Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,289
Naraya
Religi

Manusia mungkin akan terjebak di lingkaran setan membawanya menuju kesesatan. Mencoba berlari memutuskan tali namun semua itu sia-sia membuatnya terjebak di liang yang paling dalam dan apakah meminta pertolongan itu masih berlaku.


Kisah seorang wanita spiritual yang di tugaskan untuk ke arah barat yang dimana dalam tanggal lahirnya barat ada petaka baginya dan ia pun bertemu dengan pria yang berusaha untuk memutuskan sesuatu yang sangat berbahaya dan seorang ustadz yang ia kenal. Apakah mereka berhasil?


༼⁠ ⁠つ⁠ ⁠◕⁠‿⁠◕⁠ ⁠༽⁠つ༼⁠ ⁠つ⁠ ⁠◕⁠‿⁠◕⁠ ⁠༽⁠つ༼⁠ ⁠つ⁠ ⁠◕⁠‿⁠◕⁠ ⁠༽⁠つ


Langkah kaki semakin besar membuat sang pemilik itu terjatuh, menatap kakinya yang berdarah dan suara kecil pun datang membuatnya ketakutan seketika. Ia pun menjerit sehingga sang pria berambut coklat pekat berlari untuk meminta pertolongan ke warga dan warga pun datang sambil membawa pria tua baya yang sudah tidak bernyawa dengan mata melotot.


Daun kering jatuh dari pohonnya di iringi dengan angin berhembus kecil membawanya menerpa seorang wanita berpakaian dress hitam dengan kerudung hitamnya yang sedang berjalan dan ia pun menatap sekeliling. Menghembuskan nafasnya lalu menuju pohon yang dimana ada seorang arwah perempuan muda yang menunduk dan arwah itu mengapa ke arah wanita itu.


"Sebagai jin pendamping kau seharusnya pergi dari sini, berkeliaran lah sesukamu," ucapku dan arwah itu menutup ke arah tanga yang ku injak.


"Kau ... Baiklah, aku akan telepon polisi dan berkeliaran lah sesukamu," lanjutku dan ia mengangguk.


Menelpon polisi langsung, tidak membutuhkan waktu yang lama polisi datang dengan ambulans dan tim dokter forensik. Aku menuju ke arah tanah yang ku injak lalu pergi dan mereka pun mulai mengali. Langkahku terhenti ketika polisi wanita itu memanggilku.


"Nak, darimana kau tau ada jasad di sana?" tanyanya dan aku tersenyum tanpa menatapnya.


"Tentu .... " aku memiringkan kepalaku berputar hingga daguku menyentuh pundakku sambil tersenyum lalu berkata, "Dari arwahnya."


Polisi wanita itu tertegun lalu aku berlari kecil sambil ke kanan, ke kiri dan berputar. Aku pun sampai dimana waktu sholat ashar berkumandang dan mengambil wudhu. Sholat berjamaah lalu mengaji, setelahnya aku langsung menuju pasar sore dan menikmati cemilan di sana. Aku yang sedang duduk pun di hampiri oleh anak kecil yang mengedipkan matanya berulang-ulang kali dan aku tersenyum.


"Kenapa, seram, ya?" tanya dan anak kecil itu geleng-geleng kepala.


"Kakak, di belakang kakak siapa? Kenapa banyak sekali dan apakah aku boleh berkenalan juga?" tanyanya dan aku tersenyum kecil.


"Nak, tidak baik sore-sore bermain di tempat ini, apalagi nanti kau pulang lewat pohon besar sana dan saran kakak jangan lewat sana," ucapku dengan memberikan gelang tasbih kepadanya dan dia mengangguk.


Ia pun berlari ke arah temannya yang tertawa karena ia terjatuh lalu aku terdiam menatap sesosok putih yang ada di belakanganya dan kami saling menatap satu sama lain. Sesosok putih itu menghampiriku, namun aku pergi dan ia pun tepat di wajahku. Aku menatapnya dingin, tapi sesosok wanita muda itu seperti ingin mengatakan sesuatu lalu aku menatapnya dan bertanya, "Apa yang kau inginkan?"


Ia pun menunjuk ke arah pohon tua yang dimana anak kecil itu hendak ke sana karena di paksa oleh temanya dan aku menghampiri mereka sebelum batang pohon itu menimpa mereka bertiga.


Bragh!


Aku pun menatap ke atas sebelum sesosok jahat itu pergi dan menatap ketiga anak yang terdiam.


"Kalian baik-baik saja, 'kan?" tanyaku dan mereka mengangguk.


"Sudah ku katakan jangan ke arah sini! sudah di kasih tau tidak percaya!" kesal anak kecil itu dan mereka berdua meminta maap.


"Sudah jangan bertengkar, yang sudah biarkan, ingat jika jalan ke sini harus berhati-hati dan ingat Allah," kataku dan mereka bertiga mengangguk.


"Kakak, apakah kakak peramal?" tanya anak kecil itu dan mereka bertiga berbinar-binar matanya.


"Bukan, tapi aku bisa melihat hantu dan arwah jin ibumu sangat khawatir padamu. Jadi, jangan membuatnya khawatir, ya ... Kezi," ucapku sambil menyentil hidungnya dan dia mengangguk sambil menahan air matanya.


"Kak, bisa lihat hantu?" tanya mereka berdua dan aku mengangguk.


"Wah .... Hebat!!" pekik mereka berdua dan anak kecil itu tersenyum kepada temannya.


