Masukan nama pengguna
PLAKK!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi sebelah kanan seorang anak laki - laki berseragam SMA. Belum sempat ia mengangkat kepalanya, sebuah tonjokan datang menghantam perutnya. Ia tersungkur tanpa aba - aba.
Nakula Adhitama, siswa pendiam yang menghabiskan waktu istirahatnya dengan earphone yang selalu terpasang di telinganya. Menarik diri dari keramaian siswa lain yang bingung ingin membeli makan apa untuk menghilangkan rasa lapar mereka. Ia hanya tak tertarik dengan kebisingan di luar sana, karena isi kepalanya sudah terlalu penuh dan berisik. Bukannya merasa seolah - olah ia seorang superior yang tak bisa didekati.
Namun naas, teman sekelasnya yang bernama Bara dan teman - temannya menganggap sikap tertutup dan diamnya seorang Nakula adalah sikap songong yang menggangu penglihatan mereka. Bara dan teman - temannya adalah sekumpulan anak-anak yang berperilaku seenaknya. Mereka tak akan segan menggunakan kekerasan jika keinginan mereka tidak terpenuhi. Dan disinilah ketenangan Nakula mulai terganggu.
Wajahnya babak belur, pandangannya kabur. Terdengar tawa puas yang mengejek dirinya yang tidak berdaya. Dalam keadaan wajah masih mencium tanah, dirinya ditarik paksa. Kini wajahnya menghadap cahaya, matanya yang tak terbuka lebar menangkap sosok Bara yang mencengkram kerah bajunya yang terkena tetesan darah miliknya sendiri.
"Orang kayak lo ngga pantas hidup. Sekali lagi lo bantah perintah gue, mati lo di tangan gue!" teriak bara mengancam Nakula yang sudah tak berdaya di genggamannya.
Kemudian Bara langsung membanting kasar Nakula ke atas tanah. Belum selesai Nakula merasakan pusing akibat benturan keras itu, Bara menginjak perut Nakula dan meludahinya. Setelah itu pergi begitu saja sambil tertawa bersama teman - temannya. Nakula yang bahkan tak mampu mengangkat kepalanya sendiri itu memilih berbaring. Menikmati angin yang cukup sejuk di hari itu. Ia menarik bibirnya sambil sedikit terkekeh.
"Bahkan aku tak pernah berpikir untuk hidup di esok hari " gumam Nakula.
Halaman di belakang bangunan terbengkalai itu sangat sepi. Bahkan Nakula bisa mendengar para serangga yang seakan menyoraki betapa pengecutnya dia. Kehidupannya yang tenang kini mulai terusik. Ia sadar bahwa dirinya merupakan target baru bagi Bara dan teman-temannya. Nakula rasanya ingin menghabisi dirinya sendiri dibanding harus berurusan dengan Bara yang kehilangan akal itu. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Bara, hukum sekolah seakan tidak berkutik di hadapannya. Ia selalu lolos dari jeratan hukum dengan bantuan ayahnya; merupakan orang yang disegani karena memiliki kedudukan dan kekuasaan yang kuat.
"Sial, jika dia ingin membeli soda di kantin mengapa tidak berjalan dengan kedua kakinya? dan malah menyuruhku sambil menarik kerah seragamku? benar - benar gila! setidaknya jika kau ingin aku mati, kau harus mati lebih dulu dengan darah yang sangat kental keluar dari pelipismu." umpat Nakula yang masih tidak terima karena babak belur di sekujur tubuhnya diakibatkan hanya karena ia menolak membeli sebuah soda.
-----
Nakula menuntun kakinya melewati gang sempit ditemani langit malam yang cukup pekat. Ia sesekali meringis kesakitan, akibat luka - luka disekujur tubuhnya yang bergesekan dengan seragam sekolah. Tikus got dengan ukuran yang cukup besar melintas di depannya, membuat dirinya berhenti sejenak dan menghela napas. Bau selokan yang mengudara dan lampu remang - remang merupakan pemandangan biasa bagi Nakula. Bahkan jika sudah terlalu larut, ia akan bertemu dengan gerombolan yang mabuk - mabukan sambil berjoget merayakan kesialan mereka.
Lingkungan itu terlalu familiar bagi Nakula, namun juga terasa asing. Walau ia dibesarkan disana, ia tak ingin sama dengan para penghuninya. Berjudi, mabuk - mabukan, dan kekerasan. Satu hal yang sedang dia usahakan, beasiswa ke Perguruan tinggi favorit yang seringkali dibangga - banggakan oleh banyak orang. Karena itulah ia hanya peduli pada hal - hal yang bisa membawanya meraih beasiswa tersebut.
