Cerpen
Disukai
2
Dilihat
4,909
Payau Emas Terlarang
Sejarah

Pernahkah kalian mendengar kisah yang dilarang untuk diceritakan? Ada apa dengan isi kisah ini hingga dilarang untuk diceritakan? Konon menurut kepercayaan masyarakat Dayak Bahau yang tinggal di Kampung Long Daliq, siapa saja yang mendengar cerita ini atau menceritakannya pada orang lain, akan mendapat bala karena melanggar tuhing.

Baiklah, mari kita simak bersama!

***

Usai pesta bepelas kampung, diantara sadar dan mabuk akibat minum tuak yang terlalu banyak seorang kakek yang bernama Luwing malam itu sedang dikelilingi cucu-cucunya sambil berbaring di kasur tipis memulai menceritakan tentang kisah hidupnya yang pernah bertarung menghadapi seekor babi besar.

“Bosan Kek, cerita kakek berkelahi dengan babi hutan sudah belasan kali diceritakan.” Ucap Bong protes pada Kakek.

“Cerita Payau Emas saja Kek, nanti kami pijat tubuh kakek dari kaki sampai kepala." Bujuk Kuleh.

“Benarkah kalian akan memijat tubuh Kakek? ” Ucap Kakek Luwing memastikan tawaran cucu-cucunya.

"Iya kek ... iya kek ... kami pijat kakek sekarang juga. " Jawab cucu-cucunya.

Maka, malam itu meluncur lah Kisah tentang Payau Emas dari mulut Kakek Luwing yang disimak cucu-cucunya dengan sangat antusias. Cerita ter larang itu terburai, keluar dari mulut sang kakek yang bau tuak dan ia merasa seperti ada bintang-bintang terbang berkeliling di atas kepalanya.

***

Jika menelusuri hulu Sungai Mahakam, maka kita akan bertemu dengan sebuah pulau pasir batu atau karangan di tengah sungai. Hanya saja karangan ini muncul di saat musim kemarau, ketika air sungai surut. Menurut cerita masyarakat Dayak yang tinggal di Kampung Long Daliq, di perut karangan pasir batu ini terkubur emas sebesar Payau yang menurut cerita dahulu, ada seekor Payau Jantan yang dikutuk oleh Dewa karena telah melanggar janji untuk tidak memakan lombok emas tanaman kesayangan para Dewa.

Dituturkan bahwa pada suatu hari, ketika para dewa hendak naik ke kayangan, mereka menitipkan kebun kepada Payau jantan. Payau ini boleh memakan buah-buahan yang ditanam, hanya saja tidak boleh memakan lombok emas. Karena lombok emas ini santapan khusus para Dewa yang tidak boleh disantap selain Dewa.

Awalnya, Payau Jantan dengan tanduk bercabang tiga ini mematuhi perintah Dewa. Ketika perutnya lapar ia memakan labu, belimbing, tebu, bayam, dan mentimun. Setelah merasa kenyang, ia berbaring di bawah pohon rindang. Tiupan angin sepoi-sepoi, membuat kedua matanya mulai terpejam dan kantuk pun datang. Seekor lalat besar hinggap di bulu matanya, ia menggerakkan kepala mengusir lalat yang terus hinggap di bulu mata. Ketika membuka mata, terlihat silau pantulan sinar matahari yang jatuh menerpa lombok emas.

Kantuk nya hilang, kini timbul keinginan untuk menyantap lombok emas. Ingin merasakan kelezatan lombok yang begitu menarik perhatiannya, dengan warna keemasan yang bersinar kuning menawan. Tapi segera menepis keinginannya, ia ingat pesan dari Dewa dan amanah ini harus dilaksanakan. Payau Jantan mencoba kembali tidur, tetapi godaan untuk menikmati lombok emas itu semakin kuat.

“Aku akan memakan buah itu satu saja, lagi pula ada banyak sekali buahnya dan mereka tidak akan tahu.” Batin Payau jantan.

