Masukan nama pengguna
Rona mengamati pemandangan deretan gedung-gedung pencakar langit dari jembatan kemudian mengingat setiap detail dari pemandangan itu. Ia mengagumi bentuk beberapa gedung pencakar langit yang unik, mengingatkannya pada kota-kota besar di Negara-negara maju. Lantas ia sadar bahwa sebenarnya cahaya-cahaya lampu dari gedung-gedung itu juga turut andil dalam mempercantik pemandangan kota di malam hari. Terlebih lagi, saat itu bulan purnama yang menampakkan dirinya semakin membuat suasana terasa ajaib.
Setelah merasa cukup mengagumi keindahan pemandangan kota, ia lalu berdiri di atas tepian jembatan dan membentangkan kedua tangan, serta memejamkan kedua matanya ketika melihat aliran sungai yang tenang di bawahnya. Tidak pernah ia mengira, meskipun ia datang ke sana untuk menghantarkan nyawanya pada kematian, ia malah merasa ketinggian justru lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri.
Beberapa saat setelah memejamkan matanya, rentetan kenangan-kenangan di masa sebelumnya tiba-tiba muncul begitu saja di dalam pikirannya. Sebagian kenangan buruk dan sebagian lagi kenangan yang baik. Tapi sayangnya, kenangan baik saja tidak mampu mengubah pikirannya untuk mengakhiri hidupnya saat itu juga. Lalu, di saat Rona hendak melompat terdengar suara seorang laki-laki memanggil.
“Hai, kamu yang di sana? Semuanya baik-baik saja?” tanya laki-laki itu sambil mengeluarkan beberapa kaleng bir dari dalam sekantong plastik. “Jika kau berniat hendak bunuh diri, bagaimana kalau kau berbuat kebaikan terlebih dahulu dengan menemaniku sebentar saja untuk terakhir kalinya? Aku sudah membeli beberapa kaleng bir namun tak seorang pun bersedia menemaniku untuk menghabiskannya.“
Rona tertegun sambil mengamati laki-laki itu. Ia terlihat baik dan ramah, berkacamata, bertubuh tinggi dan tegap. Di mata Rona laki-laki itu semakin terlihat keren karena memakai hoodie dan celama panjang hitam. “Laki-laki yang aneh, namun tidak ada salahnya jika aku sedikit berbuat baik sebelum aku pergi”, ujarnya dalam hati. Rona menunda niatnya untuk terjun ke sungai dan bergabung bersama laki-laki itu.
“Namaku Bram, siapa namamu?” tanya laki-laki itu, yang kemudian dijawab Rona dengan suara lirihnya, “Rona”.
“Nama yang manis. Apa kau tahu kenapa Jembatan Ini dinamakan Jembatan Cinta Berlabuh?” tanya Bram setelah ia meneguk birnya.
Rona menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Aku bahkan tidak tahu kalau jembatan ini memiliki nama.”
Bram tersenyum lalu meneguk birnya lagi. Dia lalu menatap ke arah bulan purnama seakan sedang memikirkan sesuatu.
“Jadi, kenapa dinamakan Cinta Berlabuh?” tanya Rona.
Bram membukakan sekaleng bir dan memberikannya kepada Rona kemudian menengguk birnya sendiri.
Bram lalu mulai bercerita. “Dahulu, sekitar ribuan tahun lalu, hiduplah seorang pedagang miskin yang sangat menyukai seorang puteri cantik dari khayangan yang hanya turun ke bumi setiap kali bulan purnama muncul. Puteri itu sangat menyukai pemandangan bulan purnama dari atas jembatan ini. Ketika bulan purnama muncul, si pedagang itu akan datang ke jembatan ini agar bisa melihat puteri dambaan hatinya dari kejauhan.”
“Lama kelamaan pedagang itu mulai merasakan cinta yang mendalam kepada putri dari khayangan tersebut hingga suatu malam dia memberanikan diri untuk mendekati sang putri. Ia lalu memperkenalkan dirinya, menyatakan perasaannya dan keinginannya untuk mempersunting puteri itu. Tentu saja sang puteri tidak langsung menerima pinangan laki-laki itu. Dia membutuhkan waktu beberapa lama untuk akhirnya bersedia menerima cinta si pedagang tersebut. Lalu mereka pun menikah dan hidup bahagia bersama anak-anak mereka.”