Tak terasa Nakula sudah tiba di depan rumahnya. Bangunan kecil tempat ia berteduh dari dinginnya hujan dan teriknya matahari. Kontrakan berdempet yang terlihat cukup usang, seusang cita - citanya. Namun itulah tempat ia mengembara mimpi - mimpi dikala matanya terpejam.
Baru saja Nakula akan membuka pintu, suara tamparan keras terdengar dari dalam. Segera Nakula berlari ke dalam. Lampu yang cahayanya sudah mulai memudar menyambut kedatangannya. Di tengah samar - samar sorot lampu itu Nakula melihat Luna; adiknya tersungkur di lantai sambil memegang pipinya. Tidak seperti anak kecil pada umumnya, yang akan menangis meraung - raung, Luna menggigit bibir bawahnya menahan agar suara tangisnya tidak keluar. Namun air matanya tak bisa berbohong, ia jatuh dengan deras menuruni pipi Luna kecil yang memerah.
Di depan Luna terlihat seorang lelaki paruh baya yang memegang botol miras sambil berdiri sempoyongan yang tak lain tak bukan adalah ayah mereka. Pengangguran luntang - lantung yang hobi minum dan ringan tangan. Menyengsarakan istri dan anak - anaknya dengan hutang sana - sini akibat judi. Ibu Nakula lah yang menghidupi keluarga itu dengan bekerja dari pagi hingga malam.
Tamparan keras yang Nakula dengar tadi adalah perbuatan ayahnya. Setiap pulang sekolah, Nakula selalu mendapati luka baru di tubuh sang adik. Ia selalu cemas meninggalkan adiknya sendirian. Makanya ia akan terburu - buru pulang ke rumah untuk segera bertemu adiknya. Tapi sayangnya, hari ini ia dikeroyok oleh gerombolan anak kurang kerjaan di sekolahnya.
Nakula awalnya ingin segera berlari memeluk adiknya yang baru duduk di bangku sekolah dasar itu, namun tiba - tiba ayahnya mengangkat botol miras yang dipegangnya dan mengarahkannya kepada Luna. Sontak Nakula menepis botol itu dan mendaratkan sebuah tinju ke wajah sang ayah yang mabuk. Ayahnya tersungkur dengan keras dan kepalanya terbentur tembok. Hening, tak ada pergerakan apapun dari sang ayah.
Segera Nakula memeluk Luna sambil mengusap lembut rambut panjang adiknya. Kemudian ia menatap lekat ke dalam bola mata adiknya. Ada kebahagiaan yang terkurung disana. Ingin rasanya Nakula mengambil semua kesedihan yang dialami oleh adik perempuannya itu. Luna sudah terlalu banyak melihat dunia dari sudut yang jahat sampai lupa bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang hanya perlu berlarian sambil tertawa riang.
"Ayo ikut kakak, kita beli es krim kesukaan Luna." Ajak Nakula.
" Tapi ayah kak? " Luna terlihat khawatir.
" Gapapa, sebentar lagi juga bangun." Nakula menepuk pelan puncak kepala adiknya dan segera menggandengnya keluar rumah.
---
Luna duduk di sebuah bangku panjang dari kayu sambil mengayunkan kaki kecilnya yang menggantung dan menikmati es krim cokelat yang ada digenggaman jari - jarinya. Tak henti - hentinya ia tersenyum ke arah Nakula yang berada di sebelahnya.
" Karena kakak ganteng hari ini, kakak boleh makan es krimku. " Luna menyodorkan es krim itu.
" Karena Luna lebih cantik hari ini, es krimnya boleh Luna habisin. " Nakula balas menggombal.
Luna tersenyum, " Makasih ya kak. Pokoknya kakak harus kuliah biar Luna bisa makan es krim setiap hari. " Kemudian ia menyandarkan kepalanya ke lengan Nakula; kakaknya yang selalu membelikan es krim saat ayahnya mulai mengacau. Luna seringkali mendengar kakak laki-lakinya itu mengucap kata "kuliah". Apapun kaitan kuliah dengan kakaknya, ia yakin itu adalah hal hebat yang pantas didapatkan oleh kakaknya.
---
Nakula menyilangkan kedua tangan di atas meja untuk menyangga kepalanya sambil memejamkan mata. Seakan mengisolasi diri dari lingkungan kelasnya yang ramai. Ingin rasanya menangisi kehidupannya yang payah. Ia sering mengutuk dirinya sendiri karena tak bisa berhenti untuk bermimpi tinggi padahal kemiskinan menyelimuti. Ingin rasanya ia berpasrah pada keadaan, mengikuti arus yang mengalir. Namun ada bagian dari dirinya yang memberontak. Menginginkan perjuangan sehancur - hancurnya.
