Cerpen
Disukai
4
Dilihat
7,920
Payung Merah Terakhir
Drama

Part 1

Kaca jendela kamarku tertutup oleh lapisan embun pagi, yang membuat pandanganku terhalang dan suasana jadi tampak muram. Namun, aku tak peduli dan kembali melanjutkan tidur.

Sisa genangan air hujan semalam masih terdengar berjatuhan. Tak ada satu pun dedaunan yang tampak kering, semuanya masih basah oleh hujan semalam. Bahkan rasa dingin masih menusuk, seolah menyusup ke dalam tulangku.

“Untung ini aku sedang libur, jadi aku bisa bangun siang sesukaku,” gumamku, merutuki diri sendiri atas kebiasaanku bermalas-malasan.

Sesekali aku menarik selimutku saat melihat terik matahari pagi mulai muncul dan menembus kamarku melalui celah ventilasi jendela. Hari libur memang menyenangkan, jadi aku punya alasan untuk tidak bangun pagi dan melanjutkan tidur.

Tak berselang lama, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang terhenti tepat di depan pintu rumahku. Perlahan, aku menoleh ke arah sumber suara itu. Hingga beberapa detik kemudian terdengar ketukan pintu yang tersamarkan oleh rintik gerimis pagi ini yang masih intens.

TOK TOK TOK

“Siapa sih, pagi-pagi udah bertamu? Ganggu aja!” cetusku sembari menutup kedua telingaku dengan bantal untuk kembali melanjutkan tidur.

Namun, rasa malasku kembali buyar dengan suara ketukan itu yang kembali membuatku terjingkat. Dengan sedikit kesal, aku berusaha menyingkirkan rasa malas dan beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu.

Tapi, begitu pintu terbuka, tak terlihat siapa yang datang. Hanya ada sebuah payung merah yang masih terbuka lebar di depan pintu rumahku.

Aku kembali mengedarkan pandanganku ke segala arah, mencari tahu siapa yang meletakkan payung merah itu. Tapi sama sekali tidak ada siapa-siapa.

“Hah! Payung merah?”

“Itu sudah sering terjadi beberapa tahun ini, semenjak kamu lulus SMA, Nak,” sahut ibuku sambil meletakkan beberapa piring di meja makan.

“Apa ibu tahu siapa yang ngirim?”

“Tentu saja tidak. Tapi, setiap gerimis, selalu ada ketukan pintu yang kemudian meninggalkan payung merah di depan rumah.”

“Aneh...”

Ibuku tampak sedikit menghela napas sebelum akhirnya kembali ke dapur. Raut wajahnya tak seperti biasa.

“Emang sebenarnya siapa sih, Bu, yang ngirim payung?”

“Ibu sendiri juga tidak tahu, Nak. Itu sudah berlangsung tujuh tahun lamanya setelah kamu lulus SMA dan melanjutkan kuliah di luar kota. Sejak itu, setiap gerimis, selalu ada ketukan pintu yang meninggalkan payung merah bertengger di depan rumah.”

Tak terasa sudah lama aku tidak pulang. Sejak meninggalkan rumah ini untuk kuliah, segalanya tampak berbeda. Rumah orang tuaku, beberapa rumah tetangga, bahkan cat di dinding rumah kami sudah memudar, seolah waktu terus berlalu tanpa menunggu.

Melihat foto-foto lama yang tersimpan di lemari, kenangan masa-masa SMA kembali muncul. Di salah satu foto, ada wajah yang sangat aku kenal, yang mengingatkanku pada payung merah yang selalu muncul di depan rumah.

“Nak, ayo makan dulu. Kamu kan baru sampai tadi malam, pasti capek. Ayo makan,” ujar ibuku, suaranya membuyarkan lamunanku.

“Iya, Bu...” jawabku sambil mendekat ke meja makan, merasakan kehangatan suasana rumah yang mulai lama tak kurasakan.

Sebagai anak tunggal, aku adalah satu-satunya harapan orang tuaku. Mungkin itulah yang membuatku bekerja keras selama di perantauan berusaha fokus belajar dan mengejar cita-citaku. Setelah lulus, aku pun melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi.

Perjalanan itu tidak singkat. Waktu dan keadaan membuatku harus meninggalkan orang tua lebih lama dari yang pernah kubayangkan. Namun, semua pengorbanan itu akhirnya terbayar. Setidaknya kini aku bisa membuat mereka bahagia dan bangga saat aku kembali.

Liburan ini, aku memilih untuk kembali menikmati suasana rumah, menghidupkan kembali kenangan masa kecilku bersama orang tua. Masa-masa ketika ibu memarahiku karena bermain terlalu lama, atau ketika ayah menjewerku karena aku terlalu bandel. Semua itu, meski pernah menyakitkan, kini menjadi sesuatu yang kurindukan.

Namun, tidak semua kenangan itu indah. Ada luka kecil yang masih tersisa, tersembunyi di balik semua nostalgia itu. Tapi bukankah itu yang membuat kenangan terasa nyata?

***

Tak terasa hari liburku tinggal beberapa hari lagi, tapi rasa penasaranku terhadap sosok misterius yang selalu mengirimkan payung merah itu di saat gerimis justru semakin menjadi-jadi.

Pagi ini, untuk kesekian kalinya, aku kembali dikejutkan oleh payung merah yang berdiri di depan pintu rumahku. Saat kubuka pintu, hanya ada keheningan dan gerimis tipis. Tidak ada siapa-siapa, hanya payung itu, terbuka lebar seperti baru saja digunakan.

Ada yang aneh. Selama tujuh tahun terakhir, sejak perpisahan SMA dulu, pemandangan ini selalu sama. Payung merah di saat gerimis, tanpa jejak siapa yang meletakkannya. Payung ini... seolah memiliki cerita yang ingin disampaikan, tetapi aku tak mampu menangkapnya.

Aku memandangi payung itu lekat-lekat, mencoba menghubungkan detailnya dengan seseorang di masa lalu. Pegangannya yang sederhana, warna merahnya yang mulai pudar... semuanya terasa akrab, tapi samar, seperti kenangan yang perlahan memudar dari ingatanku.

“Siapa sebenarnya yang terus melakukan ini?” gumamku pada diri sendiri, mencoba mencari jawaban dari teka-teki yang sudah berlangsung terlalu lama.


Part 2

Malam ini, di tengah keheningan, aku duduk sendiri di bangku taman dengan secangkir kopi panas di tanganku. Udara dingin menyelinap di sela-sela jaketku, dan bintang-bintang di langit seakan berpendar lembut, mengingatkanku pada sesuatu yang jauh, sesuatu yang hampir terlupakan.

