Masukan nama pengguna
Suara gemuruh guntur menggelegar di langit, menandai dimulainya hujan deras di sebuah kota kecil. Di sekolah menengah negeri itu, suasana sudah semakin sepi karena malam semakin larut. Ruang kelas di lantai tiga gedung utama hanya diterangi oleh lampu-lampu temaram, menciptakan bayangan yang menari di dinding.
Bu Darmah, seorang guru sejarah yang sudah mengajar selama hampir dua dekade, baru saja selesai memeriksa tugas-tugas muridnya. Di layar komputer, ia melihat daftar hadir kelas XII-3. Sesuatu membuatnya tertegun. Nama di bagian paling bawah terasa asing. "Nadira Kurniawan," bisiknya pelan, mengernyit. Nama ini tidak pernah ia dengar sebelumnya, tetapi entah kenapa muncul di daftar sejak awal semester.
Bu Darmah mencoba mengingat-ingat. “Apa mungkin aku lupa?” pikirnya, meski rasanya tak mungkin ada murid yang tak ia kenali. Ia selalu bangga pada ingatannya yang tajam.
Saat hendak mematikan laptop, pintu kelas berderit pelan. Langkah kaki terdengar mendekat ke mejanya. Suara itu pelan, nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas di keheningan malam. Bu Darmah menoleh, namun tak ada siapa pun di ambang pintu.
"Krrr... Krrr..."
Suara seperti kuku mencakar papan tulis mengganggu keheningan. Bu Darmah berdiri, jantungnya berdebar tak menentu. Dengan hati-hati, ia berjalan ke depan kelas, mendekati papan tulis yang kini terlihat lebih suram di bawah cahaya redup lampu. Ada sesuatu yang tertulis di papan dengan kapur putih, tulisan yang tak ia ingat pernah dituliskan.
Nadira Kurniawan.
Bu Darmah menahan napas. "Siapa yang menulis ini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, ia menghapus tulisan itu. Namun, belum sempat ia melangkah kembali ke meja, suara langkah kaki terdengar lagi—bergerak dari sudut kelas, perlahan mendekat ke arah belakang.
"Cukup!" seru Bu Darmah, suaranya pecah di tengah keheningan. Ia melangkah cepat menuju pintu kelas, tapi sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, lampu tiba-tiba padam. Kelas tenggelam dalam kegelapan total, hanya disinari kilat yang menyambar di luar jendela.
Detik berikutnya, sebuah napas lembut terdengar di dekat telinganya. "Bu... Darmah..."
Ia berbalik cepat, dan di sudut ruangan, tampak bayangan samar seorang gadis. Rambut panjangnya menutupi wajah, tubuhnya tampak basah seakan habis terjebak hujan. Seragam sekolah yang dikenakannya terlihat samar dalam kegelapan, seolah-olah ia hanyalah bayangan yang tertinggal.
Dengan suara serak, gadis itu berbisik, "Kenapa Ibu melupakanku?"
Bu Darmah mundur beberapa langkah, tubuhnya menegang oleh ketakutan. "Siapa kau?" tanyanya, meski suaranya hampir tak terdengar. Gadis itu tak menjawab, hanya melangkah semakin mendekat. Setiap langkahnya meninggalkan jejak basah di lantai, dan udara di sekitar semakin dingin.
Saat Bu Darmah mencoba membuka pintu, gagangnya tak bergerak, terkunci rapat. Gadis itu kini tepat di depannya. Dalam kilatan petir, wajahnya tampak jelas—pucat, dengan mata kosong yang memancarkan kehampaan. Tangan kurusnya terulur, mencengkeram lengan Bu Darmah dengan kekuatan yang tak terduga.
"Aku Nadira. Aku ada di sini... selalu ada. Tapi tak ada yang mengingatku."
Bu Darmah meronta, mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman gadis itu begitu kuat. Ruang kelas terasa semakin sempit, dan udara seakan menghilang dari paru-parunya.
"Kenapa kalian semua melupakan aku?!" Gadis itu berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Aku ingin Ibu mengingatku... selamanya!"
Pintu kelas tiba-tiba terbuka, dan Bu Darmah terjatuh ke luar, napasnya tersengal-sengal. Ia segera bangkit dan berlari menyusuri lorong sekolah yang kosong tanpa menoleh ke belakang. Ketika akhirnya ia sampai di luar gedung, hujan deras menyambutnya. Tapi ada sesuatu di sakunya yang membuat langkahnya terhenti—sebuah foto usang seorang gadis dengan nama tertulis di bawahnya: Nadira Kurniawan.
Wajah gadis dalam foto itu sama persis dengan yang baru saja dilihatnya di kelas. Tapi bagaimana mungkin? Foto ini tampak begitu tua, seakan berasal dari puluhan tahun lalu.
Dengan gemetar, Bu Darmah menyadari bahwa Nadira bukan sekadar nama di daftar hadir. Dia adalah sosok yang terlupakan oleh waktu, tapi kini kembali untuk mencari pengakuan, menuntut agar diingat.
Angin malam meniup foto itu dari tangannya, membiarkannya melayang kembali ke sekolah yang berdiri angkuh di bawah kilatan petir, seolah menyembunyikan lebih banyak rahasia kelam di dalamnya