BRAAKK!!
Baru saja Nakula akan terhanyut dalam pejaman matanya, mejanya dipukul keras oleh seseorang.
Dengan malas ia mengangkat kepalanya. Menegakkan punggung dan menatap lurus ke arah seseorang di depannya; Bara.
"Nanti istirahat beliin gue makanan di kantin. Gue tunggu di atap." Ucap Bara sambil melempar selembar uang seratus ribu ke wajah Nakula.
Nakula masih menatap dingin Bara. Emosinya mendidih, dia tak suka harga dirinya diinjak - injak seenaknya.
Bara yang sebenarnya merasa terintimidasi oleh tatapan tajam Nakula, langsung meraih kerah baju seragam milik Nakula. Teman - teman sekelasnya langsung terdiam.
Bel berbunyi dengan nyaring, membubarkan keheningan di ruang kelas itu. Bara dengan kasar melepas cengkramannya pada kerah milik Nakula.
"Inget pesen gue! Kalau ngga, adik lo yang bakal nanggung semuanya. Luna SD Cemara 5, kan?" Bara menyeringai kemudian Ia pergi meninggalkan Nakula yang terdiam kaku di tempat duduknya.
Nakula tak menyangka, nama adiknya disebut oleh Bara. Ia lemas, kini adiknya dalam ancaman. Ia tak tahu harus bagaimana agar adiknya tetap selamat selain menuruti keinginan Bara. Emosinya semakin menjadi - jadi, kepalan tangannya semakin mengeras. Menyadarkan dirinya bahwa kemiskinan yang mencekiknya ini mematikan setiap langkahnya. Manusia yang mementingkan harga diri ini harus bertaruh nyawa untuk bertahan hidup.
---
Kriiingggg
Bel berbunyi dengan kerasnya. Memberi peringatan untuk segera berhamburan mengisi perut yang kosong. Nakula melirik ke arah bangku milik Bara dan kawan - kawannya. Bangku itu kosong seperti biasanya. Mereka seringkali membolos entah kemana.
Nakula menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia bersiap untuk berjalan ke kantin membelikan pesanan milik Bara. Namun, di depan pintu kelasnya Ia ditahan oleh seorang siswi dikelasnya; Alika.
"Pak Tono nyuruh kita bersihin gudang olahraga."
Nakula bingung, Ia tak merasa melakukan kesalahan apa - apa. Kenapa tiba - tiba disuruh bersihin gudang? Aneh pikir Nakula.
"Kita piket hari ini kalau lo lupa." Alika masih berdiri disana sambil sedikit mendongak, karena tingginya yang hanya sejajar dengan dada milik Nakula.
Aaaa benar juga, hari ini jadwal piket Nakula. Tapi ia harus membelikan makanan untuk Bara agar sikap buruknya itu tidak semakin menjadi - jadi.
"Tapi gue beliin makanan Bara dulu ke kantin, nanti gue su- " Belum selesai Nakula berbicara, tangannya langsung ditarik oleh Alika.
Nakula pasrah, menuruti langkah kaki alika yang tergesa - gesa. Sepertinya hari ini ia akan babak belur lagi di tangan Bara.
-----
Hingga akhir bel pulang sekolah, Bara masih tak terlihat di kelas. Walaupun Nakula bersyukur karena tak bertemu dengan dirinya, ia tetap saja merasa bingung. Kemanakah hilangnya Bara?
Nakula berjalan santai keluar dari gerbang sekolah. Angin menyentuh wajahnya dengan lembut. Cuaca hari itu sangat cerah. Angin dengan tenang mengenai pipi milik Nakula. Membuat Nakula menghembuskan napas dengan cukup kasar, berharap tak ada hal - hal buruk yang menganggu hari dengan cuaca seindah ini.
Perjalanan dari sekolah hingga ke rumah membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena rumah Nakula yang terletak di gang sempit itu cukup jauh jaraknya dan ia menempuhnya dengan jalan kaki atau terkadang dengan angkutan umum jika ia sedang tidak berhemat. Ketika ia sedang menikmati perjalanannya dengan sedikit bersenandung, entah mengapa ia merasa tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengawasinya. Ia berjalan cepat, kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. Berpikir bahwa itu akan memberi daya kejut kepada orang yang mengikutinya sehingga ia bisa menangkapnya. Tapi nihil, ia tidak melihat sosok apapun di belakangnya.
Nakula melanjutkan jalannya, namun ia masih terus merasa diikuti. Akhirnya ia semakin mempercepat langkahnya. Rasa panik menyerang, napasnya tak beraturan. Sesekali ia menoleh ke belakang sambil terus berjalan cepat. Sialnya ia tersandung sebuah batu dan akhirnya tersungkur begitu saja di atas tanah.
