Cerpen
Disukai
7
Dilihat
8,980
Pelukan Terakhir
Drama

Suasana pagi hari di musim penghujan ini masih nampak redup. Matahari masih enggan menunjukkan sinarnya. Hujan semalam juga menyisakan genangan dimana-mana, namun semua itu tak menyurutkan semangat seorang gadis cantik bernama Nala.


Sepasang kakinya melangkah cepat menapaki jalanan yang masih basah. Sesekali ia melompat demi bisa menghindari genangan air yang kemungkinan besar bisa mengotori kaki dan juga roknya.


Semua itu Nala lakukan demi bisa membelikan bubur favorit suaminya yang antriannya selalu mengular sejak pagi.


"Aduh Mbak Nala, hati-hati jangan lompat-lompat begitu, kan lagi hamil," sapa salah seorang tetangga yang membuat Nala seketika menghentikan tingkahnya.


"Maaf Tante, hampir lupa kalau Nala lagi hamil," sahut gadis berambut panjang itu sambil tertawa riang. Ia sama sekali tak pernah ambil pusing pada ucapan-ucapan tetangga yang kerap kali membicarakannya dengan sang suami.


Semua itu terjadi lantaran Nala dan Jovan adalah pasangan yang masih sama-sama belia. Keduanya langsung menikah setelah lulus SMA dan sudah pasti penyebabnya adalah karena Nala yang terlanjur hamil.


Meski begitu, keduanya memutuskan untuk hidup mandiri. Jovan yang sebenarnya adalah anak orang berada tetap melanjutkan kuliah walau ia harus sambil bekerja di perusahaan ekspedisi milik orangtuanya. Semua itu ia lakukan demi bisa menghidupi Nala yang memang sudah resmi menjadi tanggung jawabnya.


Setengah jam berlalu, akhirnya dua bungkus bubur ayam dengan aroma menggoda berpindah ke tangan Nala. Gadis itu kembali ke rumah dengan perasaan riang, namun wajah ceria itu seketika luntur saat melihat sang suami masih saja bergelung di balik selimut walau alarm jam sudah terus menerus berbunyi.


"Yaampun Mas Jovan, bandel banget sih, padahal bunyi alarmnya keras begitu," gumam Nala sembari mematikan benda yang terus berbunyi nyaring depannya, baru setelah itu ia beralih mengguncang punggung suaminya.


"Mas, sudah ayo bangun, mandi terus sarapan," ucap Nala lembut, namun tanggapan Jovan justru diluar perkiraan. Ia membuka mata dengan raut kesal.


"Kamu bisa nggak sih nggak ngurusin hidup orang terus. Mau bangun pagi atau enggak, itu urusan aku!! berisik saja bisanya, sekali-kali gantiin aku nyari duit, jangan tahunya rebahan terus."


Tangan Nala yang hendak melipat selimut kini terdiam seketika. Ia terkejut melihat sikap suaminya yang seperti itu. Meski akhir-akhir ini sikap Jovan berubah cuek, kalimat kasar seperti barusan baru pertama kali Jovan ucapkan di depan Nala.


"Maksud Mas Jovan apa? Nala kan hamil besar. Sebentar lagi melahirkan, nanti kalau sudah lahiran, Nala pasti akan bantuin nyari uang kok, tapi kalau sekarang Nala belum sanggup," ucap Nala dengan menahan air matanya.


Sebenarnya, tanpa suaminya ketahui, Nala juga berusaha mencari uang dengan mengikuti berbagai event menulis via online. Hanya saja, setelah memasuki usia kehamilan sembilan bulan, kepalanya sering terasa pusing jika terlalu lama berinteraksi dengan ponsel.


Jovan yang mendengar jawaban Nala hanya bisa menghembuskan nafas kasar sebelum akhirnya pergi ke kamar mandi dan meninggalkan istrinya menangis seorang diri.


Saat Jovan keluar dari kamar mandi, Nala sudah tak lagi menangis. Gadis yang sebentar lagi berulangtahun ke-19 itu nampak menikmati sarapannya, karena kehamilan, Nala memang sering merasa lapar.