"Aku juga bisa lihat, tapi aku tidak melihat ibu," ujarnya yang membuat temannya girang.


"Wah, Kezi hebat juga!! Tapi hantu kan seram sekali dan kau menyembunyikan dari kami?" kesal anak laki-laki kecil yang berbadan kecil dan menaruh kedua tangannya di pinggang.


Aku mencoba tidak tertawa akan tingkahnya dan Kezi meminta maap. Ia pun memberi tau kenapa tidak memberi tau kepada mereka, karena tentu saja takut di anggap gila oleh mereka dan bahkan orang lain juga beranggap seperti itu. Mereka pun memukul kecil Kezi, aku tersenyum karena mereka menerimanya dan aku pun izin pamit. Mereka langsung berlari sambil bertanya apakah ada hantu di sekitar sini dan mereka sedang bermain mencari hantu. Aku tertawa lalu pergi ke arah barat yang dimana di sana ada kampung terpencil dari kota dan aku merasa rindu kepada desa kecilku.


"Aura ini ... Wah, pantas saja guru menyuruhku ke sini," tawa kecilku lalu melihat rumah kepala desa dan berbicara dengan ramah.


"Nak, naha anjeun ka dieu?" tanya kepala desa.


"Hapunten mbah, abdi kadieu bade ngawartosan upami aya di dieu ...." ucapanku berhenti lalu kami keluar dari rumah kepala desa.


Menatap para warga ketakutan lalu aku menatap seorang ibu yang menangis meminta tolong kepada kepala desa dan kami pun menuju rumahnya. Sampai di sana aku menatap pria tua yang tidak bernyawa dengan mata yang melotot dan kepala desa pun memanggil sepuh desa. Namun, sepuh desa yang datang terdiam lalu menatap ustadz yang datang bersama beberapa anak yang mengaji dan aku menatap sekilas ustadz itu.


"Malik, kau bisa bukan?" tanya sepuh desa dan Malik menatap rumah itu.


"Jika Allah berkehendak maka akan berkehendak," katanya dan pria berlari menangis melihat ayahnya yang telah meninggal.


"Mereka di santet oleh seseorang dan santetnya sangat berbahaya. Saya sebagai sepuh tidak bisa melepaskan santet itu dan dosa besar apa yang dilakukan oleh kalian," tanya sepuh desa dan ibu bersama anak geleng-geleng kepala.


"Apakah kalian bodoh!" ketus ku kepada mereka berdua dan seluruh warga menatapku.


"Apakah kau bisa membantu kami?" tanya ibu itu dan aku memiringkan kepalaku.


"Dia akan membunuh kalian bersama keturunan kalian, dosa yang ibu buatlah petakanya." Sang anak menatap ibunya yang menundukkan kepala lalu ibunya tertawa sambil berlari mencekik leherku.


"KENAPA!!! AKU HANYA IRI!!! IRI HAHAHA!!! DIA MEMPUNYAI SEGALANYA SEDANGAN AKU TIDAK!!! DIA PANTAS MATI!! MATI!!!" jeritnya sambil mencekik ku.


"Kau juga pantas mati!" ketus ku dengan dingin dan dia pun melepaskan cekikannya.


Ia langsung terkapar di tanah, ustadz bersama sepuh menatapku dan aku menatap ketua desa untuk membawanya ke masjid. Kami pun ke masjid meskipun ibu itu bukan Islam, meminta pertolongan kepada Allah adalah hal yang wajar dan ustadz pun mengaji untuk meminta pertolongan.


"Nak, namamu siapa?" tanya Sepuh dengan lembut.


"Merabella, Mbah," jawabku.


"Darimana kau mempunyai aura itu?" tanyanya lagi dan aku tersenyum.


"Mempelajari ilmu spiritual dengan guruku untuk hal pribadi," jawabku dan mengambil air untuk di minum.


"Aura mu sangat tinggi, kau bisa mematahkan santet itu dan saya minta tolong untuk membantunya." Aku terdiam saat pria itu memberiku uang dan aku tertawa.


"Apakah dengan uang bisa menghilangkannya?" tanyaku kepada pria itu dan doa pun selesai.


"Nak, kami mohon bantu mereka, sudah ada dua orang yang meninggal seharian ini dan kami jadi ketakutan," pinta sepuh desa itu.


"Ibumu akan mati sekarang!" tegasku lalu menghampiri ibunya dan menyentuh dahinya.


"Maap, dia sudah meninggal satu menit yang lalu," ucapku dan pria itu menangis keras sambil memeluk ibunya.


"Kau harus meminta maap kepada orang yang telah di sakiti oleh ibumu dan aku akan membantumu. Tapi, aku ingin ustadz itu juga ikut untuk menjaga pria ini," lanjutku dan pria itu menatapku tajam.


"Hilangkan rasa amarahmu, kau juga sudah meminta bantuan kepada dukun, 'kan! Jadinya kau dalam keadaan yang sangat bahaya lagi!!" kesalku kepadanya dan dia terdiam.


"Kau tau siapa yang di sakiti ibumu! setelah adikmu meninggal! Kau merasa ada yang janggal pun pergi ke dukun dan kau terkejut karena keluargamu di santet. Kau meminta bantuan pada dukun untuk melindungi keluargamu selama dua tahun dan sekarang sudah dua tahun kau juga menumbalkan pamanmu!!" ucapanku terhenti lalu melanjutkan perkataanku sambil berteriak, "KAU SUDAH TERJEBAK DI LINGKARAN SETAN!!!"


