Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,586
OMEGA KEY : DEFIANCE
Aksi

Di langit senja yang perlahan memudar, Satria Wibowo berdiri di tepi dinding gedung sekolah, menghadap pemandangan kota Jakarta yang kini telah berubah drastis. Lampu-lampu mulai berpendar, membentuk jaringan bercahaya di antara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Hologram iklan melayang-layang di udara, mempromosikan produk-produk yang bernuansa futuristik, terlihat seperti pola urat nadi teknologi yang menghidupkan kota. Udara terasa dingin dan lembab, membawa aroma logam yang asing. Ini bukan lagi Jakarta yang dikenal oleh orang tuanya dulu. Kota ini kini telah berubah  perlahan-lahan menjadi sarang teknologi canggih dan rahasia-rahasia gelap yang tersembunyi di balik kemilaunya.

 

Namun, meskipun suasana kota dan di sekelilingnya telah berubah dengan begitu cepat, kehidupan Satria tetaplah sama. Terlihat begitu datar dan monoton, tanpa ada satupun hal-hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Saat teman-temannya mulai sibuk membicarakan masa depan mereka seperti Universitas yang menjadi tujuan mereka dan karier yang gemilang yang ingin mereka capai, Satria hanya diam saja. Ia merasa seakan terjebak dalam kebosanan yang tak terhindarkan. Mimpi-mimpinya terasa begitu jauh, samar, dan tidak jelas. Apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar hidup biasa-biasa saja?

 

Saat itu, Satria merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Seperti ada sepasang mata yang menempel di punggungnya, mengawasi setiap gerakannya.

 

Perasaan itu mulai menggelitiknya ketika ia turun dari kereta pagi tadi. Sebuah firasat aneh menggelitik di belakang kepalanya—seolah sepasang mata tak henti-hentinya mengikuti setiap langkahnya, merasa ada yang ganjil, dia merasa ada seseorang atau sesuatu menyorotkan perhatian yang tajam ke arahnya. Satria menoleh beberapa kali sepanjang perjalanan ke sekolah, mencari asal muasal dari kegelisahan yang ia rasakan. Tapi tak ada satupun yang terlihat begitu mencurigakan, yang dilihatnya hanyalah kerumunan orang-orang yang sibuk dengan perangkat mereka, tenggelam dalam dunia virtual mereka sendiri, namun bayangan-bayangan di sudut matanya terasa terlihat begitu nyata.

 

Sepanjang hari, Satria mencoba mengabaikannya, membujuk dirinya bahwa itu hanyalah perasaan sesaat. Namun, saat bel pulang berbunyi dan kerumunan mulai membubarkan diri, firasat itu semakin mendesak, seakan ada seseorang masih mengawasinya dari jauh. Satria menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya paranoia yang tak mendasar. Tetapi jantungnya berdebar kencang, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Langkahnya dipercepat, berharap bisa segera sampai di rumah.

 

'Mungkin hanya perasaanku saja,' gumamnya dalam hati meskipun setiap langkahnya terasa lebih berat. Namun, suara langkah kaki yang mengikutinya dari belakang membuat bulu kuduknya merinding. Ia yang tak bisa menahan rasa takut, mendadak terkejut saat tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahunya.

 

"Hei, Satria!"

 

Satria berbalik cepat, jantungnya nyaris melompat keluar dari dadanya. Itu wajah temannya, Andi, menyambutnya dengan senyuman ceria. "Kau terlihat tegang begitu. Apa kau baik-baik saja?"

 

Napasnya terhenti sejenak, sebelum perlahan-lahan kembali normal. Satria menghela napas lega, menepuk pundaknya sendiri seolah ingin menenangkan diri. Dia tersenyum kecil, meski masih terasa tegang dan canggung. "Ah, tidak apa-apa, aku hanya merasa sedikit aneh. Mungkin lelah."

 

Andi menepuk bahunya dengan ringan. "aku rasa… kau harus beristirahat. Aku dengar ada film baru saja dirilis. Bagaimana kalau minggu besok kita pergi menontonnya?"

 

Satria tersenyum lebih lebar kali ini, perasaannya mulai membaik. "Kedengarannya bagus. Sampai jumpa besok di sekolah."

 

Satria melambaikan tangannya dan melangkah pergi, merasa sedikit lebih tenang. Namun, saat ia berjalan keluar dari halaman sekolah, firasat mengganggu itu kembali menyergapnya, seperti bayangan yang belum sepenuhnya lenyap. Instingnya menyuruhnya untuk waspada. Langkah kakinya secara naluriah melambat, matanya menyisir sekeliling.

 

Hawa dingin seketika menyusup ke dalam dirinya. Di antara desiran angin dan lampu-lampu jalan yang mulai menyala, perasaannya mengatakan ada sesuatu—atau seseorang yang di sana, mengawasinya.

 

Satria merasa seperti melihat sebuah bayangan bergerak. Cepat, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat jantungnya kembali berdebar kencang. Tiba-tiba Sebuah bayangan muncul dari sudut matanya.  Ia menoleh cepat, namun tidak ada siapa-siapa disana. Satria menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan perasaan aneh itu. Namun, saat ia berjalan lebih jauh, bayangan itu muncul lagi. Kali ini, ia yakin itu bukan hanya bayangan. Seseorang sedang mengikutinya.

 

Jantungnya kembali berdebar kencang. Satria mempercepat langkahnya, mencoba menahan perasaan takut yang merayap dari ujung kakinya ke seluruh tubuhnya. Dia tidak berani menoleh ke arahnya, namun ia bisa merasakan kehadiran itu semakin dekat, seolah menempel di punggungnya. Jalanan mulai sepi saat malam kian larut, hanya deru angin dan suara langkah kaki yang terus memburu.

 

 Setelah menyeberang jalan dengan begitu cepat, Satria masuk ke gang kecil di dekat apartemennya, berharap bisa mempercepat langkahnya menuju tempat yang lebih aman. Namun, suara langkah kaki itu tidak berhenti, semakin keras terdengar, semakin mendekat.

 

Satria tak bisa menahan diri lagi. Dengan tangan yang gemetaran, dia menoleh. Seorang gadis berdiri tak jauh darinya, siluetnya terlihat samar dalam cahaya remang-remang. Rambutnya panjang dan berwana merah muda, berkibar tertiup angin malam., Matanya bersinar aneh dalam gelap, seperti dua buah batu permata yang memancarkan cahaya dingin,  menatap Satria dengan cara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu yang aneh tentang gadis itu —bukan hanya rambutnya yang terlihat mencolok. tetapi juga menatap Satria tatapan dingin dan penuh perhitungan, tak mengucapkan sepatah kata pun, seperti sedang menimbang sesuatu.

 

"Siapa... kau?" Satria tergagap, merasakan detak jantungnya semakin cepat, hampir tak terkendali. Gadis itu mengambil langkah maju tanpa ragu, mendekati Satria dengan perlahan. Satria mundur ketakutan, punggungnya menempel di dinding gang.

 

Sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi. Satria mendengar suara dering lembut—seperti suara mekanis yang diaktifkan. Dalam sekejap, mata gadis itu berubah, menyala biru dengan kilauan dingin yang menusuk, tubuhnya bergerak dalam kecepatan yang mustahil, secepat kilat, jauh lebih cepat dari apa yang bisa dilakukan manusia biasa.

 

Satria tidak sempat bereaksi, namun gadis itu sudah berada tepat di depannya.

 

"Awas!" bisik gadis itu, suaranya rendah dan cepat. Dalam satu gerakan yang hampir tak terlihat, dia menarik Satria ke samping tepat ketika sesuatu yang bersuara keras, tajam dan juga cepat menghantam dinding di belakangnya. Sebuah peluru, menembus udara hanya beberapa inci dari tempat Satria berdiri sebelumnya.

 

Satria terhuyung, jantungnya berdentum keras di dadanya, terpana. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna apa yang baru saja terjadi—dia baru saja diselamatkan. Tapi oleh siapa? Dan siapa yang berusaha membunuhnya?

 

Gadis itu tak memberi Satria waktu untuk mencerna apa yang terjadi. Ia menatapnya tajam, matanya masih bersinar biru. "Kau harus ikut denganku sekarang," katanya tegas. "Nyawamu dalam bahaya."

 

---

 

Setelah beberapa menit melarikan diri di antara lorong-lorong gelap Jakarta, Satria dan gadis misterius itu bersembunyi di bawah jembatan tua yang tampak terabaikan. Suara dari air sungai yang mengalir deras di bawah mereka menyatu dengan hiruk-pikuk kota yang terdengar dari kejauhan, menciptakan suasana yang penuh ketegangan dan kesuraman.