"Bisa ya kamu makan selahap itu, habis itu rebahan, main hp, nonton TV, enak bener hidupmu, sementara aku, kamu paksa bangun pagi walaupun hari ini hari Sabtu, biar aku bisa tetap nyari duit buat hidupin kamu!! sialan emang!!" umpat Jovan.


"Terus Mas Jovan maunya gimana?! apa perlu aku yang gantiin Mas buat kerja?!" tantang Nala dengan suara sedikit meninggi.


"Diam kamu!!" balas Jovan yang kini sudah nampak rapi dan bersiap mengenakan sepatunya. Begitu selesai ia pun bergegas pergi begitu saja, melewatkan tangan Nala yang sudah bersiap menyalaminya dan juga melewatkan bubur yang sudah Nala siapkan.


Tak ada yang bisa Nala lakukan selain menangis seorang diri di dalam kamar. Sebenarnya meski belum genap berusia 19 tahun, Nala adalah gadis yang cukup mandiri. Ia yang sudah ditinggalkan sang ayah sejak masih SD, sudah terbiasa hidup keras dengan membantu ibunya berjualan di pasar.


Tak jarang, Nala juga harus mengasuh kedua adiknya yang masih kecil-kecil saat ibunya harus pergi ke pusat kota untuk membeli barang dagangan yang hendak dijual kembali. Hanya saja semenjak mengecewakan sang ibu karena hubungannya dengan Jovan yang mengharuskannya menikah muda, Nala sama sekali tak mau membagikan beban hidupnya pada wanita yang tengah melahirkannya itu.


Semua tentang kehidupannya saat ini akan Nala tanggung sendiri. Ditengah-tengah kerisauan hatinya, Nala kembali meraih ponsel untuk mengecek hasil karya yang sudah ia kirim sejak satu bulan lalu dan ternyata sudah diterima, tinggal menunggu hasil pengumumannya saja di akhir bulan.


Dua kategori Nala ikuti sekaligus. Ia sempat mendapat teguran juga dari bidan yang selama ini memeriksa kandungannya, karena sering begadang, tekanan darah Nala menjadi naik. Perihal itupun tidak Nala sampaikan kepada suaminya, karena takutnya justru akan semakin membebani pikiran Jovan.


Sementara itu, di tempatnya bekerja, Jovan nampak murung di depan komputer, sampai-sampai salah seorang pekerja menegurnya.


"Ayo Mas Jovan, jangan melamun terus. Kerjanya yang semangat, itu barang-barangnya sudah datang lagi, saatnya didata," ucap pria yang lebih dewasa dari Jovan tersebut, namun karena lelah dan bosan, Jovan hanya mengiyakan saja tanpa raut ceria di wajahnya.


Sebenarnya jika dibanding karyawan lain, pekerjaan Jovan sebagai admin tidaklah terlalu berat. Sang ayah juga sudah menyesuaikan jadwal kerjanya dengan jadwal kuliah anak itu. Hanya saja karena Jovan sudah memiliki seorang istri, kedua orangtuanya sepakat untuk melatih rasa tanggungjawab Jovan sebagai seorang suami.


Yaitu mencari nafkah untuk bisa menghidupi anak dan istrinya. Sayangnya karena usia yang memang masih belum matang, lama-lama Jovan merasa bosan dan jengah. Ia masih ingin bebas seperti teman-temannya yang lain.


Semenjak menikah, Jovan memang hampir tak punya waktu untuk nongkrong. Ia harus bekerja dan kuliah dalam waktu bersamaan. Kalaupun keluar, sudah pasti Nala akan ikut serta. Itupun tidak akan lama. Selain harus mengerjakan tugas kuliah, kemungkinan besar Jovan sudah merasa sangat kelelahan dan memilih untuk tidur.


Ternyata semua itu justru menjadi boomerang dikemudian hari. Hampir satu Minggu Jovan terus uring-uringan dengan Nala gara-gara ia tak diizinkan mengikuti touring dan berkemah bersama teman-temannya.


"Kamu pikir aku nggak capek hidup kayak gini!! aku capek!! aku bosan Nala! sebenarnya aku belum siap jadi seorang suami yang harus menghidupi kamu!!" teriak Jovan petang itu.


