Flash Fiction
Disukai
3
Dilihat
13,096
Pada Sebuah Hujan
Romantis

“Aku tak pernah memaksamu untuk mencintaiku,” ucapmu waktu itu.

Lelaki bodoh di depanmu tersenyum. “Kau tak perlu membalas perasaanku. Kau cukup tahu, bahwa aku mencintaimu, sangat mencintaimu.” Lalu lelaki itu pergi meninggalkanmu tanpa mempedulikan hujan lebat yang mengguyur sekujur tubuhnya.

Bukan sehari dua hari kau memikirkan ucapannya. Bahkan kau sempat kabur ke Jogja untuk meyakinkan dirimu sendiri, bahwa kau bisa menjalani kehidupanmu tanpa kehadirannya. Apakah itu berhasil? Tentu saja tidak. Buktinya pagi itu kau menghampirinya.

“Apakah aku mengganggumu?”

Lelaki itu hanya menoleh sebentar ke arahmu, lalu kembali sibuk dengan komputer yang ada di hadapannya.

“Banyak kursi kosong di ruangan ini, kenapa harus memilih tempat ini?” ucapnya seolah tak mempedulikan kehadiranmu.

“Apakah kau marah kepadaku?” tanyamu tak mau menyerah.

“Marah? Atas dasar apa aku marah kepadamu?”

“Lalu kenapa kau berbicara tak menatapku? Apakah itu bukan isyarat bahwa kau sedang marah kepadaku?” cecarmu.

Jodi kembali menatap ke arahmu, kau hanya menunduk seakan menyadari kesalahanmu. “Beberapa hari ini aku sudah menyiapkan hati untuk kehilanganmu, Vi? Jika sekarang kau datang hanya untuk mempermainkan perasaanku, maaf, sebaiknya kita tak perlu bertemu lagi.”

Jodi bangkit dan bersiap meninggalkanmu, tapi dengan cepat kau mencegahnya. “Kau mau ke mana? Aku belum selesai bicara.”

“Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Vi!” Jodi pun pergi tanpa menghiraukanmu.

Menyerah itu sebuah kata yang tak pernah ada dalam kamus kehidupanmu. Tak harus menunggu lama, kau pun akhirnya keluar mengejar Jodi.

Tidak seperti di hari itu, Jodi berdiri di depan laboratorium kampus karena di luar hujan masih deras. Perlahan kau menghampirinya.

"Aku tahu ini tak adil bagimu, Jodi," ucapmu sambil berdiri di samping Jodi yang menatap derasnya hujan.

"Aku tahu batasanku, Vi! Kau punya hak untuk tak menerima cintaku, tapi aku pun punya hak tetap mencintaimu. Namun, aku punya caraku sendiri dalam menjaga perasaan ini."

"Bukan itu permasalahannya. Aku ... aku ...."

"Aku kenapa?" Jodi menoleh kearahmu sambil mengulang ucapanmu. Namun, kau justru menatap hujan menghindari tatapannya.

"Sejujurnya ... aku benar-benar tak bisa jauh darimu. Aku sudah berusaha melepas ingatanku tentangmu, tapi ...."

"Tapi apa?" Pertanyaan Jodi membuatmu harus menoleh ke arahnya. Dengan segala keberanianmu, kau menatap lekat-lekat wajah lelaki yang selalu mengusik dan bermain-main di dalam pikiranmu.

"Aku tak pernah bilang kalau aku tak mencintaimu, tapi aku tak punya keberanian untuk menerima cintamu. Sejujurnya aku takut, Jodi. Sangat takut."

"Takut apa?"

"Aku takut nantinya justru akan lebih menyakitimu. Karena pada akhirnya, bukan kamu yang menjadi pilihan ayahku."

"Ayahmu?" Jodi tersenyum getir. "Kenapa bukan ayahmu saja yang menikah? Bahkan untuk urusan hati, masih saja ayahmu yang mengatur. Di mana Vie yang aku kenal? Vie yang tak pernah ada kata menyerah."

"Aku sudah berusaha, Jo! Aku sudah berusaha meyakinkan ayahku, bahwa kamu bisa menjadi imamku. Namun, itu sama sekali tak mengubah keputusan ayahku untuk menjodohkanku dengan lelaki pilihannya."

Hujan semakin deras, sederas air matamu yang mulai berderai di pipimu.

"Aku memang egois, Jo! Sangat egois. Aku tak bisa menerimamu karena tak ingin menyakitimu, tapi aku juga belum siap untuk kehilanganmu."

Tubuhmu pun luruh dalam dekapan lelaki itu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)