Ia segera berdiri dan berjalan menuju lombok emas. Dengan hati-hati, lidahnya meraih tangkai lombok emas dan memasukkan nya ke dalam mulut. Perlahan dikunyah lombok emas dengan penuh penasaran. Matanya terpejam, merasakan sensasi rasa yang begitu enak tiada tara. Belum pernah ia merasakan kelezatan seperti ini. Perpaduan antara rasa manis, asam, asin, sedikit kelat dan tentunya bau harum menyegarkan semakin menguatkan kelezatan nya.

“Sungguh lezat sekali. Tambah satu lagi ah ... buahnya sangat banyak dan tidak akan ketahuan jika aku mengambil satu lagi”.

Maka dipetik lagi satu biji lombok emas. Kemudian satu lagi, lagi, lagi dan lagi sampai batang lombok berdiri kaku menyisakan lembaran daun hijau. Tak satu pun tersisa lombok emas, semuanya lenyap masuk tersimpan di perut payau jantan yang kini tampak semakin tambun.

Awalnya Payau Jantan tidak merasakan apa-apa selain rasa kenyang tetapi, lambat laun ia merasa pedas mulai membakar mulut. Lalu tenggorokan nya terus menjalar sampai ke usus, perutnya terasa melilit dan sangat sakit. Si Payau jantan panik, tubuhnya kini terasa terbakar. Ia lalu lari ke tepi sungai, moncong nya dicelupkan ke dalam air lalu meneguk air sebanyak-banyaknya. Pedas dan panas yang teramat sangat ini bukannya mereda, namun menjadi semakin pedas membakar mulutnya. Payau jantan kemudian menceburkan tubuhnya ke sungai, berharap panas yang terasa membakar tubuhnya akan berkurang. Namun apa hendak di kata, air sungai yang dingin ternyata tak juga mampu menurunkan panas yang membakar tubuhnya. Payau jantan menyelam, tubuh dan kakinya kejang-kejang hingga ke dasar sungai menyebabkan air menjadi keruh. Ia naik ke atas, moncong nya menyeruduk ke pasir lalu lari berputar-putar tanpa arah dan tak lama kemudian, Payau jantan itu roboh dan mati dengan mulut berbusa. Keajaiban pun terjadi pada bangkai Payau yang berubah menjadi emas. Dan seiring perjalanan waktu, Payau emas terkubur di tengah karangan.

***

Karena telah melanggar tuhing, malam itu usai badan Kakek Luwing dipijat oleh Kuleh dan cucu-cucunya, ia pergi ke jamban dikarenakan perutnya sakit. Tiba-tiba kaki kakek salah menginjak tangga behek dan terjatuh dengan suara yang keras, hal ini mengakibatkan mata kakinya keseleo dan harus menggunakan tongkat penyangga.

Lain lagi dengan Kuleh, cerita semalam begitu membekas dan tersimpan erat di kepalanya. Dan seperti yang dikhawatirkan para tetua kampung, jika kisah Payau Emas ini pamali untuk diceritakan terutama pada anak-anak. Ditakutkan, jika mereka percaya pada dongeng ini dan suatu saat akan mencoba untuk membuktikan kebenarannya.

“Apakah memang benar ada emas sebesar payau terkubur di tengah karangan?” Dalam benak Kuleh.

***

Kampung Long Daliq dihuni oleh suku Dayak Bahau. Mereka tinggal di rumah tiang yang biasa disebut dengan lamin, dengan ukuran panjang bertiang tinggi, berlantai kan papan tebal dengan dinding terbuat dari kulit kayu, dan beratap daun untuk melindungi mereka dari serangan binatang buas, hujan serta terik matahari. Di halaman sebelah kanan lamin, terdapat lumbung yang menjadi tempat penyimpanan padi hasil panen. Di tengah lapangan depan lamin, berdiri Tiang Blontang berukir-ukiran di mana puncaknya bertengger seekor Burung Enggang dengan kedua sayap membentang menghadap ke arah sungai Mahakam.