Nakula meringis kesakitan, lututnya terluka dan sedikit berdarah. Dan disaat ia berusaha untuk berdiri, tiba-tiba sebuah tongkat kayu cukup besar menghantam kepalanya. Tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras. Dalam keadaan tak sadarkan diri, tubuhnya diseret paksa mengakibatkan seragam putih itu menyapu kotornya jalanan.
-----
Malam semakin larut dan suara hewan malam mulai terdengar saling bersaut-sautan seakan sedang adu gengsi. Malam selalu menyisakan sesuatu yang tak terduga. Memberi pelajaran bahwa kegelapan bisa hilang kendali.
Udara dingin malam itu menembus kulit Nakula yang sekarang diam membeku. Jantungnya berdetak tak karuan ditambah ia tak bisa mengatur ritme pernapasannya. Pemandangan yang tak pernah Nakula kira akan terjadi di depan matanya. Sesosok tubuh tak berdaya mengapung di hadapannya. Tubuh itu tersangkut di sebuah batu besar di sungai. Tubuh tegap dengan seragam sekolah yang sama dengan miliknya. Seseorang yang tak ingin ia temui hari itu dan seterusnya. Seseorang yang mengusik hidup dan mimpinya; ia adalah Bara.
Di malam yang cukup tenang itu, anehnya ia tak bisa mendengar suara napas milik Bara ataupun gerakan sekecil apapun. Padahal air di sungai itu juga tak bersuara. Masih dalam keadaan mematung, mata Nakula befokus pada bagian kepala Bara. Darah segar itu memenuhi daerah kepalanya dan berbaur dengan air sungai. Jika dilihat dari dekat, terlihat beberapa luka tusuk benda tajam dan memar.
Dengan ragu dan perlahan ia mengangkat tangan kanannya. Sebuah batu dengan ujung yang cukup tajam berada di genggaman tangannya. Batu itu dipenuhi oleh darah segar yang mirip dengan darah di kepala Bara. Mata Nakula berkaca-kaca, dadanya sesak. Ia menggelengkan kepala beberapa kali, meyakinkan diri bahwa itu bukan salahnya. Namun ditengah gelengan kepala itu, ia menarik sedikit bibirnya keatas. Seakan puas akan apa yang ada di hadapannya.
Sambil melihat ke sekitar untuk memastikan tidak ada orang ataupun kamera pengawas disana, Nakula mulai melakukan pergerakan terakhir; menghilangkan barang bukti. Segera ia membersihkan batu yang berlumuran darah dengan menyeka batu tersebut dengan air sungai, saat dirasa darah sudah cukup hilang, Nakula melempar batu tersebut sejauh mungkin ke dalam sungai.
Ia juga menemukan sebuah tongkat kayu yang mungkin bisa menjadi barang bukti, sebelum ia melemparnya, tongkat kayu itu ia gunakan untuk menghanyutkan tubuh Bara yang tersangkut di batu besar. Dengan beberapa dorongan, tongkat kayu itu berhasil membuat tubuh Bara terbawa arus sungai. Sebagai jaga-jaga, Nakula mematah tongkat kayu itu menjadi dua dan membuangnya di tempat yang berbeda. setelah dirasa tak ada lagi barang bukti yang tersisa, Nakula segera beranjak menjauh dari tempat kejadian tersebut sambil memastikan tak ada yang melihat kejadian tersebut. Namun, kejahatan akan selalu punya saksinya tersendiri. Bayangan hitam dari kejauhan itu ikut menghilang mengikuti kepergian Nakula.
-----
Bara sudah tak masuk sekolah beberapa hari. Teman-teman dekatnya pun tak ada yang mengetahui keberadaan Bara dimana. Pencarian orang hilang pun sudah dikerahkan, namun hasilnya masih nihil. Nakula yang sudah terbiasa terlihat cuek dan tidak peduli dengan sekitarnya pun tak terlalu terbebani saat berpura-pura tak mengetahui keadaan Bara.
Sebenarnya ada satu hal yang cukup mengganggu dirinya. Di hari kejadian, setibanya Nakula di rumah ia langsung mencuci bajunya untuk membersihkan barang bukti yang mungkin saja ada di seragamnya itu. Namun di saat itu juga lah ia menyadari bahwa ada bau parfum yang tertinggal di sana. Dan Nakula yakin bahwa itu bukanlah milik Bara. Karena itulah ia bertanya - tanya, apakah ada orang lain disana? dan apa yang diinginkan oleh orang tersebut? Akankah dirinya tertangkap?
