Masukan nama pengguna
Jika saja bukan karena sesuatu yang sangat mendesak, manalah sudi aku menemui kawan lamaku di Jogja itu. Arif Arafah, sudah sekian tahun terakhir kuhapus namanya di Blackberry Messenger. Delkon permanen, selalu abaikan permintaan pertemanan darinya.
Untung saja, laman facebook-nya masih terhubung, meskipun hanya 1 dari 30 postingannya yang kubaca. Posting terakhir yang kubaca dan kuingat, sedikit menyakitkan hati. Arif menulis: Percaya itu lebih mudah daripada berpikir, karena itu lebih banyak orang beriman daripada orang atheis. Selama ini aku merasa sebagai orang beriman, padahal di sisi yang lain aku juga orang yang sangat pemikir.
Pemikir itu maksudnya segala sesuatu selalu dipikirkan secara mendalam. Misalnya ketika aku bangun kesiangan, hal pertama yang kulakukan adalah duduk lama di tempat tidur, memikirkan kenapa aku bisa bangun kesiangan. Apakah karena badanku yang tidak fit, atau karena semalam tidurku terlambat. Jika karena badan tidak fit, aku akan mencari tahu penyebabnya: apakah karena terlalu keras bekerja atau karena salah satu makanan yang kuudap. Jika semalam tidur terlambat, aku akan mencari tahu penyebabnya: apakah karena banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan hingga larut malam atau karena terlalu lama menimbang-nimbang jam berapa aku sebaiknya tidur malam itu. Terus terang saja, alasan terakhir itu yang lebih sering terjadi.
* * *
"Sesuatu yang sangat mendesak" bisa bermacam-macam artinya. Ritual pagi di toilet juga bisa menjadi sesuatu yang sangat mendesak bagi sebagian orang. Bagiku sih tidak. Tentu saja karena hanya ada satu kamar mandi merangkap toilet di rumahku. Satu toilet itu praktis, begitu kebelet tinggal masuk saja, tak perlu berlama-lama menimbang mau pakai toilet yang mana.
Secara singkat akan kuceritakan tentang "sesuatu yang sangat mendesak" yang membuatku menebalkan muka menemui Arif Arafah untuk meminjam uang sebesar Rp 100 juta.
Alkisah, aku dan istriku ingin punya rumah di Jogja yang akan kami jadikan rumah tempat kami menikmati hari-hari terakhir kami di masa tua. Dana sudah disiapkan (tentu saja dengan menjual ini-itu, meminjam sini-sana). Rumah pun sudah ditemukan. Harganya Rp 287 juta.
Karena kami tinggal di Bekasi, dan saat itu pekerjaanku begitu menumpuk, aku mempercayakan segala urusan jual-belinya kepada Ishak Husen. Ishak adalah kawan lamaku juga, seperti Arif, tapi dari komunitas yang berbeda. Seharusnya semua berjalan lancar karena Ishak seorang sarjana teknik sipil yang berpengalaman di bidang taksir-menaksir properti. Dia bahkan menjabat sebagai Kepala Seksi Penilaian Gedung dan Bangunan di kampus tempatnya mengajar, Universitas Tujuh Tujuh (UTT).
Tetapi tanpa setahuku, sebagian besar uangku ditanamkan di investasi komoditas berjangka. Hanya Rp 65 juta saja yang dibayarkan ke penjual rumah. "Sisanya kudepositokan, nanti akan kucairkan kalo urusan IMBnya sudah selesai," katanya kepadaku. Belakangan kutahu, IMB sebenarnya tidak ada masalah. Ishak menjadikannya kambing hitam demi mengulur waktu semata. Dengan penjual, Ishak membuat perjanjian, bahwa kekurangan pembayaran rumah akan dibayar bertahap tiap bulan sebesar Rp 50 juta (uangnya dari hasil investasi diam-diam itu). Ketika investasi tersebut ternyata bodong, dan usahanya meminjam sana-sini mentok, Ishak akhirnya berterus-terang dan meminta maaf.
