuk menutup getir di nadanya, “dan setelah sekian lama ada yang menyerang lagi ke tempat kita.”
“Jika kemampuan itu menyebar luas di kalangan penghancur, penjaga semuanya akan kewalahan. Aku rasa kamu harus benar-benar serius mewujudkan tekadmu, Naila,” ucap Sayekti.
Naila sekarang mengerti. Monster yang nyaris membuat misi yang sebagian besar kursi dan letnan divisi 14 terbunuh serta kehilangan 30 lebih anggota, serupa dengan apa yang menjadi insiden Sayekti Shiro.
“Monster yang ada di laporan Kak Ridwan lebih lemah dibandingkan yang dihabisi oleh Kak Affad,” komentar Aybe kepada Sayekti, “artinya genetiknya menyebar ke monster yang lebih lemah, tetapi bukan genetik umum.”
“Mungkin kita bicarakan setelah latihan saja, Aybe,” tawar Sayekti. Aybe menganggukkan kepalanya, menyadari bahwa Naila juga mendengarkan.
Hanya saja, Naila sekarang mengerti kenapa dua orang yang akan menjadi gurunya untuk mendapatkan awakening ini kuat. Mereka kuat karena mereka trauma. Mereka kehilangan 90% dari tim mereka. Jika bukan karena diselamatkan oleh Jendral Affad Rahm, mereka berdua juga mungkin as good as dead.
“Oh ya. Kamu masih mau lanjut?” tanya Aybe kepada Naila.
“Saya rasa saya cukup,” jawab Naila pelan. Aybe menonaktifkan awakening-nya.
Naila sebenarnya sekarang penasaran dengan kebenaran peristiwa insiden 25 tahun lalu itu. Insiden itu selalu dijadikan pelajaran pentingnya mundur dari misi saat situasi mustahil, tetapi rinciannya sangat samar untuk orang-orang yang tidak menjadi elit divisi. Ada banyak yang ditutupi.
Naila tidak menduga monster itu bukan hanya kuat, tetapi justru tidak bisa diserang sama sekali kecuali dengan awakening. Hari itu, dia menyaksikan awakening Jendral Ridwan Rahm yang datang membantu. Saat debriefing, Jendral Ridwan Rahm mengatakan bahwa apabila menghadapi monster serupa, semua elit wajib menghubungi Jendral Ridwan Rahm atau Kursi 3 Assar Rahm, yang membuat semuanya tahu Assar Rahm memiliki awakening serta mundur secepat mungkin.
“Kamu bisa balik duluan, Naila. Aku ada perlu dengan Sayekti,” ucap Aybe.
“Umm ... Mas Aybe,” ucap Naila ragu. Aybe melihat ke arah Naila.
“Ada apa?” tanya Aybe.
“Apa saya boleh tahu kebenaran dari misi 25 tahun lalu yang orang-orang selalu penasaran?”