Aku mencoba menikmati malam ini, namun ada yang terasa ganjil di dadaku. Sebuah rasa yang sulit dijelaskan seperti ada bagian dari diriku yang tertinggal di masa lalu, menunggu untuk ditemukan kembali. Aku tidak tahu apa itu, tapi bayangannya semakin jelas sejak aku kembali ke rumah ini.

Perlahan, aku membaringkan tubuhku di rumput taman. Mataku terpejam, mencoba melarikan diri ke dalam ingatan-ingatan yang masih melekat, meski samar. Masa kecilku, rumah ini, semua momen yang pernah kuhabiskan bersama orang tua. Namun, memori itu tidak berhenti di sana. Ia melompat jauh ke masa-masa SMA, ke hari-hari yang selalu kuanggap biasa, namun ternyata penuh arti.

Sebuah kenangan muncul di benakku. Aku bisa merasakan hujan deras kala itu, bau tanah basah yang khas, dan payung merah yang tiba-tiba saja muncul di genggamanku. Aku tidak tahu dari mana asalnya, tapi aku tahu seseorang memberikannya padaku. Saat itu, aku terlalu sibuk untuk bertanya, terlalu muda untuk memahami bahwa payung itu adalah lebih dari sekadar perlindungan dari hujan.

Aku membuka mataku, menatap langit gelap yang dipenuhi bintang. Kenangan itu sosok di balik payung merah itu kembali menggantung di pikiranku. Siapa dia? Kenapa kenangan itu terasa begitu penting sekarang?

***

Flashback

“Kenapa kau belum pulang? Bukankah hujannya sudah reda?” tanyaku sambil mendongak, tanganku terulur ke udara untuk memastikan bahwa hujan benar-benar berhenti.

“Aku rasa aku harus menunggu lebih lama lagi sampai hujan benar-benar reda.”

Aku yang sudah yakin hujan benar-benar berhenti, karena tidak merasakan tetesan air di telapak tanganku, tetap merasa bingung dengan sikap temanku itu. Aku mengerutkan dahi sembari menyembunyikan wajahku yang penuh pertanyaan.

“Bukankah ini sudah benar-benar reda? Hanya ada sedikit rintik yang jatuh, bukan?” kata Elora dengan nada heran.

Aku dan Galvin adalah teman satu sekolah, bahkan sudah dua tahun ini kami satu kelas. Meskipun selalu sekelas, kami hampir tidak pernah berbicara. Bahkan untuk sekadar bertanya saja, sangat jarang.

Kami berdua memiliki karakter yang sangat berbeda. Galvin sangat introvert, pendiam, dan lebih suka menghabiskan waktu istirahatnya untuk membaca buku di perpustakaan.

Berbeda denganku yang selalu tampak ceria. Aku mudah berteman dengan siapa saja dan suka bercanda, namun sebenarnya sangat suka membantu meskipun kadang terlihat tak peduli.

“Uhmm... Aku...” Galvin terlihat ragu, kebingungannya terlihat jelas di wajahnya, seolah ingin menghindar dari sesuatu yang sedang dia sembunyikan dariku.

“Aku duluan ya...”

“Hey! Tunggu!” ujarku sambil menarik lengan Galvin yang sudah siap berlari.

“Bawalah payungku, kita tidak tahu jika nanti hujan lagi.”

“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Galvin, merasa enggan merepotkanku.

“Jangan khawatirkan aku. Hari ini aku pulang bersama Ayahku.”

Raut wajahnya yang semula murung perlahan berubah. Bibirnya terlihat mengembang dan kini ia tampak lebih ceria.

“Terima kasih, aku akan segera mengembalikannya.” Ujarnya sembari sedikit melirik ke arahku sebelum akhirnya kembali menundukkan kepalanya.

“Jangan khawatir, pakailah dulu selama kau butuh.”

Ketika sedang asyik berbincang, tiba-tiba terdengar derap mobil yang mendekat. Tak lama kemudian, klakson mobil sedan hitam itu terdengar di depan halte tempat kami berteduh.

Seketika aku dan Galvin menoleh ke arah sumber suara itu. Beberapa detik kemudian, salah satu kaca mobil itu terbuka, dan aku melihat sosok seorang pria paruh baya duduk di sana.

“Ayah...! Ayahku datang. Aku duluan ya, bye...” ujarku sambil membuka pintu mobil.

“Loh, temanmu kenapa tidak diajak masuk?” tanya Ayahku dengan senyum ramah.

“Emang boleh, Pak?” jawabku ragu.

“Boleh dong, kasihan temanmu, daripada jalan kaki, lebih baik sekalian Bapak antar pulang.” Ayahku tersenyum ke arah Galvin.

“Vin, ayo masuk. Pulanglah bersamaku,” ajakku sambil menarik lengan Galvin agar mau ikut masuk ke mobil.

Saat itu sudah pukul 15.00 sore, dan halte yang kami tempati sudah sangat sepi, hanya menyisakan aku dan Galvin. Hujan yang sangat deras membuat sebagian siswa memilih hujan-hujanan atau berlarian mencari kendaraan umum. Tapi aku dan Galvin memilih untuk menunggu hujan reda, bersama-sama.

Bukan karena aku tak bisa pulang, tetapi aku lebih memilih menunggu hujan reda bersama Galvin, teman introvertku yang terlihat sangat kedinginan.

“Tidak apa-apa El, aku pulang sendiri saja. Bukankah kau sudah meminjamkan payungmu untukku?”

“Masuklah, Nak. Supaya kau bisa cepat sampai rumah dan istirahat.” Pungkas Ayahku, membuat Galvin akhirnya menurut.

“Ayo lah, Vin, pulang bersama kami. Bukankah mobilku tidak bisa masuk gang rumahmu? Aku rasa ini saat yang tepat untuk menggunakan payung dariku untuk sampai rumah,” ujarku sambil meraih lengan Galvin lagi.

Tak lama kemudian, Galvin pun akhirnya masuk ke mobil dan duduk di belakang bersama aku, sementara Ayahku mengemudi di depan.

Sepanjang perjalanan, kami berbincang-bincang ringan, hingga akhirnya tiba di sebuah jalan setapak berbatu yang dikelilingi pepohonan tinggi dan tumbuhan liar yang hampir menutupi jalan.

“Nak, apakah ada jalan lain supaya Bapak bisa mengantarmu sampai rumah?” tanya Ayahku.

“Oh, tidak usah, Pak. Sampai sini saja. Terima kasih ya, Pak. Maaf saya sudah merepotkan. Mari...” jawab Galvin, sambil membuka pintu mobil.

Entah kenapa, sejak saat itu begitu banyak kejadian aneh yang melibatkan diriku. Bukan hanya di hari ulang tahunku, bahkan saat memperingati hari kasih sayang seperti Valentine, aku selalu mendapatkan kejutan. Padahal, aku tidak pernah pacaran, bahkan orang tuaku sangat melarang keras aku untuk memiliki hubungan spesial dengan laki-laki sebayaku.

