Masukan nama pengguna
"AKU INGIN BERTEMU MAMA!!!"
Teriak Sani dengan air mata yang sudah tidak terbendung lagi, kedua matanya terlihat merah, hidungnya berair dengan ingus yang belepetan, mengotori wajah bulatnya. Semua orang terlihat kepo, menguping sambil bertanya satu sama lain apa yang sedang terjadi, mengapa Sani berteriak seperti orang kerasukan.
Dengan langkah panik, mbak Dinar meminta dengan sopan ibu-ibu komplek yang kepo untuk pergi, karena ia yang akan sendiri mengurus Sani, adiknya.
Setelah diusir, para ibu-ibu yang kembali ke rumah masing-masing beberapa kali masih terlihat menyiyir, "Sani kayaknya kerasukan deh?"
"Tidak, dia memang sudah gila."
"Benar, beberapa hari terakhir memang sering terdengar Sani mengamuk seperti itu."
Dan nyinyiran-nyinyiran mengiyakan yang lainnya.
Melihat kondisi rumahnya yang sudah sepi, mbak Dinar menutup pintu rumah dan melangkah mendekati adiknya yang terduduk di lantai ruang tamu, masih menangis.
"Kamu ini apa-apaan? Enggak malu didengar tetangga?!" ujar mbak Dinar terdengar kesal.
Setelah kepergian Mama, tingkah Sani memang berubah tidak secara drastis berubah tapi cukup mengejutkan untuk mbak Dinar yang mengenal Sani sebagai anak yang cukup pendiam. Sani yang biasanya cukup pintar menutupi perasaannya, sekarang dikit-dikit marah bahkan tak jarang membanting benda-benda di dekatnya. Ucapannya yang biasanya kalem dan lembut, menjadi kasar.
Sani hanya terdiam, tatapannya terlihat kosong. Beberapa kali ia mendengar mbak Dinar menceramahinya, tapi sama sekali tak ada satu ucapan mbak Dinar yang terdengar di telinga Sani, Sani hanya mendengar suara-suara aneh yang timbul dari batinya.
Capek dengan sikap Sani yang bebal ketika diberitahu, mbak Dinar memutuskan untuk meninggalkan Sani sendirian di ruang tengah, "Terserah kamu, mbak mau bikin pesanan," ucapnya sambil berlalu menuju dapur, ada banyak pesanan kue yang harus ia buat dan pekerjaanya terganggu karena harus mengurus Sani yang menurutnya sedang masa puber itu.
Terdengar suara berisik di dapur, mbak Dinar yang mulai membuat pesanan jika sudah membuat pesanan kue mbak Dinar bisa lupa waktu, bahkan ia kadang tidak akan menyaut ketika diajak berbicara. Baru setelah tangan mbak Dinar bergerak dengan lincah untuk membentuk adonan yang akan ia taruh di loyang, perempuan berusia 24 tahun itu sadar. Sudah tidak terdengar suara tangis adiknya, ia lalu bernapas lega. Mungkin Sani sudah lelah menangis, dan sedang tertidur. Mbak Dinar meletakkan cetakan yang ia pegang ke meja, dan berjalan ke ruang tengah memastikan keberadaan Sani.
Tapi yang ia lihat di ruang tengah, hanya ada kehampaan Sani tidak berada di ruang tengah. Ah, mungkin sudah pindah ke kamar.
Mbak Dinar semakin panik, karena kamar Sani juga kosong terlihat rapi seperti biasanya. Kemana Sani pergi?
"Saniiiii????" panggil mbak Dinar, berharap suara Sani menyaut tapi nihil tidak ada suara siapapun yang menyaut.
Mbak Dinar kembali ke dapur, melepas celemek yang melekat di tubuhnya, mencuci tangannya. Ia lalu beralih ke kamar, mengambil ponselnya. Beberapa saat setelah menekan nomor Sani, terdengar dering tak asing dari kamar Sani. Sial, ponsel Sani tidak dibawa.
Perempuan itu langsung berjalan keluar rumah, mencari keberadaan Sani di sekitar rumah tapi nihil. Melihat ada ibu-ibu yang tadi sempat datang ke rumah ketika mendengar Sani menangis, tanpa pikir panjang mbak Dinar menghampiri, "Permisi ibu, ada lihat Sani?" tanyanya terdengar khawatir.
"Sani?" ulangnya, "Ibu enggak lihat, Dinar. Bukankah tadi di rumah?"