 

Satria menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur detak jantungnya yang masih kencang. Dia akhirnya memecah keheningan, meskipun suaranya masih sedikit gemetar karena adrenalin yang ia rasakan. "Siapa kau?" tanyanya.

 

Gadis itu, yang masih menjaga jarak darinya, menatap Satria dengan pandangan yang sulit diterka. "Aku bukan siapa-siapa yang perlu kau khawatirkan," jawabnya dengan tenang, suaranya datar namun penuh keyakinan. Setelah jeda sejenak, ia menambahkan, "Tapi... namaku Haruna."

 

Satria menatap Haruna, mencoba memahami siapa sebenarnya gadis misterius ini dan mengapa ia diselamatkan oleh seseorang yang tampak begitu aneh dan misterius.

 

Satria mengernyit, merasa ada yang sangat janggal tentang dirinya. "Kenapa kau menyelamatkanku? Dan apa yang terjadi barusan? Ada seseorang yang mencoba membunuhku, kan?" suaranya bergetar.

 

Haruna diam sejenak, menatap Satria dengan ekspresi yang sulit diterka, seperti sedang mempertimbangkan jawabannya. Setelah beberapa saat, dia menghela napas dalam dan berbicara pelan, "Sebenarnya... aku seharusnya yang membunuhmu."

 

Kata-kata itu membuat dunia yang ada di sekeliling Satria terasa berhenti. "Apa?" bisiknya, tak percaya. Tubuhnya terasa kaku, seperti membeku. "Kau bercanda, kan? Tidak mungkin!"

 

Haruna melanjutkan dengan suara datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dipahami di matanya. "Aku adalah cyborg yang dikirim untuk menyelesaikan misi. Kau... targetku."

 

Satria mundur selangkah tanpa sadar, tubuhnya bergetar. Kata-kata Haruna menampar Satria dengan kenyataan yang menakutkan. "C-cyborg?" Dia memandang Haruna dengan pandangan terkejut, sulit percaya bahwa gadis di depannya bukanlah manusia biasa. Matanya menelusuri wajah Haruna, mencari sesuatu yang berbeda, yang bisa membuktikan bahwa ini bukan kenyataan. Namun, semuanya tampak sama, kecuali tatapan dinginnya yang kini lebih terasa tak wajar.

 

"Kenapa... kenapa kau tak melakukannya?" Suara Satria terdengar bergetar, dan matanya memandang Haruna dengan perasaan yang bercampur aduk, antara ketakutan dan kebingungan.

 

Haruna menundukkan kepala, ekspresinya terlihat tampak kacau, sesuatu yang tidak biasa dari seorang mesin. Ada keraguan dalam gerakannya, seolah ia sedang berjuang melawan sesuatu di dalam dirinya. "Karena... aku merasa berbeda saat bertemu denganmu," suaranya hampir berbisik. "Ada sesuatu dalam diriku yang melawan perintah. Aku tidak bisa... Aku memilih untuk melindungimu."

 

Satria mundur selangkah, hatinya dipenuhi oleh kebingungan. "Melindungiku? Tapi kenapa aku? Apa yang terjadi padaku?" Matanya mencari-cari jawaban di wajah Haruna, namun hanya menemukan lebih banyak pertanyaan. "Kenapa ada yang ingin membunuhku?"

 

Haruna menghela napas pelan, terlihat bimbang. Mata tajamnya menatap Satria dengan ketegangan yang mendalam. Setelah beberapa detik hening yang terasa seperti seumur hidup, dia berkata, "Kau... bukan hanya siswa biasa, Satria." Dia menggigit bibirnya, seolah menimbang kata-katanya. "Ada sesuatu dalam dirimu yang mereka inginkan. Sesuatu yang sangat berharga."

 

Satria terdiam, perasaannya teraduk-aduk. "Apa maksudmu? Aku... Aku ini hanya anak sekolah biasa. Siswa SMA biasa. Tiada satupun yang istimewa tentang diriku," suaranya pecah di akhir kalimat, menyadari bahwa kehidupan yang dikenalnya mungkin tak pernah sesederhana yang dia kira.

 

Kini dia mendapati dirinya berada di tengah-tengah Konspirasi yang tidak dapat dia pahami dan mulai menelan hidupnya tanpa tahu bagaimana harus bertahan.

 

"Siapa mereka?" tanya Satria dengan suara rendah, tapi dipenuhi rasa ingin tahu yang bercampur ketakutan.

 

"Mereka adalah bagian dari organisasi rahasia yang mengendalikan sebagian besar teknologi dunia," jawab Haruna. Matanya tetap waspada, seakan setiap sudut memiliki mata yang mengintai. "Mereka tahu sesuatu tentangmu, sesuatu yang bahkan kau sendiri belum sadari."

 

Satria ingin bertanya lebih lanjut—apa mungkin dia memiliki sesuatu yang begitu penting?—namun sebelum dia sempat berbicara, Haruna tiba-tiba menggenggam tangannya erat. "Kita tidak aman di sini," bisiknya, nada suaranya berubah menjadi lebih mendesak. Mata biru Haruna bersinar samar saat memindai area di sekitar mereka. "Mereka akan datang lagi."

 

Tanpa peringatan lebih lanjut, Haruna mulai menariknya, dan mereka melarikan diri dari bawah jembatan menuju pusat kota yang lebih terang dan ramai. Satria berharap cahaya neon dan keramaian akan sedikit rasa aman baginya, namun di dalam hatinya, dia tahu bahwa bahaya masih terus mengintai. Setiap bayangan tampak seperti ancaman, dan langkah kaki mereka yang berlari begitu tergesa-gesa hanya menambah intensitas ketakutan yang kini menguasai pikirannya.

 

"Kenapa aku? Apa yang mereka inginkan dariku? Dan apa yang akan mereka lakukan terhadapku" Tanya Satria, suara hampir tak terdengar di tengah hiruk pikuk kota.

 

Haruna melirik kebelakang, matanya mencari-cari tanda-tanda bahaya. “Aku akan memberitahumu nanti!” Jawabnya, “dan aku yakin mereka akan melakukan tindakan apapun untuk mendapatkanmu.”

 

---

 

Dalam perjalanan menuju tempat yang lebih aman, Satria mulai memperhatikan hal-hal aneh tentang Haruna. Gerakannya terlalu cepat, hampir tidak manusiawi—seperti seseorang yang tahu setiap sudut kota dengan sempurna. Setiap kali mereka berbelok atau bersembunyi di balik bayangan, Haruna melakukannya dengan mulus, seolah memiliki peta Jakarta yang tertanam di otaknya. Satria mencoba mengabaikan perasaan tidak wajar ini, tetapi rasa ingin tahunya mulai menggerogoti pikirannya.

 

“Kenapa kau—”

 

“Kita sudah sampai,” potong Haruna tiba-tiba, menghentikan langkah di depan sebuah gedung tua yang tersembunyi di antara bangunan modern kota. Gedung itu tampak terlupakan, seperti bagian dari masa lalu yang terlihat tidak sesuai dengan lingkungan futuristik di sekitarnya.

 

Haruna dengan cekatan menekan sebuah tombol tersembunyi di dinding yang sudah berkarat, dan suara pintu besi tua berderit terbuka, memperlihatkan lorong gelap dan panjang di dalamnya. Udara di dalam gedung Terasa dingin dan lembab. Tanpa ragu, Haruna melangkah masuk. Sementara Satria merasa ragu, namun ia tidak punya pilihan selain mengikutinya. Pikirannya berputar penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.

 

Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan besar yang penuh dengan peralatan teknologi yang terlihat aneh dan asing. Layar-layar monitor menyala, membiaskan cahaya di dinding-dinding ruangan, menampilkan gambar visual dari berbagai sudut kota, menciptakan suasana yang surealis, seakan setiap gerakan yang ada di luar sana sedang diawasi. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja besar dipenuhi kabel-kabel yang kusut, perangkat keras, dan alat-alat yang Satria tak pernah lihat sebelumnya. Cahaya redup dari layar monitor memantulkan bayangan yang menakutkan, menambah ketegangan di dalam ruangan.

 

Satria terkesiap melihat ruangan itu. “Apa tempat ini? Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?” tanya Satria sambil menelan ludah dan suaranya gemetar. Matanya terus bergerak, mengamati sekeliling ruangan.  Cahaya merah menyala dari beberapa mesin, menciptakan  bayangan aneh di dinding.

