Masukan nama pengguna
Sinar matahari sore menyinari wajah konyol teman-teman sekelasku. Mereka menunjuk-nunjuk surat cinta yang kugenggam erat, surat yang datang setiap hari tanpa pernah gagal. Surat dengan kertas berwarna lembut seperti awan, beraroma samar bunga lavender, dan tulisan tangan yang indah bak kaligrafi. Aku mencoba menjelaskan tentang kemungkinan adanya kehidupan di Europa, sebuah teori yang sering kubaca dibuku-buku sains. Namun, mereka hanya tertawa terbahak-bahak.
"Ah, jadi kau ingin jadi penulis sinetron?" ejek Anton, sahabat karibku yang paling keras mengejek. Matanya menyipit, membentuk garis miring mengejek. "Kalian nggak percaya?" tanyaku, mulai kesal. "Sains kan belum membuktikan kalau di sana nggak ada kehidupan." "Sains? Kau mau bilang alien nulis surat cinta pakai pulpen?" sahut Beni, sambil menirukan gaya menulis yang aneh. “Apakah bukti yang kubawa kurang?” tanyaku, suara meninggi. Aku mengulurkan surat itu, kertasnya berkilau lembut di bawah cahaya lampu, seperti sayap kupu-kupu langka. Tinta hitamnya mengalir indah, membentuk huruf-huruf latin yang elegan, seakan ditulis dengan tangan seorang seniman. Aromanya, campuran manis lavender dan tinta kuno, membuatku merasa melayang. Anton hanya mendengus, “Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Siapa tahu kau yang bikin sendiri.” Dengan jengkel, aku mencoba meniru tulisan itu di buku catatan. Pena di tanganku terasa berat, goresanku kaku dan tidak bernyawa, jauh berbeda dengan keindahan tulisan di surat itu. Aku frustasi. “Lihat! Aku tidak bisa meniru tulisan seperti itu!”
Sepulang kuliah, kulihat ibuku menangis di depan kamar. Tak sempat aku tanya kenapa, dia menerjangku dan memeluk erat, sambil mengelus rambutku yang ikal. " kalau ada masalah, ngomong ke Ibu," katanya. Aku tertegun. Aku tak mendapatkan masalah apa-apa. Aku membuka kamarku dan terkejut. Kamarku sudah dipenuhi oleh ribuan surat-surat putih berkilauan yang menjengkelkan. Aku mulai paham kenapa Ibu khawatir denganku. Ibu pasti berpikir surat itu adalah teror atau tagihan dari seseorang. Justru sebaliknya, itu adalah surat cinta antah-berantah.
Aku memasuki kamarku dan berenang di antara surat-surat tersebut, membukanya satu per satu dan membacanya. Setiap kata manis yang tertulis seperti duri yang menusuk hati. Rasanya seperti ada yang menggelitik di dalam perut, membuatku ingin muntah. “Selamat atas tulisanmu, aku menunggu karyamu kan kunyanyikan kata-katamu,” tulisnya. Kalimat itu berulang-ulang di kepalaku, membuatku merasa seperti sedang dipermainkan. Aku tidak tahu siapa sosok di balik nama ‘Ratu Europa’ itu, tapi aku yakin dia sedang mencoba menjebakku dalam kondisi malu yang tak berkesudahan. Tanda tangannya, sebuah tanda tangan yang begitu unik, seakan menjadi sebuah teka-teki yang tak terpecahkan. Garis-garis tegas dan lengkung yang sempurna membentuk sebuah tanda yang begitu khas, seperti sebuah stempel kerajaan. Dan stempel merah bergambar bintang dan ikan itu? Semakin membuatku penasaran. Apakah itu simbol dari suatu organisasi rahasia atau hanya sekadar hiasan?
Rasa penasaranku seperti api yang semakin berkobar. Aku mencari-cari petunjuk tersembunyi di setiap kata, setiap tanda baca. Aku mencoba memecahkan kode yang mungkin tersembunyi di balik tulisan tangannya yang indah. Semakin aku membaca, semakin aku jatuh cinta pada sosok misterius di balik nama Ratu Europa. Aku membayangkannya sebagai seorang putri alien yang cantik, dengan rambut berwarna perak dan mata biru berkilau.
"Siapakah dirimu, Ratu?" gumamku, suara ku lirih. "Aku ingin bertemu denganmu." Aku membayangkan kita sedang berjalan-jalan di pantai es Europa, sambil menikmati pemandangan aurora yang indah. Aku ingin menceritakan semua tentang diriku, tentang mimpiku, tentang cintaku padanya.
Dalam surat terakhirnya, ada sesuatu yang berbeda. Tulisan tangannya terlihat gemetar, seolah ia sedang menahan tangis. Bekas air mata yang mengering di sudut kertas itu semakin membuat hatiku terenyuh. Apakah dia sedang sedih? Apakah dia juga merasakan hal yang sama denganku?