“Sejak saat itu, orang-orang percaya bahwa jika seseorang melamar kekasihnya di atas jembatan tersebut dan lamaran mereka diterima, cinta mereka akan abadi selamanya. Karena hal itu, jembatan itu dikunjungi oleh orang-orang yang hendak melamar kekasih mereka di atas jembatan tersebut. Hingga akhirnya jembatan tersebut diberi nama Jembatan Cinta Berlabuh.”
Setelah Bram menyelesaikan ceritanya, ia melihat Rona memandangi bulan purnama dengan tatapan mata yang seolah sedang bersedih. Meskipun begitu, wajah imut dan manisnya tak juga hilang meskipun kesedihan kini terpancar dari sinar matanya. Tak lama kemudian Rona mulai meneguk birnya. Bram lalu bertanya, ”Apakah ceritaku membosankan?”
Rona menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak, aku sedang bertanya-tanya apakah ada kisah manis lain yang sama namun bukan sebuah dongeng.”
“Tentu saja ada,” ujar Bram. “Ayahku dulu melamar ibuku di atas jembatan ini. Mereka berdua saling mencintai dan cinta mereka berdua abadi meskipun hubungan mereka tidak abadi karena ibuku meninggal saat aku masih kecil.”
“Kau memiliki kedua orangtua yang manis,” kata Rona kepada Bram. “Dan aku turut berduka mengenai ibumu. Aku juga sudah tidak punya Ibu, juga ayah. Mereka berdua baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu. Selama itu, hidupku terasa seperti di neraka dan aku sudah tidak tahan lagi dengannya. Aku sangat merindukan mereka dan ingin pergi ke tempat mereka berada sekarang. Aku sangat ingin bertemu dan berada di sisi mereka selamanya.”
“Jadi itu sebabnya kau tadi ingin bunuh diri, hah?” tanya Bram, yang dijawab oleh Rona dengan ekspresi wajah sedih dan tertunduk. “Jangan lakukan itu. Apa kau tahu, bunuh diri merupakan sebuah dosa besar? Kalau kau lakukan akan ada banyak orang yang menyayangkan kepergianmu, termasuk aku.”
Sejenak Rona memandangi wajah Bram dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah ia telah salah mendengar ucapannya? Kenapa orang asing seperti Bram peduli kepadanya.
”Namun, jika kau sudah benar-benar tidak tahan lagi atau muak dengan kehidupan ini, aku bisa mengerti. Hidup memang kejam, sulit, dan penuh dengan ketidakadilan. Aku bisa membantumu bertemu kedua orangtuamu tanpa harus menanggung sebuah dosa besar,” ujar Bram melanjutkan.
Rona semakin keheranan dengan apa yang dikatakan Bram dan kali ini ia tidak menahan diri atau merasa sungkan lagi untuk bertanya. “Apa maksudmu? Bagaimana bisa aku pergi menemui kedua orang tuaku tanpa melakukan sebuah dosa besar?”
Seolah tidak cukup dengan pernyataannya yang membuat Rona kebingungan, secara tak terduga Bram malah mendekati Rona dan menariknya ke dalam dekapannya dan menyentuh sebelah pipi kirinya.
Sepasang bola mata indah milik Rona saat ini ikut menatapnya, membuat Bram tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mencium bibir mungil milik gadis yang sekarang berada di pelukannya.
Rona tahu bahwa tidak seharusnya ia membiarkan orang asing yang baru saja ia temui menciumnya begitu saja. Namun sesuatu dalam dirinya mengijinkan semua itu terjadi, bahkan mungkin sesuatu itu sangat menginginkannya. Sesuatu seperti perasaan rindu ingin dicintai seperti dulu.
Setelah mengakhiri ciumannya, Bram sekali lagi menatap mata Rona lalu berbisik kepadanya, “Tidak usah khawatir, semuanya akan berlalu dengan sangat cepat. Dan tak lama lagi apa yang kau inginkan akan segera kau dapatkan.”
Di saat Rona mulai merasa bahwa ia telah menemukan cinta, dia merasakan sesuatu yang tajam dan menyakitkan secara tak terduga kini telah bersarang di lambungnya. Rona terkejut dan mendorong Bram menjauh. Sebuah belati kini telah tertancap di tubuhnya. Rona kemudian berlutut sambil memegangi lukanya yang semakin lama semakin banyak mengeluarkan darah.