 

Satria berusaha menyerap semua informasi mengenai teknologi asing yang ia lihat di sekelilingnya, tapi otaknya kesulitan untuk merangkai semuanya.

 

“Ini markas kecilku.” Jawab Haruna sambil berjalan mendekati meja yang dipenuhi perangkat keras, mengutak-atik beberapa alat di sana tanpa memandang Satria. “Di sini aku bisa mengawasi gerakan mereka,” ucapnya tanpa emosi.

 

Satria melangkah lebih dekat, berusaha memahami semua ini, namun perasaannya semakin kacau. “Siapa... siapa mereka?” Suaranya hampir tak terdengar. “Dan kenapa mereka ingin aku mati?”

 

Haruna akhirnya menatapnya, tatapannya menusuk. Dia terdiam sejenak, seolah-olah berjuang untuk memutuskan apa yang harus dia katakan. "Mereka adalah orang-orang yang menciptakanku. Sebuah bagian organisasi besar yang bekerja di balik layar, mengendalikan lebih banyak hal daripada yang kau bisa bayangkan." Dia berhenti, lalu berkata pelan, "Dan kau... bukan siapa yang kau kira. Kau adalah bagian dari eksperimen besar mereka."

 

Satria mundur sedikit, terkejut. "Eksperimen? Apa maksudmu? Aku hanya... hanya anak SMA biasa!" Tekanan dalam suaranya menunjukkan kebingungannya, matanya melebar saat dia mencoba memahami apa yang baru saja diungkapkan.

 

Haruna memandangnya dengan serius. "Kau mungkin merasa begitu. Tapi kenyataannya itu jauh lebih rumit dari apa yang kau bayangkan."

 

Kata-kata Haruna menggantung di udara, membuat Satria semakin bingung dan gelisah, sementara misteri tentang dirinya dan organisasi itu mulai terbentuk lebih jelas dalam pikirannya—meski tetap diselimuti ketidakpastian yang menakutkan.

 

“Saat kau lahir, ada sesuatu ditanamkan ke dalam tubuhmu,” Haruna melanjutkan dengan suara rendah namun tegas. “Sesuatu yang mereka butuhkan untuk rencana besar mereka. Aku tidak tahu detail pastinya, tapi yang kutahu, mereka sudah mengawasimu sejak lama.”

 

Satria menatap Haruna, darahnya terasa membeku mendengar kata-katanya, wajahnya pucat dan matanya membelalak. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia tidak pernah membayangkan hidupnya akan serumit ini. “Kau… kau bercanda, kan? Ini... ini semua gila. Tidak mungkin!”

 

Haruna berhenti sejenak, menatap layar monitor dengan pandangan kosong. Suaranya hampir tak terdengar saat dia menjawab, “Aku harap ini semua cuma lelucon.” Dia melanjutkan pekerjaannya, memindai monitor yang menampilkan berbagai gambar dari setiap sudut kota, namun ekspresinya kaku, seolah tertekan oleh beban yang tak terucapkan, hampir tanpa emosi, tetapi ada kesedihan yang terlihat samar dalam suaranya. “Tapi inilah kenyataan yang harus kau hadapi.”

 

Dia kembali memusatkan perhatian pada layar-layar yang ada di depannya, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, memeriksa peta kota dan aktivitas di monitor. Gambar-gambar digital berkedip, menampilkan jalanan kota, gedung-gedung tinggi, dan kerumunan orang. Haruna sepertinya memeriksa setiap sudut dengan cermat, seolah mengantisipasi sesuatu yang lebih buruk datang kapan saja.

 

Satria menggelengkan kepalanya dengan putus asa, tubuhnya gemetar. “Bagaimana bisa…? Apa maksudmu... sesuatu yang ditanamkan dalam tubuhku? Apa yang akan mereka lakukan kepadaku? Menjadikanku senjata?” Suaranya nyaris pecah, mencoba melawan kepanikan yang membuncah.

 

Namun Haruna memilih untuk tidak menjawabnya, matanya hanya sesekali melirik ke arah Satria, seolah tiada satupun kata-kata yang bisa dia ucapkan untuk meredakan kekacauan yang baru saja diungkapkan olehnya. Hanya bunyi pelan dari monitor yang memenuhi ruangan, membawa suasana ketegangan yang semakin mencekam.

 

---

 

Malam itu, Satria tidak bisa memejamkan mata. Dia duduk meringkuk di sudut ruangan, merasakan dinginnya lantai di bawahnya. Sementara Haruna berdiri berjaga di dekat pintu, seperti bayangan yang tak kenal lelah, matanya yang biru bersinar terus-menerus memindai setiap sudut ruangan, mengantisipasi segala kemungkinan bahaya yang datang ke arah mereka. Cahaya bulan samar-samar menembus jendela, menciptakan bayangan aneh di dinding. Pikiran Satria masih berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab, membuatnya gelisah. Apa sesuatu yang ada di dalam tubuhnya begitu berharga, sehingga membuat seseorang ingin membunuhnya? Mengapa hidupnya yang tadinya sederhana kini berubah menjadi mimpi buruk yang mengerikan?

 

Keheningan yang terjadi di malam itu tiba-tiba pecah oleh suara lembut Haruna. "Kau tidak perlu takut padaku."

 

Satria menoleh dengan cepat, meski tubuhnya masih terasa tegang. Pandangannya bertemu dengan mata Haruna. Gadis cyborg itu menatapnya dengan tatapan dingin dan analitis, dan ia merasa ragu. “Sulit bagiku untuk merasa tidak takut,” suaranya bergetar, hampir berbisik. “Kau bilang kau seharusnya membunuhku kan?”

 

Haruna menundukkan kepalanya, wajahnya tampak sedikit gelap oleh keraguan. "Aku diciptakan untuk mengikuti perintah tanpa harus bertanya," katanya pelan, hampir tanpa emosi. “Tapi ketika aku bertemu denganmu... sesuatu dalam diriku berubah. Logika dan algoritma dalam pikiranku mulai berbenturan dengan apa yang diperintahkan. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku... tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa membunuhmu.”

 

Satria hanya duduk diam, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Haruna. Bagaimana mungkin seorang mesin memiliki kehendak sendiri? Bagaimana mungkin dia, sebuah ciptaan yang seharusnya tidak memiliki jiwa, merasakan kebimbangan? Setelah beberapa saat, Satria mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Apa kau memiliki... perasaan?”

 

Haruna terdiam lama sebelum menjawab, ekspresinya sulit dibaca. “Aku... tidak yakin. Aku tidak dirancang untuk itu,” katanya pelan. “Selama ini, aku hanya bertugas menjalankan misi, seperti mesin yang diatur untuk bekerja tanpa pertanyaan. Tapi kali ini... aku berpikir kalau perintah ini terasa salah. Mungkin... mungkin ini yang disebut perasaan, meskipun aku tak pernah dirancang untuk itu. Aku tak pernah diciptakan untuk mengalaminya"

 

Satria menatapnya dengan penuh keraguan, tetapi di balik itu ada kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan. Dia tak pernah menyangka akan merasakan koneksi yang begitu kuat dengan seorang mesin. Bagaimana mungkin seorang cyborg, yang dibangun dari logika dingin dan kabel-kabel yang ada di dalamnya, bisa merasakan sebuah keraguan? Cahaya rembulan semakin terang, menerangi ruangan dengan lembut. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, namun kali ini terasa berbeda, lebih berat, seperti ada sesuatu yang belum terucap menggantung di udara di antara mereka.

 

Dengan sedikit keraguan, Satria akhirnya memberanikan diri untuk berbicara, "Kalau begitu... apa yang kita lakukan sekarang?" Suaranya bergetar, menunjukkan kebingungan yang masih menggantung di pikirannya, namun juga ada secercah harapan di hadapannya.

 

Haruna menatapnya dengan mata biru yang bersinar dalam gelap. "Aku akan melindungimu," jawabnya dengan keyakinan yang tidak pernah Satria duga sebelumnya. Namun, di balik ketegasan itu, ada getar halus, sebuah senyuman tipis, ekspresi yang jarang terlihat di wajahnya yang biasanya datar seolah ia sendiri masih berusaha memahami keputusannya. "Kita harus mencari tahu apa yang mereka tanamkan di tubuhmu... dan kenapa itu begitu penting bagi mereka."

 

Satria terdiam sejenak, mencoba menyerap semua yang baru saja dia dengar. Dia tidak mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi, tapi ada satu hal yang ia yakini—Haruna, yang seharusnya menjadi ancaman terbesar baginya, diciptakan untuk membunuhnya, sekarang berusaha melindunginya, menjadi satu-satunya yang mungkin bisa ia percayai. Meski hatinya masih diliputi ketakutan, dia merasakan dorongan baru di dalam dirinya.