Tentunya bukan hanya ustadz, sepuh dan ketua desa yang terkejut tapi semua warga juga. Istri dari pamannya terjatuh lemas setelah tau kematian suami sesungguhnya, tentunya mereka belum di karunia anak dan pria itu menunduk.


"Fatih! Apa yang kau lakukan ini dosa besar!" ujar istri dari alm pamannya.


"Maap, bibi. Aku tidak tau harus bagaimana waktu itu dan tanpa pikir panjang aku melakukan hal itu." Menatapnya yang masih menunduk lalu air matanya jatuh dan memeluk sang ibu.


Ucapannya masih sama meminta maap lalu kedua orang tuanya di mandiin, di kafan dan di sholat kan. Para tetangga berjaga di malam hari di rumahnya lalu aku menuju setiap sudut rumah bersama sepuh desa dan ia pun mengambil kayu untuk mengali tanah. Kami menemukan hal yang sangat menyeramkan di sana dan aku pun menghampiri Fatih.


"Ada tujuh benda di kubur di halaman rumahmu, ambil lalu bakar dan aku harap kau menjadi orang Islam," ucapku lalu duduk di tangga rumahnya.


Ia pun menghampiri sepuh desa yang mengali bersama ketua desa dan beberapa anak mengaji yang penasaran. Mereka merasa ketakutan saat melihat sesuatu yang mengerikan dan Fatih menatap sang ketua desa yang membakarnya. Ia sempat bingung kepada warga ini, meskipun sudah membuat resah desa ini tapi para warga masih baik padanya dan kemungkinan mereka juga meminta bantuan dari dukun. Sepuh desa bersama ketua desa pun menghampiriku setelah membakar benda aneh dan aku bergadang untuk menjaga mereka. Fatih masih memeluk kedua orangtuanya lalu aku menatap sekilas ustadz yang duduk di samping sepuh desa.


"Namamu Merabella, kenapa kau di desa ini dan kebetulan dengan kejadian ini?" tanya ustadz itu dan aku menatap bintang yang bersinar terang.


"Membantu mereka yang sesat dan menyelamatkan mereka," ucapku dan suara keras terdengar.


"KAU!!! KAU TIDAK TAU RASANYA KEHILANGAN SESEORANG!!! KAU HANYA DIAM SETELAH TAU IBUKU AKAN MATI!!! KAU PEREMPUAN BIADAB!!!" teriak Fatih kepadaku dan di tenangkan para warga.


Aku terdiam lalu tersenyum licik dan menatap sekilas kepadanya. Berdiri menatap bintang yang bersinar terang dan sepuh desa hanya terdiam.


"Kau kehilangan mereka karena ulah mereka sendiri, sedangkan aku kehilangan karena sudah takdir, bukan hanya satu atau dua orang tapi banyak asal kau tau dan aku sama sekali tidak bisa menyelamatkan mereka saat di kematian mereka di depan mataku. Ingat dengan sekolah yang terbakar beberapa tahun yang lalu dan hanya satu yang hidup yaitu ... Aku." Fatih terdiam bahkan warga juga terdiam dan ustadz itu menangis.


"Kau ... Kau ... Bella, teman adikku?" tanyanya sambil menghapus air matanya dan aku mengangguk.


"Maap, tidak bisa menyelamatkan Selly dan yang lain juga, Kak Muhammad Malik Seto," ungkapku yang masih menatap bintang.


Fatih pun memberiku minum lalu aku meminumnya dan menatap sekilas Kak Seto yang geleng-geleng kepala dan kami hanya bisa menatap bintang yang bersinar terang. Hingga jam sepertiga malam aku pun sholat di rumahnya Fatih dan membaca Alquran di depan kedua orang tua Fatih. Setiap ayat demi ayat ku baca hingga terdengar suara jatuh, menatap Kak Seto yang baru selesai sholat tahajud lalu sepuh desa bersama ketua desa terkejut melihat mahluk mengerikan di depan rumah Fatih dan aku meneruskan mengaji. Sepuh desa membaca ayat suci Al-Quran hingga ia terjatuh karena angin berhembus kencang dan aku pun membaca ayat kursi bersama surat Al-Ikhlas, Al-falaq dan An-Naas. Mahluk itu menghilang seketika dan aku menatap Kak Seto yang menatapku.


"Fatih, seringlah untuk membaca apa yang aku baca dan seringlah membaca Alquran. Minta pada Kak Seto untuk mengajarimu mengaji." Fatih mengangguk antusias setelah ia masuk ke dalam Islam dan pagi pun tiba.


Mayat kedua orangtua Fatih di kubur dan kami pun masih di area kuburan. Aku mantap kuburan yang dimana hantunya bersembunyi dan menatap Fatih.


"Pakai tasbihku," perintahku dan Fatih hanya bisa mengangguk.


"Wajar jika badanmu panas karena tasbihku, soalnya ada yang menempel padamu dan ayo pulang," ucapku dan kami pun pulang.


Kami pun makan bersama lalu berencana untuk ke rumah yang dimana Fatih akan meminta maap kepada sepupu sang korban dari ibunya dan 3 jam dalam perjalanan pun sampai di rumahnya.


"Tidak ada orang," ujarku dan mereka berdua menatapku.


"Oh, rumah ini sudah tidak berpenghuni, Nak," ucap seseorang yang datang dan aku menatap rumahnya yang beraura negatif.


"Tau kak Risma, Bu?" tanya Fatih.