Cicilan pertama sebesar Rp 50 juta berhasil dibayarkan meskipun sedikit meleset dari waktu yang dijanjikan, cicilan kedua jauh lebih meleset lagi, baik dari sisi waktu maupun jumlah: hanya Rp 25 juta saja. Hingga saat itu total sudah dibayarkan Rp 140 juta. Perjanjian dengan penjual rumah, PT MPC (Mawar Putih Construction), apabila sampai tanggal 1 Juni Ishak tidak mampu melunasi, uang yang sudah masuk hangus dan rumah kembali menjadi milik PT MPC. Ishak menyanggupi mencari pinjaman Rp 50 juta, dan dia meminta dengan sangat malu agar aku mencari pinjaman Rp 97 juta sisanya.
Tadinya aman-aman saja, karena Bank Meranti cabang Jogja bersedia memberiku pinjaman KPR selama 5 tahun. Aku dan istriku sudah datang ke Jogja, tetapi ternyata PT MPC tidak mau menyerahkan sertipikat untuk dibaliknamakan sebelum urusannya yang lain dengan Ishak selesai. Belakangan baru aku tahu bahwa sebagai kompensasi keterlambatan melunasi rumah itu selama 9 bulan, Ishak menjanjikan proyek untuk PT MPC dengan total keuntungan Rp 170 juta (saat itu baru terealisasi keuntungan Rp 30 juta, dan kemungkinan Ishak memberikan proyek lagi hampir tidak mungkin, karena dia barusan dipecat dari jabatannya di UTT).
Kemarin, persis tanggal 31 Mei, pinjaman KPR di Bank Meranti dipastikan gagal. Jika hari ini aku tidak mendapatkan pinjaman Rp 97 juta, aku akan kehilangan rumah itu, dan Rp 287 juta yang sudah kutitipkan ke Ishak. Inilah yang kumaksud sebagai "sesuatu yang sangat mendesak".
* * *
Jauh-jauh dari Bekasi, dengan memboyong anak-istri ke Jogja (syarat akad KPR dari Bank Meranti), ternyata KPR gagal karena sebab sepele yang “lupa” disampaikan oleh Ishak Husen jauh-jauh hari sebelumnya. Yaitu bahwa dia punya perjanjian rahasia dengan PT. MPC terkait wan prestasi pemenuhan kompensasi atas keterlambatan pembayaran rumah tersebut.
Sebenarnya aku — dan istriku-- punya banyak kawan di Jogja, karena kami dulu kuliah di Universitas Tujuh Tujuh. Sebelum memutuskan untuk mencari Arif Arafah kami sudah mendata satu-satu kawan-kawan kami. Sebagian besar masih dalam proses membangun kehidupannya (alias sama miskinnya dengan kami!). Ada beberapa saja yang sebenarnya layak dimintai bantuan juga, tetapi dulu kami tidak dekat. Ariflah yang (pernah) dekat dengan kami, meski belakangan menjauh. Bukan Arif yang menjauh, tetapi justru kami yang menjauh karena risih dengan pandangannya yang berseberangan dengan kami.
Kholiq, kawan dekat Arif, bilang bahwa sekarang Arif ibarat OKB, orang kaya baru. Bapaknya belum lama meninggal dan mewarisinya harta yang sangat banyak. Juga sebuah hotel bintang tiga di Jogja, yang saat sang Bapak meninggal baru saja ditandatangani pengambilalihannya.
Arif sangat menikmati peran sebagai pengelola hotel. Pekerjaan tersebut tidak mengikat, dan ia bebas pergi ke mana saja untuk memuaskan hobby fotografinya. Saat dia pergi, hotel dikelola oleh Roberto, salah seorang kepercayaannya.
