Masukan nama pengguna
*****
Kakak beradik itu mengamati seekor kucing yang sedang makan begitu lahapnya. Mereka tersenyum tulus. Hal sederhana yang patut mereka syukuri di antara banyak cobaan yang datang menghimpit. Alasan kecil yang membuat mereka bertahan. Nana; kucing torti hasil peranakan ras anggora dan ras kampung. Mempunyai bulu cukup lebat dan hidung kecil, bukan pesek.
Aya mengelus bulu Nana sayang, sedangkan adik laki-lakinya kembali mengisi mangkok makan Nana yang telah habis. "Lapar ya, Na?" tanya Wiwid, sang adik.
Mereka telah memiliki Nana selama tiga belas tahun. Bagaimana mengatakannya? Secara ajaib! Cerita tentang pertemuan mereka dengan si cantik berbulu bahkan tersiar dari mulut ke mulut. Seperti sebuah hikayat dongeng pengantar tidur.
Tiga belas tahun lalu, Nana datang tepat di saat jenazah ayah mereka hendak diberangkatkan untuk dikebumikan. Kucing kecil itu mengikuti rombongan di belakang lalu ikut masuk ke mobil jenazah tanpa sepengetahuan yang lain. Ia bersembunyi di bawah kursi penumpang dan melompat turun ketika mobil sampai di makam. Hal luar biasa berikutnya yang terjadi adalah Nana melompat masuk ke liang lahat saat dua penggali kubur mulai menimbun jenazah dengan tanah. Orang-orang terkejut. Salah satu penggali kubur mencoba meraih tubuh si kucing namun urung karena ia mendesis.
Salah seorang pelayat, Mak Mis ternyata mengenali kucing itu. "Mbak Aya, itu kan kucing yang sering dikasih makan oleh Pak Karmo di warung."
Aya tertegun, ada debaran halus hadir. Pertanda apakah ini?
Ayahnya memang pencinta hewan. Hampir setiap sore, beliau akan berkeliling kompleks sembari membawa pakan hewan. Street feeding, itulah kegiatan rutin yang dilakukan sang ayah sepeninggal ibu mereka. Ayahnya berkata tindakan ini beliau lakukan sebagai bentuk penghormatan kepada sang ibu. Ibu mereka meninggal tertabrak mobil saat hendak menyelamatkan seekor kucing.
Tanpa berpikir dua kali, Aya memutuskan untuk turun. Ia akan mencoba mengambil si kucing yang masih saja menggeram.
Kemudian, seseorang lain nyeletuk, "Pak Karmo biasa memanggilnya Nana, mbak Aya."
Nana. Aya tertawa lirih. Aya rasa sang ayah mengambil nama panggilan itu dari seorang penyanyi dangdut bernama Nana Mardiana. Teringat olehnya cerita sang ayah ketika ibunya kerap cemburu saat dominasinya di rumah terkalahkan oleh sebuah lagu berjudul Yang Tersayang.
"Hai cantik," sapa Aya lembut. Ia mengulurkan telapaknya perlahan. Geraman si kucing pun reda, hidung mungilnya mengendus telapak Aya. Mungkin, bagi Nana ada sesuatu yang familiar di sana. Aroma yang membuatnya nyaman. Melihat Nana perlahan jinak, Aya mencoba meraih kepala si kucing untuk dielus. Ayahnya berkata, sebuah elusan di bawah dagu dan kepala mampu sedikit menjinakan kucing yang tantrum. Beliau juga berkata, bagi kucing tindakan tersebut mampu mengingatkan mereka pada kasih sayang sang induk.
"Nana, kan?" Pertanyaan itu dijawab si kucing dengan suara meong yang keras. Dan di detik berikutnya, Nana menyambut telapak tangan Aya dengan sebuah sundulan kepala.
Suara, "Oooh ..." serempak terdengar. Orang-orang yang hadir di pemakaman terharu. Tanpa berpikir lagi, Aya segera menggendong si kucing sembari terus mengelus bulunya.
"Ikut pulang dengan kami ya?" ucapnya seraya mengecup kepala si kucing.
Dari sinilah, dengan persetujuan sang adik, Aya memutuskan untuk memelihara Nana. Ia merasa seperti dititipi oleh mendiang ayahnya. Sebuah wasiat untuk merawat yang hampir terlupakan.
Sekarang sudah tiga belas tahun berlalu, baik Aya maupun Wiwid tidak pernah berpikir untuk menyudahi masa-masa mereka dengan Nana. Entah berapa lama waktu mereka tersisa, Nana akan selalu menjadi anugrah penyembuh bagi hati keduanya yang kerap lelah menghadapi kerasnya kehidupan.
*****