Masukan nama pengguna
“Elma, boleh aku meminta sesuatu padamu? Yang terakhir.” Katanya di ujung senja. Aku menghentikan langkahku dan berbalik. Hatiku berdesir. Sebelumnya Ali tidak pernah bicara seserius ini. Ada yang janggal dari tatapannya sejak siang ini. Pertemuan kami di forum anak yang sama-sama kami asuh dengan delapan rekan dari propinsi lain. Kami sama-sama datang ke Bintuni dalam rangka pengembangan minat baca di pelosok Papua. Waktu kami hanya dua minggu. Dan satu minggu lagi kegiatan ini selesai.
“Kenapa Li?” tanyaku benar-benar tidak mengerti.
“Ehm, besok saja lah.”
“Penting ya?”
“Iya.”
“Baiklah.” Aku menunggu hari itu. Permintaan apa yang sedang dibuat oleh Ali.
Aku ingat betul, Ali adalah salah satu relawan dari Jawa selain aku. Merasa datang dari pulau yang sama, kami langsung akrab. Banyak hal kami bagi. Pengalamannya yang luar biasa dalam mengangani forum anak benar-benar menginspirasiku. Aku merasa mendapatkan teman seperjuangan. Ketika aku menanyakan beberapa masalah tentang psikologis anak, dia akan menjawab dengan sangat detail dan memberikan contoh pembinaan yang bisa kuterima. Aku merasa beruntung.
Sosok Ali di mataku adalah sahabat yang berharga. Bagaimana tidak, dia banyak membantuku dan para relawan lainnya. Dia menjadi pemimpin kami dan selalu memberikan arahan inovatif. Aku yakin semua relawan sangat menghargainya. Dia bahkan mampu memberikan kajian untuk ibu-ibu wali murid sekolah dasar di Teluk Bintuni. Terlihat selalu ramah dan sopan. Dia tidak membedakan tentang siapa dan darimana rekan yang membutuhkan bantuan, tangannya selalu ringan.
Tiga hari menjelang berakhirnya tugas kami, dia berubah sikap. Sepertinya, dia sedikit menghindariku. Apakah itu berhubungan dengan permintaannya yang terakhir? Aku terus bertanya-tanya. Tentu saja aku merenungi apa saja yang sudah aku katakan kepadanya atau sikapku yang mungkin tidak disukainya. Sayangnya, aku tidak mempunyai keberanian untuk bertanya langsung. Aku hanya bisa menunggu, dan berharap permintaannya itu tidak sulit kukabulkan. Pertemuan kami justru semakin asing. Tidak ada kalimat bercanda yang muncul. Dia menjadi benar-benar asing dan pendiam.
Dua hari menuju kepulangan kami ke daerah masing-masing. Ali masih bersikap sama. Sesekali dia melihat ke arahku, lalu dengan cepat membuang muka. Aku juga terus memperhatikan sikapnya. Padahal sebelumnya, tidak ada perseteruan apapun di antara kami. Aku mencoba menelaah apa yang terjadi padanya. Keakraban kami luntur begitu saja tanpa aku tahu sebabnya. Aku tidak tahan lagi dan bertanya dengan mengirimnya pesan.
“Maaf Li, besok adalah hari kepulangan kita ke daerah. Aku minta maaf ya jika selama empat minggu ini sangat membuatmu kerepotan. Maaf jika aku ada salah,” kataku.
“Sama-sama El. Aku juga minta maaf.” Itulah balasannya. Singkat dan padat. Dadaku mulai bergemuruh. Jika memang kesalahanku teramat fatal, seharusnya dia mengatakannya. Sehingga aku bisa memperbaiki, setidaknya. Tapi dia bungkam. Dalam perjalanan kapal menuju kota Sorong, tidak ada pembicaraan apapun. Mereka berfoto bersama. Sesekali aku ikut juga. Lalu, dia kembali duduk jauh dari jangkauanku. Sudahlah, pikirku. Mungkin dia memang sedang memiliki masalah yang aku dan teman-teman lain tidak berhak tahu.
Sebuah surel panjang masuk. Surel. Bukan pesan-pesan seperti biasa.
“El, maafkan aku ya. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Tapi ada masalah besar yang menggantung dan belum bisa aku selesaikan. Rupanya, ada seseorang yang mengirimkan pesan kepada Sukma, wanita yang aku cintai. Tentang kedekatan kita. Aku tidak tahu itu siapa. Aku sedang mencarinya. Tapi, aku telah berjanji kepadanya (Sukma) bahwa aku dan kamu hanya berteman. Ada yang tidak suka dengan keakraban kita.