Di pagi hari yang tidak buta, dengan mata setengah terpejam, Arif Arafah mendengarkan kisahku dengan setengah hati. Sekadar ah, eh, oh pun tak keluar dari mulutnya yang sibuk memainkan asap rokok putih. Kabut masih menyelimuti bangunan hotel 4 lantai di Jalan Kaliurang nomor 331B itu. Tempat kami duduk berada di lantai 2, kursi dan mejanya terbuat dari bekas ban mobil dan atapnya berupa payung dari bambu dan lembaran jerami yang ditata dengan rapi.
Aslinya kami duduk di roof garden yang tersambung dengan restoran hotel. Breakfast baru disediakan jam 10.00, begitu informasi yang ditulis besar-besar di belakang meja kasir. Pantas saja suasananya sunyi senyap layaknya di kuburan. Bahkan motor-motor yang berlalu-lalang tak jauh di depan hotel pun tak terdengar mengeluarkan deruman seperti biasanya.
"Eh, Can," katanya setelah 13 menit keheningan, "Kukasih tahu ya, bego itu jangan dipelihara."
Hmm, masih Arif yang dulu. 'Kukasih tahu ya,' adalah gaya bicara khas kawan lamaku itu. Jujur dan to the point adalah ciri khas lainnya.
"Yah, Rif, mau bagaimana lagi," jawabku untuk mempertahankan posisi agar tidak berseberangan pendapat, "Memang salahku. Sebenarnya, kamu orang ke-12 yang yang bilang aku bego."
Arif mengangguk-angguk. Sepertinya puas. Dan merasa menang. Kubiarkan saja ia menikmati momen itu.
Tapi kemudian ia bertanya, "Berapa orang yang sudah kauberi tahu tentang kasusmu?"
"Eh, hmm, sekitar sepuluh orang. Hanya keluarga dan kawan yang benar-benar dekat saja."
"Berarti hanya sekitar 20 persen saja yang bilang kamu bego?"
Dua belas dari sepuluh itu 20 persen kan? Berapa sajalah, yang penting Arif senang dan mau kasih pinjaman. Apalagi, Arif sudah menjelaskan, kebegoan dan kecerdasan itu tidak terkait kepandaian berhitung, melainkan terkait kemampuan daya nalar dan logika.
"Ya, Rif, sepertinya segitu."
"Lalu kenapa kamu tidak meminjam saja dari 80 persen temanmu yang tidak mengataimu bego?"
Waduh, sepertinya masih panjang perjuangan yang harus kulewati sepanjang hari ini.
* * *
Arif dan aku ibarat langit dan bumi. Arif itu seorang yang pemalas tetapi cerdas, sementara aku adalah seorang yang rajin tetapi.... Ah, sudahlah.
Soal hitung-menghitung Arif jelas kalah jauh dariku. Bahkan menghitung hari dan tanggal pun dia tak bisa. Tepatnya tak mau. Setiap kali bangun tidur, ritual yang dilakukannya setelah menyeduh kopi adalah duduk di sebelahku dan bertanya, "Sekarang bulan apa, Can?"
"Juli."
"Ooo, masih Juli."
Waktu awal-awal, ketika aku menjawab lengkap dengan tanggalnya, Arif menyatakan keberatannya. "Tak usahlah kau sebut tanggalnya. Buatku cukup bulannya saja."
JIka bulan sudah berganti, rekening tabungan Arif akan bertambah beberapa digit. itu kiriman biaya hidup dari orang tuanya. Aku sendiri tak punya tabungan. Biaya hidup dikirimkan bapakku lewat pos wesel setiap tanggal 10. Jumlahnya, kalau mau tahu, hanya sepersepuluh jumlah uang yang ditransfer orang tua Arif tiap tanggal 1.
Anehnya, meskipun kirimannya 10 kali lebih banyak dariku, di akhir bulan seringkali Arif harus meminjam uang kepadaku. Temanku satu ini memang tidak pandai mengelola keuangan. Di awal bulan saat rekeningnya masih penuh, dia belanja semaunya. Traktir kawan semaunya. Beli ini, beli itu, yang pada akhirnya teronggok tak berguna di gudang rumah yang kami kontrak bersama dua kawan lain.
