Masukan nama pengguna
Pada tahap ini, bagi Padmi, kerinduan sudah jadi menyebalkan sekaligus menjerat bagai candu. Jika rentang jarak dan waktu dapat diperkirakan mungkin Ia masih dapat menjaga hati untuk tabah. Tapi gila adanya, jika sang kekasih entah kemana dan untuk entah berapa lama mereka harus terpisahkan. Panji. Dimana dia? Padmi sangsi mampu memutuskan; luapan rindu atau amarah yang akan ia tumpahkan pada Panji kelak bertemu nanti. Masih banyak waktu untuk memikirkannya, mungkin. Padmi menghela napas untuk membuang gelisah, tapi percuma. Sudah, sudah, tak usah dipikirkan. Mencoba menasehati diri lagi. Begitu setiap hari.
Di antara kain batik tua dan hiasan-hiasan kaca yang disusun apik bersanding piring-piring keramik, Padmi duduk berselonjor kaki. Punggungnya bersandar letih, dan rambutnya dibiarkan lebih kusut berhimpit dengan pada papan kayu pembatas kapling kios barang antiknya. Di atas kepalanya bergantungan lampu-lampu gantung dari tahun 1920 sampai 1970-an yang dihargainya tak lebih dari satu juta saja. Sedang sepi. Sudah hampir enam bulan ini. Entah apa entah kenapa. Padmi tidak dapat menebak-nebak, apalagi memerhitungkan perilaku pasar seperti yang Wahyudi --adik sepupunya yang mahasiswa ekonomi tingkat satu-- ulas padanya beberapa waktu lalu.
“Dalam situasi perekonomian seperti ini, orang lebih mementingkan kebutuhan mereka, daripada membeli barang-barang yang sifatnya koleksi,” gaya omongnya sudah seperti ahli, “Ya Mbak Padmi sabar dulu saja, naik turun kan biasa.” Tambahnya menasehati, membuat Padmi menggerutu di dalam hati; masa yang begitu saja harus hasil pemikiran orang sekolahan tinggi? Padmi juga tahu. Dirinya mengakui –pada dirinya sendiri—bahwa Ia memang sebenarnya tidak bakat dagang. Kios di Pasar Antik Triwindu, Solo, ini warisan dari si Mbah. Tidak pas juga sebenarnya disebut warisan. Tidak pantas, malah. Lha wong si Mbah masih hidup. Masih sehat dan banyak tertawa setiap hari. Hanya saja untuk menjaga kios dari pagi sampai sore memang sudah kepayahan. Ya jadi memang Padmi menjalaninya lebih karena kewajiban, walau bukanlah perintah yang si Mbah tuturkan padanya. Oh, bukan. Bukan perintah. Tidak pernah perintah. Permintaan yang jelas tak bisa ditolaknya.
Bahwa kios yang menjadi sumber mata pencaharian si Mbah kelak akan dipasrahkan pada Padmi, semua sanak saudara sudah menyadari. Tak ada satupun yang iri, karena memang tidak ada yang ingin mengurus barang-barang tua yang kemungkinan ‘berpenghuni’ entah apa itu. Adik-adik kandung serta adik-adik sepupunya memilih berdagang yang lain, atau bekerja kantoran.
Sebagai cucu tertua wajarlah Padmi yang paling dekat dengan Mbah Sarmi. Apalagi Padmi sudah ikut si Mbah sejak ia berusia 12 tahun setelah Ibunya meninggal dan tak lama kemudian Bapaknya pergi entah kemana. Padmi kesayangan Mbah Sarmi, semua juga tahu dan sekaligus lega karena dilihat dari nasib anak itu, Padmi berhak mendapat perhatian lebih. Semuanya prihatin dan iba, namun hanya Mbah Sarmi yang tanpa banyak pertimbangan menegaskan kepada seluruh keluarganya bahwa Ia akan merawat Padmi. Di rumahnya yang sederhana, dengan pendapatan yang juga sederhana, Padmi menjadi cucu sekaligus anaknya.