"Ouh, mereka pindah sudah tiga tahun yang lalu. Kenapa mencarinya?" tanya orang itu.


"Keperluan pribadi, apakah ibu tau dimana rumah barunya?" tanya Fatih dan ibu itu geleng-geleng kepala.


"Terimakasih Bu atas informasinya dan kami pamit pergi. Assalamualaikum," ujarku dan kami pun pergi setelah ibu itu menjawab.


"Rumah itu auranya negatif," ungkap Kak Seto dan Fatih menatapnya.


"Berarti dari sana mereka melakukan ritualnya?" tanya Fatih dan kami berdua mengangguk.


"Apakah aku bisa lari dari santet ini dan dari iblis yang membantuku?" tanya Fatih dan aku tertawa kecil.


"Kenapa kau tertawa?" kesal Fatih.


"Dia sudah membebaskan mu dari iblis itu tadi semalam dan iblis itu akan memakan sang dukun. Bisa kemungkinan dukun antara selamat atau tidak tergantung ilmunya dan bisa juga dia mencari tumbal lagi," ucap Kak Seto dan Fatih berterimakasih kepadaku.


"Belikan aku itu," ujarku yang menuju ke arah bakso dan kami pun makan siang hari.


Kami pun makan dengan nyaman, tapi aku menatap cafe sebelah yang sangat banyak pembantu ghaib yang sedang memberi air liur di makanan para pembeli dan aku menatap sekilas Kak Seto yang geleng-geleng kepala.


"Kak Seto, ada apa?" tanya Fatih yang heran dan Kak Seto pun berbisik yang membuat Fatih menatap cafe sebelah dengan ekspresi jijiknya.


"Ikh, untung makan di sini," sahut Fatih.


"Tentu kami sudah memilih, Fatih." Fatih mengangguk atas pembicaraanku dan kami pun mencari penginapan.


Saat di depan kamar masing-masing kami saling menatap satu sama lain dan aku pun masuk duluan. Kak Seto bersama Fatih sekamar dan aku sendirian di kamar. Aku menghembuskan nafasku saat merasakan aura jin penasaran di samping kamarku dan membuka balkon. Menatap balkon samping yang dimana ada seorang gadis yang termenung dan aku pun membaling batu kecil yang ku bawa ke arahnya.


"Kau butuh bantuan?" tanyaku dan gadis itu pun hendak menghampiriku pun terhenti.


"Kau terkurung di sana?" tanyaku dan ia mengangguk.


"Apakah ada tubuhmu di kamar itu?" tanyaku lagi dan dia geleng-geleng kepala.


"Kenapa kau di sana?" tanyaku lagi dan dia menunjuk ke arah ke bawah.


"Wah, ini tidak bisa di biarkan! Aku akan membantumu!!" tegasku lalu menelpon Kak Seto dan kami pun turun dari hotel.


"Aku tidak merasakan auranya," sahut Kak Seto.


"Apakah ada tumbal di sini?" tanya Fatih dan aku geleng-geleng kepala.


"Ada pembunuh di dalam hotel, pesugihan dan iblis di sini," ujarku sambil melangkah terlebih dahulu dan mataku menatap sesosok tubuh besar hitam di hadapanku.


Fatih terdiam menatap mahluk itu lalu Kak Seto membaca ayat kursi dan aku mengabaikan mahluk itu. Hingga dimana aku menemukan banyak gadis yang disekap di belakang gedung hotel dan aku membantu melepaskan ikatannya. Bahkan aku menemukan jasad gadis lain bersama jasad gadis yang ku temui di balkon dan gadis itu pun menghampiriku.


"Terimakasih, tolong bantu mereka juga," ucapnya dan aku mengangguk.


Ia pun pergi entah kemana lalu aku terkejut menatap Kak Seto pingsan dengan Fatih yang melawan seorang pria bertubuh besar dan menatap gadis lain untuk melepaskan ikatan para korban dan berlari ke arah Fatih untuk meringkus pelaku itu. Namun aku kewalahan saat mahluk hutan bertubuh besar mengejutkan pelaku, mataku membulat saat mahluk itu mengambil pelaku dan dengan sigap aku menarik tangannya.


"TOLONG AKU!!!" teriaknya dan aku mengangguk.


"FATIH!!! SADARKAN KAK SETO!!!" teriakku dan para gadis bergetar ketakutan.


"Ba- bagaimana ini?" ucap gadis lain yang menelan ludahnya.


Aku pun membaca ayat kursi dengan lantang sehingga aku berhasil menarik pelaku dan seketika mahluk lain berdatangan membuat para gadis ketakutan.  Mahluk itu pun memakan mahluk lain membuat kami menutup telinga kami karena teriakan dari para mahluk dan Kak Seto pun sadar setelah beberapa kali Fatih membangunkannya. Kak Seto langsung membaca ayat kursi, mahluk itu mengamuk sehingga kami terlempar dan aku pun terkejut menatap sang tangan pelaku terpotong. Aku pun meminta mantel dari gadis lain, ia pun memberikannya dan aku memberhentikan pendarahannya. Mataku menajam dengan kakinya dan lehernya yang terdapat bekas cekikan. Langsung mengambil tasbih di leherku lalu menaruh di lehernya dan berlari ke arah mahluk itu.


"Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim!!” LENYAP LAH KAU, WAHAI MAHLUK TERKUTUK!!!" teriakku di depan mahluk itu dan seketika menghilang begitu saja.