Berita hilangnya Bara ini cukup menggemparkan. Bagaimana tidak, Bara merupakan anak dari seorang pemangku jabatan di kota tersebut yang sebentar lagi akan mengikuti pemilihan kepala daerah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Tentu saja segala hal dikerahkan untuk mengetahui keberadaan anaknya itu. Polisi pun mulai melakukan investigasi ke sekolah Bara.
Beberapa anak dimintai keterangan termasuk Nakula. Nakula memasuki ruangan BK dan menemui seorang laki-laki dan seorang perempuan sedang duduk dan membolak-balik berkas-berkas di atas meja. Berbagai pertanyaan dituturkan oleh tim investigasi tersebut. Nakula yang sudah bertekad untuk tutup mulut tentang kejadian di hari itu hanya memberikan kesaksian bahwa ia tidak cukup dekat dengan Bara. Ia mengaku hanya sekali dua kali berinteraksi dengan Bara karena ia fokus dengan studinya. Setelah tanya jawab yang cukup singkat itu, akhirnya Nakula keluar dari ruangan tersebut. Anehnya penyelidik itu tidak menyinggung soal bully yang ia alami. Itu berarti teman-temannya yang lain juga tidak buka mulut soal hal tersebut.
-----
Keesokan harinya, muncul sebuah berita mengejutkan karena ditemukannya mayat seorang siswa yang masih menggunakan seragam sekolah di sebuah sungai oleh warga sekitar. Walaupun jasad itu sudah pucat dan kaku, namun wajahnya masih bisa dikenali. Ditambah dengan adanya name badge di seragam tersebut yang mengkonfirmasi jasad tersebut. Itu adalah Bara. Siswa yang sedang dalam pencarian, yang sekarang tinggal nama.
Berita tersebut tak kalah mengejutkannya dengan berita kehilangannya. Walaupun Bara memang biang onar dan berperilaku tak masuk akal hingga menjadi langganan BK, namun semua orang tetap terkejut. Pasalnya, dengan tubuh tinggi, tegap dan keberaniannya yang mengintimidasi siapapun; dikalahkan oleh siapa? ataukah ini percobaan bunuh diri? karena sepertinya jika ia tergelincir begitu saja tanpa ada "lawan" yang memojokkannya itu terdengar mustahil.
Tentu saja dengan adanya mayat yang ditemukan itu, penyelidikan akan naik statusnya. Tindakan otopsi, apa motifnya;apakah percobaan bunuh diri, atau jika pembunuhan;siapakah pelakunya, Olah TKP dan menemukan barang bukti. Namun ada hal aneh yang terjadi, tiba - tiba pihak keluarga menolak dilakukan otopsi. Padahal saat status anaknya hilang, pihak keluarga sangatlah menggebu - gebu untuk segera menemukan sosok Bara. Rasa khawatir, cemas dan ketakutan itu terasa. Namun saat Bara sudah dinyatakan meninggal, mereka tidak mengizinkan adanya otopsi. Apa mereka tidak penasaran penyebab anaknya bisa ditemukan meninggal di sungai?
Dan akhirnya, kasus itu ditutup begitu saja. Dengan dalih bahwa Bara tersesat di hutan dan terpeleset di sungai kemudian kepalanya terbentur batu yang tajam sampai akhirnya ia terhanyut sampai di sungai tempat warga menemukannya.
Nakula sebenarnya sangat lega, karena tak ada penyelidikan tambahan mengenai kematian Bara. Karena sepandai - pandainya tupai melompat, ia akan jatuh juga. Sepandai - pandainya Nakula bersembunyi, ia bisa saja tertangkap dan malah berakhir di balik jeruji besi. walau hingga saat ini Nakula masih bertanya-tanya apakah benar Bara mati di tangannya. Karena saat ia sadar di tepi sungai kala itu, ia tidak mengingat apa-apa namun semua barang bukti ada pada dirinya. Atau mungkin saat ia menusuk Bara dengan batu tajam itu, Bara sempat memukulnya hingga pingsan, dan berakhir terjatuh ke sungai di belakangnya. Nakula berusaha mengingat-ingat, namun tak ada satupun puzzle yang tersusun setelah ia dipukul dalam perjalanan pulang sekolah.
Karena itulah, Nakula meyakini bahwa ia pembunuhnya. Sehingga yang perlu dilakukan saat ini hingga akhir nanti adalah menutup mulut dan melupakan kejadian itu. Nakula masih harus melanjutkan hidupnya. Ujian perguruan tinggi sebentar lagi, ia harus fokus mempersiapkannya. Jangan sampai kematian Bara yang bahkan keluarganya menolak menyelidiki lebih lanjut mencuri perhatiannya.
