Masukan nama pengguna
My Dear Cousin
Cerpen oleh: Intan Lasamaili
Tek!
Suara saklar lampu dimatikan. Baru saja menyuapkan nasi ke dalam mulut tiba-tiba lampu yang ada di ruang makan dimatikan dengan sengaja. Mungkin baginya aku ini adalah makhluk astral yang tak kasat, penghuni rumahnya. Ya, tepatnya rumah orang tuanya, yang nantinya akan diwariskan untuknya. Karena mereka memang hanya dua bersaudara. Kakaknya sudah menikah dan memiliki rumah sendiri.
“Amel, itu kamu,Nak?” tanya tante Ida.
“Iya tante,” jawabku.
Tante Ida -saudara ayah tertua- langsung menyalakan kembali lampu.
“Kamu baru makan malam?” tanya Tante Ida saat melihat jam dinding yang menunjukan pukul sembilan.
“Baru sempat makan tante. Tadi kelamaan nunggu kadesnya, motor juga mogok terpaksa aku tinggal di bengkel,” ucapku memberikan alasan, karena jarak tempatku penelitian sekitar dua puluh lima kilo meter dari pinggiran kota.
“Kenapa makan gelap-gelapan?”
“Tadi lampunya mati sendiri, sudah kalah mungkin,” jawabku asal.
“Ah masa? Baru minggu lalu diganti sama Adam. Ini menyala. Kalau kalah pasti tidak menyala saat dinyalakan kembali.” Tante Ida memencet saklar berulang-ulang memastikan.
Tanya saja sama anak tante itu, batinku.
“Ya sudah, kamu makan saja. Tante mau istirahat.”
“Iya, terima kasih tante.”
Aku adalah mahasiswi semester akhir yang sedang menyusun tugas akhir untuk memenuhi syarat gelar sarjana. Berbagai peristiwa suka duka semua sudah kulewati. Dukanya tentu saja berasal dari Si Adam yang baru saja mematikan lampu. Itu adalah salah satu contoh perlakuannya padaku. Meski sudah bekerja menjadi pegawai BUMN, bagiku dia adalah pria dewasa yang aneh.
Sudah empat tahun sejak aku dititpkan di rumah ini, belum sekali pun Adam menunjukan sikap persaudaraannya padaku. Apalagi sikap manis. Mimpi.
Seperti biasa usai shalat subuh, aku sudah berkecimpung di dapur membantu tante Ida membuat sarapan. Selesai membuat sarapan aku mandi.
“Amel…,” sapa Om Anton, suami Tante Ida saat berpapasan di ruang tv.
“Iya Om,” sahutku.
“Katanya motor kamu rusak?”
“Iya Om. Tapi sudah aku titip di bengkel. Siang nanti bisa diambil.”
“Kalau begitu kamu pakai motor Adam saja dulu. Itu motor debunya sudah tebal jarang dipakai. Sekalian kamu bawa di tempat pencucian motor.”
“Amel sudah janjian sama teman Om, nanti dijemput,” tolaku halus.
Aku tak mau menerima kata-kata pedas anaknya yang judes itu.
“Pakai saja Mel. Jangan menolak nak. Lagian itu motor hampir tidak pernah dipakai sama Adam sejak dia beli mobil,” kata Tante Ida, yang membuatku tak berdaya untuk menolak.
Kedua orang ini sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri. Mereka memperlakukanku dengan baik seperti anak sendiri, mungkin karena tidak memiliki anak perempuan.
Jadilah aku ke kampus menggunakan motor matic milik Adam setelah mengirimkan pesan pada Lidya sahabatku.
Aku singgah di pompa bensin untuk mengisi bahan bakar. Saat menghidupkan kembali stop kontak, mesinnya tidak mau jalan. Berkali kali aku coba tetap saja mesinnya tidak hidup.
Apa karena aku tidak ikhlas menggunakannya?
Kata orang seperti itu, jika kita tidak ikhlas pasti ada-ada saja yang terjadi.
Dengan sedikit kesal, aku mendorong kendaraan matic beroda dua menuju sebuah pohon rindang yang tidak jauh dari pompa bensin.
Sebuah mobil yang tidak asing bagiku datang menghampiri. Sepertinya mobil ini baru selesai mengisi bahan bakar. Pemilik mobil turun. Menggunakan kemeja pas badan berlogokan sebuah BUMN yang lengannya digulung, rambut cepak, wajahnya segar sepertinya baru selesai cukuran, sangat tampan dan kelihatan mapan. Meski judes dan arogan tapi akalku masih menerima pesonanya.
“Minggir,” ucapnya sinis. Kekaguman yang tadi sempat menghampiri, musnah hanya dengan satu kata yang baru saja ia ucapkan.