* * *
“Sebenarnya, Rif,” kataku hati-hati, “Aku sudah mencoba minta bantuan semua kawan, tetapi tak ada satu pun yang saat ini bisa membantu kesulitan kami. Harapan kami tinggal kamu... kamu bisa lah bantu kami...”
“Kukasih tahu ya Can, seharusnya kamu malu, bertahun-tahun kamu putus kontak denganku, eh, sekarang tiba-tiba saja nongol mau pinjam uang...”
“Aduh, maaf Rif... Itu karena aku agak kurang sreg sama postingan-postinganmu yang terlalu vulgar...”
Tidak menanggapi, Arif hanya menggerakkan salah satu sudut bibirnya.
“Lagipula...,” semoga ini melunakkan hatinya, “kau tahu sendiri, Nindy istriku, agamanya lebih ketat dariku, meskipun dia tak pernah melarangku berkawan denganmu... Aku, aku... hanya menjaga perasaannya, Rif...”
Meski agak terlambat dari yang kuharapkan, seulas senyum melintas di antara kepulan asap rokok Arif, “Oh iya, Nindy dulu aktivis Jamaah di Gelanggang yah, yang suka kamu anterin ikut demo Partai Keadilan?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati mengingatkan diri agar nanti tidak lupa meminta maaf pada Nindy, karena memanfaatkannya sebagai ice-breaking.
“Apakah dia tidak keberatan kamu meminjam uang dariku yang atheis?”
“Tidak, sama sekali tidak Rif, apapun keyakinanmu, kamu tetap kawan kami...” kata-kata itu terhenti. Ada suara yang menggema di kepala. Cukup Can, cukup, jangan terlalu manis kata-katamu, nanti malah mencurigakan...
Tiba-tiba saja pikiran itu melintas di kepalaku, hanya selintas tetapi menyengat. Mengapa meminjam uang kepada kawan lama harus memakai taktik segala? Rasanya kok seperti sedang memasang perangkap, seperti tengah melakukan tipu-muslihat? Mengapa ada bagian dari diriku yang merasa terhina? Yakin seratus persen, raut mukaku pasti merah padam. Untungnya Arif tidak memperhatikan. Ia sedang berkonsentrasi menyulut rokok barunya dengan api di rokok lama.
“Jadi, Nindy bilang apa?”
“Yah, tidak secara spesifik sih, tapi mengingat kondisi kami yang terdesak, tidak mungkin menolak bantuanmu jika kamu mau membantu kami meminjami uang...”
“Tidak masalah meskipun aku atheis?”
“Ya, meskipun kamu atheis atau penyembah kepala ikan sarden,”
Arif menegakkan kepalanya, menghisap rokok, lalu menghembuskan asapnya ke atas, “Kukasih tahu ya, Can, atheis itu tidak menyembah kepala ikan sarden...”
Waduh, sepertinya aku salah memilih ungkapan. Terpaksalah sekarang aku harus mendengarkan penjelasan Arif yang panjang lebar dan bersemangat. Apalagi kalau bukan tentang keyakinannya yang berbeda denganku itu.
* * *
Matahari sudah beranjak naik ketika beberapa tamu hotel tampak mulai berdatangan menempati kursi di sekitar kami. Aku duduk sambil menahan diri untuk tidak memperlihatkan kegelisahanku. Ayolah, Rif, berilah kami pinjaman, atau jika tidak, putuskanlah segera biar aku bisa pamit dan mencari cara lain, meskipun kami pesimis masih ada jalan lain...
“Eh, Can, kamu sudah sarapan yah? Sarapan lagi nggak apa-apa kan?” tanpa menunggu persetujuanku ia telah menyuruh salah satu pelayannya menghampiri meja kami. “Mau makan apa Can? Nasi goreng, bubur ayam, atau...”
“Apa sajalah Rif, sama dengan kamu,” jawabku menghindarkan diri dari kesulitan memilih.