"Bara sudah pergi. Tapi aku masih berhutang mimpi untuk masa depanku. Biarkan diri ini serupa pembunuh. Tapi orang lain tak boleh tau"
Setidaknya itulah visi yang dimiliki Nakula saat ini sebagai seorang siswa di ujung tanduk. Siswa yang berusaha melakukan yang terbaik dan menyembunyikan setiap luka di sekujur tubuhnya. Anak baik yang tiba-tiba melakukan pembunuhan. Semoga ada hal baik yang bisa menebus dosanya itu. Tapi Nakula berharap, semoga Tuhan tidak meminta pengorbanan atas masa depannya. Karena Nakula dengan sangat percaya diri masih merasa menjadi anak baik; yang tak sengaja membunuh.
-----
Waktu berselang, Nakula menjalani hari - harinya seperti biasa. Ia tak lagi terlambat pulang sekolah karena dikeroyok oleh Bara dan teman-temannya. Sehingga ia bisa membersihkan rumah dan mengerjakan PRnya dengan baik. Kehidupan normal yang diharapakan oleh seorang yang teratur seperti Nakula. Kematian Bara memang kejam, bagaimanapun ia hanya seorang siswa yang menjalani kehidupan remajanya walaupun mengganggu kehidupan manusia di sekitarnya.
Namun, Nakula juga sama, kan? Ia hanya seorang remaja yang juga menjalani kehidupan remajanya dengan merangkak meraih mimpi di atas tumpukan jarum. Kehidupannya sudah cukup sulit. Jika Bara mengikat kaki dan tangannya, perjalanan Nakula akan semakin sulit; tidak hanya tangan dan kakinya yang terluka, badannya akan tertusuk jarum juga. Nakula bisa mati duluan di tengah jalan sebelum berhasil menatap mimpinya itu.
-----
Waktu berlalu begitu saja, setidaknya angka-angka di rapor Nakula berhasil memberi bukti bahwa belajar kerasnya membuahkan hasil.
Kini ia duduk di taman yang sejuk di sebuah universitas ternama di Indonesia. Di sampingnya terlihat buku bertuliskan Anatomi Manusia. Angin sejuk membawa kembali ingatan Nakula akan ucapan pak Maryo yang saat itu merupakan penanggung jawab kesiswaan di sekolahnya.
"Kamu bisa percaya diri ambil fakultas kedokteran, Nakula. Nilai kamu bahkan melampaui alumni kita yang lolos ke FK. Bapak ada rekomendasi beasiswa buat kamu."
Kini Nakula sudah resmi menjadi mahasiswa kedokteran dengan beasiswa penuh di Universitas impiannya.
Ia tersenyum sambil menghembuskan napasnya seakan mengajak angin untuk beradu, mana yang paling kuat hembusannya. Napasnya yang membawa keluar beban - beban di seluruh tubuhnya, atau angin yang berhasil menjatuhkan ranting-ranting pohon di taman itu.
Nakula mencoba menutup matanya, mulai terhanyut dengan ketenangan yang mempertemukan Ia dengan sosok bocah SMA yang terlihat lusuh dan babak belur sedang tersenyum ke arahnya.
Namun tiba-tiba, semerbak harum memenuhi indra penciumannya. Membuat ia membuka mata dan melihat sekitar, mencari sang pemilik harum yang sangat amat ia kenali. Hingga ia menoleh ke kanan dan tatapannya terkunci disana. Seorang gadis yang berdiri cukup deket dengannya, sekitar dua meter mungkin? Gadis itu juga menatap dalam mata Nakula. Rambut panjangnya melayang-layang karena diterpa angin yang sama dengan angin yang menerpa Nakula. Alam seakan memberi aba-aba hingga mereka berdua bisa tersenyum bersamaan. Mereka tak saling menghampiri, hanya saling tatap dan tersenyum dari jarak itu dengan udara di sekitar Nakula yang dipenuhi oleh parfum si gadis.
Untungnya, gadis itu tidak mengajak Nakula untuk piket seperti sebelumnya. Ya, gadis itu adalah Alika. Perempuan yang merasa kasihan dengan kemalangan sang Nakula. Ia yang seharusnya menjadi bagian dari kehebatan pandawa, harus diganggu oleh Bara; sang api yang murka.