Tentu saja, setiap kali aku menerima hadiah itu, banyak pertanyaan muncul di dalam diriku, bahkan juga di dalam pikiran orang tuaku.

Hingga saat ini, aku masih belum tahu siapa pengirimnya. Namun yang pasti, aku selalu mendapatkannya di momen spesial itu.

***

Tak terasa waktu terus berlalu, dan aku yang sedang fokus belajar untuk persiapan ujian kelulusan besok, tentu saja tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Setiap jam istirahat dan setelah makan siang, selalu kuhabiskan untuk belajar dan membaca buku di perpustakaan sekolah.

Saat aku hendak memasuki pintu perpustakaan, tiba-tiba bukuku jatuh setelah tak sengaja tertabrak oleh siswa lain yang hendak keluar.

Tak lama setelah itu, perhatianku tercuri oleh sosok yang tidak asing. Ia tampak mematung, menatap ke arah jendela perpustakaan.

“Galvin?” Gumamku dalam hati.

Ternyata, Galvin masih termenung, matanya tampak kosong, menatap jauh ke luar jendela yang terlapisi gerimis tipis. Sesekali ia melirik payung merah pemberian dariku. Payung merah itu yang menjadi alasan kami saling bertegur sapa beberapa waktu lalu sekarang seolah menjadi sebuah kenangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Galvin.

Aku terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya

. Kenapa aku merasa ada hal yang belum terungkap di balik tatapan kosongnya itu?


Part 3

Untuk melepas lelah usai membantu ibu menyiapkan makan malam, aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang dingin. Napasku terengah, membuktikan betapa kurangnya aku bergerak selama liburan ini. Membantu ibu memasak saja rasanya sudah seperti lari maraton.

Saat mataku mulai terpejam, sebuah kilauan merah di pojok kamar mencuri perhatianku. Aku tersentak dan segera bangkit. Payung merah itu...

Aku mendekatinya dengan langkah pelan, seolah-olah benda itu bisa mengungkapkan sesuatu yang selama ini tak pernah kumengerti. Kini, jumlahnya bertambah. Tidak satu, tapi banyak.

“Payung merah... banyak sekali...” gumamku, mencoba meyakinkan diriku sendiri. Tapi siapa yang mengirimnya? Dan kenapa selalu aku?

Ingatanku kembali pada hari pertama aku menerima payung merah itu. Kata-kata ibuku terngiang: “Entah siapa yang mengirimnya, tapi benda ini terus datang setiap gerimis.”

Aku mencoba membuka satu per satu payung itu, berharap menemukan petunjuk. Tetapi... tidak ada apa-apa. Hanya kain merah polos yang membisu. Hingga tiba-tiba...

Sebuah kertas kecil jatuh dari salah satu payung. Aku tertegun. Perlahan, tanganku mengambil kertas itu. Tulisannya sederhana, tapi cukup untuk membuat jantungku berdebar kencang:

“Elora, ini baru permulaan.”

“Astaga! Apa maksud dari semua ini? Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang terjadi.”

Di tengah kebingunganku yang kian memuncak, aku berusaha untuk tetap tenang sambil menganalisa lebih jauh dari semua yang terjadi.

Tiba-tiba aku teringat salah satu tetanggaku, pasangan paruh baya yang kebetulan adalah orang tua dari teman masa kecilku. Ingin sekali aku bertemu mereka untuk menanyakan perihal payung merah ini lebih jauh.

Namun, langkahku terhenti ketika dari kejauhan, aku melihat seorang pemuda berdiri di sela-sela pohon samping rumah tetanggaku. Wajahnya pucat, kepalanya tertutup topi rajut, dan lehernya terbalut syal tebal. Tak lama, dia menarik kupluk jaketnya hingga menutupi puncak kepala. Semua bagian tubuhnya tertutup rapat kecuali wajahnya, yang menatapku lekat.

Mataku terkunci pada pandangannya yang dingin dan penuh teka-teki. Tapi begitu aku mencoba membalas tatapannya, ia berbalik, lalu berjalan perlahan menuju jalan setapak berbatu di ujung sana jalan yang entah kenapa terasa familiar bagiku.

Aku mencoba mengingat sesuatu tentang jalan itu, tapi ingatan masa laluku seakan tertutup kabut tebal. Segala upaya untuk menggali memori itu berakhir buntu.

Keputusanku untuk bertanya pada tetangga ternyata juga tak membawa hasil. Mereka mengaku tak tahu menahu soal kiriman payung merah yang selalu datang ke rumahku setiap gerimis. Bahkan mereka baru mengetahui hal itu dariku.

Merasa lelah dan tak mendapatkan jawaban, aku memutuskan untuk pulang. Namun, alih-alih langsung merebahkan tubuhku, pikiranku kembali terusik ketika aku membuka album foto perpisahan SMA yang sudah lama kusimpan.

Di balik salah satu foto temanku, ada sebuah sketsa payung. Tidak merah seperti kiriman itu, tapi hitam putih, sederhana. Namun, sketsa itu membuatku ragu. Apa mungkin ini hanya kebetulan? Atau sebenarnya... ini sebuah petunjuk?

***

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengunjungi tempat-tempat yang kerap menjadi bagian dari keseharianku saat masih SMA. Mall, kafe, perpustakaan, hingga halte depan sekolahku dulu semuanya tampak masih sama, meski ada sedikit perubahan.

Sepanjang perjalanan, mataku mengamati sisi-sisi jalan yang kini terasa asing dan sekaligus akrab bagiku. Bangunan-bangunan baru berdiri, menggantikan tempat-tempat yang dulu ku kenal. Perubahan ini seperti mencerminkan berlalunya waktu selama aku menempuh kuliah, meninggalkan banyak kenangan yang kini seakan tersembunyi di balik bayangan masa lalu.

Setelah menghabiskan waktu di mall dan kafe, aku melangkah menuju sekolah SMAku. Bukan hanya untuk mencari petunjuk tentang misteri payung merah, tetapi juga untuk mengenang masa-masa perjuanganku di tempat ini masa di mana aku membangun pondasi untuk menjadi diriku yang sekarang.

Memasuki gerbang sekolah, ada rasa hangat yang menyelinap di dadaku. Udara pagi yang segar bercampur dengan aroma tanah basah setelah gerimis. Lapangan yang dulu penuh sorak-sorai kini sunyi, hanya dihiasi suara burung yang bertengger di pepohonan.

Aku berjalan menyusuri lorong-lorong yang tampak lebih sempit dari yang kuingat. Meja-meja kayu di kelas, papan tulis yang penuh coretan kapur, dan suara samar tawa teman-teman seolah kembali terputar dalam benakku.

Hingga langkahku membawaku ke sudut yang tak asing tempat pertama kali aku bertemu Galvin. Di sanalah aku pernah menyerahkan payung merah padanya saat hujan deras melanda. Payung itu menjadi saksi bisu awal percakapan kami.