Mbak Dinar menggeleng, "Saya tadi sedang membuat kue, pas saya cek lagi Sani sudah tidak ada di rumah."
"Mungkin sedang keluar sebentar mencari makan, kamu tenang dulu. Coba ditelpon saja," ucap ibu berambut gelombang itu menenangkan.
"Ponselnya ditinggal."
"Atau kita coba minta tolong pak RT ya, siapa tahu beliau ada solusi," dan mereka segera berjalan menuju rumah pak RT.
Ponsel mbak Dinar berdering, dengan cepat ia langsung mengangkat, dan langsung mengumpat pelan ternyata salah satu costumernya, meminta untuk pesanannya diantarkan sore ini.
Karena sempat mencuri dengar pembicaraan mbak Dinar di telepon, ibu berambut gelombang itu menyarankan mbak Dinar untuk kembali saja, "Dinar, kamu pulang saja ada pesanan yang harus kamu selesaikan, biar urusan Sani kita serahkan ke pak RT."
"Tapi bu?"
"Benar itu mbak, ini saya sudah kerahkan orang-orang untuk mencari Sani. Mbak Dinar tunggu di rumah saja, nanti kalau ada informasi kami akan langsung hubungan mbak Dinar," kata pak RT, walau mbak Dinar tidak bisa seratus mempercayai ucapan pak RT.
Tapi ia tetap pulang, dan kembali berkutat dengan pesanan kue yang harus selesai sore ini juga. Karena ia sudah mendapatkan uang, dan tidak mungkin dia membatalkan pesanan kue itu.
Mbak Dinar membuka pintu rumahnya, tapi tak langsung pergi ke dapur ia melihat sekeliling ruang tengah dan kembali merasa bersalah. Dia memang tidak pernah tahu apa yang Sani alami, dan tak pernah pula bertanya mengenai Sani. Mbak Dinar sudah terlalu sibuk dengan urusannya, setiap hari pergi ke pasar membeli bahan makan dan menyiapkan makanan untuk mereka berdua, belum kalau pesanan kue yang menumpuk. Jadi ia mengesampingkan tingkah Sani yang berubah itu, ia berpikir mungkin Sani sedang dalam masa puber, makanya setiap hal terasa salah di matanya.
Setelah beberapa kali menarik napas, mbak Dinar brejalan menuju dapur ia harus segera menyelesaikan pesanan kue. Beberapa kali terlihat mbak Dinar tidak fokus, sangat berbeda dari biasanya. Pikirannya sedang tidak benar, ia terus memikirkan di mana Sani berada, ponsel tak dibawa, pergi tak ijin. Dan mbak Dinar juga tidak tahu nomor teman-teman Sani, bukan, mbak Dinar tidak tahu siapa teman-teman Sani, lebih tepatnya.
Anak itu sudah menjadi pendiam sejak dulu, kawan-kawannya hanya beberapa orang yang datang dan pergi. Karena tak pandai bergaul, beberapa teman yang dulu dekat kini menjauh karena menemukan kawan yang lebih baik dari Sani, dan sepanjang yang mbak Dinar tahu Sani selalu sendiri ke manapun ia pergi.
Setelah diingat-ingat, ucapan yang tadi Sani teriakkan, 'aku ingin bertemu Mama'. Dan tanpa pikir panjang, mbak Dinar langung melepas kembali celemeknya, memastikan ovennya mati dan langsung bergegas keluar rumah.
Tempat pertama yang didatanginya, sungai belakang rumah yang alirannya sangat deras. Tapi ketika mbak Dinar sampai di jembatan, ia sama sekali tidak melihat ada tanda-tanda kehadiran Sani di sungai ini. Setelah mengedarkan pandangan, mbak Dinar melihat seseorang yang sedang duduk di tepian batu sambil memegang pancingnya, "Paaaakkkkk!" teriak mbak Dinar dari atas jembatan.
Pemuda yang sedang memancing itu terlihat terkejut dan langsung mencari siapa orang yang baru saja berteriak memanggilnya 'pak' dan setelah melihat ada seorang perempuan yang sedang melambaikan tangannya di atas jembatan, ia menyaut, "Ada apa mbak?" jawabnya sambil berteriak juga.
"Oh maaf mas, apa tadi mas lihat ada orang berdiri di sini? Pakai baju warna putih?"
"Maaf nggak lihat, dari tadi saya fokus mancing," katanya dan kembali menatap kailnya yang sejak satu jam yang lalu tak kunjung dimakan ikan.
Mbak Dinar mengumpat pelan dan berlalu pergi. Ia kembali mencari ke tempat-tempat yang kemungkinan akan Sani datangi.