Musim kemarau di bulan Agustus terasa begitu menyengat. Rerumputan di depan lamin telah menguning. Kampung tampak lenggang, hanya sisakan induk ayam dan anak-anaknya mengais tanah di bawah lamin. Kampung menjadi sepi, karena ditinggal orang-orang yang sedang bercocok tanam di ladang Kakek Abing.

Terdengar tabuhan gong dan petikan sape di ladang Kakek Abing, mengiringi langkah penari Hudoq. Para penari Hudoq menggunakan topeng dengan ukiran binatang, sebagai salah satu upacara adat untuk mengusir roh jahat, hama dan supaya hasil panen nya bisa melimpah ruah. Panas matahari tak menyurutkan semangat dan kegembiraan orang-orang menari di atas tanah hitam. Abu-abu beterbangan tersapu kaki-kaki hitam. Nyanyian keluar dari mulut-mulut gadis cantik yang menebar benih padi mengiringi langkah kaki pemuda yang berjalan di depannya sambil membuat lubang-lubang tanah dengan tongkat panjang.

Esok hari orang-orang akan berpindah ke ladang Ketua Lung dan selanjutnya akan berpindah ke ladang yang lainnya. Gotong royong ini pun nantinya berlanjut sampai saat mengetam padi, hanya saja tidak diikuti dengan acara tarian Hudoq.

***

Meriahnya musim bercocok tanam, tidak dihiraukan oleh Kuleh. Kerjanya dia hanya berkhayal dan baring malas-malasan di bawah pohon asam di depan lamin, mulut nya sambil menggigit ujung rumput muda. Tak lama, Kuleh bangun dan menguap dengan lebar. Pandangnya mengarah ke kersik di tengah sungai, lalu menelusuri pulau kerikil dari ujung hulu sampai ujung hilir. Seakan mencari sesuatu yang terpendam di perut karangan.

“Di mana ya kira-kira emas sebesar payau itu terpendam?”

“Di ujung atau di tengah? atau terkubur di hilir karangan?” Kuleh terus berpikir mengira-ngira di mana emas sebesar payau itu terkubur.

***

Kisah tentang adanya emas sebesar payau terpendam di tengah karangan adalah sebuah dongeng ter larang untuk diceritakan. Ada yang mempercayainya, ada pula yang tidak. Mereka menganggap ini hanya cerita pengantar tidur. Kebiasaan nenek-kakek yang mendongeng pada cucu-cucunya, di kala malam menjelang tidur.

Namun Kuleh, salah satu yang mempercayai akan keberadaan cerita ini. Keinginannya untuk mencari sudah disampaikan pada teman-temannya tapi, tak seorang pun yang mengindahkan. Bahkan niat Kuleh mencari emas sebesar payau itu menjadi bahan ejekan.

“Sekarang, katakanlah cerita itu benar. Di mana kau mau menggali nya? Karangan pasir batu sepanjang 200 meter itu mau kau gali? itu tidaklah mudah dan berbahaya." Kata Bayau.

“Pulau pasir itu sangat labil, jika kau menggali di musim kemarau pasir batu karangan itu mudah runtuh." Lanjut Bayau dengan pendapatnya.

“Benar kata Bayau, Leh. Berbahaya menggali di karangan itu.” Tambah Bong menguatkan pendapat Bayau.

“Lebih baik kau mendulang pasir emas di hulu. itu sudah pasti hasilnya.” Lanjut Bong membujuk Kuleh.

Mereka tahu mendulang pasir emas di hulu Long Daliq di Muara Sungai Kelian lebih nyata, karena banyak di antara mereka yang mendulang emas di sana.