Jadilah dua porsi nasi gudeg terhidang di hadapan kami. Meski sebenarnya pagi-pagi tadi aku sudah sarapan, tetapi udara yang dingin dan pikiran yang kalut, ditambah lagi jarum jam yang sudah melewati angka 10, membuat perutku merasa sedikit lapar.
Nasi gudeg adalah nasi yang dipadukan dengan gudeg, makanan khas Jogja yang dibuat dari nangka muda, dimasak dengan gula merah, santan, lengkuas, daun salam, air kelapa dan bumbu-bumbu lainnya selama berjam-jam. Untuk menetralisir rasa manis gudeg, nasi gudeg disiram dengan areh (santan kental) dan sambal krecek (olahan dari kulit sapi). Di meja juga disediakan lauk berupa tahu bacem, tempe bacem, telur pindang, ayam opor, dan entah apalagi.
Hanya butuh beberapa menit untuk melahap semua yang tersaji di piring. “Gudegnya enak sekali, Rif,” komentarku. Kali ini bukan basa-basi, tetapi memang seperti itu kenyataannya.
“Gudeg ini salah satu yang paling favorit di restoranku, Can,” kata Arif sambil membersihkan tangannya dengan tisu basah. “Enak, kan?”
“Eh, iya.”
Tetapi senyum Arif mencurigakan. Lalu aku teringat senyuman itu, senyum jahil itu... “Tetapi sebenarnya...sebenarnya... eh, tadinya aku tidak bermaksud menawarimu menu ini.”
Tiba-tiba terasa di perutku sesuatu yang menggumpal-gumpal. Aku meraih botol air mineral dan meminumnya banyak-banyak. “Apaan Rif?” tanyaku setengah memekik.
“Berbeda dengan gudeg biasanya, gudeg di tempatku ini ditambahkan bumbu spesial sehingga rasanya pun berbeda dengan gudeg-gudeg di tempat lain,” Arif menjelaskan dengan suara sengaja dipelankan. “Dan bumbu spesial itu adalah saren atau didih, yaitu darah ayam yang baru dipotong. Darah segar yang belum membeku...”
Aku ingat dengan warna merah pada gudeg yang barusan kumakan. Perutku serasa diaduk-aduk... Bagiku darah tidak boleh dimakan karena haram. Aku baru saja memasukkan makanan haram ke dalam perutku...
“Darah ayam itu mengandung energi sekitar 70 kilokalori, juga protein, karbohidrat, lemak, kalsium, fosfor, dan zat besi. Selain itu juga mengandung vitamin A, vitamin B1...” suara Arif yang menjelaskan seperti terlempar di ruang hampa.
Sepertinya aku merangsek spontan sambil merenggut kerah baju Arif. Lalu kursi ban bekas yang diduduki Arif terguling bersama dengan tubuh kami berdua. Begitu tersadar aku tengah menduduki tubuh Arif dengan napas memburu, “Sialan kamu Rif! Sialan kamu!”
Arif mencoba melepaskan diri dengan menarik-narik tanganku, tetapi sepertinya tidak berhasil. “Hei, hei... apa salahku Can? Apa salahku, coba?!” teriaknya.
Dua pasang tangan kekar akhirnya memisahkan kami. Tepatnya menahan tubuhku dan menariknya menjauhi Arif. Arif bangun dari lantai, lalu menghampiriku. Wajahnya memerah, tetapi sikapnya kembali santai, seolah kejadian barusan tidak terlalu mengganggunya.
Aku meronta dari cengkeraman dua petugas hotel Arif, tetapi mereka malahan semakin memperketat cengkeramannya hingga aku kesakitan.
“Sudah, sudah, lepaskan saja, Bro...,” perintah Arif. “Dan tinggalkan kami berdua,” perintahnya lagi karena dua orang petugas itu tidak segera beranjak setelah melepaskan tanganku.