Tak terasa tiga hari aku asyik dalam kamarku, berfantasi bersama kalimat cinta sang Ratu dan pikiranku akan kemungkinan adanya kehidupan di Bulan Europa. Hari ini tidak ada surat yang datang. Aku ingin membalas surat-suratnya. Aku merasa ia telah ragu untuk menulis surat kepadaku lagi. Aku tak ingin kehilangan kata-katanya, aku harus membalas surat ini dan aku harus bertemu dengannya!
Ibu membuka pintu dan terdiam sejenak. Kamar yang biasanya rapi kini seperti kapal pecah. Kertas-kertas putih memenuhi setiap sudut, dinding, bahkan langit-langit. Ibu menatapku dengan tatapan khawatir. “Le, apa yang terjadi?” tanyanya, suaranya bergetar. Aku tersenyum kecut. “Aku punya banyak penggemar, Bu. Dari Europa.” Ibu menghela napas panjang. “Anakku, ini tidak normal.” Ia mengangguk, senyumnya dipaksakan. "Tidak apa-apa, Nak. Mungkin kamu sedang kelelahan." Ibu keluar dari kamar, meninggalkan aku sendirian dengan tumpukan surat cinta yang semakin menebal.
Anton tiba-tiba masuk dalam kamarku. Ia melihat apa yang sedang kulakukan. Aku ceritakan semuanya tentang Ratu Europa dan kemungkinan ada kehidupan di sana. "Kamu gila ?" jawabnya. Jawaban itu menarik kesadaranku. Aku meyakinkan dirinya kalau ini benar-benar terjadi, dan aku harus berangkat ke Europa sebelum aku kehilangan cintaku. Dalam perjalanan kesana, akan kutuliskan balasan-balasan cintaku padanya. Anton melihat ke arah pintu kamarku. Telah berdiri kedua orang tuaku dan beberapa orang bermasker. "Le, periksa ke dokter sama Ibu ya," pinta Ibuku. Sial, aku telah dianggap gila oleh keluargaku, semakin tak berguna aku di hadapan temanku.
Aku menatap mereka satu per satu. Situasi yang tiba-tiba hening ini membuat jantungku berdebar kencang. Otot kaki mengencang dan dengan cepat, aku membuka jendela dan melompat keluar. Aku berlari sekencang-kencangnya, tidak peduli dengan teriakan mereka yang memanggil namaku. Sawah hijau terbentang luas di depanku. Angin malam menerpa wajahku, membawa serta bau tanah yang basah. Aku terus berlari, tidak peduli dengan lelahnya tubuhku. Aku harus pergi dari sini, sejauh mungkin. Aku harus menemukan Ratu Europa! Mataku fokus melihat segala rintangan di depan. Kuatur nafasku sebaik mungkin dan kulawan rasa takutku agar aku tidak dibutakan oleh adrenalin.
Ketenangan yang kurasakan membawa rasa bersalah. "Kenapa aku meninggalkan Ibuku? Apakah aku durhaka? Aku akan pulang ke mana nantinya setelah ini usai? Apakah ini akan usai?" aku berjalan dengan gontai, pandanganku kabur entah ke mana. Sampailah aku di tepi danau yang luas dan sunyi. Airnya tenang, memantulkan langit malam yang gelap. Aku duduk di tepi danau, menatap bayanganku yang terbelah. "Apakah aku sudah kehilangan akal?" gumamku. "Atau mungkin, aku hanya sedang mencari petualangan yang bodoh?"
Gelap malam menyatu dalam pandangan. Aku menunjuk cahaya Jupiter yang memancar terang merah keemasan "Apakah aku satu di antara mereka?" Di sanalah tujuanku, terdapat seorang Ratu yang menganggapku sebuah harapan.
Entah berapa bulan kulewati, aku bersembunyi di balik kilang dan pipa di sebuah pabrik yang sangat luas. Mungkin aku sudah dianggap mati oleh duniaku. Hidupku kini adalah sebuah pencarian, seorang di balik nama Ratu menungguku di sana. Kumasuki sebuah ruang misterius. Aku terkejut di depanku terdapat banyak TV tabung dan TV LCD yang tertata dengan rapi, kabelnya mengarah pada satu sumber, sebuah ruangan yang sangat bersih, meja dengan berbagai tombol, tempat duduk dengan kapsul kaca pelindung yang besar, dan wangi besi yang kaku.
"Apakah mesin yang kulihat ini mesin pencuci otak? Apakah ini kenyataan? Aku meninggalkan rumah untuk sepucuk surat cinta ini?" pertanyaan itu muncul kembali. "Apakah aku berada di rumah sakit jiwa, namun kegilaanku menggambarkan kalau aku berada di sebuah pabrik?" Aku mulai tak yakin pada diriku sendiri. Sekarang pikiranku menyerang kesadaranku, indraku seakan menipuku. Kuusap mataku berulang kali, namun gambar yang di depanku tetaplah sama, sebuah ruangan saintifik modern seperti dalam film-film yang kutonton. Aku menyentuh mesin-mesin tersebut dengan tarikan nafasku, aku meyakini kalau ini semua adalah nyata, bukan ilusi dari kegilaanku.