***
Seseorang terlihat sedang berjalan di pinggir jalan raya, ia hanya menatap kosong jalanan yang terlihat ramai itu, mobil dan motor terlihat begitu cepat melaju menyisakan angin kencang yang meniup baju yang sedang dipakainya. Sani sudah berdiri sekitar setengah jam, menunggu jalanan sepi karena ia ingin menyebrang ke jalan seberang sana.
Setiap satu langkah ia mencoba untuk menyebrang, dari arah selatan terlihat motor yang melaju kencang sambil membunyikan klakson. Begitu terus sampai akhirnya Sani hanya bisa menatap kosong jalan dan hanya bisa berharap ia bisa sampai ke seberang.
"Hai, kamu mau menyebrang?" terdengar suara lembut menyapanya.
Sani menoleh, melihat seorang lelaki bertubuh tinggi dengan balutan setelan jas berwarna putih, sejak kapan ada orang norak di daerahnya, pikir Sani pertama kali melihat lelaki itu.
"Jalanan ini tidak akan pernah sepi seperti yang kamu inginkan," sambungnya melihat Sani yang terlihat tidak memperdulikannya.
"Kenapa begitu?"
Lelaki itu langsung menunjuk bangunan yang tak jauh dari tempat mereka berada, "Karena memang tidak diperuntukkan untuk orang menyebrang, makanya ada jembatan penyebrangan jalan di sana."
Sejak kapan di dekat rumahnya ada jembatan penyebrangan jalan? Ini aneh, tapi Sani tetap berjalan menuju jembatan penyebrangan jalan dengan lelaki berbaju aneh itu ikut berjalan di belakang Sani. Dan ketika Sani akhirnya bisa berada di jalan seberang lelaki aneh itu masih berada di belakangnya.
"Terima kasih sudah memberitahuku tentang jembatan itu," ucap Sani, sebenarnya mengusir secara halus.
Lelaki itu malah mengangkat tangannya dan menggoyangkan, gerakan nemepuk angin, "Bukan masalah yang besar." Tapi tetap tidak pergi, masih berdiri di belakang Sani.
Sani yang tidak ingin mengambil pusing, ia berjalan menuju tempat yang akan ia datangi. Langkahnya terlihat lemah, seharusnya tempat yang ia ingin datangi dekat dari jalan ini tapi kenapa rasanya begitu jauh. Dan ia merasa begitu letih, matanya hampir saja terpejam, apa ini karena efek menangisnya tadi? Sani merasakan kantuk yang tidak bisa terbendung, dan ia merasakan tubuhnya limbung tapi masih bisa merasakan ada orang yang menangkapnya.
Tidak tahu sudah berapa lama Sani tertidur, tapi ketika ia bangun yang terlihat tetap jalan yang sama tempat di mana ia jatuh tadi, tapi bedanya jalanan itu terlihat begitu sepi berbeda dengan pertama ia datang. Apa yang terjadi? Sani menoleh dan ia terkejut karena tidak menemukan jembatan yang tadi ia pakai untuk menyebrang. Ada satu hal yang tidak hilang, lelaki berbaju aneh itu masih berada di dekat Sani, masih berdiri tidak melakukan hal lain selain berdiri dan menatapnya. Ia kini sedang menatap ramah Sani sambil tersenyum.
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Sani terdengar ketakutan.
Senyum lelaki itu masih mengembang, "Aku hanya ingin mengabulkan permintaanmu, kamu terlihat ingin mengakhiri hidupmu, betulkan?"
"Tidak," suara Sani terdengar bergetar.
"Kau berbohong, kamu ingin pergi ke gedung tua di sana itukan?"
Bagaimana bisa lelaki itu tahu? Sani terlihat bergerak mundur dalam posisi duduknya.
"Hei, tak perlu takut seperti itu," ucapnya dengan nada bercanda, "Kau seperti sedang melihat setan."
Mata Sani terlihat bergetar, kalau orang di depannya ini bukan setan tapi ini terasa lebih mengerikan dari bertemu setan. Ia mencoba untuk menampar pipinya.
Dan lelaki berbaju aneh itu terlihat meringis melihat Sani yang menampari wajahnya, ia langsung meraih tangan Sani yang hendak menampar pipinya lagi, "Hentikan, kau bisa menyakiti dirimu dan kau saat ini tidak sedang bermimpi."