 

Dengan napas berat, Satria mengangguk perlahan. "Aku tidak tahu kenapa ini semua terjadi, tapi... kurasa aku tak punya pilihan selain mempercayaimu."

 

Haruna menatapnya sebentar, lalu kembali berjalan ke monitor, namun kali ini, Satria bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam interaksi mereka—kepercayaan yang mulai tumbuh, walau masih diwarnai sebuah ketidakpastian.

 

Namun, percakapan mereka terganggu oleh suara berderak dari sistem komunikasi di dinding. Sebuah suara mekanis terdengar, tajam, dingin dan penuh ancaman. Satria merasakan jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mulai membasahi dahinya.

"Haruna-06, kau telah melanggar perintah. Kau tahu hukuman apa yang akan menantimu karena pengkhianatan ini."

 

Wajah Haruna menegang, Cahaya merah dari layar monitor menyala terang, menerangi wajah pucat Haruna. Matanya berkedip cepat seperti sedang memproses ancaman itu. "Mereka menemukanku lebih cepat dari perkiraanku," bisiknya, hampir pada dirinya sendiri.

 

Layar besar di dinding menyala, menampilkan seorang pria dengan setelan jas hitam, wajahnya tersamar dalam bayang-bayang, hanya memperlihatkan seulas senyum dingin. "Kembalilah ke pangkalan segera, Haruna!" suaranya penuh dengan kepastian yang mencekam. "Atau kami akan mengirim unit lain yang lebih efisien untuk menggantikanmu. Kau tahu kami tak akan membiarkan misi ini gagal."

 

Satria merasakan hawa dingin merambat ke punggungnya, jantungnya berdetak lebih cepat. "Siapa dia?" tanyanya dengan suara bergetar.

 

Pria di layar mendongak sedikit, senyumnya melebar, seolah menikmati ketakutan yang ia rasakan. "Aku? Aku adalah direktur dari proyek yang melahirkan Haruna dan semua unit seperti dirinya. Dan kau, Satria Wibowo," suaranya melambat, menekan setiap kata, "adalah kunci terakhir dari rencana besar kami. Cukup dengan permainan ini. Kami akan datang untukmu, dan kali ini, tiada lagi tempat untukmu lari."

 

Haruna tak menunggu lebih lama. Dengan satu gerakan cepat, ia mematikan layar, tangannya mengepal erat. "Kita harus segera pergi," katanya tegas, tapi kali ini ada sedikit ketegangan dalam suaranya. "Mereka mungkin akan mengirim unit cyborg lain yang lebih kuat dariku, lebih cepat... dan tidak akan ragu membunuh kita."

 

Satria menatap Haruna, jantungnya berdetak kencang. "Apa mereka bisa menemukan kita di sini? "Apa yang akan mereka lakukan padaku jika mereka berhasil menangkapku?" tanyanya dengan suara bergetar, berusaha meredam rasa takut yang mulai merayap.

 

"Aku tidak tahu pasti. Tapi aku tidak akan membiarkan satupun dari mereka menyakitimu." Haruna mengepalkan tangannya, matanya birunya berkobar dengan semangat juang. "Yang jelas tempat ini sudah tidak aman lagi sekarang. Mereka pasti sedang menuju ke sini. Kita harus secepatnya pergi dari sini."

 

Satria merasa tubuhnya menegang, keringat dingin membasahi dahinya. Udara di ruangan terasa sesak, seolah-olah waktu berhenti berjalan seketika. "Bagaimana caranya kita bisa keluar dari sini? Mereka pasti sudah menyiapkan banyak jebakan."

 

Tatapannya berubah tajam. "Aku sudah memikirkan beberapa kemungkinan. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka menemukan kita. Jika kita tidak bergerak cepat, kita tidak akan selamat."

 

---

 

Mereka keluar dari gedung dengan cepat, menelusuri jalan-jalan gelap Jakarta yang semakin sunyi. Lampu jalan yang remang-remang menciptakan bayangan panjang di trotoar yang retak, sementara angin malam membawa aroma basah dari hujan yang baru reda. Haruna bergerak dengan cekatan, memimpin Satria ke arah distrik yang lebih tua dan terlupakan di pinggiran kota. Haruna sesekali melirik Satria dari sudut matanya, terlihat ragu namun tetap berusaha bersikap tenang. Selama perjalanan, Satria tak bisa menahan diri untuk terus berpikir—mengapa dia? Apa yang ada dalam dirinya yang begitu berharga?

 

Satria merasakan jantungnya berdebar kencang, tangannya menggenggam erat lengan Haruna tanpa sadar. Setiap langkah di antara bangunan kosong membuatnya semakin merasa terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan. Suara langkah kaki mereka bergema di gang sempit, terkadang terputus oleh suara anjing menggonggong dari kejauhan. Bau amis dari sungai kecil yang mengalir di dekat mereka terbawa angin malam.

 

“Apa kau tahu di mana kita bisa mencari tahu apa yang sebenarnya ada di tubuhku?” tanya Satria dengan napasnya yang terengah-engah saat mereka berlari di antara bayangan bangunan kosong.

 

“Ada seseorang,” jawab Haruna dengan suara datar dan tegas. “Seorang mantan ilmuwan yang dulunya bekerja untuk organisasi itu. Dia sekarang sedang bersembunyi di sebuah tempat yang lokasinya jauh dari pusat kota, tapi aku tahu di mana menemukannya. Dia satu-satunya yang bisa memberi kita jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi padamu.”

 

Satria mengangguk, meski ketakutan masih mengendap di hatinya. Ia merasa terjebak dalam permainan yang jauh di luar kendalinya. Tapi dia tahu tak ada jalan untuk kembali. Mereka harus menemukan ilmuwan itu—sebelum semuanya terlambat.

 

Ketika mereka melaju melalui lorong-lorong sunyi, suara langkah kaki yang menghantui seolah terus mengikuti mereka dari balik bayangan. Satria merasa setiap detik yang berlalu menambah setiap tekanan yang ada, menyadari bahwa mereka tak punya banyak waktu sebelum ancaman itu kembali datang.

 

“Kita harus cepat,” ujar Haruna, mata birunya terus memindai sekitar untuk memastikan mereka tetap aman.

 

Satria menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya. “Aku tidak tahu apa yang harus dipikirkan, tapi aku berterima kasih karena kau ada di sini.”

 

Haruna hanya mengangguk, fokus pada tujuan mereka. “Ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban. Kita tidak punya pilihan lain.”

 

---

 

Mereka tiba di depan sebuah bangunan tua yang terlihat hampir runtuh. Dindingnya penuh grafiti dan jendela-jendelanya terlihat pecah, namun Haruna yakin kalau tempat ini aman. Lalu dia mengetuk pintu bangunan tersebut dengan ketukan yang pola khusus. Setelah berselang beberapa detik berlalu, pintu itu mulai berderit terbuka, seorang pria tua dengan rambut kusut dan mata tajam memeriksa mereka dari balik bayang-bayang.

 

“Haruna?” suaranya terdengar terkejut, hampir tersedak kata-katanya. “Apa yang kau lakukan di sini?”

 

“Kami butuh bantuanmu, Dr. Reyfan,” jawab Haruna tanpa basa-basi, suaranya tegas. "Dia—" Haruna menunjuk Satria, “—adalah target terakhir mereka.”

 

Mata Dr. Reyfan melebar saat mendengar hal itu, tatapannya beralih ke Satria, seolah-olah sedang menilai setiap inci dirinya. "Target terakhir ya?" gumamnya, nyaris tak percaya. "Aku pikir mereka sudah meninggalkan proyek itu bertahun-tahun lalu..." Suaranya terdengar serak, seakan penuh dengan beban dari masa lalu.

 

Satria merasa canggung di bawah tatapan tajam Dr. Reyfan, tubuhnya menegang tanpa  disadarinya. Dia menelan ludah, berusaha untuk menenangkan diri, meskipun ada sedikit ketakutan yang dirasakannya, kini mulai merayap tumbuh di dalam dirinya.

 

“Kami tak punya banyak waktu,” potong Haruna cepat, wajahnya tegas. “Organisasi itu mungkin sudah melacak keberadaan kami.”

 

Dr. Reyfan menarik napas panjang, pandangannya berubah suram sejenak sebelum dia memberi isyarat kepada mereka untuk masuk ke dalam. "Baiklah," katanya dengan nada pasrah. "Masuklah. Ini akan menjadi malam yang panjang."