Menatap sang pelaku yang meraup kasar udara dan menatap para gadis yang tidak menatapnya. Menghampirinya, tanganku mengambil tasbihku lalu memasangkan di leherku dan menatap tangannya yang kembali seperti semula. Para gadis langsung berlari ke arah kami, pelaku pun pergi namun ia terhenti yang membuat kami tersenyum.


"Maapkan aku, aku akan ke polisi dan melaporkan apa yang ku lakukan."


Ia pun pergi sambil menahan air matanya lalu menatap gelang tasbih yang ada di kanan kanannya dan ia tersenyum lebar. Para gadis pun pulang ke rumahnya, mereka kembali ke keluarganya dan ia pun di penjara seumur hidup. Dalam wawancaranya ia menyebutkan jika ia melihat sesuatu yang mengubah hidupnya dan kami menontonnya di depan cafe. Kami menatap senja yang membuat kami terdiam lalu Fatih melirik snack Kak Seto dan ia pun mengambilnya.


"Hey!! KEMBALIKAN SNACK KU!!!" teriak Kak Seto yang mengejar Fatih yang tertawa kecil dan aku menatap Fatih yang masih di ikuti oleh sesosok itu.


"Belum menyerah juga ternyata," gumamku lalu sosok itu pergi dan aku menatap aura hitam di tubuhnya Fatih.


Aku terdiam memikirkan cara memutuskan santetnya, namun hanya satu cara yaitu berserah kepada sang pencipta dan berusaha mengubah Fatih menjadi lebih baik sebelum kematiannya menghampiri. Penasaran apakah ada keturunan lain di keluarga Fatih dan aku pun menghampirinya.


"Fatih, apakah ada keturunan lain di keluargamu?" tanyaku dan mata Fatih langsung terkejut.


"ADA!!! LEBIH BAIK KITA KESANA!!!" teriak Fatih yang panik dan kami pun mengikutinya.


Ia berlari terus berlari, langit menjelang magrib membuatku hendak sholat namun kami sampai di rumah seseorang dan aku langsung mendobrak pintu setelah merasakan aura negatif. Fatih mencari seseorang lalu aku menarik seorang wanita yang terdiam kaku dan aku menutup mata. Fatih memeluk wanita itu hingga seorang pria datang dengan wajah terkejutnya. Kak Seto menjelaskan sesuatu yang membuatnya terdiam, aku membuka mataku lalu membaca al- kafirun, Al- ikhlas, Al- Falaq, An- naas dan Ayat kursi. Kak Seto mengeluarkan darah di mulutnya dan aura negatif itu pun pergi.


"Kak Seto, baik-baik saja?" tanyaku dan di mengangguk.


"Fatih, jelaskan pada paman!" tegasnya dan Fatih pun membenarkan ucapan Kak Seto.


"Kak Desi, bangun," ucap Fatih yang menangis dan Kak Desi pun terbangun.


Aku menatap Kak Desi yang langsung memeluk sang suami sambil menangis mengingat melihat sesosok mengerikan dan aku mengambil gelang tasbih di saku baju dress ku.


"Pakai ini, dekatkan kalian kepada sang pencipta, berserah diri kepadanya, jika mati juga kalian dalam keadaan mengingat Allah itu lebih baik daripada tidak." Mereka berdua mengangguk lalu memeluk Fatih dan aku menatap foto keluarga mereka.


"Bolehkan kami sholat di sini?" tanyaku.


Kami pun sholat berjamaah lalu mengaji bersama lalu makan malam bersama. Kami pun menginap di rumah bibinya Fatih, ternyata ini adalah keluarga terakhir Fatih lalu aku berharap keluarga mereka terlepas dari santet dan setiap hari aku mendoakan kebahagiannya. Karena ku tau, dia pantas mendapatkan kesempatan dan itu jika Allah berkehendak dan aku hanya bisa berusaha mendoakannya saja. Di sepertiga malam aku pun langsung sholat tahajud lalu mengaji dan adzan subuh berkumandang. Menatap mereka yang ikut sholat lalu kami mandi dan makan bersama sambil berbincang rendah. Namun, baru saja kami hendak duduk di ruang tamu, guci milik bibinya Fatih terjatuh membuat kami saling menatap satu sama lain lalu lampu yang menyala lalu padam dan Kak Seto menyuruhku untuk membawa Fatih keluar rumah.


"Sepertinya dia mengikuti kita, Fatih," ucapku dan Fatih hanya terdiam dengan tangan yang bergetar.


"A- apakah aku akan mati?" gugupnya dan aku tersenyum.


"Semua orang akan mati, Fatih." Fatih menatapku seakan ia khawatir dan suara teriakan terdengar.


"Kita tunggu di sini," kataku dan Fatih semakin ketakutan.


"Kau tidak perlu takut, jika kau tidak salah," ujarku.


Aku hendak berbicara teralihkan kepada Kak Seto yang kembali dengan acak-acakan lalu kami melihat bibinya Fatih yang terkapar di lantai depan pintu dan Fatih langsung menghampiri bibinya. Kak Seto menatap Fatih dengan tajam lalu menatapku.


"Sebenarnya iblis itu sudah lama mengincar Fatih hanya saja di halangi oleh kedua orang tuanya," ungkap Kak Seto dan aku menatap Fatih yang berhasil membangunkan bibinya.


"Maap, apa yang terjadi?" tanya bibi Fatih.


"Tidak ada bi, lebih baik kita masuk saja dan Fatih kau bicaralah dengan Kak Seto," ucapku dan aku pun mengandeng bibi Fatih untuk duduk di sofa.