"Bagaimana bisa kamu bilang ini nyata, jalanan yang tadi ramai sekarang tak nampak satupun kendaraan yang lewat. Terus ke mana perginya jembatan itu?" tunjuk Sani ke tempat di mana tadi jembatan itu berada.
Lelaki itu berjongkok dan mendekatkan tubuhnya, "Karena kamu tidak berada di tempatmu yang tadi," ucapan itu sukses membuat Sani berteriak kencang.
"Maksudmu apa, aku sudah mati??"
Telunjuk kurus lelaki aneh itu bergoyang di depan wajah Sani, "Bukan, hanya saja aku membawamu ke tempat di mana tidak akan ada orang yang tahu."
"Kau ingin membunuhku?" wajah Sani terlihat terkejut dan ia semakin memundurkan tubuhnya.
"Hei, aku tidak sekotor itu ya," merasa tersinggung, "Sebenarnya kamu masih berada di jalan yang tadi, hanya saja orang-orang yang berlalu lalang di dekatmu tidak melihat kita."
"Dan kamu bilang kalau aku tidak mimpi," Sani masih membulatkan matanya.
Melihat wajah Sani yang syok lelaki itu malah tertawa, "Sungguh perempuan itu tidak bercanda, kau memang sangat ekspresif ya."
"Perempuan itu?"
Lelaki aneh itu teringat sesuatu, ada satu hal yang harus ia lakukan dan itu juga alasan kenapa ia berada di bumi, lelaki aneh itu menunjuk mengisyaratkan Sani untuk mengikuti arah tunjuknya. Dengan takut-takut, Sani mengikuti arah tunjuk lelaki aneh itu dan ia melihat ada telepon umum yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Kenapa sekarang ada telepon umum?
"Apakah aku kembali ke masa lalu?"
Telunjuk kurus itu kembali bergoyang di depan wajah Sani, "Tidak seperti itu, kamu sebenarnya masih berada di tempat yang sama hanya saja aku membawamu ke tempat yang tidak ada orang, aku hanya membuat penutup agar tidak ada orang yang melihat apa yang kamu lakukan. Pergilah ke telepon umum itu, ada seseorang yang ingin berbicara denganmu."
Sani sudah berdiri di depan telepon umum, tapi rasanya ia ragu untuk mengambil gagang telepon. Bagaimana kalau terjadi hal yang mengerikan ketika ia mengangkat gagang telepon? Lagipula kenapa ia harus mempercayai orang aneh itu? Pakaiannya saja aneh, pasti tingkah lakunya juga aneh.
"Cepat, dia tidak punya banyak waktu," gertak lelaki aneh itu.
Karena takut, Sani akhirnya memegang gagang telepon itu, dan menempelkannya di telinganya. Tidak ada suara apa-apa. Benarkan, untuk apa ia mempercayai lelaki aneh itu.
Baru saja Sani hendak menutup, terdengar suara dari seberang.
"Sani," suara yang cukup akrab di telinganya.
"Sani, nak, sayang," panggil orang itu lagi.
Sani terlihat bingung dengan apa yang sedang terjadi, pelan-pelan kesadarannya kembali dan sayup terdengar lagi namanya dipanggil dari seberang telepon, "Sani sayang."
"Mama?" suaranya terdengar bergetar, walau tak bisa melihat wajah orang di seberang sana Sani bisa membayangkan orang itu sedang tersenyum saat ini.
"Iya benar ini Mama, sayang."
"Bagaimana bisa Ma?" Ini sungguh tidak nyata.
Walau yakin ini tidak nyata, setidaknya Sani tidak ingin melewatkan kesempatan langka seperti ini.
"Sayang?" panggil suara itu lagi.
Sani sedang mengatur napasnya, "Iya Ma."
"Mama enggak punya waktu banyak, satu hal yang mau Mama sampaikan. Apa yang kamu dan mbak Dinar lakukan sekarang, Mama melihatnya. Apa yang terjadi di dalam mimpimu itu semua tidak benar. Mama tidak marah sama kamu, nak. Mama hanya sedih melihat kamu terus-terusan menyalahkan dirimu seperti itu, makanya Mama tidak mau melihatmu. Bukan karena marah, Mama hanya tidak ingin kamu tahu kalau Mama sedih."
Ini gila, sungguh gila. Suara itu benar-benar suara Mama, cara bagaimana Mama berbicara sangat mirip, tapi ini tidak mungkin nyata. Ini sungguh gila, Sani sudah gila sekarang.