 

Mereka kemudian memasuki sebuah ruangan gelap yang dipenuhi oleh buku-buku tua dan peralatan laboratorium yang sudah berdebu. Bau apek dan aroma dari obat-obatan tercium samar-samar di udara.

 

---

 

Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi dengan berbagai alat-alat kuno, Dr. Reyfan dengan hati-hati memasangkan elektroda ke tubuh Satria. Suara mesin-mesin tua yang berdesing di sudut ruangan membuat suasana semakin menegangkan. Haruna berdiri waspada di dekat pintu, matanya tajam memeriksa setiap pergerakan yang ada di luar.

 

Detik demi detik berlalu, dan akhirnya layar monitor di depan Dr. Reyfan mulai menampilkan data. Dia menatapnya dengan cemas, matanya menyipit seiring data terus mengalir.

 

"Ini... lebih buruk dari yang kukira," gumamnya, hampir tidak terdengar.

 

Jantung Satria berdegup kencang. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya bergetar.

 

Dr. Reyfan menarik napas dalam, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. Dia menoleh, menatap Satria dengan sorot mata yang penuh keseriusan. "Di dalam tubuhmu... mereka menanamkan sesuatu yang disebut ‘Kunci Omega.’ Ini bukan hanya sekadar teknologi canggih. Ini adalah pusat kendali untuk semua jaringan teknologi di seluruh dunia."

 

Satria merasakan hawa dingin merayap ke seluruh tubuhnya. "Jadi... mereka bisa mengendalikan semua teknologi? Termasuk senjata?" tanyanya, suaranya lebih pelan, hampir takut mendengar jawabannya.

 

Dr. Reyfan mengangguk perlahan, wajahnya penuh dengan beban. "Bukan hanya senjata. Mereka bisa mengendalikan apa pun—dari pemerintahan, ekonomi, hingga kehidupan manusia sehari-hari. Dunia akan menjadi permainan anak-anak di tangan mereka."

 

Satria merasa lututnya lemas. Bagaimana mungkin sesuatu yang sebesar ini ada di dalam dirinya, tanpa dia tahu? "Apa ada cara... untuk mengeluarkannya?" tanyanya, suara memohon.

 

Dr. Reyfan terdiam sejenak, sebelum akhirnya menggeleng kepalanya dengan berat. "Mengeluarkan Kunci Omega... itu akan membunuhmu. Sistem ini terhubung langsung ke sistem sarafmu. Satu-satunya cara untuk menghentikan mereka adalah dengan menghancurkan organisasi itu sebelum mereka mendapatkan aksesnya."

 

Satria terdiam, ia merasa kalau dunia di sekelilingnya sekarang mulai runtuh. Haruna, yang sedari tadi berjaga, mendekat. “Kita harus segera bertindak cepat,” katanya tegas, meskipun nada suaranya tetap datar. “Mereka sudah semakin dekat. Waktumu tidak banyak, Satria.”

 

---

 

Di luar gedung, suara derap kaki logam yang berat datang mendekat. Unit cyborg dari organisasi itu bergerak tanpa henti, lebih canggih, lebih kuat, dan hanya punya satu tujuan: menghancurkan Satria dan siapa pun yang melindunginya.

 

“Kita tak punya banyak waktu,” kata Haruna, matanya menyipit saat memindai layar, memperkirakan waktu sebelum musuh tiba. “Mereka akan sampai dalam hitungan menit.”

 

Satria merasakan jantungnya berdebar kencang. Dadanya sesak, dan napasnya terasa berat, seolah dunia ini semakin menekannya. Selama ini dia hanyalah seorang remaja biasa, tapi sekarang, tiba-tiba dia menjadi kunci bagi sesuatu yang lebih besar dari yang pernah dia bayangkan. Dan mungkin... akhir dari semuanya.

 

“Apa rencananya?” tanyanya, meski suaranya terdengar serak oleh ketakutan, ada nada ketegasan yang tak bisa disangkalnya. Dia tahu dia tak bisa lari lagi. Ini adalah titik di mana dia harus berdiri dan melawan mereka, melawan organisasi itu.

 

Haruna menatapnya dengan pandangan tajam, mata birunya bersinar dingin namun penuh ketetapan. "ayo kita lawan balik!" katanya tegas, namun bukan berarti tanpa rasa gentar. Dia tahu pertempuran ini terasa tidak akan adil. Mereka kalah secara jumlah, secara kekuatan. Tapi dia tak punya pilihan lain.

 

Satria menelan ludah, lalu mengangguk. Ketakutan masih menyelimuti pikirannya, tapi sesuatu yang ada di dalam dirinya mendorong maju—sebuah tekad baru yang dia tak tahu dia miliki. "Aku siap," katanya, meski ada sedikit gemetar dalam suaranya.

 

Mereka tahu bahwa ini mungkin bukanlah pertarungan yang bisa mereka menangkan dengan mudah. Tapi dengan tekad yang baru dan sekutu yang tak terduga, mereka siap menghadapi musuh yang akan datang—bersama-sama.

 

---

 

Malam itu, di bawah langit gelap yang dipenuhi bintang-bintang redup, Satria dan Haruna bersiap. Mereka tahu kalau waktu mereka hampir habis. Unit-unit cyborg dari organisasi itu bisa tiba kapan saja. Ruangan sempit yang mereka jadikan markas sementara kini berubah menjadi pusat strategi darurat. Dr. Reyfan, meski tampak begitu lelah, tetap bergerak dengan cepat di antara alat-alatnya, menyusun rencana akhir yang telah ia buat.

 

“Kita punya beberapa opsi,” kata Dr. Reyfan dengan nada serius, matanya tak lepas dari layar monitor yang menampilkan peta area sekitar tempat mereka. “Yang terpenting, kita harus sebisa mungkin memancing mereka ke area yang bisa kita kontrol. Jika mereka menyerbu langsung, kita tak akan punya peluang melawan unit tempur mereka.”

 

“Bagaimana caranya?” Satria bertanya, matanya masih belum terbiasa dengan persiapan taktis seperti ini.

 

Dr. Reyfan melirik Satria sebelum menjelaskan, “Aku sudah memasang beberapa jebakan berteknologi di sekitar gedung. Jika itu berjalan sesuai rencana, kita bisa memperlambat mereka cukup lama agar kalian bisa kabur.”

 

“Melarikan diri?” Satria mengernyit, suaranya dipenuhi dengan kekecewaan. “Kita tidak bisa terus-nenerus lari. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dariku. Ini bukan solusinya.”

 

Haruna, yang sejak dari tadi diam, maju dan meletakkan tangannya di bahu Satria. Tatapan matanya lebih lembut dari yang biasanya. “Kau benar. Kita tidak bisa terus-menerus bersembunyi. Tapi rencana kita sebenarnya bukan hanya untuk bertahan hidup. Kita harus menghancurkan organisasi ini dari dalam.”

 

Satria mengangkat alis. “Bagaimana caranya?”

 

“Kita hanya perlu menonaktifkan sistem pusat mereka,” jelas Haruna dengan nada tegas. “Jika kita berhasil, Kunci Omega yang ada di tubuhmu akan menjadi tidak berguna bagi mereka. Ini bukan hanya soal melarikan diri—ini soal cara menghentikan mereka selamanya.”

 

Satria mengangguk pelan. Meskipun masih terasa takut, kini ada semangat baru dalam dirinya. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus menerus lari, dan mungkin inilah kesempatan terakhir bagi mereka untuk pergi melawan balik.

 

“Jika kita berhasil mengirimkan sebuah virus ke sistem mereka,” tambah Dr. Reyfan sambil menatap layar penuh data. “Virus itu akan menghapus semua informasi tentang Kunci Omega dan menghentikan seluruh fungsi cyborg mereka. Tapi ada satu masalah besar—kita harus terhubung langsung ke server pusat mereka.”

 

Satria merasakan darahnya membeku. “Dan itu berarti kita harus masuk ke dalam markas mereka?”

 

Haruna mengangguk, ekspresinya serius. “Benar. Hanya dengan terhubung langsung kita bisa menghancurkan mereka. Kita harus membawa pertempuran ini ke wilayah mereka.”

 

Satria menghela napas dalam-dalam. Seluruh situasi ini terasa begitu luar biasa baginya. Kemarin dia hanyalah siswa SMA biasa, tanpa pengetahuan apapun tentang dunia teknologi canggih atau konspirasi rahasia. Namun sekarang, hidupnya berada dalam bahaya, dan satu-satunya cara keluar dari masalah ini adalah melawan organisasi yang mampu menciptakan cyborg pembunuh. Hati kecilnya ingin berontak, merasa mustahil untuk bisa melawan kekuatan sebesar itu. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang berbisik, memberi tahu dia bahwa dia lebih dari sekadar anak biasa.