Selain rasa kasihan, rupanya Alika jatuh hati pada Nakula. Seorang yang berprinsip dan penyayang. Nakula yang dalam Kisah Mahabharata digambarkan sebagai titisan dari Dewa Aswin; dewa pengobatan, sepertinya memang benar adanya. Nakula di dunianya adalah penyembuh bagi luka milik adiknya. Rangkulan dan ketenangan yang ia berikan kepada sang adik, beberapa kali Alika pergoki. Alika juga tahu bahwa keinginan Nakula untuk kuliah sangat besar, karena itulah ia tak ingin fokus Nakula terbagi untuk meladeni Bara. Alika juga merasa bahwa Bara sudah melewati batas dan harus segera dihentikan. Sifatnya sungguh menjengkelkan. Namun siapa yang bisa menghentikan orang kaya yang memiliki kedudukan tinggi?
Hingga akhirnya Alika mengetahui bahwa Bara melakukan transaksi Narkoba dan... menggunakannya.
"Bukankah semesta juga ingin menyingkirkan Bara?" Gumam Alika ketika ia diam-diam merekam Bara yang teler saat menggunakan narkobanya.
Alika secara pasti menggunakan otaknya untuk menyusun rencana itu. "Membantu Semesta Menyingkirkan Bara" setidaknya itulah nama yang diberikan Alika terhadap misinya. Dimulai dari memancing Bara secara anonim agar menemuinya di hutan dengan uang tebusan jika tak mau foto dan video telernya mencuat ke publik.
Setelah Bara memakan umpannya dengan datang ke hutan yang Alika sebutkan, Alika memukul keras bagian kepala Bara agar ia tak sadarkan diri, menyeretnya ke hutan dan menyembunyikannya. Bara jelas datang sendirian karena tak ada satupun temannya yang mengetahui hal itu. Bara ternyata tidak cukup percaya memperkenalkan jenis-jenis narkoba pada teman-temannya. Ia takut, pertemanan yang dianggap solid itu pada akhirnya akan mengkhianatinya. Ia tak bisa membayangkan cambukan atau pukulan sekeras apa yang akan dilakukan oleh pejabat tersohor itu jika reputasinya hancur karena memiliki anak yang teler karena narkoba.
Bara sudah menyadarinya sejak dulu, bahwa ayahnya menganggap dirinya sebagai anak yang gagal. Tak seperti kakaknya yang hebat dan bersinar, Bara selalu membuat ayahnya mengeluarkan uang tutup mulut untuk membersihkan kejahatannya. Dan Bara akan selalu menyiapkan diri untuk menerima hukuman dari ayahnya. Meskipun babak belur di tangan ayahnya, namun Bara berhasil menarik perhatian laki-laki tua itu kan?
-----
Di hari kematian Bara, ketika Nakula akan mencuci seragamnya ia mencium aroma yang familiar di indra penciumannya. Keesokan harinya, ia menyadari bahwa Alika adalah si pemilik aroma itu. Nakula yakin bahwa Alika juga berada di sana. Entah sebagai saksi atau pelaku, Alika jelas mengetahui keadaan Bara dan dirinya saat itu. Dan ternyata, sosok hitam yang mengamati dari jauh itu adalah Alika. Alika mengetahui tindakan Nakula. Namun, ia tidak memberi kesaksiannya kepada polisi. Sampai akhirnya, puzzle-puzzle itu mulai tersusun di kepala Nakula.
-----
Setelah pingsan karena pukulan kayu yang ternyata pelakunya adalah Alika. Tentu saja Nakula sempat mencium aroma parfum itu ketika ia merasa ada yang mengikutinya dari belakang. Dan saat Alika menyeret tubuhnya yang cukup membuat Alika kewalahan, disanalah wangi parfum itu akhirnya ikut menempel di pakaian Nakula.
Saat Nakula tersadar, ia melihat Bara diikat dan matanya ditutup kain hitam. Kemudian di depannya berdiri seseorang dengan jubah hitam yang membelakanginya. Mereka sempat adu argumen. Nakula samar-samar mendengar kata "narkoba" dan "disebar". Tapi ia tidak tau apa maksudnya. Sampai akhirnya orang berjubah hitam itu memukul Bara dengan balok kayu yang cukup besar. Bara masih mengeluarkan suaranya, ia cukup tangguh. Namun tanpa aba- aba, sebuah batu dengan ujung yang runcing dihujamkan ke kepala Bara. Batu itu persis seperti yang ia genggam ketika bangun di pinggir sungai. Teriakan Bara melengking kesakitan.
Nakula sontak kaget melihat kejadian di depan matanya. Ia berusaha tetap diam agar tidak ketahuan. Namun hembusan napasnya cukup berat, cepat dan.... ketakutan. Sehingga menarik perhatian sosok berjubah. Ketika ia menoleh, sebuah topeng menutupi seluruh wajah dan hanya menampilkan matanya. Tiba-tiba, balok kayu tadi berpindah ke arah Nakula dengan kecepatan yang mampu membuatnya tak sadarkan diri lagi. Nakula yakin, balok kayu kali ini akan membangunkannya di akhirat.
