Cerpen
Disukai
4
Dilihat
3,560
Momok di Pesantren
Religi


"Pa, si Badu hari ini berantem lagi."

Makan malam baru saja berakhir dan Pak Rustam yang baru duduk santai di kursi goyangnya sayangnya harus langsung mendapat kabar tidak menyenangkan dari Bu Minah, sang istri. Lagi-lagi perihal Badu, keponakan mereka yang satu itu sejak kecil memang terkenal badung.

"Berantem kenapa lagi tu anak?" tanya Pak Rustam tak habis pikir.

"Katanya awalnya cuma kalah main game trus ejek-ejekan, tapi lama-lama malah adu jotos."

Pak Rustam berdecak tak senang. "Anak-anak zaman sekarang ini kok panasan, ya. Masalah sepele gitu aja diributin, kali ini berantem sama siapa lagi dia?"

"Itu, sama si Abdi anak Pak Murjani." Bu Minah memijit pelipisnya dengan tampang kesal. "Udah gak ketolong lagi tu anak, tiap hari ada aja yang di ajak berantem, gak ada kapok-kapoknya."

"Trus si Abdi gimana keadaannya? Gak ada luka serius, kan?"

"Gak luka gimana, pelipis anak orang sampe robek, harus dijahit pula."

"Astaghfirullah, Pak Murjani tahu?"

"Belum, tau sendiri Pak Murjani lagi di luar kota. Cuma istrinya yang datang marah-marah sambil minta ganti rugi biaya pengobatan anaknya. Saya jadi kasian sama Dik Murni, harus rela dimaki-maki orang gara-gara kelakuan si Badu."

"Trus uang pengobatannya udah dikasih? Bapaknya si Badu ada di rumah kan waktu kejadian?"

"Udah, Mas Burhannya lagi gak ada di rumah juga tadi sore, cuma aku sama adekku, makanya kami gak bisa berbuat banyak. Pas orangnya udah pulang Mas Burhannya baru datang."

"Trus apa katanya? Si Badu dihukum?"

Bu Minah tersenyum miris. "Si Badu mah udah keseringan dihukum, mana ngefek sama dia."

"Emangnya biasa dihukum gimana, kok gak mempan?"

"Paling dimarahin sama emaknya trus disuruh minta maaf sama temennya. Setauku paling parah cuma uang jajannya pernah ditahan sebulan sama bapaknya, tapi akhirnya dikasih lagi gara-gara dia malah malakin temennya, kan nambah masalah baru jadinya."

"Masa bapaknya gak bisa kasih hukuman lebih tegas biar dia jera?"

"Pernah mau dipukulin bapaknya, tapi gak jadi soalnya dilindungi sama emaknya. Tau sendiri si Badu kan anak satu-satunya yang ditunggu sejak lama, mana tega si Murni liat anaknya dipukulin."

Pak Rustam geleng-geleng kepala. "Trus gimana? Masa dibiarin gitu terus?"

"Katanya kali ini si Badu mau dimasukin ke pesantren. Mungkin aja kalo dimasukin ke sana dia mau berubah jadi lebih baik. Orang tuanya udah angkat tangan sih."

"Nah, ini dia nih, kesalahan yang sering banget dilakukan masyarakat kita. Anak nakal kok dimasukin ke pesantren, emangnya pesantren itu pusat rehabilitasi?"

"Lho, kan maksudnya baik, biar anak-anak nakal ini berubah jadi baik juga karena terpengaruh lingkungan yang baik. Gimana sih, Pa, kok jadi dihubung-hubungkan sama pusat rehabilitasi." Bu Minah kebingungan.

"Menurut Mama, kenapa pesantren itu didirikan?" Pak Rustam balik bertanya.

"Pesantren kan sama aja kayak sekolah pada umumnya, cuma pelajaran agamanya aja yang lebih banyak, kan? Trus sistemnya rata-rata asrama."