 

Tatapannya jatuh pada Haruna. Entah bagaimana, sejak dia bertemu gadis cyborg itu, hidupnya mulai berubah drastis. Namun, ada perasaan bahwa ini semua bukanlah sebuah kebetulan. Bahwa Haruna dan dirinya terhubung oleh suatu takdir yang lebih besar. Dia tak bisa lari lagi.

 

“Aku siap,” kata Satria akhirnya, suaranya tegas meskipun hatinya masih dirundung keraguan. “Mari kita hancurkan mereka.”

 

---

 

Malam semakin larut, dan unit cyborg pertama tiba dengan langkah senyap, menyatu dengan bayang-bayang. Bentuk mereka besar, berlapis logam gelap dengan mata merah menyala yang bergerak seperti predator. Namun, Haruna dan Dr. Reyfan sudah siap. Saat salah satu dari mereka mendekati pintu, lantai di bawahnya menyala dengan cahaya biru—jebakan elektronik Dr. Reyfan aktif. Gelombang listrik menyambar cyborg itu, tubuh logamnya bergetar sebelum akhirnya terkapar, lumpuh.

 

“Ini hanya permulaan,” gumam Haruna. Di tangannya, sebuah senjata kecil berkilauan dengan energi, senjata yang tampak seaneh gerakan-gerakan cepatnya. “Mereka akan datang lebih banyak.”

 

Benar saja. Dalam hitungan detik, lebih banyak cyborg muncul dari kegelapan, mata mereka menyala dengan begitu terang, dan gerakan mereka semakin cepat dan tepat. Mereka tak terganggu oleh jebakan lagi, menyebar dengan presisi yang mengerikan.

 

Haruna bergerak dengan kecepatan yang tak mungkin ditandingi manusia biasa. Dia melesat keluar dari gedung, tubuhnya berputar di udara, senjatanya menembakkan ledakan energi berwarna hijau terang. Setiap peluru menghantam sasaran dengan akurasi mematikan, merobohkan musuh-musuh logam di sekitarnya. Namun, setiap kali satu cyborg jatuh, dua lagi datang menggantikan.

 

Satria menyaksikan dari jendela dengan napas terengah-engah. Pemandangan itu di luar bayangannya—Haruna seperti badai mematikan yang menghancurkan lawan-lawannya tanpa ampun, tapi jumlah musuh yang tak terhitung terus berdatangan. Jantungnya berdegup kencang, merasakan tekanan di dadanya. "Berapa banyak lagi yang akan datang?" pikirnya, cemas.

 

“Haruna... dia luar biasa,” gumam Satria tanpa sadar, setengah terkesima, setengah takut. Namun, dia tahu—tak peduli seberapa kuat Haruna, mereka tak bisa bertahan lama jika terus-menerus diserbu oleh cyborg-cyborg itu.

 

Dr. Reyfan, yang berada di dekatnya, memperhatikan monitor. "Ini bukan pertarungan yang bisa kita menangkan hanya dengan kekuatan," katanya pelan. "Kita harus bergerak cepat sebelum jumlah mereka semakin tak terkendali."

 

Haruna terus melawan, setiap serangan penuh kekuatan. Tetapi untuk setiap musuh yang dihancurkannya, ada lebih banyak lagi yang datang. Dentuman logam dan ledakan senjata memenuhi udara, menggetarkan bangunan tua di sekitar mereka.

 

“Satria!” teriak Haruna di tengah baku tembak, suaranya penuh desakan dan ketegangan. “Kita harus segera pergi! Mereka terlalu banyak—aku tidak bisa menahan mereka lebih lama!”

 

Satria, yang bersembunyi di balik reruntuhan beton, merasakan sebuah kengerian merambat ke seluruh tubuhnya. Meskipun Haruna adalah petarung yang luar biasa, musuh terus berdatangan tanpa henti, membuat situasi semakin tak terkendali. Jantungnya berdegup kencang, dan dia tahu mereka harus secepatnya membuat keputusan.

 

“Kita harus melarikan diri ke markas pusat mereka!” seru Satria, suaranya parau. "Itu satu-satunya cara kita bisa menghentikan mereka, sebelum terlambat!"

 

Dr. Reyfan, yang sudah siap dengan rencana darurat, menekan tombol di alat komunikasinya dengan tangan gemetar. “Aku sudah menyiapkan kendaraan di gang belakang!” katanya dengan cepat. “Gunakan itu untuk secepatnya pergi sampai ke markas pusat. Tapi kalian harus segera bergerak sekarang sebelum mereka mengepung tempat ini!”

 

Mata Satria beralih ke Haruna, yang kini menarik napas panjang, tubuhnya tegak meski kelelahan terlihat jelas. Tanpa ragu, Haruna segera berbalik dan berlari ke arah Satria, menghindari serangan musuh yang hampir menghantamnya. “Ayo,” katanya dengan nada tegas, matanya memancarkan kesungguhan. “Kita harus cepat, atau kita tidak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup.”

 

Satria berdiri dengan kakinya yang gemetar, tapi dia tahu tak ada waktu baginya untuk takut. Dia mengangguk cepat dan berlari mengikuti langkah Haruna, mereka berdua melesat menuju gang belakang. Di belakang mereka, suara dentuman dan ledakan terus-menerus bergema, menandakan bahwa cyborg-cyborg pembunuh itu takkan pernah berhenti sampai mereka tertangkap atau tewas.

 

---

 

Mereka berlari melalui gang-gang sempit, dengan cyborg-cyborg yang mengejar mereka dari belakang. Satria bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, keringat dingin membasahi dahinya. Mereka berdua masuk ke dalam kendaraan yang sudah dipersiapkan Dr. Reyfan, dan dalam hitungan detik, mereka melesat keluar dari zona pertempuran.

 

Namun, mereka tahu pelarian ini hanya bersifat sementara.

 

Markas pusat organisasi itu terletak di luar kota Jakarta, tersembunyi di dalam sebuah kompleks bawah tanah yang hampir mustahil ditemukan. Tapi Haruna, dengan ingatannya yang dirancang khusus, tahu jalan menuju sana. Ketika mereka tiba di gerbang utama, Satria merasakan ketegangan yang begitu besar. Ini adalah tempat yang telah mengendalikan hidupnya tanpa dia sadari selama bertahun-tahun. Ini adalah tempat di mana rahasia yang mengancam dunia tersembunyi.

 

"Ini dia," gumam Haruna, menatap bangunan besar yang tampak semakin mengancam di depan mereka. "Saat kita masuk, tidak ada waktu untuk ragu. Mereka akan tahu kita di sini begitu kita melangkah."

 

Di dalam mobil, suara Dr. Reyfan terdengar dari alat komunikasi yang kini terpancar melalui speaker. "Dengarkan baik-baik. Begitu kalian mencapai ruang server utama, pastikan untuk mencolokkan perangkat yang kuberikan. Virus itu akan menghapus semua data terkait Kunci Omega. Tapi kalian harus bertindak cepat, karena begitu terhubung, mereka mungkin mencoba menghentikannya."

 

Satria mengangguk, meski di dalam dirinya ada perasaan cemas yang mendesak. Tanggung jawab besar ini terasa berat di pundaknya, namun dia tahu tak ada jalan lain. "Aku mengerti," katanya, meski hatinya bergemuruh.

 

Saat Haruna menoleh padanya, matanya yang biru bersinar dalam kegelapan, dia bisa merasakan tekad yang sama kuat dalam diri gadis cyborg itu. “Kita lakukan ini bersama.”

 

Mereka memasuki kompleks dengan hati-hati, langkah kaki mereka bergema di sepanjang koridor sempit yang dipenuhi dinding logam dingin. Tempat itu seperti labirin tanpa ujung, dengan cahaya remang-remang yang memantul di atas permukaan logam. Suara mesin-mesin besar berdengung di kejauhan, memberikan perasaan seperti sedang berada di dalam monster mekanis raksasa.

 

Beberapa kali, patroli cyborg hampir menangkap mereka. Namun, Haruna, dengan kecepatan dan ketepatannya yang luar biasa, berhasil memimpin mereka melalui jalur-jalur tersembunyi, menghancurkan musuh-musuh yang terlalu dekat tanpa membuat suara berlebihan. Setiap detik terasa berharga.