“Apa yang kau lakukan padaku?” tanya Rona. Isak tangis sedih sekaligus tatapan tidak percaya dengan apa yang ia alami menyiratkan betapa sakit dan hancur perasaannya. Patah hati dan penghianatan datang secepat rasa cinta yang baru saja membuatnya terbuai.
Bram menenggak sisa bir miliknya lalu membuang sisa kaleng ke sungai. Dia lalu berlutut di hadapan Rona supaya bisa memegangi kedua pipinya menatap Rona lagi, namun kali ini dengan wajah penuh belas kasih dan tatapan sedih. Bram lalu bercerita, “Di hari ibuku meninggal, dia ada di sini. Begitu juga aku dan ayahku. Saat itu aku masih berusia tujuh tahun. Mereka memintaku untuk menunggu di dalam mobil. Aku melihat mereka berada di luar sini, sedang berdebat lalu bertengkar. Setelah aku menurunkan kaca jendela, aku bisa mendengar ibu berkata kepada ayah bahwa ia sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di tubuhnya sehingga ia ingin mengakhiri hidupnya. Namun tentu saja ayahku berusaha meyakinkannya bahwa bunuh diri bukanlah jalan keluar untuk sebuah masalah. Dan bunuh diri merupakan sebuah dosa besar.”
Bram berlutut di hadapan Rona lalu menyentuh dagunya agar bisa melihat jelas wajah Rona yang tertunduk. Ia lalu bertanya kepada Rona, “Tapi tahukah kau apa jawaban ibuku?” Rona memberikan isyarat melalui ekspresi wajahnya yang berarti ia tidak tahu jawabannya.
“Ibuku tetap ingin pergi meninggalkan dunia ini dan kami semua, ia bahkan meminta bantuan ayahku untuk mengakhiri penderitaannya selama-lamanya. Tentu saja ayahku menolak walaupun ibuku memaksa. Ibuku bahkan mengeluarkan sebuah belati dari sakunya agar ayahku melakukan apa yang ia minta. Yang aku ingat selanjutnya, mereka terus berdebat hingga akhirnya ayahku tanpa sengaja menikam ibu dengan belati itu.”
“Lalu, apa hubungan itu semua denganku? Mengapa kau melakukannya padaku?” tanya Rona sambil terisak.
Bram kemudian mengangkat tubuh Rona dan mendudukkannya di tepi jembatan. Ia memeluk Rona erat-erat sambil menghirup dalam-dalam aroma udara segar yang tercampur dengan aroma vanilla dari tubuh Rona. Bram berkata dalam hatinya bahwa ia akan selalu mengingat aroma ini seumur hidupnya. Aroma dari orang yang telah menginspirasinya untuk membantu orang mati tanpa harus melakukan sebuah dosa besar bernama bunuh diri. Sekaligus membangkitkan sebuah gairah di dalam dirinya.
“Kau memberikan inspirasi yang teramat berharga,” ucapnya. “Kukira awalnya ini adalah cinta pada pandangan pertama. Tapi baru saja aku menyadarinya, ini lebih dari sekedar itu. Kau lebih dari sekedar itu. Karena kau kini aku menemukan jati diriku yang sesungguhnya terlahir kembali menjadi orang yang luar biasa.”
Rona hendak menanyakan lebih jauh apa yang dimaksud oleh Bram. Namun pemuda itu tidak memberikan ia kesempatan lebih lama. Bram kemudian berkata, “Terima kasih dan selamat tinggal. Kau kini sudah terbebas dari penderitaanmu. Pergilah ke surga! Tempat di mana seharusnya kau berada.”
Setelah itu, Bram pun mendorong tubuh hingga jatuh ke sungai. Di saat kejatuhannya, Rona teringat akan wajah-wajah mereka yang telah meremehkannya, menganggapnya tidak lebih dari barang antik usang yang diletakkan di sebuah rak pajangan tua dengan sangat apik di dalam sebuah gudang berdebu untuk kemudian dilupakan begitu saja. Sungguh memori yang paling menyedihkan yang bisa ia ingat di saat ia sedang menjemput ajal. Hatinya terasa perih karena membayangkannya, hingga tak sadar ia menangis dalam hening.
Rona lantas berpikir jika orang-orang tersebut pasti akan sangat riang gembira setelah mengetahui kematiannya, apalagi jika mereka tahu bahwa hingga saat-saat terakhirpun ia dibuang begitu saja seolah tidak memiliki kegunaan sama sekali.