Seorang menepuk bahuku. Aku genggam tangan tersebut dan kusiapkan kepalanku untuk menyambut wajahnya. Saat berbalik, aku melihat sesosok pria setengah baya, tersenyum padaku. Aku menjauh darinya, aku perhatikan seluruh dirinya agar diriku siap dalam segala kondisi. Pikiranku terpusat dengan kewaspadaan. Ia memberikan sebuah helm dan setelan astronot sambil berkata, "Kita akan berangkat." Tegasnya, aku bingung dengan apa yang terjadi. Belum sempat aku bertanya, Ia sudah menghilang dalam pandanganku dan tiba-tiba terasa sebuah getaran di kaki. Segera aku memakai setelan tersebut untuk berjaga-jaga. Getaran tersebut seketika berubah menjadi guncangan yang dahsyat, menghempasku ke langit. Kupejamkan mataku saat tubuhku diombang-ambingkan oleh udara, tiba-tiba keadaan menjadi hening hanya terdapat suara mesin ketika aku membuka mata, aku telah melayang di udara. Cahaya matahari menyoroti wajahku. Hampir aku dibutakan oleh cahayanya. Aku terkejut ketika kulihat dalam sebuah jendela, matahari berdiri tepat di sebelahku. Dan kusadari bahwa sekarang aku berada dalam pesawat luar angkasa yang entah akan menuju ke mana. Aku menengok ke jendela dan melihat Bumi yang semakin mengecil. Titik-titik angkasa melesat, mendekat, menjadi sebuah bongkahan besar yang menyala terang, menabrak pesawat ini. Namun pesawat dengan kokohnya menerjang, menembus langit. Aku berenang dalam udara mencari siapa yang mengendalikan pesawat ini? Aku melihat seseorang mengendalikan pesawat ini. Dia orang yang memberikanku setelan astronot ini. Ia sedang fokus dengan mesin kendalinya. Aku melihat dalam sebuah layar, pesawat sedang menuju Bulan. Sesampainya di orbit Bulan, ia menunjuk kursinya dan menyuruhku untuk duduk di sana. Di situ ia memberikan instruksi untuk membuka pintu dan menunggunya untuk turun ke Bulan dengan pesawat kecilnya yang mirip dengan sebuah sekoci kapal. Dari jendela, aku melihat dirinya turun menuju Bulan. Ia meninggalkanku sendirian. Aku melihat ke langit yang gelap. Apakah aku bisa berangkat dari sini menuju Bulan Europa? Aku buka surat dari Ratu dan kubaca lagi kata demi kata. Terdengar gema suara dari kejauhan memanggil namaku. Gema tersebut semakin dekat dan kulihat kilatan sebuah surat menerjang lautan bintang menuju Bumi.
Kilatan itu adalah surat dari sang Ratu. Aku mengikuti bekas jejak kilatan surat tersebut yang mengarah pada sebuah titik biru terang dalam angkasa. Aku harus kesana sekarang juga! Ini adalah kesempatan yang tepat. Aku mencoba mengarahkan moncong pesawat ini ke arah yang kuinginkan dan segera meluncurkan pesawat ini dengan kecepatan penuh menuju Europa. Terdengar suara orang-orang berbahasa asing memperingatkan diriku. Dari mana asal suara ini? Apakah suara ini pria tadi yang turun ke Bulan? Ia sudah mendapatkan kesempatannya bersama Bulan, sekarang adalah giliranku untuk mendapatkan Bulan yang kuinginkan. Aku tarik tuas merah dan kudorong mesin pemicu untuk meluncur. Pesawat melesat sesuai arah yang kuinginkan dan suara orang asing tadi menghilang. Aku akan berjumpa dengan Ratu!
Kuturuni tangga, dan kulihat lantai berkerak putih bersih dan menyilaukan, kubuka helmku dan kudengar suara angin yang berhembus, terdengar seperti doa untuk diriku. Aku merasa betah dalam situasi dingin ini. Puluhan puncak gunung es berdiri menantang langit, di langit terlihat bayang sang raja Jupiter mengawasi kerajaan-kerajaan kecilnya. Inilah Europa. Kutelusuri setiap jengkalnya. pandanganku terkunci pada dinding es yang mengapung di langit-langit seperti pintu gerbang yang menyambutku masuk dalam istana.
Dari kejauhan, aku melihat kursi singgasana yang terbuat dari es dan mahkota singgasana tersebut tinggi tegak menusuk langit bagai jarum. Aku duduk di kursi tersebut dan membayangkan diriku adalah seorang raja. Benar saja, muncul sesosok wanita bersamaan dengan kabut es. Matanya menatap tajam diiringi sebuah lagu yang megah. Kutajamkan pendengaranku, dan air mataku menetes, mereka menyanyikan semua judul karyaku di Bumi. Mereka memanggilku ‘Sang Seniman’.