Aku mencoba mengatur napasku yang tersengal-sengal. Mengambil napas panjang, menahannya sejenak, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Arif menduduki kursinya lagi, lalu menunjuk kursiku, “Duduklah Can... Katanya kamu mau pinjam uangku? Masak sih pake galak banget seperti itu? Padahal aku sudah berniat meminjamimu lho...”
“Habis kamunya keterlaluan ngerjain aku...”
“Lhah, apa salahku coba? Tadi aku menawarimu bubur ayam atau nasi goreng, tetapi kamu sendiri yang milih menunya sama dengan menu sarapanku. Betul kan? Betul nggak?,”
“Iya juga sih.”
“Kukasih tahu ya Can, kita tuh harus bertanggung jawab atas pilihan kita, dengan segala konsekuensinya.”
“Iya, aku setuju.”
“Demikian pula dalam beragama, kita...”
“Sebentar Rif,” potongku buru-buru, “Kamu jawab dulu pertanyaanku, apakah kamu akan memberiku pinjaman atau tidak?”
“Bisa ya, bisa tidak!”jawab Arif.
“Wah, aku tidak punya pegangan dong, eh, maksudku, kenapa tidak kauputuskan saja sekarang, biar akunya lebih tenang.”
“Kukasih tahu ya Can, aku bisa saja meminjamimu Rp 100 juta saat ini juga,” entah mengapa tidak ada nada sombong di kata-kata Arif. “Tetapi sepertinya tidak adil ya?”
“Maksudmu?”
“Setelah bertahun-tahun kamu memutuskan hubungan, setelah sekian lama kamu tidak menganggapku kawan, apa pun alasannya... sekarang tiba-tiba kamu datang kepadaku, tiba-tiba memintaku menolongmu dengan pinjaman Rp 100 juta, yang harus kuberikan saat ini juga?”
Jelas aku salah tingkah saat itu. “Ah, eh... bukan seperti itu juga sih, Rif. Aku...aku memang membutuhkannya. Sangat mendesak...”
“Tetapi yang punya uang kan aku...”
“Justru itu, eh..., “ Duh, harus seperti apa ngomongnya ya? “Aku sangat mengerti bahwa uang itu sepenuhnya punyamu, sehingga kamu pula yang sepenuhnya punya hak atasnya. Apakah mau meminjamkannya kepadaku, ataupun tidak...”
“Nah, iya kan?”
Lalu kami terdiam dalam kecanggungan yang mencekam.
“Tidak jadi masalah jika kamu tidak mau meminjami kami,” kataku akhirnya, “Ketika berangkat ke sini tadi pagi, aku sudah menyadari hal ini Rif.”
Arif masih tidak merespon.
“Sebenarnya aku, aku... aku malu sekali datang kepadamu, meminta tolong kepadamu. Tetapi aku benar-benar terdesak kali ini Rif. Eh, aku sudah ceritakan posisiku kan?”
Arif mempermainkan rokok putih di tangannya. “Aku tahu kamu orang baik, Can,” katanya seakan seember air dingin ditumpahkan di atas hatiku yang membuncah. Semoga pertanda baik!
“Mari kita diskusikan, bagaimana caranya supaya aku bisa membantumu mengatasi masalahmu.”
“Kamu ambil uangmu, lalu kamu serahkan kepadaku, maka selesai masalahnya...”
Arif terbahak. “Masalahmu yang selesai, Can. Setelah itu kamu pergi, delete contact, maka jadilah masalahku... Tidak, tidak, aku tidak mau seperti itu...”
“Jadi tak cukup jadi orang baik saja ya, Rif?”
“Orang baik itu sekadar reputasi, ia memenuhi syarat layak dipinjami. Faktor yang harus dipertimbangkan lainnya adalah kemampuannya mengembalikan pinjaman. Tidak mungkin kan pinjaman uang dibayar dengan niat membayar saja. Artinya harus dilihat pula apakah ia mampu membayarnya,” kata-katanya jelas bukan dari Arif yang dulu kukenal. Tampaknya sudah banyak berubah juga kawanku ini.