"Nala hanya takut sendirian di rumah Mas, ibu juga sedang di luar kota nyari dagangan. Bagaimana kalau nanti tiba-tiba Nala akan melahirkan dan Mas Jovan tidak ada," sahut Nala sambil terisak.


"Halaaahh dari kemarin itu terus alasan kamu, tapi mana? nggak melahirkan juga kan?!" balas Jovan yang masih mempertahankan pendapatnya.


Pada akhirnya Nala menyerah. Ia memberi izin pada Jovan untuk berkemah, walau sebenarnya itu sangat sulit ia lakukan, namun sebagai seorang perempuan, Nala lebih mengedepankan perasaan dibandingkan dengan egonya.


Dengan lembut akhirnya Nala berkata, "baiklah kalau begitu, Nala akan izinkan, tapi malam ini kita tidur bersama di kamar ya," pinta Nala lembut.


"Hmm," hanya itu jawaban yang Jovan berikan. Setelahnya ia langsung berangkat ke kampus.


Sebenarnya dulu Jovan adalah sosok yang manis dan bertanggung jawab, terbukti saat Nala mengatakan dirinya hamil atas perbuatan diluar batas yang mereka lakukan, tanpa ragu Jovan lansung menikahi Nala.


Diawal-awal pernikahan, sikapnya juga begitu manis. Semua baru berubah setelah kehamilan Nala masuk di trimester terakhir.


Sebenarnya bukan perkara Jovan menyukai wanita lain, namun semua itu lebih karena faktor usia yang memang pada dasarnya belum siap berada dalam ikatan pernikahan.


Pengaruh teman-temannya di sekitar juga masih sangat kuat, sementara Jovan sudah tak bisa seperti mereka yang bebas kemana-mana tanpa beban. Banyak hal yang sudah harus Jovan pertimbangkan saat ini.


Jika ingin keluar, ia harus menyesuaikan jadwal dengan pekerjaan, jika malam hari dan sudah tak lagi bekerja, ia tetap tak bisa bebas keluar begitu saja karena harus meminta izin dulu pada Nala.


Kalaupun merasa capek dan tak ingin bekerja, juga tidak akan semudah itu ia mengambil keputusan karena saat ini ia sudah menjadi kepala rumah tangga. Kehidupan yang sebenarnya sangat umum terjadi dalam berumah tangga, nyatanya masih menjadi beban yang sangat berat bagi Jovan yang saat ini baru berusia 19 tahun.


Meski mungkin ada beberapa orang yang baik-baik saja melalui fase itu. Tapi faktanya tak demikian untuk seorang Jovan Agusta. Ia kesulitan menyesuaikan diri dalam biduk rumah tangga yang ia ciptakan sendiri.


****


Malam itu, hujan kembali mengguyur bumi. Angin yang berhembus membuat suasana semakin terasa dingin. Di sebuah kamar berukuran 3x4 meter itu akhirnya Nala bisa kembali merasakan kehangatan pelukan suaminya, setelah hampir dua bulan lamanya Jovan menolak untuk tidur sekamar dengan berbagai alasan.


"Mas, jaga diri baik-baik ya saat disana, ini musim hujan, kalau nggak memungkinkan tidur di tenda, cari aja penginapan," ucap Nala dengan suara khasnya yang lembut dan ceria.


"Iya, kamu kalau ngerasain apa-apa juga langsung telepon," ucap Jovan santai. Sudah terbayang dibenaknya betapa asyiknya perjalanan touring yang akan ia lakukan.


"Sudah aku peluk kan? sekarang tidurlah," ucap Jovan yang kali ini juga bersikap manis karena saking bahagianya Nala memberikan izin ia mengikuti acara itu meski harus mengambil cuti kerja dua hari lamanya.


Sebelum benar-benar menutup mata, Nala kembali bersuara. Ia menceritakan perihal keikutsertaannya dalam lomba literasi. Entah kenapa ia merasa harus menceritakan hal itu pada suaminya.


"Kalau nanti pas pengumuman aku nggak bisa cek karena masih lahiran, Mas saja yang cek pakai emailku, tuh paswordnya sudah aku tulis di dinding," ucap Nala sambil terkekeh kecil, membuat Jovan mendaratkan ciuman hangat di keningnya.