"Sani, Mama hanya ingin kamu tahu sekarang Mama sudah bahagia di sini. Banyak orang baik juga di sini bersama Mama. Kamu tidak perlu cemas bagaimana keadaan Mama sekarang, yang penting kamu harus jalani hidupmu ya. Kamu harus bahagia juga, kalau melupakan Mama akan membuat kamu bisa bangkit dari kesedihan Mama nggak masalah. Karena Mama tidak akan tenang jika melihat kamu terus bersedih, menyalahkan diri sendiri, menyakiti diri sendiri, seperti sekarang ini. Kamu harus bahagia ya nak. Mama pergi dulu ya, maaf karena Mama pergi meninggalkan kalian."
Dan setelahnya suara itu menghilang, beberapa kali Sani mencoba memanggil 'Mama' tapi tak ada yang menyaut.
"Waktu dia sudah habis, dan tugasku sudah selesai. Kamu ingat apa yang dia minta bukan? Berbahagialah." Suara lelaki aneh itu berangsung menipis, begitupun dengan Sani. Ia terjatuh pingsan, dan yang ia rasakan hanya kerasnya trotoar.
Samar Sani mendengar suara orang-orang yang berlalu lalang, berteriak meminta tolong.
"Tolong panggilkan ambulan!" teriak seseorang. Tubuh Sani terasa terangkat, ada yang membawanya dan ia merasakan alas yang dingin, disusul suara pintu yang ditutup dan sirine yang dibunyikan.
Sani tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur, hal pertama yang ia rasakan ketika membuka mata, kepalanya berdenyut sakit sekali. Dan ketika ia mengerang, seorang perawat yang kebetulan sedang lewat langsung menghampiri.
"Kamu sudah sadar," ucapnya lega, "Apa kamu ingat apa yang terjadi sebelumnya?"
Sani menatap bingung perawat di depannya, dan perawat bertubuh berisi itu salah tingkah ia terlihat menggaruh belakang kepalanya yang tertutup kain, sambil tersenyum bodoh, "Apa ada yang salah dengan diriku?"
"Kau bukan teman dari lelaki aneh itu bukan?" tanya Sani penuh selidik, karena perawat itu mengenakan pakaian serba putih, jadi Sani mengira mungkin saja perawat itu teman lelaki aneh tadi yang sedang berpura-pura menjadi perawat.
Perawat itu mendekatkan tubuhnya, "Apa kamu tadi dikejar lelaki aneh? Seperti apa ciri-cirinya? Karena tadi kamu ditemukan pingsan di pinggir jalan."
"Aku pingsan?"
Perawat itu mengangguk mantap.
"Siapa yang membawaku ke sini? Apa lelaki aneh itu?"
"Tidak, orang-orang yang berada di dekatmu tidak melihat ada lelaki aneh yang kamu sebut itu. Dari keterangannya kamu hanya berdiri di depan telepon umum dan tak berselang lama, kamu jatuh pingsan," terang perawat bertubuh berisi itu, merasa berguna karena ia tadi menanyakan banyak hal terkait Sani.
Kalau orang yang membawa Sani mengatakan ia berdiri di depan telepon umum, kenapa orang itu tidak melihat lelaki aneh itu, padahal jelas-jelas lelaki aneh itu terus berada di sampingnya berdiri? Dan bukankah tadi lelaki aneh itu bilang, jika tidak ada orang yang melihat apa yang ia lakukan? Apa sebenarnya ini?
Seseorang datang ketika Sani yang masih dengan kebingungannya, ternyata perawat tadi memanggil dokter yang berjaga untuk memeriksa Sani, karena mengira mungkin saja Sani terkena gegar otak atau ada gangguan lain.
"Hai, selamat malam. Boleh aku tahu siapa namamu?" tanya dokter cantik itu lembut.
Tanpa menoleh, "Sani." Terdengar seperti orang yang putus asa.
"Aku cek dulu kondisimu ya?"
Tanpa menunggu persetujuan Sani, dokter cantik itu mulai memeriksa kondisi Sani dan mengatakan jika tidak ada hal yang perlu Sani risaukan, ia hanya butuh istiharat saja.
Dokter cantik itu terlihat mengedarkan pandangannya, merasa tidak ada orang yang fokus terhadap dirinya, ia mendekatkan tubuhnya, "Kamu tenang aja, setelah infus itu habis. Aku akan mengantarkanmu pulang, itu permintaan Mamamu."
Tubuh Sani langsung bergidik, ternyatanya mimpinya belum selesai juga, tapi siapa lagi dokter ini?