Pernah suatu hari, setahun setelah pergi tanpa kabar, bapak Padmi tiba-tiba datang ke rumah Mbah Sarmi untuk ‘mengambil’ Padmi. “Saya sudah punya pekerjaan tetap,” katanya pada si Mbah. Juga istri baru. Mbah Sarmi berkeberatan namun Ia menyerahkan keputusannya pada Padmi. Padmi memilih tinggal dengan Si Mbah-nya. Bapaknya membujuk sedemikian rupa, “Tidak, Padmi sama Mbah saja.” Jawab Padmi tegas.
Bapaknya pergi dengan kecewa. Beberapa kali beliau datang kembali meminta Padmi tinggal bersamanya dan keluarga barunya. Padmi tetap teguh.
Membantu Mbah Sarmi di kios antiknya sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari sepulang sekolah. Ia cinta pada kios itu. Salah satu dari sekian alasan mengapa Ia tidak ingin berpisah dengan Mbah Sarmi. Tidak seperti cucu-cucu Mbah Sarmi yang lain, baginya benda-benda antik di kios Si Mbah sangatlah mengagumkan. Bayangkan, ada barang-barang yang usianya lebih dari satu abad. Pemiliknya pasti berganti-ganti. Setiap pemiliknya pasti memiliki cerita hidup tersendiri. Bukankah itu menarik? Misteri. Belum lagi perhiasan-perhiasan logam dan atau berbatu nan anggun campur gagah itu. Selalu ingin Padmi memakainya. Dan piring-piring keramik lukisan cantik itu, andai bisa semua Ia pakukan di dinding rumahnya saja. Begitu sayang Ia pada benda-benda antik itu, sampai terkadang tak rela bila terjual.
Terlalu besar kekagumannya pada pernak-pernik serta perabot-perabot antik itu. Tapi hanya sampai di situ. Ketika kesenangan itu berubah menjadi kegiatan berdagang, perhitungan pemasukan pengeluaran, untung dan rugi, dalam hati Padmi ingin menyerah. Itu bukan bidangnya, Ia yakin betul.
Padmi sudah mengira hari ini akan sepi pengunjung. Sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Dulu sih tak masalah kalaupun pasar sedang sepi, dirinya tak merasa sepi sebab Panji rajin menemaninya menjaga kios. Yang paling menarik dari Panji adalah bahwa Ia sama tertariknya akan benda-benda antik. Jika ada pengunjung yang berminat pada barang-barang di kios Si Mbah, tanpa diminta Panji akan menceritakan panjang lebar tentang keris, sepeda tua, pecah belah, perhiasan atau apaun yang mencuri perhatian sang calon pembeli. Dengan caranya yang simpatik, para calon pembeli pun terambil hatinya.
Begitulah. Tapi yang tak mengenakkan adalah Panji tak punya pekerjaan tetap maupun usaha apapun. Itulah mengapa mereka berdua belum memutuskan untuk mengakhiri masa lajang.
“Aku akan pergi ke Jakarta,” Panji datang dengan sebuah keputusan di suatu hari, “Pakdhe-ku bilang ada lowongan di tempatnya bekerja.”
Berat memang, tapi Padmi tahu keputusan Panji demi masa depan mereka juga. Bukannya Panji tidak berusaha, tapi mungkin memang bukan rejekinya dapat pekerjaan di kota ini. Malah mendapat kesempatan di kota besar yang serba sulit untuk mencari pekerjaan, mungkin memang begini jalannya menuju masa depan; berpisah untuk bersatu kembali. Ya sudah.