"Semoga berhasil ya."


"Terimakasih suamiku," ujar Nala lagi. Sorot matanya sedikit berkaca-kaca. Sudah lama ia tak sebahagia ini. Tidurnya malam ini juga sangat nyenyak karena pelukan hangat yang Jovan berikan.


Keesokan harinya, pagi-pagi buta Jovan sudah bersiap untuk berangkat. Pria itu sudah bersiap di atas motor, namun tiba-tiba Nala kembali datang menghampiri.


"Hati-hati ya Mas, karena ini musim penghujan, kalau hujan jangan maksa jalan, harus berteduh."


"Iya istriku yang cantik," jawab Jovan yang kembali menerima pelukan Nala meski dirinya sudah berada di atas motor.


Untuk pertama kalinya Nala dan Jovan akan berjauhan selama dua malam lamanya, namun belum juga Jovan sampai di tempat tujuan yang pertama, ponselnya sudah berdering. Dilihatnya sekilas benda pipih itu. Begitu tahu kalau yang menelpon adalah Nala, Jovan justru mematikan daya ponselnya dan kembali memasukkan ke dalam ransel, bukannya mengangkat lalu menanyakan apa yang terjadi.


Ia baru kembali menyalakan ponsel tersebut setelah sampai di tujuan pertama. Yaitu sebuah penginapan dengan nuansa alam yang estetik. Rencananya mereka akan makan malam di tempat itu, menginap semalam, sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya.


Begitu ponsel menyala, banyak pesan yang masuk ke ponsel Jovan. Pesan-pesan tersebut menanyakan dimana keberadaannya saat ini, namun pesan itu bukan dari Nala melainkan dari ayahnya. Membuat Jovan langsung menghubungi sang ayah.


"Halo Yah ada apa?"


"Dimana sekarang kamu Jo? Nala melahirkan. Sekarang juga kamu pulang!" titah pak Hardi ayah Jovan.


"Pulang? memangnya Nala nggak di rumah sakit?"


"Sudah pulang, Nala sudah dibawa pulang, sekarang kamu yang harus ke sini, ke rumah Nala."


Jovan masih bingung dengan cara bicara sang ayah.


"Maksud Ayah ke rumah Nala yang mana? kontrakan kita?" tanya Jovan kemudian.


"Bukan, ke rumah ibunya Nala. Sekarang juga kamu ke sini, semua orang menunggumu Nak," ucap pak Hardi dengan suara sedikit bergetar.


"Iya Yah, Jovan akan pulang sekarang."


Setelah mematikan sambungan telepon, Jovan langsung berpamitan pada teman-temannya. Ia segera pulang menuju ke kediaman istrinya.


Sekitar pukul 8 malam Jovan baru sampai. Ia memarkir motornya di tepi jalan yang tak jauh dari rumah Nala, karena situasi di tempat itu cukup ramai.


Baru saja ia turun dari motor, salah seorang kerabat Nala datang menghampiri.


"Yang sabar ya Mas Jovan, yang sabar."


Tubuh Jovan mendadak lemas, terlebih saat ia menatap bendera kuning yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.


Bibirnya tak sanggup mempertanyakan apa yang terjadi, karena yang pasti ada seseorang yang telah tiada dan Jovan sungguh berharap jika itu bukanlah Nala.


Jovan mengayunkan kakinya dengan cepat hingga berhenti di ambang pintu. Seketika tubuhnya luruh ke lantai. Terdengar tangisan pilu dimana-mana karena ternyata istri dan calon buah hatinyalah yang kini telah tiada.


Kembali terlintas dalam benak Jovan, ucapannya kepada Nala tempo hari. Ia mengatakan jika dirinya belum siap menjadi seorang suami, tapi sebenarnya sungguh bukan keadaan seperti ini yang ia harapkan.


Sesal dan tangisnya tak akan mengembalikan apapun. Sekarang Nala benar-benar sudah memberinya kebebasan seperti yang akhir-akhir ini selalu Jovan bahas di depan istrinya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)