Flash
Disukai
0
Dilihat
6,124
NALAR "Tanda Mata"
Drama

Erina Ginanita, doktor fisika kuantum berusia 37 tahun, duduk di kamar kerjanya yang penuh buku dan corat-coret rumus. Logika dan sains adalah dia: segala sesuatu harus bisa diukur, dihitung, dibuktikan. Tuhan? Baginya, itu hanyalah konstruksi manusia untuk menjelaskan hal-hal yang belum dipahami sains. "Jika Tuhan ada, Dia harus bisa dibuktikan dengan persamaan," katanya dalam kuliahnya, membuat para mahasiswanya tercengang.  

Gina tak pernah ingin anak. Baginya, kehamilan adalah gangguan biologis yang tak rasional bagi karier akademisnya. Suaminya, Maximus Hoffman, menerima keputusan itu meski diam-diam memiliki harapan yang berbeda. Maximus adalah lawan terberat Gina di sebuah lomba debat ketika ia masih menempuh pendidikan di Jerman. Mereka sepakat: hidup mereka adalah penelitian, konferensi, dan kertas ilmiah.

Di suatu malam, setelah pulang dari laboratorium, Gina merasa aneh. Tubuhnya lelet, mual, dan—setelah berulang kali tes yang ia lakukan dengan skeptis—positif hamil. Mustahil, pikirnya. Dia sudah bertahun-tahun minum kontrasepsi, diperiksa dokter, dan semua data mendukung: dia mandul. "Ini pasti kesalahan," gumamnya, lalu memesan janji ke spesialis.  

Hasilnya sama. Dokter tersenyum, "Keajaiban, ya?" Gina menatapnya dingin. "Keajaiban adalah kata lain dari ketidaktahuan." Dia pulang, membuka jurnal medis, menghitung probabilitas, mencari celah logis. Nol. Belum ada penjelasan yang ia temui.  

Malam itu, dia bermimpi. Cahaya tenang menyelinap di matanya, dan suara lembut—bukan manusiawi—berkata, "Ini adalah cinta untukmu." Gina terbangun dengan jantung berdegup. "Halusinasi," katanya, mencatat waktu dan suhu tubuhnya. Tapi di dalam dirinya, sesuatu bergerak—bayi yang tak pernah dia rencanakan.  

Bulan berganti. Perutnya membesar, dan Gina tak bisa lagi menyangkal. Hampir setiap waktu ia habiskan di kamar kerjanya, menatap papan tulis penuh persamaan yang tak pernah selesai. "Jika Engkau ada," bisiknya pada kehampaan, "mengapa memaksaku begini?" Tak ada jawaban, hanya gerakan kecil dari rahimnya.  

Saat anak itu lahir—perempuan mungil dengan sorot mata cemerlang—Gina menatapnya lama. Dia menamainya "Aksa," artinya "jauh di mata," karena meski dekat, anak itu terasa asing, seperti teka-teki yang tak terpecahkan. Maximus tersenyum, "Mungkin Tuhan ingin kau belajar sesuatu." Gina mendengus, tapi matanya tak bisa lepas dari perempuan mungil itu.  

Hari-hari berlalu. Gina kembali menulis, mengajar dan menghitung. Tapi tanpa sadar di sela logikanya, dia mulai menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Aksa, sesuatu yang tak pernah masuk akal baginya sebelumnya. "Aku tak percaya pada-Mu," katanya pada langit malam yang teduh, "apapun ini, aku akan menang dengan caraku."  

Dan di dasar hatinya yang keras, setitik ruang kecil terbuka—bukan iman, melainkan keprihatinan: bagaimana sains mengkaji cinta yang tak bisa diukur ini?

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)