Walau berat, Padmi sedikit terhibur mendapati kisah kasihnya dengan Panji mirip dengan kisah Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji. Padmi selalu suka dengan kisah asmara itu. Si Mbah lah yang ‘memerkenalkannya’ pada sejoli Panji dan Sekartaji. Sudah kebiasaan Mbah Sarmi mendongeng. Pagi, siang, malam. Kapanpun saat luang. Membuat Padmi dulu betah berlama-lama di kios Si Mbah. Setiap hari kala sepi pembeli, Si Mbah selalu mengusir jenuh mereka dengan dongeng-dongeng yang membawa Padmi melayang jauh dari kios sempit itu. Kisah ini membuka matanya, bahwa semua orang berkesempatan meraih kebahagiaan. Jika mau berjuang, tentunya.
Di setiap dongeng panji yang dikisahkan Mbah Sarmi, Padmi terbang ke kerajaan yang indah, dimana Dewi Sekartaji berada. Dalam bayangannya, Padmi menjadi dayang setia dari putri yang melegenda itu. Tak berani berkhayal jadi seorang putri.
Diam-diam tiap kali bertemu dengan kebosanan dalam kesendiriannya, Padmi masih membiarkan dirinya terlena dengan kisah cinta Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji. Itu caranya menjauh dari jenuh. Sekedar menyegarkan pikiran dan hati. Begitulah caranya mengusir sepi karena rindunya pada Panji, di antara dering telepon dan SMS.
Itu awalnya. Dengan rasa bangga serta mengabdi ia jalani asmara jarak jauhnya. Tetapi tanpa ada kabar dan pesan, sudah hampir lima bulan Panji menghilang. Bodohnya, Padmi tak punya nomor telepon atau alamat teman dan keluarga Panji di Jakarta. Keluarganya di sini bilang bahwa mereka tak tahu-menahu. Membuat Padmi malah curiga. Jangan-jangan ada yang disembunyikan.
Mbah Sarmi selalu menghiburnya, “Paling-paling sibuk, maklum kota besar,” Sarmi tahu kata-kata semacam itu takkan mengusir gundah cucu kesayangannya. Lagipula jauh dalam hati, Sarmi merasakan cinta yang menjauhi cucunya. Ia tahu, Panji kekasih Padmi bukanlah Panji kekasih Dewi Sekartaji yang diimpikan Padmi.
Hati Padmi berseru mengharap tiap kali telepon genggamnya berdering. Kali ini kemudian kecewa karena yang muncul di layar bukan nomor Panji. Nomor yang asing. Siapa?
“Halo…”
“Mi…” Suara Panji. Kini Padmi tahu apa yang akan dilakukannya kalau kembali bersua Panji. Ia akan memaafkannya. Sepenuh hati. Karena hanya dengan suara sapaan Panji di telepon hatinya langsung luluh.
Panji meminta maaf. Panjang lebar Ia ceritakan pada Padmi. Keadaan begitu sulit akhir-akhir ini di Jakarta. Panji mengaku hampir putus asa. Malu, karena merasa tak bisa menjanjikan masa depan yang cerah untuk Padmi. Tapi sekarang keadaan sudah membaik. Panji mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan dan…
“Mi! Mi! Si Mbah-mu, Mi!“ Yeni penjaga kios sebelah berteriak panik. Tangan kanannya mengacung-ngacungkan telepon genggamnya. “Ini Puji dari tadi mau telpon kamu tapi nggak masuk-masuk.” Padmi seperti tertular panik dari Yeni. Padmi menerima telepon genggam yang disodorkan Yeni, sementara tangan sebelahnya Panji menunggu dengan bingung.
“Halo?”
“Mbak…,” Puji menangis. Serasa ada beban berat yang menindih dada Padmi. Ada apa ini? Tak kuasa Ia bertanya, tak kuasa menerima jawaban yang sudah pasti bukan kabar baik. Padmi hanya tercekat dan berharap Puji akan melanjutkan omongannya tanpa diminta.
“Si Mbah… Cepat pulang…” Telepon ditutup. Padmi tak bergerak. Tak berani berpikir. Tak mau menyimpulkan apa-apa. Terpikir olehnya untuk cepat menutup kios namun tangannya terlalu dingin dan gemetar.