"Aku bisa pulang sendiri," ucap Sani terdengar gemetaran, ia sedari tadi meremat selimut takut.
Dokter cantik itu menggeleng pelan sambil tersenyum manis, "Kamu tidak bisa pulang sendiri, lebih tepatnya kamu tidak akan bisa pulang jika pergi sendiri."
"Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Aku hanya ingin pergi dari rumah, berhenti menjadi beban mbak Dinar, dan kenapa aku seperti diputar-putar dipermainkan oleh kalian," Sani sudah tidak tahan, ia kerahkan semua kekuatannya untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau ingat apa yang kamu ucapkan tadi pagi, kamu ingin bertemu dengan Mama. Mama kamu memohon untuk bisa bertemu denganmu, ingin mengatakan kalau jangan sampai kamu berpikir untuk menemuinya, dan inilah yang terjadi padamu."
"Terus aku sebenarnya ada di mana?"
"Kamu masih di tempatmu, hanya saja kamu bisa berbicara dengan kami. Lagi pula aku ini beneran dokter di rumah sakit ini, jangan salah kamu. Tapi kalau kamu masih tetap berpikir untuk mati, boleh saja, kami juga bisa mengabulkannya." Dokter ini juga sama gilanya, bagaimana ia bisa berbicara hal seperti itu sambil tersenyum.
"Jadi kamu mau pilih yang mana?" tanya dokter cantik itu lagi.
Sani yang tak paham dengan apa yang dimaksud dokternya itu mengendikkan bahunya, "Pilih apa?"
"Kamu bisa mati seperti yang kamu inginkan, atau kembali hidup dan menjalani hidupmu dengan bahagia bersama dengan kakakmu. Pilih salah satu, karena semua dari pilihan itu tidak akan mengantarmu untuk bertemu dengan mama mu."
Kalau ini mimpi kenapa terasa begitu nyata? Apa yang terjadi pada Sani ketika ia pergi dari rumah? Kenapa Sani tidak bisa mengingat apa yang ia lakukan tadi setelah pergi dari rumah?
"Sani, waktumu tidak banyak." Desak dokter cantik itu.
Dokter cantik itu masih terus mendesak Sani untuk membuat pilihan.
Bagaimana ini, Sani sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Ia sebenarnya sudah lelah hidup, semuanya menjadi tidak menyenangkan semenjak Mama pergi, kalau ia pergi sepertinya mbak Dinar tidak akan pusing memikirkan adiknya yang emosian ini. Tapi Mama menyuruhnya untuk bahagia. Bagaimana Sani bisa bahagia, kalau kebahagiannya saja sudah hilang bersamaan dengan kepergian Mama.
"Ayo Sani," desak dokter cantik itu lagi.
"Bisa kau stop menyudutkan aku terus," teriak Sani marah, "Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku selama ini, tapi dengan seenaknya menyuruhku untuk memilih antara hidup atau mati? Kamu pikir kamu siapa? Bisa mengatur hidupku seenaknya, aku saja tidak mengenal dirimu. Jangan berbuat seenaknya seperti itu."
Dokter cantik itu tersenyum, "Terima kasih sudah membuat pilihan, apapun pilihanmu jangan menyesalinya."
"Apa maksudmu? Aku bahkan tidak memilih apapun."
"Jalani kehidupan keduamu dengan baik ya, jangan sampai kita bertemu kembali," setelah mengucapkan hal itu, dokter cantik itu menyentuh lengan Sani dan membuat Sani merasa tidak nyaman. Sentukan tangan dokter cantik itu pada kulitnya terasa dingin, sedingin es batu, dan berubah menjadi panas seperti api, seperti itu untuk beberapa saat. Sampai Sani tak tahu apa yang terjadi, dan yang ia rasakan hanya kegelapan.
'Apa aku memilih untuk mati?'
***
"Tuhan jika kau memang ada, tolong selamatkan adikku. Apa yang akan terjadi padaku jika dia juga Kau ambil, tolong selamatkan Sani."
Itu suara mbak Dinar, dengan mata yang masih terpejam Sani bisa mendengar suara mbak Dinar. Ia belum mati? Tunggu, apa ini tipuan yang lainnya? Sani masih tidak bisa percaya ia tak tahu apa ini sungguhan atau hanya tipuan seperti yang tadi ia alami. Mungkin saja ini mimpi yang berbeda.
Sani mencoba membuka paksa matanya, tapi susah sekali. Matanya begitu susah ia buka, ia ingin membuka mata memastikan jika suara itu memang betul suara mbak Dinar.