Fatih menelan ludah saat ia menatap Kak Seto yang menatapnya tajam lalu ia pun menundukkan kepalanya dan Kak Seto membuang nafas kasarnya sambil berkata, "Kau sudah di jadikan mangsa pertama, namun kakak tertua melindungimu dengan meminta bantuan iblis lain dan orang tuamu merasa bersalah pun melakukan juga sama halnya dengan kakak tertua."


"Kita harus mencari orang itu dan bibi apakah kau kenal dengan orang ini," ujarku dan Fatih memberikan fotonya.


Bibinya terdiam menatap foto itu, kami pun hanya diam saja dan bibi Fatih geleng-geleng kepala. Tatapanku dingin saat melihat asap hitam di belakanganya lalu ia pun menjerit lagi dan Kak Seto dengan cepat ruqyah bibi Fatih.


"SINI KAU FATIH!!!" teriak suara berat bibi Fatih.


"Kalian berdua akan mati!!" jeritnya.


"Kau yang akan musnah wahai mahluk terkutuk!" tekan Kak Seto.


"HAHAHAHA!!! apakah kau bisa mengalahkan santet ini, Tidak!!! Tidak ada yang bisa!" jeritnya lagi dan aku menarik kerah baju Kak Seto.


Plak!


Dugh!


"Kau bisa membunuh Fatih, jika kami tidak bisa menemukan pengirimnya selama seminggu!" tegasku dan mereka berdua terkejut.


"Tidak! Tiga hari kau harus menemukannya, jika kalian telat dan bibi ini akan menjadi korbannya," ujar suara beratnya dan bibi Fatih pun terkapar untuk kedua kalinya.


"Apa dia meremehkan agamaku?" ucapku tanpa ekspresi dan menatap mereka yang membangunkan bibi Fatih.


"Bawa ke kamarnya dan kasih minyak kayu putih di bagian hidung." Fatih langsung mengendong sang bibinya dan kami pun menuju kamar bibi Fatih.


Saat di sana aku masih merasa jika ia memantau kami dan aku pun memberikan gelang tasbih kepada bibi. Menulis ayat kursi di buku hingga menempelkan di pintu depan dan di atas jendela.


"Mungkin kita harus pergi dan pamanmu dimana?" tanyaku.


"Dia selalu bekerja, jadi dia jarang pulang," jawabku.


"Telpon pamanmu sekarang!" tegasku dan Fatih pun menelponnya.


"Aku tidak bekerja, Fatih kenapa ini bisa terjadi?" sahut Paman Fatih yang ada di depan pintu kamar bibi.


"Aku melihat semuanya dan ternyata kau dalangnya?" kesal Paman.


"Apakah paman kenal siapa ini?" tanyaku dan Fatih memberikan foto.


"Dia ... Bebi, ada apa emangnya?" tanya paman dan kami bertiga terdiam.


"Kenapa bibi tidak mengenalnya?" heran Fatih dan Paman mengerutkan keningnya.


"Dia kenal kok, dia itu teman baik bibimu, tapi naas sekeluarga nya bunuh diri," ucap Paman dan kami terdiam.


"Ada yang selamat, bibi kau sudah siuman, 'kan?" tanyaku dan bibi Fatih pun membukakan matanya.


"Siapa yang selamat?" tanya bibi.


"Tidak tau, yang pasti ada yang selamat dan sedang mengutuk keluarga kalian! Bibi dan ibu Fatih membunuh seluruh keluarganya. Ayah Fatih tau tapi dia tidak ingin istrinya di penjara dan berpura-pura tidak mengetahuinya." Paman terdiam akan perkataan dan menatap sang istrinya.


"Kau sangat kejam, kenapa kau membunuh mereka! Apa salah mereka!!" kesal Paman dan bibi hanya menunduk.


"Lebih baik paman beri tau dimana alamat rumahnya," sahutku dan paman pun menuliskan alamatnya.


"Kau tidak bisa kesana! Kita akan mati di sini bersama! HAHAHAHA!!!" ucap bibi yang tersenyum lebar dan aku tertawa kecil dengan tingkahnya.


"Kau yang akan mati sendirian ... Bibi," sahutku dengan tersenyum kecil.


Bibi langsung menarik sang suaminya lalu menodongkan pisau di lehernya dan kami menatap satu sama lain. Kak Seto hendak membaca ayat kursi pun terhenti ketika bibi memuntahkan cairan merah dari mulutnya dan rambut panjang pun keluar dari mulutnya. Paman langsung menghampiri kami dengan tergesa-gesa lalu aku menatapnya dan menyuruh mereka keluar rumah.


"Kau ... Jangan merusak balas dendamku dan Risma bukanlah dalangnya!" ucapnya yang memasuki tubuh bibi Fatih.


"Ada nyawa yang tidak bersalah, sudah ku katakan kau bisa membunuh Fatih jika kami gagal menemukan dalang sesungguhnya dalam tiga hari terlalu dekat beri kami seminggu," ucapku.


"TIGA HARI!!!" jeritnya lalu tertawa dan aku mengangguk sambil menahan paman yang ketakutan.


"Maap, aku mengunakan dirimu, Fatih," kataku tanpa menatapnya, Fatih hanya mengangguk dan bibi Fatih pun pingsan di pelukan sang suaminya.


"Tidak apa-apa, ibuku dalangnya dan sebagai anak akan mengungkapkan hal ini. Mau tidak mau aku harus menerima takdirku sendiri," ucap Fatih dan Kak Seto menepuk pundaknya.