 

Setelah berlari selama beberapa menit yang terasa seperti seabad, mereka akhirnya tiba di ruangan besar, penuh dengan mesin-mesin raksasa yang berderak dan berkedip. Di hadapan mereka berdiri server pusat, jantung dari semua yang telah mengendalikan hidup Satria.

 

“Ini dia,” kata Haruna, napasnya teratur meski suasana tegang. “Kau harus segera melakukannya, Satria.”

 

Satria melangkah maju, tangannya gemetar saat dia meraih alat yang diberikan oleh Dr. Reyfan. Rasanya seperti dunia berhenti berputar di sekelilingnya. Seluruh hidupnya, seluruh nasibnya, tampak bergantung pada momen ini. Dia menatap konsol utama di hadapannya, matanya menyipit menahan ketegangan. Saat dia mulai menghubungkan alat itu, tiba-tiba sebuah suara berat dan mengancam bergema dari belakang mereka, menghancurkan keheningan.

 

“Kalian tak akan berhasil.”

 

Satria menoleh, napasnya tertahan di tenggorokan. Pria yang berbicara adalah direktur proyek organisasi—orang yang muncul di layar sebelumnya. Dia berdiri dengan sikap dingin dan penuh percaya diri, wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayang-bayang lampu redup. Di sampingnya, sesosok cyborg raksasa berdiri tegak, hampir memenuhi seluruh ruangan. Rangka logamnya berkilauan dalam cahaya minim, tubuhnya jauh lebih besar dan lebih kuat daripada yang pernah Satria lihat sebelumnya. Setiap gerakan mesin itu terdengar seperti dentuman berat, membuat jantung Satria semakin berdetak cepat.

 

“Haruna-06,” suara pria itu terdengar dingin dan mengancam, “kau adalah eksperimen yang gagal. Tapi aku akan memberimu kesempatan terakhir untuk memenuhi misimu. Bunuh Satria, atau kau akan dihancurkan di tempat ini.”

 

Haruna menatap pria itu, matanya menyala penuh kebencian. Satria bisa merasakan ketegangan di udara, namun Haruna tetap berdiri tegak di depannya, seolah menjadi tameng yang melindungi. Meskipun pria itu adalah penciptanya, Haruna tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan.

 

“Aku tidak lagi di bawah kendalimu,” jawab Haruna, suaranya tegas dan penuh determinasi. Matanya tak lepas dari direktur, tubuhnya dalam posisi siap bertarung. “Aku memilih takdirku sendiri.”

 

Satria merasakan dorongan keberanian di dalam dadanya. Haruna tidak lagi hanya sekedar alat atau mesin—dia adalah sekutu yang telah memilih untuk berdiri di sisinya, melawan ancaman yang jauh lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.

 

Pria itu tersenyum tipis, penuh penghinaan. “Sayang sekali. Hancurkan mereka.”

 

Cyborg raksasa bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan, setiap langkahnya membuat lantai bergetar. Dengan gerakan cepat dan kekuatan yang luar biasa, dia mengayunkan lengannya yang besar ke arah mereka. Haruna melompat maju tanpa ragu, menahan serangan itu dengan lengannya yang bersinar, otot-otot mekanis di tubuhnya bergetar di bawah tekanan. Dentuman keras terdengar ketika kekuatan dua mesin bertabrakan, membuat percikan api beterbangan di udara.

 

Pertarungan brutal itu segera dimulai, dengan Haruna yang berusaha keras mengimbangi kecepatan dan kekuatan cyborg raksasa. Dia menghindari pukulan-pukulan mematikan dan balas menyerang, namun terlihat jelas bahwa musuh ini lebih kuat dari yang pernah dia hadapi sebelumnya. Setiap serangan terasa seperti gelombang kehancuran yang mengancam untuk menghancurkannya.

 

Sementara itu, Satria berdiri di depan konsol, jari-jarinya gemetar saat mencoba menghubungkannya dengan perangkat yang diberikan Dr. Reyfan. Napasnya berat, ketakutan dan tekanan membuat kepalanya berputar. “Ayo… cepat…” gumamnya, merasa seluruh beban dunia berada di pundaknya.

 

Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari alat itu.

 

“Virus diaktifkan.”

 

Di layar monitor di depannya, Satria melihat data mulai menghilang satu per satu. Informasi tentang Kunci Omega dihapus dengan begitu cepat, dan rasa lega mulai mengalir di dalam dirinya. Dia hampir tak percaya, mereka benar-benar melakukannya.

 

Namun, di belakangnya, suara logam yang pecah dan teriakan nyaring menarik perhatiannya. Satria berbalik tepat pada saat cyborg raksasa berhasil melayangkan pukulan keras ke Haruna, menghancurkan pertahanannya. Tubuhnya terlempar ke udara dan jatuh keras ke tanah, membentur lantai dengan bunyi yang menyakitkan.

 

“Haruna!” teriak Satria, tubuhnya membeku oleh ketakutan. Haruna terbaring di sana, tubuhnya terguncang oleh kerusakan, namun matanya masih terbuka, menatapnya dengan tekad yang belum pudar.

 

Haruna dengan susah payah mulai bangkit, meskipun tubuhnya dipenuhi dengan luka dan mekanismenya sudah tidak berfungsi dengan sempurna. Suara desisan dari engsel-robotiknya terdengar lemah, namun dia tetap tersenyum kecil ke arah Satria. “Kita... berhasil...” katanya dengan napas terputus-putus, matanya yang dingin namun kini tampak lebih manusiawi.

 

Satria ingin membantunya berdiri, tetapi Haruna tetap tegak, menolak untuk menyerah pada tubuhnya yang rusak.

 

Di depan mereka, cyborg raksasa itu bersiap menyerang lagi. Tangannya yang besar terangkat tinggi, bersiap menghancurkan mereka dalam satu pukulan mematikan. Namun tiba-tiba, cahaya di seluruh ruangan mulai berkedip-kedip, dan suara mendengung dari mesin-mesin mulai meredup.

 

Satria dan Haruna menatap dengan cemas. Apakah virus itu bekerja?

 

Dalam sekejap, semua sistem di kompleks itu mati total. Cahaya padam, layar-layar menjadi gelap, dan semua cyborg, termasuk yang raksasa di depan mereka, berhenti bergerak, tubuhnya kaku seperti patung logam.

 

Virus itu berhasil.

 

Direktur organisasi itu, yang berdiri di kejauhan, menatap mereka dengan tatapan penuh kemarahan yang tak terlukiskan. Wajahnya memerah, tinjunya mengepal dengan gemetar. “Kalian... kalian menghancurkan semuanya!” suaranya menggelegar di ruangan yang kini sunyi.

 

Haruna, dengan tubuh yang penuh luka, berusaha berdiri lebih tegak. Meskipun rusak parah, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Ini... akhirnya,” katanya dengan nada yang penuh kelegaan, meskipun tubuhnya hampir tak bisa berdiri lagi.

 

Satria, yang masih terengah-engah, merasakan napasnya tersengal seperti ditarik dari dasar paru-parunya. Di hadapannya, hanya ada dua pilihan: melarikan diri sekarang, atau menghadapi pria yang terlihat meski tampak tak berdaya, jelas dia masih menyimpan ancaman yang tersembunyi. Tubuh Haruna yang telah rusak parah dan pertempuran sengit yang baru saja terjadi membuatnya ragu. Tapi di dalam dirinya, ada suara kecil yang berbisik bahwa mereka belum benar-benar aman. Direktur proyek itu, meskipun kini tampak terkalahkan, berdiri dengan senyum licik di wajahnya—mengingatkan Satria bahwa permainan ini belum selesai.

 

"Ini belum berakhir," kata direktur itu, suaranya lembut namun tajam, seperti pisau yang mengiris udara. "Virus itu mungkin telah mematikan sebagian besar cyborg kami, tapi ada satu hal yang tak bisa kau hentikan, Satria."

 

Satria menatapnya, alisnya berkerut penuh kebingungan. Tubuhnya gemetar—entah karena kelelahan, ketakutan, atau keduanya. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara parau, nyaris tak keluar dari tenggorokannya.

 

Direktur itu hanya menyeringai lebih lebar, matanya berkilat dalam cahaya redup. Ia melangkah maju, dengan gerakan lambat namun pasti, seperti seekor ular yang mengintai mangsanya. Tangannya terangkat, menunjuk langsung ke arah Satria, membuat udara di sekelilingnya terasa semakin berat. "Kunci Omega," dia melanjutkan, suaranya seolah menekan jiwa Satria. "Bukan hanya perangkat lunak. Itu bagian dari tubuhmu, bagian dari dirimu… itu bukan hanya alat kontrol. Itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Apa kau benar-benar berpikir kau bisa menghapus sesuatu yang sudah tertanam di DNA-mu?"