Entah hanya kebetulan atau memang takdir yang menggoreskan jalan kami, Galvin tetap menjadi satu-satunya laki-laki yang pernah ku tolong hingga saat ini. Ada sesuatu yang berbeda di tempat ini, seolah membawa kembali bayangannya ke dalam pikiranku. Tapi aku tak menemukan petunjuk apa pun, hanya kenangan yang terus menyeruak di kepalaku.

Merasa lelah, aku memutuskan untuk pulang. Namun, ketukan di pintu kembali membuyarkan segalanya. Kali ini lebih keras dari biasanya, seperti sebuah peringatan.

Aku membuka pintu, berharap menemukan seseorang di sana. Tapi seperti biasa, tak ada siapa pun. Hanya payung merah yang tergeletak, basah oleh gerimis. Dengan perasaan campur aduk, aku mengambilnya dan membawanya masuk.

Saat hendak menambahkan payung itu ke tumpukan yang lain, sebuah kertas kecil jatuh dari salah satu lipatan payung. Perlahan, aku membukanya.

“Agar kau selalu terlindungi dari gerimis.”

Aku terpaku. Tulisan ini… terasa tak asing, mengingatkanku pada seseorang.

“Galvin? Benarkah ini dia?”


Part 4 POV_Galvin

Maafkan aku yang tak mampu memilikimu...

Bahkan jauh dari kata sempurna untuk mendampingimu...

Terimakasih sudah pernah memberi warna dalam hidupku, meski kini harus menghitam oleh penyakitku yang mematikan...

Maafkan aku jika tetap menempatkanmu dalam ruang terluas di hatiku, meski kau tak pernah tahu...

Maafkan aku jika mungkin membuatmu tak nyaman dengan payung merah yang selalu ku kirimkan...

Aku tak berharap kau membalas cinta dan ketulusanku selama ini...

Aku hanya ingin menjadi pelindungmu di sisa waktuku...

Payung merah ini, tak hanya menjadi pelindungmu. Tapi juga saksi bisu rinduku...

Tubuhku semakin melemah, tapi dengan melihatmu tersenyum sudah cukup membuatku merasa lebih kuat. Aku tahu aku tak punya banyak waktu untuk mengungkap rasaku, tapi aku ingin kau tahu bahwa ada seseorang yang selalu mencintaimu, meskipun dalam diam.

Di sisa waktuku yang sudah tak lama lagi, aku menulis surat ini untukmu. Sebuah perasaan yang mungkin tak pernah kau sadari, bahkan mungkin tak pernah kau anggap ada.

Aku melawan rasa sakit ini setiap kali gerimis datang. Saat tetesan air itu menyentuh bumi, aku mengirimkan pelindung itu untukmu, meski tubuhku terus melemah. Aku tahu kau tak pernah bertanya dari mana payung-payung itu berasal, tapi aku tetap berharap entah berapa lama lagi kau akan menyadarinya.

Tujuh tahun kau pergi, meninggalkanku dalam diam, tanpa pesan, tanpa kabar. Dan aku tetap di sini, memeluk bayangmu yang perlahan memudar. Maafkan aku, yang tak pernah bisa melupakan dirimu, meski kau terlalu sempurna untuk ku gapai. Cintaku masih sama, seperti saat aku pertama kali mengenalmu.

Gerimis selalu membawaku kembali padamu, pada kita, pada semua kenangan yang aku jaga. Setiap tetesan itu mengingatkan aku akan hari-hari yang tak pernah bisa kulupakan. Aku abaikan rasa sakit ini, aku abaikan tubuhku yang semakin melemah, hanya untuk terus mencintaimu... Meskipun dari jauh.

Di laman rinduku yang telah berdebu, ku sapu dengan sisa butiran ketulusan cinta yang terus ku jaga, meski nyaris pudar. Di tengah gelisahnya hati yang terus menanti, aku hanya berharap bisa menjadi pelindung bagi gadis yang kucintai, meski dari kejauhan.

***

Di balik bias cahaya pagi yang menyelinap masuk melalui jendela kamarku. Aku duduk sendiri merenungi nasib. Di temani sebuah payung merah yang mungkin akan ku kirim untuk yang terakhir kalinya.

Secarik surat kecil kutuliskan untukmu. Aku tak tahu apakah kau akan menemukannya, atau apakah kau bahkan sempat membacanya. Mungkin, surat ini akan hilang bersama waktu, seperti diriku yang perlahan menghilang dari duniamu.

Dengan hati-hati, kuselipkan surat terakhir ini di antara lipatan payung merah, payung terakhir yang mungkin akan sampai kepadamu. Sebuah pesan sederhana, namun penuh arti, tersembunyi di sana, menunggu untuk kau temukan, atau mungkin terlupakan selamanya.

“Sampai kapan kau akan mengorbankan dirimu sendiri untuk gadis yang bahkan tak pernah tahu tentang perasaanmu?”

Seketika aku menoleh. Ibuku sudah berdiri di belakangku, wajahnya sulit terbaca ada kekosongan yang mendalam, seolah-olah ia berusaha mengungkapkan apa yang selama ini terpendam.

Aku terdiam. Mungkin, penderitaanku selama ini, jatuh cinta tanpa harapan, juga dirasakan oleh ibuku. Sebagai anak tunggal, tentu ibu ingin aku merasakan kebahagiaan, seperti anak-anak lainnya. Namun, takdir berkata lain.

Aku divonis mengidap penyakit mematikan sejak SMP, setelah menerima beasiswa berprestasi di sekolah favorit. Itulah sebabnya aku bisa bersekolah dengan Elora. Gadis pertama dan terakhir yang memberi aku alasan untuk terus bertahan hidup.

Apa yang bisa kulakukan dengan sisa waktuku selain berusaha menikmati setiap detiknya? Mencintainya adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup.

“Ibu?”

“Apa kau pikir selama ini ibu tidak tahu? Uang untuk pengobatanmu selalu kau potong... untuk membeli payung merah itu.”

Aku tercekat. Seolah-olah udara di sekitarku hilang. Kepalaku tertunduk, dan tak satu kata pun bisa keluar. Lidahku terasa kelu, terperangkap oleh perasaan bersalah yang sudah terlalu lama kupendam.

Cinta ini... Aku tahu cinta ini bodoh. Tapi, hanya ini yang membuatku merasa hidup.

Mataku perlahan melirik ke arah payung merah yang baru saja kubeli. Uang yang seharusnya kugunakan untuk membeli obat kini berubah menjadi benda itu, menggantung di sudut ruangan. Payung itu tak pernah bicara, tapi menjadi saksi bisu atas perasaan yang kian menyesakkanku.