"Sani, maafkan mbakmu ini yang tidak pernah memperdulikanmu. Mbak terlalu sibuk dengan pekerjaan mbak, sampai mengesampikanmu dan malah terkesan mengabaikanmu."
Tolong, Sani ingin membuka matanya. Apa benar mbak Dinar yang di dekatnya? Kenapa mata ini susah sekali dibuka, Sani ingin bangun. Sani ingin hidup, ia tidak mau meninggalkan mbak Dinar sendirian. Tapi seberapa kuat Sani berusaha untuk membuka matanya, matanya tetap saja terpejam, ia hanya bisa merasakan air mata yang mengalir di kedua matanya dan jatuh melewati pipinya.
Hari demi hari berlalu, Sani masih tetap tidak bisa membuka matanya. Ia hanya bisa mendengar suara mbak Dinar yang setiap hari mengajaknya berbicara, terkadang ia menceritakan apa yang terjadi di rumah. Tentang pelanggannya yang reweh, karena memesan kue yang banyak tapi meminta harga teman. Tentang pak RT yang katanya menikah lagi, semua mbak Dinar ceritakan.
Entah sudah berapa hari sekarang berlalu, Sani yang masih tidak bisa membuka matanya, merasakan sentuhan lembut di tanganya. Apakah itu mbak Dinar?
"Dik, mbak Dinar ikhlas kalau kamu memang mau pergi menyusul Mama. Mbak akan melepaskanmu."
Setelahnya, Sani melihat sebuah cahaya terang, sangat menyilaukan hingga membuat matanya sakit.
Sani merasakan matanya yang bisa ia gerakkan, ia mencoba membuka pelan matanya dan berhasil, ia bisa membuka matanya. Tapi sangat silau ketika ia mencoba membuka mata dan matanya langsung terkena sorot lampu. Setelah beberapa saat, Sani mulai beradaptasi dengan cahaya lampu, matanya berhasil terbuka. Dan ia tahu kalau ia tidak berada di rumah, ini di rumah sakit.
"Mbak," suaranya sudah kembali.
"Mbak Dinar," ucapnya lagi.
Seseorang perawat yang sedang berjaga malam, sedang mengecek kondisi Sani. Ah, kenapa ia merasa deja vu. Perawat itu terlihat terkejut, ketika matanya menoleh dan mendapati Sani yang menatapnya.
"Kamu sudah sadar?" ucapnya setengah berteriak karena terkejut.
Mendengar ada yang berteriak, mbak Dinar yang sedang tidur di sofa panjang terbangun, "Ada apa suster?" tanya mbak Dinar panik.
Belum sempat perawat itu memberi tahu jika adiknya sudah sadar.
"Mbak Dinar," Sani sudah lebih dulu memanggilnya.
Mbak Dinar yang mengira perawat itu yang memanggilnya, berjalan mendekat, "Ada apa?"
"Mbak," panggil Sani lagi.
Kali ini, karena mbak Dinar dan perawat itu saling tatap dan mbak Dinar melihat langsung jika perawat itu mengatupkan mulutnya, sontak ia langsung melirik ke arah ranjang. Dan di sana mbak Dinar melihat wajah pucat adiknya yang beberapa hari ini tertidur akhirnya membuka matanya.
"Saaniii," seru mbak Dinar sambil berlalu memeluk adiknya, ia tak bisa menahan air matanya.
Perawat itu langsung berlalu keluar, ia memanggil dokter jaga.
Setelah pengecekan secara menyeluruh, Sani dinyatakan baik-baik saja, tapi masih harus dirawat beberapa hari, untuk mengecekan lebih lanjut.
"Terima kasih dokter," ucap mbak Dinar sambil mengantar dokter dan perawat keluar dari kamar.
Mbak Dinar tidak bisa menyembunyikan senyumnya, "Makasih udah mau bangun ya."
"Apa yang sebenarnya terjadi sama aku, mbak?" Sani takut kalau ini ternyata hanya mimpi, dan nanti ia akan diminta untuk memilih lagi.
Mbak Dinar menarik kursi ke samping ranjang Sani, lalu ia meraih tangan Sani menggenggamnya, "Kamu ditemukan pingsan," Sani terlihat mengendurkan bahunya, ternyata ini masih mimpi aneh yang sama.
"Di selatan desa, dengan tangan yang bercucuran darah."
Sani menatap mbak Dinar, apa-apaan? Kenapa tangannya bercucuran darah. Ia kemudian melirik tangannya yang ternyata terlilit perban.