 

Kata-kata pria itu mengguncang Satria seperti pukulan keras di perut. "Apa maksudmu?" suaranya terdengar serak dan putus asa. "Tapi Dr. Reyfan bilang virus itu akan menghancurkan Kunci Omega..."

 

Direktur itu tertawa, tawa kecil yang dingin dan penuh ejekan. "Ah, Reyfan... Ilmuwan tua yang selalu percaya bahwa dia tahu segalanya. Cerdas, tentu saja, tapi dia tak pernah diberi akses pada kebenaran yang sesungguhnya." Pria itu menatap Satria dengan mata yang dipenuhi kemenangan. "Kunci Omega bukan hanya sekadar perangkat lunak atau chip yang bisa dimatikan. Itu lebih dari sekadar sesuatu yang tertanam di tubuhmu. Itu adalah bagian dari identitasmu. Kau adalah Kunci Omega itu sendiri."

 

Dunia Satria serasa bergoyang, pandangannya kabur sejenak, dan detak jantungnya semakin cepat. "Tidak... Tidak mungkin..." suaranya bergetar, seperti anak kecil yang tersesat di tengah kegelapan. "Aku hanyalah... aku hanya Satria."

 

Haruna, dengan susah payah berdiri meskipun tubuhnya dipenuhi dengan kerusakan, menatap Satria. Ada kehangatan dan kepedulian dalam tatapannya yang dingin seperti biasanya. "Dia berbohong, Satria. Jangan dengarkan kata-katanya. Kau punya kekuatan untuk memilih masa depanmu sendiri."

 

Direktur itu melangkah lebih dekat, bayangannya seakan menelan cahaya di ruangan itu, suaranya berubah lebih dingin, penuh dengan ancaman yang menggantung. "Dengar aku baik-baik, Satria. Kau tidak bisa lari dari apa yang sudah tertanam dalam tubuhmu. Kau bisa mencoba menghancurkan kami, tapi pada akhirnya, takdirmu sudah ditentukan. Kau hanya akan menjadi senjata bagi kami—alat untuk mengendalikan dunia."

 

Satria berdiri di sana, dadanya berdegup dengan sangat kencang, namun matanya kini tak lagi dipenuhi kebingungan. Dia merasakan gelombang emosi—amarah yang mendidih, ketakutan yang menyesakkan, dan ketidakberdayaan yang membelenggu. Tapi di balik semua itu, perlahan muncul sesuatu yang lain, sesuatu yang baru dan kuat.

 

Keberanian.

 

Itu bukan sekadar keberanian untuk melawan, tapi keberanian untuk memilih. Untuk menentukan takdirnya sendiri. Di dalam dirinya, sesuatu berubah. "Aku bukan alatmu," gumamnya, suaranya perlahan menguat. "Aku bukanlah senjatamu. Dan aku akan menghentikanmu, apa pun yang terjadi."

 

Haruna menatap Satria dengan kagum, sebuah senyuman lembut perlahan muncul di wajahnya, meskipun tubuhnya nyaris hancur. "Kau sudah berubah, Satria," ucapnya dengan suara serak namun penuh dengan kebanggaan.

 

Pria itu terlihat terganggu oleh perubahan mendadak dalam diri Satria, sorot matanya menunjukkan ketidaksabaran. "Kau akan menyesalinya."

 

Tanpa peringatan, pria itu menekan sebuah tombol di alat kecil yang ada di tangannya. Getaran keras merambat melalui lantai, dan udara di sekitar mereka terasa semakin panas. Satria merasakan gelombang panas yang luar biasa tiba-tiba memancar dari dalam tubuhnya, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang telah diaktifkan. Teknologi di sekeliling mereka—server, monitor, mesin-mesin besar—semuanya mulai berderak, layar-layar berkedip, dan getaran merambat ke seluruh ruangan.

 

Rasa panik menyeruak di benak Satria. Dia merasa seolah tersedot ke dalam pusaran energi yang semakin kuat, seperti ada kekuatan yang tidak bisa dia kendalikan membanjiri tubuhnya. Namun, di tengah kekacauan itu, suara lembut Haruna terdengar.

 

"Jangan takut," katanya, nada suaranya menenangkan meskipun tubuhnya nyaris tak mampu berdiri tegak. "Aku tahu kau pasti bisa mengendalikan ini. Kau lebih kuat dari yang mereka bayangkan."

 

Satria menutup matanya, berusaha mengendalikan energi yang sedang meluap dalam dirinya. Dalam kegelapan, dia membayangkan dunia yang aman dan tentram—tempat di mana orang-orang hidup bebas dari ancaman teknologi yang dikendalikan oleh segelintir orang tamak. Meskipun Kunci Omega adalah bagian dari dirinya, dia sadar bahwa dia memiliki kekuatan untuk menggunakannya demi sesuatu yang  jauh lebih baik.

 

Dengan tekad yang bulat, Satria membuka matanya, memancarkan keberanian. Dia mengarahkan tangannya ke arah pria itu. "Aku akan menghancurkan semua rencanamu, sekarang."

 

Energi yang luar biasa itu membanjiri tubuhnya, mengalir seperti arus deras, dan tanpa ragu dia melepaskannya. Gelombang kekuatan itu menyerbu ke seluruh sistem di ruangan, merembes melalui mesin-mesin di sekitarnya. Ledakan-ledakan terjadi satu per satu, menciptakan gelombang kejut yang memecahkan kaca dan menghancurkan lantai.

 

Pria itu berteriak, ketakutan menguasai dirinya saat dia mencoba untuk melarikan diri, tetapi tidak ada tempat untuk bersembunyi. Server utama yang megah hancur berkeping-keping, dan dengan kehancurannya, seluruh data organisasi tentang Kunci Omega telah lenyap dalam sekejap, dibawa pergi oleh ledakan yang menghancurkan sekelilingnya.

 

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, ruangan itu kini menjadi sunyi. Hanya tersisa sisa-sisa mesin yang hangus dan suara lembut serpihan logam yang jatuh ke lantai.

 

Satria berdiri di tengah kehancuran itu, napasnya berat dan tubuhnya kelelahan. Haruna, meskipun mengalami kerusakan parah, berjalan menghampirinya dan meletakkan tangannya lembut di pundaknya.

 

"Kita berhasil," kata Haruna pelan, suaranya hampir berbisik.

 

Satria mengangguk, meskipun di dalam hatinya dia tahu bahwa ini barulah awal dari hidupnya yang baru. Dia telah memenangkan pertempuran ini, tetapi konsekuensi dari semua yang telah terjadi padanya akan terus mengikutinya. Namun, untuk pertama kalinya, dia merasakan bahwa dia memiliki kendali atas nasibnya sendiri.

 

Malam itu berlalu begitu cepat. Dr. Reyfan datang menjemput mereka setelah kekacauan itu mereda, membawa Satria dan Haruna ke tempat yang aman jauh dari Jakarta. Berita tentang ledakan misterius di laboratorium bawah tanah menyebar dengan begitu cepat, tetapi tidak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.

 

Beberapa minggu kemudian, Satria kembali ke sekolah. Kehidupan tampaknya kembali normal, setidaknya di permukaan. Namun, dia menyadari bahwa di dalam dirinya ada kekuatan yang tidak bisa begitu saja diabaikan olehnya. Itu adalah Kunci Omega, tetapi kini dia tahu bahwa dia bisa menggunakan kekuatannya tersebut untuk melindungi, bukan untuk menghancurkan.

 

Sementara itu, Haruna tetap berada di samping Satria, meskipun tubuhnya membutuhkan perbaikan besar-besaran. Mereka berdua tahu bahwa masih ada tantangan yang harus dihadapi ke depan. Namun, untuk saat ini, mereka bisa menikmati ketenangan sejenak.

 

Satria menatap ke luar jendela kelasnya, memikirkan segala hal yang kini telah berubah dalam hidupnya. Meskipun masa depannya tampak tidak pasti, dia merasa lebih kuat daripada sebelumnya.

 

"Aku bukanlah alat mereka," bisiknya pada dirinya sendiri, senyum kecil muncul di wajahnya. "Aku akan menulis nasibku sendiri."

 

Dengan tekad yang baru, Satria Wibowo, seorang siswa SMA biasa, kini menjadi pahlawan yang tak terduga. Dia melangkah menuju masa depan yang dipenuhi kemungkinan tanpa batas, dengan Haruna di sisinya, siap menghadapi apa pun yang datang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)