-----
Sayangnya Nakula masih terbangun di dunia. Bentangan sungai menjadi pemandangan pertama saat ia membuka mata. Walaupun penglihatannya masih samar-samar, Ia sangat yakin itu bukan sungai di surga. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri sambil berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Hingga akhirnya ia tersadar bahwa sungai tersebut menopang sebuah tubuh diantara aliran airnya. Dengan perlahan, Nakula melangkahkan kakinya dengan hati-hati mendekati tubuh yang mengapung tidak bergerak. Dan disitulah tubuh tak berdaya Bara berada, dengan luka di kepala dan darah dimana-mana. Di tengah kepanikan dan kenikmatan melihat orang yang memukulinya tak bersuara sedikitpun, Nakula berupaya menghilangkan barang bukti. Termasuk batu runcing di tangannya yang membuatnya berpikir bahwa ia yang membunuh Bara.
Potongan puzzle itu pada akhirnya tersusun, membentuk fakta-fakta baru yang tersimpan rapih demi terwujudnya mimpi seseorang dan pembalasan dosa di tangan manusia.
-----
Alika bersyukur bisa bertemu lagi dengan Nakula. Karena setelah kematian Bara, tak pernah sekalipun dirinya berbicara dengan Nakula. Ia tak mau mengganggu Nakula, karena ini waktu yang tepat untuk dirinya fokus belajar. Alika juga menghindari keterlibatannya atas kematian Bara diketahui oleh orang-orang. Ia mengawasi Nakula, apakah Nakula akan jujur mengenai peristiwa yang ia lihat di tepi sungai dalam hutan atau ia akan tutup mulut. Ternyata Nakula memilih opsi kedua.
Alika memang sengaja membuat seolah - olah Nakula membunuh Bara dengan meletakkan senjata pembunuhan; batu runcing itu digenggaman Nakula. Secinta apapun dirinya kepada Nakula, ia juga tak mau dipenjara sendirian. Bahagianya ia saat melihat dari jauh bahwa Nakula malah menghilangkan barang-barang bukti yang ada. Alika tersenyum dibalik bayang-bayang hitam itu.
Tinggal satu langkah lagi, dan misinya akan berhasil tanpa ketahuan. Alika menghubungi ayah Bara secara anonim dengan mengirimkan video Bara yang sedang menggunakan Narkoba dan kehilangan kendali karena zat terlarang tersebut.
"Jika tidak ingin reputasi anda hancur karena tak mampu membesarkan seorang anak, jangan lakukan otopsi. Kuburkan saja anak anda secara layak. Tutup kasus ini, jika anda tidak ingin video ini tersebar ke mana-mana. Kematian anak anda justru bisa menambah empati masyarakat dan membantu anda di pemungutan suara kelak. Namun, kalau masyarakat tau anak anda pengguna narkoba, bukankah hanya akan menyisakan kebencian dan tatapan sinis masyarakat?"
Begitulah isi pesan yang membersamai video Bara yang dikirim oleh Alika. Ia sukses membungkam suara seorang penguasa yang haus suara rakyat. Tak heran jika otopsi tidak dilakukan, dan kasus ditutup begitu saja. Bagi ayah Bara, kehilangan Bara mungkin bukan suatu kesedihan yang mendalam. Toh yang Ia ingat hanya kenakalan Bara dan bagaimana Ia menampar anaknya itu.
Akhirnya Bara; sang api yang murka, padam begitu saja. Oleh air tenang di dalam hutan yang dikelilingi kentalnya darah yang semakin lama bercampur dengan ketenangan air itu. Ia menjadi bukti bahwa sikap seenaknya akan memberi akhir seenaknya juga.
Barangkali hari itu Nakula tetap bertemu Bara di atap sekolah. Tak ada jaminan bahwa Nakula akan tetap hidup. Bahkan sempat terpikir oleh Nakula untuk lompat dari sana, bunuh diri di depan mata Bara agar ia bisa melihat dengan jelas bahwa Nakula sudah tiada sehingga hidupnya tidak lagi terusik.
Semua orang terluka dan berhak memberi pembelaan. Entah siapa yang berdosa sesungguhnya, biarlah Sang Pencipta yang menjadi hakim terakhir. Karena selalu ada pertanggung jawaban dari setiap hal yang kita lakukan di dunia yang sementara ini.
End-
"Jangan takut bermimpi, kelak ratusan mimpi yang terasa tak mungkin itu akan terwujud melalui hal tak terduga dan oleh orang yang tak diduga pula"
-Difaoktap-