"Maaf karena mbak terlalu cuek sama kamu, sekarang apapun yang kamu pikirkan, apa yang kamu rasakan, kamu cerita semuanya. Jangan pernah lagi berbuat bodoh seperti itu, kalau tidak ada orang yang melihatmu dan langsung membawamu, kamu mungkin sudah tidak selamat. Kamu mau kemana ninggalin mbak sendirian? Memang kamu tahu tempat lain selain rumah?"
"Jangan berbuat bodoh lagi ya? Kamu masih punya mbak, dan mbak enggak akan ninggalin kamu. Mbak sayang sama kamu, jangan lakukan hal itu lagi ya."
Tapi apakah ini nyata? Bagaimana bisa Sani berakhir di rumah sakit dengan tangan yang bercucuran darah? Sementara yang ada diingatan Sani, ia berada di pinggir jalan bersama dengan seorang lelaki dengan pakaian aneh dan membawanya ke telepon umum. Terus bagaimana ceritanya tangannya bisa terluka?
Tidak ada yang tahu bagaimana tangan Sani terluka, orang yang menemukannya pun sudah melihat Sani tergeletak lemah dengan tangan bercucuran darah. Dan langsung membawanya ke rumah sakit, ingin menanyai Sani tapi bocah itu terlalu banyak kehabisan darah dan berakhir koma. Dan ketika Sani bangun, ia tidak mengingat kejadian itu.
Dan kini melihat mbak Dinar yang menangis, Sani hanya mengangguk-angguk, ia masih terlalu lelah dan tak mampu menjawab. Mbak Dinar mengelus lembut air mata yang membasahi wajah Sani, "Aku tahu, kamu pasti merasa tidak adil setelah kepergian Mama, seakan semua kebahagiaanmu dirampas begitu saja. Tapi dik, mbak juga merasakan hal itu, sekarang yang aku punya cuma kamu. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau benar kamu pergi juga. Jadi jangan pernah berpikir kalau kamu sendirian di dunia ini, banyak orang yang sayang sama kamu."
Setelah beberapa hari dirawat, Sani diperbolehkan untuk pulang. Akhirnya Sani bisa merasakan kakinya berpijak di tempat yang benar, bukan ilusi, buka mimpi, apalagi khayalan.
Sambil menunggu mbak Dinar mencari taksi, Sani melihat-lihat sekitaran jalan depan rumah sakit. Matanya tertarik dengan benda yang tertanam di tanah, benda setinggi sekitar dua meter berwarna biru. Sani berjalan mendekat, telepon umum. Ia tersenyum, teringat lelaki berbaju aneh yang mengantarnya untuk menerima telpon dari Mama. Ternyata dibeberapa tempat telepon umum masih ada, tapi dibiarkan menganggur karena memang sudah tidak bisa digunakan. Sani hanya bisa membayangkan bagaimana orang dulu, yang mengantre hanya untuk menelpon orang tercinta.
Tangan Sani terulur menyentuh gagang telepon, dan menempelkan ke telinganya. Ia terlihat memejamkan matanya, dan langsung tertawa apa yang sebenarnya ia lakukan. Mungkin orang yang lewat akan mengira Sani gila, karena bermain dengan telepon umum yang jelas-jelas sudah mati itu. Sani hendak mengembalikkan gagang telepon, tapi urung. Ia ingin menyoba apa yang terjadi mimpinya, walaupun sudah tahu itu bodoh, tapi Sani tetap melakukannya.
Dengan terpejam Sani membayangkan wajah Mama yang tersenyum lembut, ketika dulu membangunkannya, menyuruhnya makan, bahkan ketika marah Mama tetap terlihat lembut, air matanya menetes. Apa ini sungguh kesempatan kedua yang diberikan untuknya? Mama ingin Sani hidup dengan bahagia? Kalau mimpi itu benar, Sani ingin mengucapkan terima kasih untuk Mama karena mimpi aneh itu akhirnnya membuat Sani sadar kalau ternyata ia yang memilih untuk mengurung diri bukan orang lain yang mengucilkannya. Dengan tersenyum Sani mengucapkan rasa terima kasihnya dalam hati, 'Terima kasih Ma' ucap Sani tulus.
"Sama-sama nak."
Sani langsung menjatuhkan gagang telepon umum, dan ia terduduk di jalan. Dadanya terlihat naik turun, suara itu sama seperti suara Mama. Mbak Dinar yang melihat Sani duduk di trotoar, langsung berlari mendekat, "Ada apa?"
"Mama."