“Mendulang emas di Kelian hanya mendapat butiran pasir. Ini sudah ada di depan mata ... emas sebesar payau terkubur dengan damai dari zaman dahulu hingga sekarang, tak seorang pun mau menggali nya. Aku yang akan menggali dan menemukannya." Tekad Kuleh dengan suara tegas.

Bong dan Bayau hanya bisa tertawa melihat tekad kawannya ini. Di kampung, Kuleh yang terkenal sebagai seorang pemuda yang malas. Jika yang lainnya ramai pergi ke ladang, dia hanya baring bermalas-malasan di bawah pohon ramania yang rindang. Ada pun kelebihan yang dimiliki Kuleh yakni, pandai memetik sape. Dia menjadi seorang bintang saat acara adat di kampung. Baik saat pesta pelas kampung, maupun acara kesenian usai panen.

Dari kepandaiannya memainkan dawai sape inilah yang membuat Buring, si gadis jelita jatuh hati padanya. Sudah tak terhitung berapa banyak purnama, keduanya sudah menjalin hubungan yang nantinya akan berlanjut ke jenjang pernikahan usai panen tahun ini.

Dan inilah alasan terbesar yang membuat risau Kuleh, karena desakan Buring yang harus dia siapkan untuk biaya acara perkawinan mereka kelak.

“Kalau emas sebesar payau itu kutemukan, maka biaya untuk perkawinan bisa diselesaikan.” Batin Kuleh yakin untuk mencari emas yang terkubur di karangan, sekaligus untuk membuktikan pada orang-orang kampung yang selama ini mencemooh dirinya.

***

Keesokan hari, ketika kabut masih menyelimuti sungai Mahakam yang kini jauh ke dasar sungai, di tengah karangan, tampak berdiri seorang lelaki sembari membawa  sepotong bambu panjang yang kemudian ditancapkan di atas pasir berbatu.

“Bruk … bruk … bruk …” Suara benda keras menghantam pasir berbatu.

Waktu yang terus berjalan, hingga matahari telah sampai di puncak hari. Keringat membasahi tubuh Kuleh. Kulitnya yang kuning, kini berubah merah bak kepiting rebus. Teriknya matahari musim kemarau seakan tak dirasakan. Hanya ada satu tekad yakni, emas sebesar payau itu harus ditemukan. Belasan lubang pun berserakan.

Ejekan serta cemoohan orang-orang kampung tak dihiraukan Kuleh. Bahkan, anak-anak kecil ikut-ikutan menggali lubang. Kuleh asyik dengan mimpinya. Mimpi untuk mendapatkan emas sebesar payau.

Awan di langit berubah warna menjadi abu-abu kehitaman dan tak lama lagi akan menumpahkan isinya. Sesekali terdengar suara guntur menggelegar. Musim hujan mulai tiba, satu dua titik rintik hujan mulai turun. Kuleh terus menggali di dalam lubang, ia tak menghiraukan hujan yang sewaktu-waktu turun. Pikirannya hanya tertuju pada emas sebesar payau yang harus didapatkan.

“Kuleh… ayo lekas naik! di hulu, hujan sudah mulai turun.” Dari atas jamban, Nenek Buring meneriaki Kuleh yang berada di dalam lubang. Wajah wanita tua itu tampak cemas memandang ke arah hulu sungai yang tampak gelap tertutup awan hitam. Nenek Buring berkali-kali meneriaki Kuleh untuk keluar dari dalam lubang. Wanita tua itu tahu bahaya yang akan datang. Hujan deras di hulu tentunya akan segera menenggelamkan karangan.

Di dalam lubang, Kuleh terus menggali. Memasukkan pasir dan batu kerikil ke dalam baskom. Ia tak menghiraukan teriakan sang nenek. Dia tahu ini kesempatan terakhirnya. Jika kali ini tidak ditemukan apa yang dicari, maka pupus lah sudah harapannya.

 “Kali ini harus berhasil. Sekarang berlomba dengan waktu. Berlomba dengan air dari hulu sungai yang akan menenggelamkan pulau ini." Batin Kuleh menguatkan tekadnya.

