Masukan nama pengguna
Setelah ujian sekolah berakhir, murid-murid kelas 6 SD Mekarsari disambut dengan kabar menggembirakan: akan ada kegiatan outbond di kebun binatang! Semangat mereka langsung memuncak. Tak ada lagi soal-soal pilihan ganda atau lembar isian. Yang ada hanyalah imajinasi liar tentang permainan seru, bekal enak, dan selfie sebanyak-banyaknya.
Lita, salah satu siswi yang paling riang, bahkan sudah menyiapkan daftar hal yang ingin dia lakukan: melihat burung cantik, beli es krim, dan tentu saja—jualan slime buatannya ke teman-teman. Tapi pada pagi hari pelaksanaan, saking semangatnya, ia malah lupa membawa satu tas kecil yang berisi seluruh stok slime. Ia hanya menatap kosong tas ranselnya yang ringan. “Yah, lupa bawa…” gumamnya.
Hari itu Rabu, dan seragam hari itu bukan seragam biasa. Kaos merah cerah dengan celana training hitam jadi identitas peserta outbond kelas 6. Setiap anak membawa bekal, botol minum, dan jas hujan lipat—siap menghadapi hari panjang yang katanya akan ‘menyenangkan dan mendidik’.
Sebelum naik bus, mereka dikumpulkan di aula untuk mendengar arahan dari para guru. “Ingat, jangan buang sampah sembarangan, gunakan tempat makan berulang pakai, dan jangan berisik di area hewan!” seru Bu Retno sambil tersenyum.
Namun satu instruksi berhasil membuat semua siswa mengeluh serempak: ponsel dikumpulkan. Lita yang tadi sudah membayangkan akan bikin story di kebun binatang langsung menghela napas berat. Dengan ogah-ogahan, ia menyerahkan ponselnya ke dalam keranjang rotan milik Bu Retno.
Perjalanan menuju kebun binatang ditempuh dengan bus. Sepanjang jalan diisi dengan lagu-lagu campur aduk.
Sesampainya di kebun binatang, Pak Joko segera mengatur formasi barisan. Pria dengan rompi hijau dan topi lebar itu mengajak semua anak berdiri membentuk lingkaran besar di halaman terbuka.
“Okeee, kita awali dengan permainan seru ya, namanya Simon Says,” seru Pak Joko.
“Horeeeeee!” teriak anak-anak serempak, bersemangat.
“Nah, tapi kali ini kita ganti, jadi ‘Pak Joko Says’. Jadi kalau saya nggak bilang ‘Pak Joko Says’, jangan dilakukan ya. Siapa salah gerak, langsung out!” jelasnya dengan semangat.
Lita berdiri di antara teman-temannya, menepuk-nepuk tangan dan menggoyangkan bahu—belum apa-apa sudah tidak bisa diam. Dia memang bukan tipe yang mudah gugup saat permainan. Justru, ia paling semangat kalau harus berpura-pura jadi patung atau menahan tawa.
Permainan dimulai dengan ringan: “Pak Joko says, angkat tangan.” Semua angkat tangan. “Pak Joko says, loncat-loncat!” Semua loncat, riuh dan cekikikan. Tapi begitu Pak Joko berkata, “Sentuh hidung!” beberapa anak otomatis menyentuh—dan langsung tereliminasi.
“Waduhh, kalah deh,” keluh Ardi sambil duduk.
Putaran demi putaran bergulir, dan lingkaran semakin kecil. Lita masih berdiri tegak dengan wajah santai, bahkan terlalu santai. Hingga akhirnya, Pak Joko memberi aba-aba yang tidak biasa.
“Pak Joko says, semua duduk dan jangan jawab kalau ditanya!”
Anak-anak menurut. Suasana jadi sedikit tegang, semua menahan napas.
Satu per satu Pak Joko mendekati murid dan mulai bertanya dengan gaya pura-pura serius, “Kamu siapa?” Ada yang langsung menjawab karena reflek, dan langsung dieliminasi. Yang lain tetap menutup mulutnya.
Lita mendapatkan gilirannya. Saat Pak Joko berdiri di depannya, menatapnya lurus-lurus, dia justru menatap balik dengan senyum menyeringai. Tangannya santai di pangkuan, dan sudut bibirnya terangkat.
“Nama kamu siapa?” tanya Pak Joko.
Lita diam.
“Kelas berapa?”
Masih diam. Kali ini matanya menyipit sedikit, lalu menaikkan sebelah alisnya pelan-pelan.
“Wah, anak ini bisu, ya?” kata Pak Joko, berdiri dengan gaya berlebihan dan menunjuk Lita dramatis, membuat guru-guru tertawa.
Permainan pun diakhiri tak lama setelah itu, karena tawa sudah terlalu pecah dan guru-guru khawatir permainan akan berlangsung lebih ‘liar’ dari rencana. Semua bangkit dari duduk sambil tertawa-tawa. Beberapa guru mengusap mata karena ikut geli.
Usai permainan, teman-teman Lita langsung mengerubunginya.
“Gokil, Lit! Itu gaya apaan coba? Kayak tantangan duel,” kata Rani.
“Gue pikir kamu mau ngakak, loh, tadi,” sambung Dea.
Icha menepuk bahu Lita sambil heran, “Ngapain sih pakai senyum-senyum segala. Emang kamu nggak takut out?”
Lita hanya menyisir rambut ke belakang pakai tangan dan menjawab enteng, “Kan nggak dilarang nyengir.”
Teman-temannya cuma bisa geleng-geleng. “Ini anak beneran kocak…”
Di sepanjang hari, meskipun banyak hal seru lain seperti memberi makan rusa, makan siang di bawah pohon besar, dan sesi tanya jawab tentang hewan langka, momen permainan “Pak Joko Says” itu tetap jadi topik utama obrolan.
Saat perjalanan pulang naik bus, Lita duduk di kursinya sambil menerawang ke luar jendela, melihat pohon-pohon dan orang-orang yang dilewati cepat.
Dalam hatinya, ia tahu: bukan soal menang atau kalah. Tapi soal momen kecil yang diam-diam akan ia simpan jauh lebih lama dari yang ia kira.