“Ayo, Mi… aku antar pulang.” Kata Yeni sambil merangkul Padmi dari samping.
Padmi menatap Yeni nanar. Sekuat tenaga Ia bermaksud menjawabnya tapi sulit sekali mengeluarkan suara. Tangis Padmi pun meledak. Telepon genggamnya masih tersambung dengan Panji, yang tengah menunggu dengan gusar dan hanya dapat menerka-nerka apa yang terjadi.
***
Si Mbah terjatuh di kamar mandi. Entah berapa lama wanita yang kadang sudah tak ingat nama cucunya satu per satu –kecuali Padmi—itu terlentang di lantai dingin kamar mandi sebelum Puji –yang kebetulan datang menengok-- menemukannya. Tangan kanan Mbah bengkak. Ada yang retak, kata dokter. Butuh waktu lama untuk pulih.
WeKejadian itu membuat Padmi takut meninggalkan Si Mbah sendirian di rumah. Terpaksa sudah seminggu ini kiosnya tutup. Selain tak ada pemasukan –yang memang juga beberapa bulan sebelumnya sudah seret—tabungan sudah menipis karena untuk menebus biaya pengobatan Si Mbah.
Padmi belum mengatakan pada siapapun tentang lamaran Panji. Ia bingung. Menerima lamarannya berarti Ia harus meninggalkan Si Mbah dan pergi ke Jakarta. Bagaimana Si Mbah nanti? Tidak mungkin tinggal sendirian. Memang banyak sanak keluarga yang tinggal di Solo, namun jelaslah bahwa merawat Si Mbah –yang telah merawatnya sejak kecil-- adalah tanggung jawabnya.
Lantas bagaimana dengan Panji? Bukankah ini yang mereka berdua perjuangkan? Ketika masanya tiba, Padmi tak menyangka selangkah lagi menuju kebahagiaan justru langkah yang terberat.
Mungkin Dewi Sekartaji pun mengalami masa seperti ini. Padmi tak menduga itu. Yang selalu Ia bayangkan hanyalah akhir bahagia. Tak benar-benar terpikir olehnya bagaimana Sekartaji memperjuangkan kebahagiaannya. Berkelana sendirian, menyamar menjadi makhluk lain. Tentu begitu sepi dan berat. Sungguh Padmi tak menyangka seberat apa sebenarnya yang dilalui Dewi Sekartaji.
Dongeng-dongeng itu kerap mengalir dengan ringan; Sang Pangeran dan Putri berpisah, mereka melalui berbagai petualangan dan cobaan lalu akhirnya bertemu, hidup bahagia selamanya. Seakan beban yang ditempuh dua sejoli itu hanyalah untuk menghibur para penikmat dongeng.
Diam-diam Padmi iri, Dewi Sekartaji tak perlu memilih antara Si Mbah yang disayanginya dengan Panji Asmorobangun sang kekasih hati. Pilihan yang tidak mungkin. Ataukah belum usai cobaan yang harus mereka lalui bersama?
Malam kian letih. Sedikit tenang hati Padmi, karena setelah mengeluh kesakitan sejak sore tadi akhirnya Si Mbah bisa tertidur. Diperhatikannya wajah ayu yang tersembunyi dibalik guratan-guratan usia. Si Mbah nampak lelah dan kecil terbaring di ranjang. Padmi duduk di pinggir tempat tidur Si Mbah, mengusap tangan tua yang dulu selalu membelai sayang kepadanya. Begitu sayang Padmi pada Si Mbah-nya. Mana bisa aku tinggalkan Si Mbah? Pikiran untuk bersama dengan Panji di Jakarta kini serasa muluk.
Merebah ia di samping Si Mbah tersayang. Matanya basah. Rasanya sebuah beban di dada telah diangkat dan disisihkan. Kini hangatnya kedamaian yang akrab sejak masa kecil datang. Di sini tempatku, bersama Si Mbah.