Aku mundur. Beruntung karena masih mampu mengisi paru-paru dengan oksigen, setelah mendengar ucapannya barusan.
Hanya dengan sekali pencet pada tombol stater tangan, mesinnya langsung mengeluarkan suara.
“Dasar kampungan,” ucapnya.
Aku ternganga mendengar apa yang Adam katakan. Lebih memilih diam tidak ingin membalas ucapannya meski mampu.
Ia kembali ke mobilnya. Berlalu meninggalkanku dengan perasaan yang ingin mengeluarkan tanduk karena sikap arogannya.
Aku lupa menaikkan standar motor yang otomatis mesin tak akan hidup. Wajar saja, karena motor yang setiap hari aku gunakan tidak seperti motornya. Malu, biar saja.
“Haah. Ingin rasanya kubakar motormu sekarang juga,” teriakku lantang sekedar ingin mengeluarkan selaksa luka di dada, agar tidak terbawa ke rumah. Yang ini cukup berakhir disini, karena di rumah nanti perkara lain lagi.
Beberapa pengguna kendaraan yang baru saja keluar dari pompa bensin melihatku dengan tatapan heran. Mungkin pikir mereka aku ini orang stres.
“Kalau tidak ingat kebaikan orang tuanya, sudah lama aku keluar dari rumah itu.”
Perlakuan dan perkataan Adam yang tidak menyenangkan semuanya kupendam sendiri. Apa yang salah pada diriku? Hingga Adam tak bisa bersikap baik padaku. Pertanyaan itu membuat otakku lelah memikirkannya setiap hari.
“Sabar Amel, dua bulan lagi kamu wisuda.” Aku mengelus dada.
Semua kekesalan menjadi sirna jika mengingat moment saat toga akan disematkan di kepalaku, dan senyum bangga kedua orang tua yang selalu menaruh harap akan hari itu.
***
Aku mampir ke ATM mengambil uang yang sebenarnya untuk persiapan ujian skripsi yang kemarin baru saja ditransfer ayah dari kampung, tapi aku gunakan untuk membayar motor yang sudah terlanjur masuk bengkel. Minggu depan harus ujian skripsi, tu target yang aku kejar. Setelah bertemu dengan dosen pembimbimg, sedikit perbaikan lagi aku sudah bisa ujian dan semua itu bukan cuma butuh kesabaran dan keseriusan, tapi juga cuan.
Di rumah ini, aku lebih suka menghabiskan waktu dalam kamar jika semua urusan perdapuran dan bersih-bersih sudah selesai ku kerjakan. Mencoba merangkai kata untuk ku kirimkan pada ibu, jika aku butuh tambahan uang karena membayar motor yang ongkosnya melebihi setengah dari yang ayah kirimkan. Setelah terangkai aku tidak tega mengirimkannya. Aku takut hanya akan menyusahkan ayah, dan menjadi beban pikiran ibu. Mengingat ucapan ayah saat di telepon hanya bisa mengirin sejumlah itu, karena adikku di kampung juga lagi butuh biaya, sedangkan hasil panen kali ini sangat menurun.
Menenangkan pikiran, mengharap rejeki yang tak terduga hingga akhirnya tertidur.
***
Aku bersiap ke kampus saat semua orang telah pergi beraktifitas. Menunggu Lidya datang menjemput, sebuah notifikasi muncul. Pesan dari Lidya kalau ia tak jadi ke kampus. Segera kuganti baju menuju dapur membuat sesuatu yang bisa dijadikan makan siang nanti.
Terdengar suara pintu dibuka dan langkah kaki yang tegesa-gesa. Kutengok dari arah pintu dapur, ternyata Adam. Ia mengambil mapnya yang ketinggalan di meja tv.
Sambil mencuci peralatan yang kotor di westafel aku merenung, hingga tak sadar buliran bening mengalir di pipi.
“Heh. Kamu menangis?”
Aku sontak terkejut melihat Adam yang tiba-tiba berdiri di samping westafel dengan senyum sinisnya.
“Kalau iya, bukan urusan Ka Adam,” jawabku agar terlihat tegar.
“Bilang! Kenapa kamu menangis?” tanyanya.
Aku cuma diam sambil terus mencuci alat masak.
“Jawab! Tidak mau jawab, aku kurung kamu di kamar mandi,” ancamnya.
Aku membalas tatapannya. “Coba saja, kalau berani!” Kali ini aku tidak bisa diam.
Anehnya, meskipun Adam sering membuatku sakit hati, tapi tak pernah sekalipun aku mengeluarkan air mata dibuatnya. Entah mengapa kali ini, hanya karena mengingat perjalanan hidup aku sampai meneteskan air mata.
Adam nekat menarik tanganku menuju kamar mandi yang ada di dapur.
“Lepas! Lepaskan tanganku,” pintaku.