Meskipun begitu, Rona setuju dengan Bram tentang satu hal bahwa ia kini sudah terbebas dari penderitaan yang selama ini telah membebaninya. Mengingat itu perlahan isak tangis di wajahnya berubah menjadi senyum simpul. Ia tersenyum kepada Bram seakan sedang mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Bram.
Sementara Bram, dari atas jembatan melambaikan tangannya persis seperti ibunya yang dulu selalu melambaikan tangannya ketika mengantarkan ia pergi ke sekolah. Setiap kali ia memasuki gerbang sekolah, ia selalu menengok ke belakang terlebih dahulu untuk melihat senyum di wajah ibunya yang penuh kelembutan dan kehangatan. Setelah ia bisa melihat itu semua, ia kemudian akan membalas lambaian ibunya dengan girang gembira sebelum akhirnya berbalik dan berjalan dengan penuh semangat memasuki gedung sekolah.
Sejak hari kematian ibunya hingga detik ini, ada banyak hal yang menjadi pertanyaan baginya, salah satunya mengenai ekspresi wajah ibunya saat sedang menghadapi kematian. Namun ia tidak pernah menemukan jawabannya, bahkan tidak terpikirkan satu pun cara untuk mengetahuinya. Lalu setiap tahunnya pada hari kematian ibunya, ia akan mengunjungi Jembatan Cinta Berlabuh ini, untuk mengenang ibunya sekaligus berharap ia akan menemukan jawaban tersebut.
Hingga akhirnya malam ini ia melihat Rona berdiri di atas tepi jembatan hendak terjun ke sungai. Di detik itu juga ia langsung tahu bahwa apa yang selama ini ia cari dan ia nantikan kini sudah hadir di depan matanya. Lalu, seketika ia merasa dirinya tercerahkan saat sedang menyaksikan kejatuhan Rona di depan matanya.
Awalnya, melihat Rona menangis sempat terjadi konflik di dalam dirinya, apakah ia telah melakukan hal yang buruk dan keliru hanya demi sebuah jawaban untuk sebuah masa lalu. Namun, hasrat dan obsesinya untuk bertemu dengan ibunya sekali lagi, dan di momen menjelang kematian ibunya jauh lebih besar sehingga konflik batin itu tidak dihiraukannya lagi. Terlebih ketika ia kemudian melihat Rona tersenyum. Tatapan matanya juga terlihat begitu hangat dan damai. Membawa Bram kembali ke masa lalu di hari kematian ibunya dan sedang duduk di tepi jembatan menyaksikan ibunya sedang tersenyum lembut padanya seperti sedang mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Lalu tak sadar ia meneteskan matanya dan berkata, “Terima kasih dan selamat tinggal”.
Menyadari hidupnya telah mendekati akhir, Rona kemudian menutup matanya. Ia merasakan tubuhnya terhempas ke permukaan sungai yang dingin. Hal yang ia lihat terakhir kali adalah seorang laki-laki seusianya, yang sudah mendorongnya jatuh dari tepi jembatan lalu menyaksikan kejatuhannya hingga akhir. Di atasnya, bulan purnama bersinar sama indahnya dengan yang ia saksikan ketika berkemah bersama kedua orangtuanya saat ia masih SMA.
Setelah memorinya mengenai bulan purnama, rentetan memori-memori bersama sahabatnya tersebut mulai berdatangan seperti sebuah kilas balik. Hingga di sisa nafasnya terakhir, ia samar-samar mendengar suara seseorang memanggilnya, “Rona!”
Setelah beberapa kali suara itu memanggil, Rona akhirnya bisa mendengar jelas suara itu sedang memanggil namanya. “Rona!”
Rona perlahan membuka matanya lalu melihat langit malam yang sama dengan yang ia lihat terakhir kali di atas Jembatan Cinta Berlabuh. Warna gelap pekat yang sama dan bulan purnama yang sama indahnya. Namun di langit ini bulan purnama itu ditemani oleh kelap-kelip bintang di langit. Sangat indah sekali, gumamnya di dalam hati.
“Rona!” ujar suara yang tadi terus memanggilnya dan sekarang memanggilnya lagi untuk ke sekian kalinya.
Lalu wajah yang sudah tidak asing baginya muncul di hadapannya. Bersamaan dengan itu pun Rona akhirnya menyadari bahwa ia sedang berbaring di atas sebuah tikar yang dihamparkan di atas permukaan tanah. Ia kini sedang berbaring di bawah langit dan di alam terbuka bersama seseorang yang sangat ia kenal.