“Karena uangku terpakai oleh Ishak, bolehkah aku membayarmu setelah Ishak mengembalikan uangku?”
“Kapan?”
“Katanya dia mau pinjam ke bank dengan jaminan tanah warisan keluarganya di Cianjur. Rencananya mau pinjam Rp. 1 miliar, tapi saat ini banknya belum mau karena sertipikatnya belum kelar diurus di BPN.”
“Jadi harus nunggu sertipikat dulu?”
“Iya, katanya sekitar enam bulan prosesnya. Setelah itu, di banknya juga perlu proses appraisal dan lain-lain sebelum dapat pinjaman itu.”
“Setelah cair, dia akan langsung membayar utangnya?”
“Oh, tidak Rif, dia punya rencana membuka francishe Rumah Makan Padang. Uangnya diinvestasikan ke situ dulu.”
“Setelah rumah makannya beroperasi, dia akan membayar utangnya?”
“Eh, tidak juga sih, karena kemungkinan untungnya baru ada setelah rumah makan itu berjalan sekitar enam bulan.”
“Jadi setelah itu dia akan bayar utangnya?
“Hmm, tidak juga sih, karena untuk beli franchise itu dia berkongsi dengan kawannya, keuntungan tahun pertama menjadi hak kawan si Ishak sepenuhnya, tahun berikutnya baru ada skema pembagian untuk keuntungan Ishak. Dari pembagian untung itulah dia akan membayar utangnya kepadaku.”
“Tunai?”
“Tidak. Katanya dia akan mencicil sesuai kemampuan dia.”
“Hmm...” waktu seolah berhenti, “Dan setelah apa yang sudah dia lakukan kepadamu, kamu masih mempercayai kata-katanya?”
“Ya, Rif, masih...”
“Baiklah, itu hak kamu Can,” Arif mendadak serius, “Tetapi aku tidak bisa meminjamimu dengan jaminan Ishak. Harus dari kamu sendiri, karena aku percaya kepadamu dan tidak percaya kepada Ishak.”
Siang itu, akhirnya diputuskan bahwa Arif akan meminjamiku Rp 100 juta, yang akan kukembalikan dengan cara mencicil sebanyak 50 kali dengan jumlah cicilan Rp 2 juta per bulan. Tanpa bunga, tanpa agunan. Sebagai syarat tambahan, aku harus menginap di hotelnya selama seminggu dengan keluargaku, dimulai pada hari itu. Bukan syarat yang berat. Apalagi karena kami menginap secara cuma-cuma, tak perlu gesek kartu kredit seperti di Santika atau Amaris.
“Dan satu lagi, Can,” pinta Arif, “Aku mau kamu menulis cerpen tentang hotelku ini dan mengirimkannya ke Kompas.”
“Sudah belasan tahun sejak terakhir aku menulis cerpen, Rif,” protesku. Saat tinggal serumah dulu kami berlangganan Kompas, dan saat itu aku punya obsesi menjadi penulis cerpen di koran itu, meski kemudian hanya beberapa tulisan resensi buku yang sempat dimuat sebelum aku kehabisan semangat dan melupakan obsesi masa muda itu.
“Tapi baiklah, aku berjanji akan menulisnya.”
“Deal ya?
“Ok, deal. Itu saja, Rif?”
“Ya, cukuplah, mau apa lagi?”
“Uangnya?”
“Lhah kan hari ini masih panjang. Nanti lah, setelah kaubawa Nindy dan anakmu ke sini. Setelah kita ngobrol-ngobrol, minum teh, atau makan malam....”
“Oh, baiklah... Terima kasih sebelumnya, Rif!”
“Sama-sama, Can. Ayo kita rayakan kesepakatan kita! Mau minum apa?”
“Eh, teh manis saja, Rif...”
“Wah, padahal aku punya minuman fermentasi dari beras...”
“Teh manis saja.”
“Aku buat sendiri lho, Can, difermentasi pakai proses amilolitik...”
“Teh manis saja.”
“Oke...”
* * *