"Jangan takut mati, lebih baik mati dalam mengingat Allah dan jika berkenan mari masuk Islam," ujar Kak Seto dan Fatih mengangguk.


"Paman jangan khawatir, kami akan melindungi paman dan bibi. Kami akan pergi dulu mencari dalangnya dan doakan kami," ucapku dan kami pun pergi.


POV Fatih.


Hidupku sangat tidak bermakna, kesesatan keluargaku, dosa besar keluargaku hingga menimbulkan masalah sangat besar dan urungnya aku bertemu dengan mereka berdua yang membantuku secara percuma. Terkadang aku berpikir kenapa mereka menolongku, hanya ada satu hal entah itu benar atau tidak jika mereka ingin aku pantas hidup untuk berjalan di jalan yang benar seakan kata itu terlintas dalam benakku. Mereka sangat kuat dalam imannya dan apakah mereka pernah goyah dalam imannya. Aku yang sudah masuk Islam pun akan menguatkan diriku, mencoba memahami Islam dari mereka. Mereka menerimaku apa adanya, mempunyai teman seperti mereka sepertinya sangat menyenangkan dan jalan yang ku jalani sekarang sangat menyenangkan meskipun sangat menakutkan. Tapi, aku bersyukur bisa bertemu dengan mereka, bersyukur mereka datang ke dalam lingkunganku dan aku akan berusaha. Kami pun mencari dalang utama dari santet ini.


POV Fatih End.


Kami mencari alamat yang sesuai, namun kami hanya melihat rumah yang kosong dengan aura yang sangat negatif dan mampu membuatku terdiam.


"Jika bukan Kak Risma, berarti ada dua yang hidup?" gumamku dan Fatih menatapku.


"Yang aku tau hanya Kak Risma yang hidup yang lain aku tidak tau, tapi orang di kubur memang ada 4 orang dan keluarga Kak Risma hanya ada 5 orang." Aku terdiam lalu menatap rumah itu dan kami pun mencari hotel untuk menginap.


Kami yang telah sampai pun masuk ke kamar inap masing-masing dan aku menatap cermin. Pikiranku melayang-layang, memecahkan teka teki di keluarga Fatih membuatku tidak tidur sama sekali dan aku menatap jendela yang terbuka. Menghampirinya lalu angin berhembus dengan kencang membuatku terpaku dengan apa yang ku lihat dan ia pun pergi dengan kertas yang terbang menghampiriku. Mengambil kertas itu lalu membacanya dengan wajahku yang datar lalu menutup jendela dan menatap cermin yang dimana para sahabatku datang.


"Bella, kau berurusan dengan yang berbahaya, lebih baik kau pergi sebelum terjadi sesuatu," ucap Sella.


"Tidak, aku sudah bertekad dan lihat siapa yang akan kalah nanti. Allah tidak akan tinggal diam saat hambanya dalam kesulitan dan pasti ada jalan untuk melewatinya," sahutku dan mereka berenam hanya mengangguk. Aku pun mendengar teriakan Fatih yang membuatku langsung keluar dan mengetuk pintu mereka. Wajahku sangat panik saat tidak ada jawaban sama sekali lalu menutup mata dan membaca ayat kursi. Pintu tiba-tiba saja terbuka membuatku masuk lalu menatap Fatih yang melayang dengan mencekik lehernya sendiri sedangkan Kak Seto pingsan dekat tembok dan aku berlari ke arahnya sambil membaca ayat kursi.


Bragh!


"Ini baru satu hari! Ada dua hari lagi, lalu kenapa kau menganggu kami!!" kesalku dan Kak Seto terbangun.


"APAKAH KAU KIRA ITU AKAN SANGAT MUDAH, HAHAHAHA!!!" teriaknya tanpa wujud dan Fatih pun terbangun saat Kak Seto menepuk pundaknya.


"Fatih, kau akan mati, MATI!!!!" teriaknya dan Kak Seto mencoba melindungi Fatih.


"JANGAN KAU SENTUH MEREKA!!!" teriakku menghampiri mereka namun aku terhempas dan menabrak tembok dengan keras.


Kepalaku mengeluarkan darah, mencoba bangkit dengan perlahan-lahan dan Kak Seto kewalahan dengan iblis itu. Ia mengeluarkan darah dari mulutnya, Fatih pun menepuk pundak Kak Seto dan aku membaca ayat kursi sambil menghampiri mereka dengan perlahan-lahan. Iblis itu langsung hilang membuat Kak Seto terjatuh dengan Fatih yang menangis dan aku berada di hadapan mereka.


"Ayo kita ke rumah pamanmu, Fatih," ucapku dan mereka menatapku.


"Ikuti saja perintahku," lanjutku dan kami pun pergi saat pagi tiba.


Pagi pun tiba, kami langsung pergi dan sebelum itu kami sudah sholat meminta perlindungan. Kami pun sampai di rumah bibinya Fatih yang dimana mereka berdua sedang berbincang lalu aku menatap sekeliling dan menghampiri Paman Fatih.

Paman Fatih awalnya heran dengan kedatangan kami, namun ia pun tersenyum lebar dan aku langsung menarik bibi Fatih.


"Dari awal aku sudah tau siapa dalangnya, hanya saja aku ingin tau di balik santet ini dan dialah pamanmu sendiri, Fatih." Mereka terkejut dan paman Fatih tertawa keras.