“Ya ampun, malah ketiduran!”, gerutu orang itu. “Katanya mau menikmati pemandangan bulan purnama dan bintang sambil makan daging bakar.”
Tak bisa menyembunyikan keheranannya, Rona terdiam dan terpaku memandangi wajah ibunya. Saat ini selusin pertanyaan sudah memenuhi isi kepalanya. Apakah ia masih hidup atau tidak? Jika ia masih hidup apakah ini mimpi atau kenyataan? Dan jika ia sudah mati, di manakah ia berada sekarang? Di surga atau di neraka? Ataukah kejadian di jembatan yang terasa sangat nyata itulah yang sebenanya mimpi?
“Kenapa kamu cuma diam saja? Cepat bangun! Papa kamu sudah selesai bakar-bakaran. Jangan sampai kamu tidak kebagian sama sekali,” ujar mama.
“Tidak apa-apa, Ma. Pelan-pelan aja, beri dia waktu untuk mengumpulkan nyawa dulu. Makanannya masih banyak kok,” kata seorang laki-laki yang suaranya berasal dari arah jam 12.
“Papa dan mama!” Rona bergumam di dalam hati.
Rona bergegas bangkit untuk memastikan bahwa kedua orang tersebut benar adalah kedua orang tuanya yang ia tahu sudah meninggal beberapa bulan lalu. Ia menjadi semakin yakin setelah melihat wajah kedua orang tersebut secara langsung.
Rona memeluk ibunya erat-erat, yang membuat ibunya merasa canggung karena tidak biasanya Rona bertingkah seperti ini sebelumnya. Namun ia tetap membalas pelukan hangat anaknya. Hal yang sama pun ia lakukan kepada ayahnya. Ayahnya hanya bisa terheran-heran sambil memberikan kode kepada istrinya seolah sedang bertanya apakah sesuatu telah terjadi kepada anak gadis mereka. Sang istri lantas menjawabnya dengan mengangkat kedua bahunya.
Rona kemudian memutuskan bahwa ia tidak akan mencari tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya membombardir pikirannya. Ia juga memutuskan untuk menghabiskan momen-momen bahagia ini dengan berkumpul dan bercanda riang bersama kedua orangtuanya. Hal-hal yang sangat ia rindukan setelah kepergian mereka.
Lalu, tentang apakah ia masih hidup atau tidak, atau ia sedang bermimpi atau tidak, bukan sebuah persoalan lagi baginya. Yang terpenting saat ini baginya adalah, ia bahagia bersama kedua orangtuanya. Dan selamanya ia ingin hidup bahagia seperti ini bersama mereka.
***
Sebuah nada dering ponsel genggam membuyarkan lamunan Mikha yang saat ini sedang larut dalam pikirannya sendiri. Ia meraih ponsel miliknya dari dalam saku mantelnya. Telpon dari ibunya untuk yang ke sembilan kalinya sejak ia meninggalkan kantor malam itu. Namun ia teramat enggan untuk menjawab telpon itu. Setelahnya Mikha melihat beberapa pesan masuk dari ibunya terus berdatangan. Ia sudah lelah dengan semua keluarganya, terutama kedua orangtuanya, yang terus membuatnya tertekan dan tidak pernah sekalipun menghargainya.
Mikha akhirnya membuang ponsel miliknya ke sungai yang ada di hadapannya. Ia lalu terduduk lemas di tepi jembatan sambil menangis sejadi-jadinya. Ia terus memikirkan berbagai hal yang mungkin bisa menjadi solusi dari permasalahannya. Namun tidak satupun yang menurutnya bisa memberikan jalan keluar. Ia menemui jalan buntu dan kehilangan semangat dan harapan. Di tengah-tengah keputusasaannya, terbesit sebuah ide di kepalanya.
Ia kemudian berdiri menoleh ke sungai dan memandang ke depan. Sebuah pemandangan gedung pencakar langit yang berkilau karena cahaya lampu yang berwarna-warni dan bulan purnama sedikit membuatnya terhibur. Namun tampaknya keputusan Mikha sudah bulat.
Ia lantas menanggalkan sepasang high heels hitam yang ia kenakan lalu duduk di atas tepian jembatan. Dibentangkannya kedua tangannya, sambil ia memejamkan mata lalu dihirupnya nafas dalam-dalam. Saat ia hendak terjun ke sungai, terdengar suara seseorang berbicara.