Entahlah, aku tidak mau hal ini menjadi tragedi dan menyakiti wanita yang aku cintai. Aku tidak bisa menepati janji untuk terus berkomunikasi denganmu nantinya. Aku mohon maaf sebesar-besarnya. Aku merasa ada orang yang sedang mengawasiku saat ini. Maafkan aku. Bencilah aku jika kau ingin. Terima kasih dan Selamat tinggal.” Ali.
Ingin sekali rasanya aku menceburkan diri ke dalam laut seketika. Aku tidak menengok ke arah di mana Ali duduk. Aku tertegun dan membaca ulang surel di gawaiku. Air mataku menggenang. Menetes semakin deras dan berusaha kuusap berkali-kali dengan ujung jilbabku. Apa sebenarnya salahku?
“Jadi ini permintaan terakhirmu itu, sebuah perpisahan?” balasku melalui pesan.
“Iya, semoga tidak sulit kau kabulkan,” jawabnya.
“Sulit. Sangat berat dan menyebalkan. Memangnya apa salahku? Aku tidak menyangka akan kehilangan temanku secepat ini. Mungkin kemarin aku terlalu larut dalam euphoria menemukan dunia yang sama dengan kalian semua. Tapi entah apa salahku sekarang, aku harus kehilangan seorang teman yang berharga bagiku. Lukaku ini mungkin tak seberapa jika dibanding lukanya. Aku mengerti, sangat mengerti,” jawabku menahan bahu yang semakin bergetar hebat.
“Aku tahu kau wanita kuat dan bijaksana. Aku akan terus melihatmu dari jauh. Melihat kepergianmu,” jawabnya, seolah aku yang sengaja ingin pergi.
“Kamu yang ingin pergi, bukan aku. Aku tidak tahu apapun. Tapi dari awal aku menyadari, sudah puluhan buku kau tulis untuk memuja cintamu padanya. Aku tahu betul dari apa yang aku baca dari kisah-kisah yang kau tulis. Toh, aku juga tidak menyimpan perasaan lain kepadamu. Aku turut berbahagia atasmu. Tapi, sudahlah... Ali, aku pasti bisa melalui jutaan hari dengan rindu atas persahabatan yang kupahat sebagai satu-satunya kenangan yang kau tinggalkan. Pengalaman yang kau bagi, akan menjadi cinderamata yang akan kubaktikan nantinya. Aku tidak akan memanggil namamu lagi. Itu janjiku.
Berjanjilah Ali, setelah ini kau akan hidup bahagia. Hapus temanmu ini dari pikiran dan hatimu. Biarkan aku sendiri yang menanggungnya. Kau tahu, rinduku kepadamu dan semua teman-teman ini akan menjadi begitu kuat. Itulah yang membuatku tak mampu membencimu. Itu juga yang akan menyembuhkan bilik-bilik hatiku yang tiba-tiba runtuh oleh keputusanmu. Tentu, akan lebih baik jika kau tidak mengatakan apapun kepadaku. karena dari sikapmu saja, aku mengerti-akan ada jarak yang kau bentangkan di antara langkahmu dan aku. Mungkin saat ini aku tidak bisa memaafkanmu. Jangan bertanya kenapa aku sekeras kepala itu. Selamat tinggal. Jangan membalasku,” pesan terakhirku.
Setelah aku melangkahkan kaki keluar dermaga, aku berharap semua ini akan berakhir dengan senyumanku. Beberapa teman memelukku begitu sampai di bandara. Kami bertangisan. Saat yang sama dengan perasaan sakit dan sesal yang bercampur aduk. Pertemuan pertama dan terakhir kami semua. Alangkah baiknya jika Ali tak pernah memberitahukan permintaannya. Tapi semua sudah terlanjur. Dia membuatku terpuruk dan tak memberikan kesempatan apapun untuk menebus sakit hati ini.
Bagaimana kau bisa mendapatkan teman lalu tiba-tiba harus kehilangannya? Kadang kala aku ingin menjadi orang yang kejam dan jahat, tapi ketika aku menunduk kembali, aku hanya mengingat bahwa kau adalah orang yang baik, Ali. Dan aku telah mengabulkan permintaanmu.
***