"Bibi kehilangan anak, 'kan. Paman menumbalkan itu dengan anak bibi untuk melancarkan aksi pembalasan itu dan Kak Risma adalah anak dari paman sendiri." Bibi terdiam dengan tangan yang bergetar lalu menatap sang suami.


"Dia ingin membalaskan dendam anaknya, yang dimana anaknya meminta untuk membalas dendamnya." Mereka terdiam lalu Paman tertawa dengan mata merahnya.


"Dia sudah tau, jadikan aku tumbalmu dan habisi mereka semuanya!" tegas Paman dan kami terhempas saat sang iblis datang dengan dua mahluk yang beraura jahat.


"Baiklah, jika begitu dan kalian akan mati di tangan kami," ujar iblis itu dengan suara beratnya dan aku menatap datar mereka.


“Robbi a'uudzubika min hamazaatisy-syayaathiin wa a'udzubika robbi ayyahdhuruun," ucapku lalu Kak Seto pun mengikutinya.


"Hasbunallah wanikmal wakil," lanjutku dengan menutup mata.


"Kuserahkan diriku kepadamu ya Allah, lindungi mereka berdua dan musnahkan iblis itu dengan kehendak mu, ya Allah," sambung ku lalu membuka mataku dan menatap ayat kursi.


Iblis itu pun menyerang kami dengan segala cara lalu aku menatap Fatih yang menatapku dengan resah dan kami terhempas hingga menabrak tembok rumah.


"Hahahaha, kalian akan mati!" tegasnya.


Aku masih membaca ayat kursi dalam hatiku sambil meminta pertolongan kepada Allah dan menatap Fatih yang juga bertekad membuatku tersenyum tipis. Mencoba berdiri dengan semampu kami, hingga kami terangkat ke atas dan menatap Kak Seto yang di cekik olehnya. Air mata Fatih keluar membuatnya merasa bersalah dan Kak Seto pun terjatuh lemas.


"Akan ku bunuh kau!" ujar iblis itu yang menghampiriku dan hendak mencekikku.


Bragh!


"Kenapa?" herannya dan kedua iblis menyerang ku.


"La hawla walakuata illabillah, Kuserahkan semuanya kepadamu ya Allah," gumamku dengan menutup mata lalu membuka mataku dan cahaya bulan merah pun terang menerangi langit malam.


أَعُوذُ بِوَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ، وَبِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ الَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ مِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيهَا. وَمِنْ شَرِّ مَا ذَرَأَ فِي الْأَرْضِ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا، وَمِنْ شَرِّ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَمِنْ شَرِّ طَوَارِقِ اللَّيْلِ، وَمِنْ شَرِّ كُلِّ طَارِقٍ إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَنُ.


A‘udzu bi wajhillahil kariim wa bi kalimatillahit tammati lati la yujawizuhunna barrun wala faajirun min syarri maa yanzilu minas sama’i, wa min syarri ma ya‘ruju fiha, wa min syarri ma dzara’a fil ardhi, wa min syarri ma yakhruju minha, wa min fitanil laili wan nahari, wa min thoriqil laili wannahari, illa thariqan yanthiqu bi khairin, ya rahman.


Seketika iblis itu langsung menjerit keras dengan lantunanku, angin berhembus dengan kencang menerpa baju dress ku dan Kak Seto bersama Fatih terdiam. Iblis bersama mahluk lainnya hilang seketika, hingga Fatih muntah darah dan pingsan seketika.


"Kita masih hidup, karena perlindungan Allah dan ini juga bukan ajal kita," sahutku kepada Kak Seto yang mencoba membangunkan Fatih.


"Aku harap santet itu hilang dan kita harus ke rumah sakit untuk mengecek keadaan Fatih," lanjutku dan kami pun menuju rumah sakit.


Di sisi lain, sang dukun terkapar dengan darah yang mengalir dari mulutnya dan mengejutkan para warga yang hendak meminta bantuannya kepdanya. Hingga Kepala desa bersama Sepuh desa menatap dukun itu lalu menatap satu sama lain.


"Itulah ganjaran bagi umat yang menantang kuasa Allah, sesat dan mengunakan iblis untuk perantaranya," ucap Sepuh desa dan menatap kedua pasutri.


"Jangan sampai kalian masuk ke lingkaran setan, karena kalian tidak akan bisa keluar jika ingin kabur dan berdoalah kepada sang pencipta," ujar Kepala desa dengan senyuman tulusnya.


"Naraya sangat cocok untuk memberi julukan kepada Bella," sahut Sepuh desa dan kepala desa mengangguk.


Kembali ke rumah sakit kami pun menatap Fatih yang terbangun dengan senyuman hangatnya dan aku pun menatap jendela yang dimana matahari bersinar terang.


"Kau di berikan kesempatan kedua, jadi dekati dirimu kepada Allah dan jangan masuk ke lingkaran setan lagi, Fatih." Fatih mengangguk dan menatap Kak Seto.


"Ya sudah, aku pamit dan sampai jumpa," ujarku dan mereka mengangguk.


Aku pun pergi dari rumah sakit menuju ke arah selatan yang dimana menjadi perjalanan keduaku dan mereka berdua menatapku dari jendela. Mereka tersenyum lalu pergi dari rumah sakit dan aku menatap matahari dengan senyuman lebar ku.


"Izinkan aku untuk melindungi seseorang, menjadi harapan semua mahluk dan menyakini mereka akan tentangmu, ya Allah. Lancarkan dakwah perjalananku," ucapku dengan tersenyum dan berlari mengejar bus yang hendak pergi.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)