Mikha menoleh ke sebelah kanannya. Seorang laki-laki yang tinggi, berwajah tampan, dan berkacamata kini berada di hadapannya. Laki-laki itu kemudian berkata, “Hai gadis cantik, apa kamu baik-baik saja?”
Dengan canggung Mikha menganggukkan kepalanya.
“Perkenalkan, namaku Bram. Bagaimana kalau kita duduk-duduk ngobrol bareng di sini sambil minum-minum?” Tanya laki-laki itu sambil tersenyum memperlihatkan dua kaleng cola dari dalam kantong plastik di tangannya.
Mikha terdiam untuk beberapa saat. Meskipun laki-laki itu baru saja ditemuinya, namun ia tidak melihat laki-laki itu sebagai sebuah ancaman. Apalagi wajahnya yang menawan, senyumnya yang ramah, penampilannya yang terlihat seperti orang cerdas, dan juaga suaranya yang dalam dan berwibawa. Caranya meminta dirinya untuk menemaninya minum pun sangat sopan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Mikha akhirnya menjawab “Baiklah”.
Selanjutnya, Mikha dan Bram menghabiskan waktu di tepi jembatan, saling berbagi cerita satu sama lain. Mikha sangat menikmati saat-saat bersama Bram apalagi sudah lama ia tidak menjumpai seseorang seperti Bram hadir di dalam hidupnya, seseorang yang bersahabat dan bisa membuatnya tertawa dan bahagia. Keluarga dan teman-teman yang seharusnya menjadi tempat ia bersandar dan tempat ia pulang justru malah sering membuatnya kecewa dan tersakiti.
Namun, Mikha tidak tahu bahwa Bram sesungguhnya tidak sebaik kelihatannya. Di saat Mikha sedang tertawa bahagia, tiba-tiba ia merasakan sakit di perutnya, di mana kini sebuah belati telah menusuknya hingga ia jatuh dan berlumuran darah di sebelah Bram.
“Tahukah kau?” tanya Bram, sambil melihat ke atas arah langit, “kau bukanlah orang pertama yang hendak mengakhiri hidup di jembatan ini. Dulu ada seorang gadis sepertimu, ia terlihat sedih dan putus asa sepertimu. Ia hampir saja terjun dari jembatan ini kalau saja aku tidak menyelamatkannya.”
Seolah tidak terjadi apa-apa, laki-laki itu menenggak minumannya hingga tetes terakhir kemudian berkata lagi, “Akan tetapi tujuan utamaku bukanlah itu. Aku hanya ingin membantunya mencapai tujuannya untuk meninggalkan dunia ini. Karena bunuh diri itu merupakan sebuah dosa besar. Jika dia bunuh diri malam itu, tentunya setelah meninggal dia akan masuk neraka. Namun berkat aku, saat ini dia sudah berada di surga.”
Bram kemudian menceritakan kepada Mikha asal usul nama jembatan itu dan kisah cinta kedua orangtuanya hingga mereka menikah. Setelah beberapa menit tidak terdengar lagi jawaban dari Mikha, laki-laki tersebut memeriksa keadaannya. Mikha masih bernapas namun ia sudah tidak sadarkan diri. Mengetahui itu, ia membelai rambut Mikha. “Gadis malang, kau pasti sudah begitu menderita selama ini. Namun jangan khawatir, tak lama lagi kau akan segera pergi ke tempat yang lebih baik. Kau akan pergi ke surga bertemu dan hidup bahagia di sana selama-lamanya.”
Setelah memastikan tidak ada orang lain di sana, Bram mengangkat tubuh Mikha dan menjatuhkannya ke sungai. Bram juga melambaikan tangan kepada Mikha dan mengucapkan salam perpisaham. “Selamat tinggal gadis cantik, pergilah ke surga! Jangan lupa sampaikan salamku pada Rona. Katakan padanya bahwa aku akan mengirimkan banyak teman untuk kalian di sana. Supaya kalian tidak kesepian berada di surga.”
Bram kemudian pergi meninggalkan jembatan itu bersama tas kecil milik Mikha yang akan dijadikannya sebagai kenang-kenangan sekaligus tropi bahwa ia telah berhasil membantu seseorang meninggalkan dunia yang begitu kejam terhadapnya ketika ia masih hidup untuk pergi menuju surga yang abadi. Dia tidak sabar untuk bertemu seseorang lagi yang bisa dia bantu sesegera mungkin.