“Ibu tidak ingin kehilanganmu,” suara ibu terdengar lirih, namun penuh getaran emosi yang sulit disembunyikan. Matanya berkaca-kaca, menatapku dengan luka yang tak mampu disuarakan. “Apa kau pikir gadis itu akan bahagia jika tahu kau mengorbankan nyawamu demi dia?”

Aku terdiam. Kata-kata ibu seperti mengguncang duniaku, mengoyak keyakinan yang selama ini kugenggam erat. Satu sisi hatiku tahu ibu benar. Tapi sisi lainku... tetap tak bisa berhenti mencintainya.

Elora mungkin tak akan pernah tahu. Tak apa. Aku tak butuh dia tahu. Aku hanya ingin mencintainya, meski itu berarti aku mengorbankan diriku sendiri.

Mungkin terdengar bodoh bagi orang lain. Tapi bagiku, kehilangan kesempatan untuk mencintainya terasa lebih menyakitkan daripada kehilangan segalanya, termasuk hidupku.

Dan di akhir hidupku nanti, aku sangat ingin rasaku mengungkapkan apa yang tak pernah terungkap selama ini. Mungkin dia tak peduli, atau bahkan tak membalas perasaanku. Tapi, di balik surat kecil ini, aku berharap ia bisa merasakan apa yang kurasakan, meski waktu dan takdir tak menentukan kami untuk bersama.

Kondisi kesehatanku semakin parah. Terlebih lagi, saat aku tak melihatnya pulang. Selama tujuh tahun ini, mungkin aku bisa bertahan karena cintaku yang begitu dalam padanya. Namun kali ini, semuanya terasa berbeda. Kesehatanku semakin memburuk.

Dokter yang menanganiku pun sudah memprediksi kapan aku akan berpulang.

Besok adalah hari penentu apakah aku masih bisa bertahan hidup, atau...

“Kenapa kau tak menjawab pertanyaan Ibu, Galvin!”

Pertanyaan itu kembali terlontar dari wanita paruh baya yang telah melahirkanku dan merawatku selama ini. Namun kali ini, nada suaranya tak lagi selembut biasanya. Ada gertakan halus di sana, seperti campuran antara amarah dan keputusasaan.

“Maaf, Bu. Galvin ingin istirahat,” jawabku pelan, sambil beranjak ke tempat tidur. Kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, dari kaki hingga kepala.

Aku tak ingin memperpanjang masalah. Mungkin, Ibu benar. Aku harus belajar melupakan Elora. Meski mencintainya adalah satu-satunya sumber kebahagiaan untukku, aku tahu... itu hanyalah kebahagiaan di dunia fiksi.

Di dunia nyata, aku harus menerima kenyataan. Elora bukan diciptakan untukku, dan aku harus sadar akan itu. Penyakit ini... mungkin adalah cara Tuhan memberiku petunjuk, bahwa aku tak pernah pantas berada di sisinya.

Tak lama berselang, dari balik selimutku yang hangat, kudengar suara rintik hujan mulai jatuh satu per satu. Bunyi itu perlahan menggema, seolah menyelimuti pagi dengan keheningan yang menenangkan.

Mungkin bagi Ibu aku bodoh. Tapi di sisa waktu yang kupunya, aku ingin mengakhiri kebodohan ini hari ini.

Dengan perlahan, aku bangkit dari tempat tidurku. Tubuhku terasa lemah, tapi tekadku lebih kuat dari segalanya. Aku mengabaikan semua peringatan Ibu, karena ini adalah kesempatan terakhirku untuk mengungkapkan perasaanku padanya.

Tanganku terulur, meraih payung merah yang telah kuselipkan dengan surat dan puisi terakhirku untuknya. Payung itu terasa ringan, tapi di dalamnya, tersimpan seluruh berat hatiku. Tanpa menoleh lagi ke belakang, aku melangkah keluar, menuju rumahnya.

Setibanya di sana, seperti biasa, aku meletakkan payung merah itu di tempat yang selalu kutuju. Namun kali ini, langkahku terhenti.

Ada sentuhan lembut yang menahanku. Sentuhan itu, begitu halus, tapi cukup untuk membuatku membeku di tempat.

Dan kemudian, suara itu terdengar. Suara lembut yang tak asing, suara yang selama ini kurindukan, kini mengalun kembali.

“Galvin, apakah itu kau?”

Aku terkejut, dan tubuhku menegang. Aku berusaha tetap berpaling, tetapi sentuhan itu kini terasa lebih kuat, menarikku perlahan ke arahnya.

“Kenapa kau melakukan ini?” pertanyaan itu kembali terlontar darinya, disertai genggaman lembut yang terus menahan lenganku.

Aku melirik ke arahnya perlahan, mencoba menyembunyikan setengah wajahku dengan syal yang melilit erat di leherku.

“Galvin, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa wajahmu...”

Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, aku memotong ucapannya dengan cepat. Aku tidak bisa membiarkannya tahu kondisiku sekarang. Tidak seperti ini.

“Maaf, sepertinya kau salah orang. Permisi,” kataku, berusaha mengakhiri percakapan itu. Aku tak ingin dia tahu, tak ingin membuatnya khawatir, atau membebaninya dengan kenyataan ini.

Mungkin lebih baik jika aku tetap menyimpan semuanya sendiri, membiarkan dia hidup tanpa pernah mengetahui keadaanku. Jika pun dia tahu, biarlah itu terjadi saat aku sudah tak lagi di dunia ini.

Aku menarik napas panjang dan berjalan pergi, meninggalkan jejak kecil di hatinya yang mungkin tak pernah ia sadari. Cukup payung merah ini yang menjadi saksi atas besarnya cinta yang kupendam. Dan cukup

surat kecil yang kuselipkan di sana menjadi ungkapan perasaanku yang pertama dan terakhir.


Part 5

“Galvin! Kenapa kau berlari? Aku tahu itu kau!” Aku berteriak sambil setengah berlari, mengejar sosok yang sudah lama tak ku lihat.

Aku berhasil meraih lengannya dan menarik lembut, namun cukup untuk menghentikan langkahnya. “Kau pikir aku tidak mengenalmu? Kau kira aku bisa lupa seseorang yang terus meninggalkan payung merah ini di depan rumahku?”

Dia tak menjawab. Wajahnya menunduk, seolah ingin menghindar dari tatapanku. Namun aku menyadari sesuatu. Wajahnya pucat, terlalu pucat, seperti kertas kosong tanpa warna. Rambutnya dulu berantakan, kini hilang, digantikan topi rajut yang menutupi kepalanya. Lehernya terlilit syal tebal, bahkan di udara yang tak terlalu dingin.

“Galvin...” suara Elora melembut. “Apa kau sakit? Kenapa kau tidak pernah mengata sesuatu padaku? Aku bisa membantumu...”

“Tidak!” Galvin tersentak, suaranya bergetar. “Aku... Aku bukan Galvin. Kau salah orang.”