Nenek Buring yang semakin cemas kemudian berjalan dengan cepat menuju ke rumah Ketua Lung.

“Lung … Lung ... ” Teriak Nenek Buring dengan napas termengah-mengah.

Ketua Lung muncul dan memandang Nenek Buring yang berdiri di bawah rumah.

“Ada apa Mak? Mengapa wajah mu tampak panik?” Tanya Ketua Lung di depan pintu rumah yang kemudian turun meniti tangga behek.

“Lihat! hujan yang mulai turun di hulu sungai. Aku memanggil Kuleh untuk naik dari lubang di karangan, tapi ia tak menghiraukan dan masih saja mencari emas di dalam lubang”. Kata Nenek Buring dengan wajah cemas.

Petinggi Lung segera menuju ke tepi sungai dan turun ke batang.

“Kuleh … ayo naik!” Teriak Ketua Lung yang nyaring dengan kedua telapak tangan membentuk corong menempel di mulutnya.

Berulang-ulang Ketua Lung berteriak memanggil Kuleh, namun Kuleh tidak juga muncul dari dalam lubang. Ketua Lung melangkah menuju ke kubangan yang ditambat belakang jamban. Perahu kecil yang terbuat dari tunas pohon dikayuh ke tengah menuju karangan. Wajah lelaki tua itu tampak kesal, dengan cepat kakinya melangkah di atas pasir berbatu kerikil menuju lubang yang penuh pasir basah di tepinya.

Langit semakin gelap. Suara guntur yang menggelegar dan kilat di arah hulu semakin kerap.

Ketua Lung menoleh ke dalam lubang. Dilihatnya Kuleh mendulang pasir dan batu dengan batok kelapa dan memasukkan ke dalam lanjung atau baskom.

“Kuleh! Cepat kamu naik! hujan sebentar lagi turun. Karangan ini akan tenggelam ...”

Teriakan ketua Lung tak dihiraukan Kuleh, ia terus mengais pasir dan memasukkan ke dalam lanjung.

Akhirnya dengan bantuan beberapa orang kampung, Kuleh dipaksa naik walau ia meronta-ronta dan memberontak. Karena Kuleh terus saja mengamuk, maka Ketua Lung langsung mengikat tubuh Kuleh menggunakan tali kulit kayu hingga ia tak bisa bergerak. Hanya matanya saja yang liar penuh kemarahan.

Mereka tiba di rumah dan setelah itu hujan mulai turun dengan deras. Nenek Buring tepuk-tepuk dada sambil menghembuskan napas lega. Karena sebelumnya, ia berandai-andai jika Kuleh tenggelam di tengah karangan. Sementara itu, dari arah hulu sungai terdengar gemuruh air yang akan menenggelamkan pulau pasir.

***

Malam harinya para sesepuh kampung dipimpin oleh Ketua Lung membuat aturan larangan mencari atau mendulang emas di karangan. Jika ada masyarakat kampung yang melanggar larangan ini dikenakan hukuman denda adat.

Kini, kondisi Kuleh hilang ingatan. Gagal lah sudah menyunting Buring, si gadis jelita.

Cerita tentang Payau Emas yang terkubur di karangan tengah sungai Mahakam, di Kampung Long Daliq, lambat laun dilupakan orang. Kebenaran cerita ada emas sebesar payau itu sampai saat ini tidak terbukti. Namun, jika dicermati ternyata kisah payau emas ini benar adanya.

Walau bukan emas dari seekor Payau Emas sebenarnya seperti dalam cerita, melainkan batu kerikil yang terhampar di karangan itu mempunyai nilai jual cukup tinggi, bahkan nilainya jika di rupiah kan melebihi nilai seekor Payau Emas. Mudah-mudahan saja sumber daya alam berupa batu kerikil ini dapat menyejahterakan kehidupan masyarakat Long Daliq.

 

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)