“Tidak akan ku lepaskan sebelum kamu bilang, apa yang membuat kamu menangis?”
“Kenapa Ka Adam mau tahu? Bukannya Ka Adam sendiri sering bikin aku sakit hati?”
Bukannya menjawab, ia malah menarik tanganku menuju kamar mandi.
“Masih tidak mau bilang?”
“Lepas, iya aku mau bilang.”
“Kenapa?” tanyanya penasaran.
“Aku tidak punya uang buat ujian skripsi, uangnya terpakai buat bayar motor dan pembayaran lainnya,” jawabku.
Ia melepaskan tanganku dengan kasar, lalu tertawa mengejek.
“Puas?” tanyaku.
Ka Adam merogok kantong celananya mengeluarkan sepuluh lembar pecahan seratus ribu dari dompetnya.
“Ambil!”
“Tidak!”
“Ambil!”
Aku melewatinya, ingin menyelesaikan cucian di westafel. Adam meletakkan lembaran uang tersebut di samping westafel lalu pergi.
“Buang di tong sampah jika kau tidak butuh!” ucapnya seraya pergi.
Aku menarik nafas melihat lembaran merah itu.
“Mungkin begini cara Allah memberikan aku pertolongan melalui orang yang sama sekali tidak aku harapkan.”
***
“Tante mau ke mana?” tanyaku saat melihat koper besar di ruang tamu.
“Bukan punya tante, itu punya Adam. Dia akan pindah tugas di luar kota.”
Deg. Jantungku berdetak kencang. Ada serangkum lara saat mendengar Adam akan pindah tugas. Harusnya aku senang jka mengingat perbuatannya padaku.
Erwin, teman laki-laki yang mengantarkan aku pulang sore kemarin kena semprotan air dari selang saat Adam menyiram bunga di halaman. Aku melihat persis jika Adam sengaja mengarahkan selang itu ke Erwin, tapi Adam seolah-olah tidak melihat apalagi merasa bersalah. Erwin mengirim pesan padaku memaki-maki Adam.
Hari ini aku malas ke kampus padahal ada beberapa yang ingin aku selesaikan untuk persiapan wisuda minggu depan. Biasanya aku menghindari bertemu Adam, tapi hari ini aku bahkan menunggunya pulang di teras depan. Akhirnya Adam datang dengan wajah lelahnya.
“Ka Adam,” panggilku, entah kekuatan dan keberanian dari mana.
“Ya?” sahutnya.
Aku kaget mendengar suaranya yang lemah lembut.
Butiran hangat langsung jatuh membasahi pipi. Tatapan kami bertemu. Tidak ada rasa benci sama sekali yang aku temukan dalam tatapannya. Tanpa harus diungkapkan, kami bisa menyalami perasaan masing-masing.
“Aku kasar, jutek, judes sama kamu, sebenarnya itu hanya caraku untuk menekan perasaanku pada kamu. Saat pertama kamu datang di rumah ini, aku tidak ingin menjadikanmu saudara karena aku telah jatuh hati. Sikap kamu selama empat tahun tinggal di rumah ini, sudah memperlihatkan sifat asli kamu yang sebenarnya. Semakin aku menekan perasaanku padamu, semakin aku tak ingin menjadikanmu saudara. Kamu pemenang di hatiku. Kamu adalah gadis yang cantik luar dalam,” ucapnya yang membuat wajahku merona bak tomat masak.
Aku tak berani menatap matanya.
“Satu pesanku, selama aku pergi, jangan ada pria yang mengantar atau menjemput kamu,” ucapnya serius dengan mimik memohon.
“Ingat, orang yang mengantar jemput akan kalah dengan orang yang datang melamar,” balasku.
Adam hanya tersenyum manis seraya masuk ke dalam rumah.
Air mataku mengalir deras karena bahagia.
***
Hari ini aku wisuda, kedua orang tuaku sudah datang sejak kemarin. Adam memberi kabar jika dia tidak bisa pulang. Sedikit kecewa, meski sering video call tapi aku merindukannya.
Saat pulang dari acara wisuda, aku kaget melihat mobil Adam. Rupanya Adam pulang.
Selesai makan siang bersama, dia minta waktu untuk bicara di depan orang tuakau dan orang tuanya.
“Om, Tante, saya ingin melamar Amel.”
Ucapan Adam barusan membuat semua orang kaget, bahkan jantungku seakan ingin keluar.
Kedua orang tuaku menangis penuh haru. Tante Ida langsung memeluk dan menciumku.
Ya Allah, inikah buah kesabaran yang engkau janjikan. Sabar itu memang pahit, tapi hasilnya sungguh manis. Engkau membuat semuanya menjadi indah disaat yang tepat.
END.
Donggala, 4 Juli 2024