Aku terdiam. Kebohongan itu terlalu jelas untuk diabaikan. Tanganku yang masih menggenggam lengan Galvin merasakan betapa kurus dan lemahnya dia sekarang. “Jangan bohong padaku,” ucapku hampir berbisik. “Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi. Tolong... katakan sesuatu.”

Galvin perlahan menarik lengannya, menghindari tatapan penuh tanya dariku. “Kau seharusnya tidak tahu,” gumamnya lirih sebelum berbalik dan berjalan cepat, meninggalkan aku yang berdiri terpaku di tengah gerimis pagi.

Semakin jauh ia berlalu, semakin aku tak mengerti dengan sikapnya. Ada begitu banyak pertanyaan yang menggantung di pikiranku, namun tak satu pun mampu kutemukan jawabannya. “Kenapa Galvin begitu berubah?”

Pandanganku kemudian tertuju pada sebuah payung merah yang diletakkannya di depan pintu rumahku. Aku sering menerima payung darinya, tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa berbeda.

Perlahan, aku melangkah mendekat. Tanganku terulur, meraba payung itu, mencari sesuatu yang mungkin disembunyikan di sana. Benar saja, di sana terselip sebuah bungkusan kecil, warnanya sudah sedikit pudar. Aku bertanya-tanya, berapa lama ia menyimpan ini sebelum akhirnya diberikan padaku?

Namun sebelum sempat kubuka bungkusan itu, suara lembut dari dalam rumah memanggilku. “Nak, ini sudah malam. Masuklah... Tak baik anak perempuan berada di luar terlalu lama.”

Aku menoleh ke arah suara itu. Ragu sejenak, lalu menghela napas. Dengan hati-hati, aku melipat payung itu dan membawa semuanya masuk ke dalam. Rasa penasaran terus menghantuiku, tapi untuk saat ini, aku hanya bisa menyimpannya, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap apa yang Galvin sembunyikan.

***

Di tengah dinginnya malam yang diguyur derasnya hujan. Aku berdiri menatap sayupnya sebuah gerimis yang tak kunjung reda dari balik korden jendela kamarku yang sudah sedikit berembun.

Entah kenapa hari ini terasa begitu berat. Seperti ada sebuah rasa penyesalan yang mendalam dari sebuah kisah yang tak pernah ku mengerti akhirnya.

Perasaanku selalu tertuju pada sebuah payung merah itu. Iyaa, payung merah terakhir yang sempat ia kirimkan untukku. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu yang sempat kutemukan di sana.

“Bungkusan itu!” aku yang sudah sangat antusias seketika langsung beranjak mencarinya.

Namun karena aku lupa dimana aku meletakkan payung merah yang tadi sore aku terima. Aku jadi memeriksa satu persatu dari semuanya. Dan tak berselang lama sebuah bungkusan usang terjatuh dari beberapa payung yang ku angkat.

“Naah ini dia, alhamdulilah ketemu,” perlahan ku buka bungkusan itu.

Deg

Terimakasih sudah menjadi penerang dalam hidupku yang gelap,

Hidup yang penuh dengan rasa sakit, ketidakpastian, dan ketakutan akan hari esok.

Aku selalu mengingatmu setiap kali hujan turun. Gerimis selalu membawa pikiranku kembali ke hari itu, saat kau dengan senyummu memberikan payung merah padaku. Sejak saat itu, hujan tak lagi terasa dingin bagiku, karena kau sudah memberi hangat yang tak pernah hilang dari ingatanku.

Terimakasih sudah menjadi pemilik hati yang rapuh ini...

Maaf jika aku jauh dari sempurna untuk memilikimu, namun payung merah yang ku kirimkan padamu adalah bukti ketulusan dari setiap rasa yang kumiliki.

Kepergianmu adalah kecewaku.

Senyummu adalah bahagiaku.

Bahagiamu adalah sumber kekuatanku untuk terus bertahan hidup, melawan penyakit yang semakin mematikan.

Tak banyak yang bisa kulakukan selain berharap kau segera kembali sebelum aku pergi.

Aku tidak mengharapkan balasan cintamu, Elora. Yang kuinginkan hanya satu: agar kau tahu betapa besar harapanku yang tak pernah berhenti menginginkanmu.

Payung merah terakhirku, adalah saksi bisu dari besarnya harapku memintamu untuk tetap bahagia meski tak bisa bersamaku.

Tak terasa, cairan bening itu terus mengalir dari mataku, jatuh tanpa bisa kutahan. Tanganku bergetar hebat, seperti tubuhku tak sanggup lagi menyangga semua perasaan ini. Bayangan masa lalu kembali menyeruak, membawa ingatan tentang setiap payung merah yang ia kirimkan untukku.

Perlahan, tubuhku ambruk, bersandar pada tembok kamar yang terasa begitu dingin. Sesak ini semakin menyesakkan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dia... Dia begitu tulus mencintaiku, sementara aku bahkan tidak pernah menyadarinya.

Dengan suara yang nyaris bergetar, aku berbisik pada diriku sendiri, “Aku harus datang ke rumahnya... Besok pagi, aku harus menemui Galvin.”

Tak kusangka, pertolongan kecilku di masa lalu begitu membekas di hatinya. Namun, aku menyesal karena tidak menyadari lebih awal betapa berarti diriku baginya. Andai saja aku bisa berbuat lebih banyak sebelum penyakit itu menguasai tubuhnya. Mungkin saat ini ia bisa lebih baik.

Aku tidak pernah menyadari betapa dalam perasaannya selama ini. Selama ini, aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri, mengabaikan isyarat kecil yang seharusnya bisa kubaca. Kini, ketika aku tahu betapa kuat cintanya, aku hanya bisa menyesali betapa cueknya diriku dulu. Dan yang lebih menyakitkan, aku terlambat menyadarinya, ketika penyakit itu sudah begitu menguasainya.

Semakin besar keinginanku untuk segera bertemu dengannya, semakin dalam rasa sesalku atas sikap cuekku selama ini. Isak tangisku menggema, memenuhi sunyi kamarku.

Kugenggam erat payung merah darinya, seolah mencoba meraih kembali kenangan yang telah kubiarkan berlalu begitu saja. Aku hanya bisa berharap... ini bukan yang terakhir.


Part 6

Aku mengerjap, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. Sementara suara ibuku semakin keras di luar. Dengan malas, aku menarik selimut lebih erat, berharap bisa menghindari perintahnya yang rasanya seperti teriakan. Tapi di saat yang sama, pikiranku berlarian ke Galvin. Rasa ingin bertemu dengannya mengalahkan rasa kantukku.

“Aku harus pergi, tapi... bagaimana caranya?” gumamku pelan, berusaha menyusun rencana. Aku tak ingin ibuku tahu tentang niatku yang satu ini.

“Ayo cepat bangun, nak!” suara ibu semakin mendekat. Tak ada lagi alasan untuk tidur, akhirnya aku bangkit dari ranjang. Rasanya tubuhku terisi oleh energi yang tiba-tiba muncul begitu saja, seolah semangatku untuk bertemu Galvin lebih kuat dari sekadar rasa malas yang menguasai tubuhku.

Dengan langkah terburu-buru, aku keluar dari kamar dan bertemu dengan ibuku yang tampak kesal. “Kenapa baru bangun sekarang? Ada apa dengan anak perempuan ibu yang satu ini?” katanya dengan nada sedikit tajam, namun aku hanya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kecemasan.

Segera aku bergegas mengerjakan segala hal yang perlu, sambil mencoba menenangkan hati yang berdebar. Seolah sesuatu yang penting menanti di luar sana. Namun, Galvin… apakah ia benar-benar akan ada di sana? Dan, bagaimana reaksi dia nanti saat aku tiba?

Aku segera melangkah keluar, berusaha tidak terlalu memikirkan perasaan yang mulai menghantui. Hanya satu yang ada di pikiranku sekarang aku harus menemui Galvin, apapun yang terjadi.

Entah kenapa hari ini terasa begitu berbeda, bahkan langkahku terasa semakin berat usai melihat beberapa orang terlihat berlalu lalang ke arah jalan yang tampak tak asing bagiku.

Selang beberapa saat aku tiba disebuah jalan setapak berbatu. Seketika ingatanku menguar dan seperti terjebak di masa lalu saat aku dan Ayahku mengantar Galvin pulang sekolah.

Aku sempat melirik kemana Galvin melangkah usai sampai di sini ketika mobilku sudah berjalan.

Hari ini terasa berbeda, langkahku terasa lebih berat ketika melihat orang-orang berlalu lalang menuju jalan yang tak asing bagiku. Tak lama kemudian, aku tiba di sebuah jalan setapak berbatu.

Tiba-tiba, kenangan itu muncul begitu saja, seolah aku terjebak kembali di masa lalu saat aku dan Ayah mengantar Galvin pulang sekolah. Aku sempat melirik ke belakang, memperhatikan langkah Galvin yang semakin menjauh, sementara mobil kami sudah melaju, meninggalkan jejak kenangan yang tak terhapuskan.

Aku mulai mengikuti jejak Galvin, yang kini terasa seperti kenangan yang membawaku kembali ke masa lalu. Perlahan, aku berjalan melewati jalan setapak bersama beberapa orang lainnya.

Jalan ini tampak semakin terabaikan, dengan rerumputan yang hampir menutupi sisi-sisinya. Tak jarang, salah satu dari mereka membuka jalan untuk yang lain.

Entah kenapa, langkahku semakin berat, terutama saat melihat pakaian yang dikenakan beberapa orang di sana. Bahkan, salah satu dari mereka bergegas keluar untuk memasang bendera kuning.

“Astaga!” Derap napasku semakin cepat, sesak di dada. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang dan mempercepat langkahku agar segera sampai di rumah Galvin.

Semua rumah yang berjejer tampak sunyi, kecuali satu rumah yang terdengar riuh dengan suara warga dan isak tangis yang familiar. “Itu... bukankah ibunya Galvin?” gumamku, hatiku berdebar, teringat sesuatu yang tak bisa kuungkapkan.

“Galvin! Jangan tinggalkan Ibu Nak...” Teriakan dan isak tangisnya menderu sesak, seolah tidak ingin menerima kenyataan yang terjadi.

Tubuhku bergetar setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh wanita sepuh yang ku yakini adalah ibunya Galvin. Terlebih suara itu semakin meyakinkanku, terutama ketika sebuah nama terucap dari bibir wanita sepuh itu.

Perlahan kakiku melangkah mendekat ke arah rumah itu. Mataku menyapu sekeliling rumah yang sangat sederhana, hampir tak terawat, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam di sana.

“Galvin..! Kenapa kau pergi secepat ini Nak?”

Mendengar itu, tubuhku bergetar hebat, napasku menderu sesak, terasa seperti ada yang menekan dadaku. Terlebih saat melihat beberapa orang mengangkat jenazah Galvin, tubuh yang sudah kaku, hendak dimandikan di rumah. Suasana itu semakin menyesakkan hatiku.

Isak tangisku semakin menderu sesak, seolah dunia ini runtuh begitu saja. Melihat apa yang terjadi, aku merasa seperti kehilangan segalanya sebelum sempat menemukannya.

Langkahku semakin berat, terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aku melangkah semakin lambat, bahkan nyaris ambruk, tubuhku hampir tak mampu menahan kesedihan ini.

Beberapa orang sedang mempersiapkan perlengkapan untuk memandikan jenazah Galvin. Kembang tujuh rupa, minyak wangi, dan daun-daun khas yang biasa digunakan dalam ritual itu sudah siap di sisi jenazah, memberikan suasana yang sangat berbeda dari yang pernah kurasakan.

Tak kusangka secepat itu ia pergi. Bahkan jauh sebelum mendengar jawabanku. Apakah cinta itu benar-benar masih berkuasa di atas segalanya?

“Apakah kau yang bernama Elora?” suara seorang wanita paruh baya tiba-tiba memecah lamunanku.

Aku menoleh, sedikit gemetar. “Ta... Tante, saya...”

Ia tersenyum tipis, tapi matanya penuh duka. “Aku tahu tentangmu. Payung merah yang dikirim untukmu setiap gerimis... Galvin sering bercerita tentang itu. Setiap payung itu adalah ungkapan perasaannya untukmu.”

Aku terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan ibu Galvin.

“Maaf, Bu... bolehkah saya tahu penyakit apa yang diderita Galvin?” tanyaku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh perasaan cemas.

Beliau menarik napas panjang, tampak merenung sejenak sebelum akhirnya berbicara, suaranya pelan namun penuh makna.

“Galvin divonis kanker sejak lulus SMP, bahkan saat itu ia baru saja menerima beasiswa berprestasi untuk melanjutkan SMA. Dan kau, Nak, menjadi salah satu alasannya untuk bertahan hidup. Setiap hari ia selalu menantikan kepulanganmu. Kau telah menjadi semangatnya selama ini.”

Deg

Jantungku terasa berhenti sesaat. Mataku menatapnya penuh rasa bersalah. “Saya... Saya minta maaf, Tante. Saya tidak tahu... Selama ini saya tak pernah benar-benar mengerti.”

Wanita itu hanya menatapku penuh pengertian, meski air matanya mulai berlinang.

Payung merah terakhir dan di balik adanya sepucuk surat kecil itu lah yang menjadi alasanku datang ke sini. Surat itu adalah suara terakhirnya, pesan terakhir Galvin yang akhirnya aku dengar.

Ku tatap wajah sayup teman sekolahku dia yang tak kusangka menjadi cinta pertama sekaligus terakhirku. Isak tangisku mulai menggema, memecah keheningan, sementara dadaku terasa bergemuruh sesak, seperti menolak kenyataan yang kini terbentang di depan mata.

Tak banyak yang bisa kulakukan selain mendoakan yang terbaik untuknya, meskipun hatiku belum sanggup melepaskannya. Air mata terus mengalir tanpa henti, menandai betapa sulitnya aku menerima kepergiannya.

Sesekali aku menyeka cairan bening itu, namun tanganku terasa gemetar, seolah tak mau meninggalkan jejak terakhir yang bisa kusentuh darinya.

Hingga akhirnya, Ibu Galvin mendekat dengan beberapa tetangga, mencoba menenangkan diriku yang hampir kehilangan kendali. “Biarkan dia pergi dengan tenang, Nak,” bisik Ibu Galvin, suaranya serak namun penuh kehangatan. Kata-kata itu menyayat hatiku, tetapi aku tahu, ia benar.

Aku menemaninya sampai hari pemakaman. Semua tampak begitu hening, hanya terdengar suara gemerisik dedaunan dan gesekan ranting yang seperti berbisik di antara angin.

Langkahku terasa berat saat berjalan perlahan di samping ibunya Galvin. Genggaman tangannya gemetar, mencerminkan rasa kehilangan yang tak terperi. Langit di atas kami tampak gelap dan muram, seolah turut merasakan duka yang menyelimuti.

Tak lama gemuruh hujan, hembusan angin dingin mulai terasa menusuk kulit, diikuti oleh tetesan rintik hujan yang perlahan membasahi tanah. Gerimis itu seperti menyambut Galvin dengan penuh kesedihan, mengiringinya dalam keheningan terakhir. Aku hanya bisa menunduk, membiarkan air mata bercampur dengan hujan, mendoakan agar ia tenang di sisi-Nya.

***

Isak tangisku semakin menggema setelah aku sampai di rumah. Payung Merah itu kini berada dalam dekapanku, terasa begitu hangat meskipun sudah tak bisa menghalau hujan.

Setiap lekuk kainnya mengingatkanku pada momen-momen indah bersama Galvin, yang kini hanya bisa ku kenang. Seolah payung ini menjadi satu-satunya penghubung yang tersisa antara aku dan kenangan itu, meskipun terasa begitu sakit untuk mengingat semuanya.


Part 7

Aku berjalan pulang dengan kondisi penyesalan yang mendalam. Aku tak tahu apa yang membuatnya melangkah pergi sebelum mendengar jawabanku. Payung merah ini kini menjadi saksi bisu, benda terakhir yang menghubungkan aku dan Galvin.

Langkahku semakin pelan di bawah rintik hujan. Gerimis yang jatuh ke tanah seolah menyuarakan perasaanku yang tak kunjung reda. Bayangan wajahnya terus terlintas di pikiranku, membawa kembali kenangan masa lalu tawa kecilnya, tatapannya yang selalu hangat, dan caranya menjaga payung ini untukku setiap hujan tiba.

Aku berhenti sejenak di tengah jalan. Payung merah ini kuangkat sedikit lebih tinggi, seakan berharap bayangannya akan muncul dari balik rintik hujan. Tapi yang ada hanya kehampaan, dan hatiku kembali terasa sesak.

“Galvin,” bisikku lirih, nyaris tenggelam oleh suara hujan. “Aku berjanji... aku akan selalu menghargai cinta yang tulus, meskipun tak pernah terucap.”

Aku melangkah lagi, membawa payung merah ini seperti membawa sebagian dirinya yang masih hidup dalam kenanganku. Setiap tetesan hujan yang mengenai tanah mengingatkanku pada kehadirannya, pada cinta yang ia berikan tanpa syarat, tanpa pernah meminta balasan.

Meski ia tak lagi ada, aku tahu ia akan selalu menjadi bagian dari hidupku. Payung merah ini... akan selalu menjadi pengingat bahwa cinta sejati tak perlu selalu diucapkan, karena ia hadir dalam setiap tindakan kecil yang bermakna.

Langkahku terasa semakin berat, namun entah mengapa, ada semangat yang tiba-tiba hadir dari dalam diriku, seperti sebuah kekuatan yang mengingatkanku untuk melangkah maju meskipun perasaan ini tak pernah mudah.

Payung merah ini, yang selama ini menjadi simbol dari kenangan tentang Galvin, kini terasa seperti beban yang harus kutanggung, namun juga sebagai penuntun dalam kegelapan.

Gerimis yang semula ringan kini berubah menjadi hujan yang lebih deras, namun aku tidak peduli. Payung merah ini, yang dulu hanya sekadar pelindung dari hujan, kini menjadi pengingat tentang perasaan yang tak pernah sempat kutunjukkan padanya.

Aku tahu, di suatu tempat dalam hatiku, Galvin selalu tahu, meskipun aku tak pernah bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

Saat aku berjalan menyusuri jalan yang sudah tak asing bagiku, aku tiba di sebuah taman kecil tempat pertama kali aku dan Galvin berbicara lebih dekat. Pohon-pohon di sana seakan menjadi saksi bisu segala perasaan yang kami simpan selama ini.

Aku teringat saat itu, ketika payung merah yang kini ada di tanganku, kami gunakan bersama, melindungi kami dari hujan yang seolah tak pernah berakhir.

Aku berhenti sejenak di tengah taman itu, menunduk, dan membiarkan hujan menyapu wajahku. Rasanya ada sesuatu yang hilang, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh apa pun.

Namun, di tengah perasaan itu, aku merasa seolah Galvin sedang ada di sini, bersama dengan setiap tetes hujan yang turun, mengingatkan aku untuk tetap maju.

“Terima kasih, Galvin,” bisikku pelan, seolah ingin melepaskan seluruh penyesalan yang ada. “Semua kenangan ini akan selalu aku bawa, meskipun kau tak lagi di sini.”

Aku menatap payung merah itu, menyentuhnya dengan lembut, dan merasa seolah ia memberi jawaban dalam diamnya. Aku tak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tapi aku tahu bahwa cinta sejati, meskipun tak terucap, akan selalu ada, mengalir dalam setiap kenangan yang tertinggal.

Dengan langkah yang lebih mantap, aku melanjutkan perjalanan pulang, membawa payung merah itu dengan penuh rasa terima kasih dan harapan, bahwa suatu saat nanti, aku akan bisa belajar menerima kenyataan, dan menghargai setiap cinta yang datang tanpa syarat, tanpa harus menunggu kata-kata untuk mengungkapkannya.



Terimakasih sudah membaca karyaku.. Semoga rezekinya semakin lancar, sehat dan bahagia selalu ya🙏🥰❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)