"Guru ngaji Papa pernah bilang tujuan pesantren itu untuk mencetak ulama. Dari sanalah diharapkan akan muncul ulama-ulama baru yang bisa menjadi sosok guru pembimbing umat. Jebolan pesantren diharapkan punya ilmu yang mumpuni untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul ditengah masyarakat berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah yang telah dipelajarinya secara mendalam. Mereka ibarat lentera ditengah masyarakat kita yang kebanyakan buta tentang agama. Mama ngerti gak apa maksud Papa?"

Bu Minah menggeleng. "Trus apa hubungannya dengan pembahasan kita tadi?"

"Gini, jika kita mengharapkan agar pesantren bisa menghasilkan bibit-bibit ulama yang bagus untuk masa mendatang, lalu kenapa kita malah mengirimkan tunas yang jelek?"

"Pa, bukannya ini agak menghina keponakan kita sendiri, ya?"

"Papa tidak bicara ini khusus untuk Badu, tapi hanya gambaran secara umum saja. Di masyarakat kita sering sekali terjadi, jika anak terlanjur nakal, orang tuanya baru akan berpikir untuk mengirim anaknya ke pesantren. Sekarang Papa tanya, jika sepasang suami istri mempunyai lima orang anak misalnya, tiga orang diantaranya punya otak yang biasa-biasa saja, dan dua sisanya adalah satu anak yang paling cerdas dan yang satunya paling bengal, mana menurutmu yang paling mungkin akan dikirim orang tuanya ke pesantren?"

"Mmm ... mungkin memang yang paling bengal, tapi kan tidak semua begitu. Banyak kok yang sedari awal memang berniat menyekolahkan anaknya ke pesantren karena ingin pendidikan agama yang bagus buat anaknya," bela Bu Minah, hatinya tak bisa terima begitu saja pendapat suaminya.

"Iya, tentu saja ada, terutama jika orang tuanya pada dasarnya agamanya sudah bagus. Namun tetap saja itu tidak bisa menafikan fakta bahwa ada banyak juga orang tua seperti yang Papa bilang tadi, hanya mengirim anaknya ke pesantren karena terpaksa, sebab sudah tidak sanggup lagi menghadapi kenakalan anaknya sendiri. Jalan terakhir ya pesantren yang jadi tempat penampungannya. Bisa Mama bayangkan apa saja yang terjadi saat anak-anak badung ini dilempar begitu saja ke pesantren? Gak mungkin bisa langsung jadi baik, kan? Salah-salah mereka malah bisa jadi pembully anak-anak baik yang ada di sana, lho. Sudah ada kasusnya kan yang kayak begitu?"

Bu Minah terdiam, ingin membantah tapi hati kecilnya merasa pendapat suaminya itu ada benarnya juga. "Jadi menurut Papa, salah ya kalau anak-anak yang bermasalah ini di kirim ke pesantren?"

"Papa tidak bisa serta merta menyalahkan juga sih, karena setiap orang punya pertimbangannya sendiri. Hanya saja itu jelas tidak membantu tujuan utama pesantren, malah hanya menambah-nambah beban para pengajarnya. Bagaimana para ustadz dan ustadzah-nya bisa fokus untuk menggembleng calon ulama-ulama baru jika setiap hari mereka masih harus dipusingkan untuk membina santri-santri badung ini? Akhirnya waktu yang harusnya terpakai untuk belajar agama malah tersita untuk memperbaiki akhlak mereka."

"Tapi kan siapa tahu yang badung ini nanti justru yang jadi alim ulama, bisa saja kan?"

"Kemungkinan memang selalu ada, karena tidak ada yang pasti di dunia ini. Semua orang bisa saja berubah, tapi menurut Mama, apakah para orang tua yang mengirim anak nakalnya ini ke pesantren adalah mereka yang berharap anaknya itu nanti menjadi alim ulama? Menurut Papa sih, mereka kebanyakan paling hanya berharap saat lulus nanti anaknya sudah gak badung lagi, itu saja."

"Jadi inti pembicaraan ini apa?" Bu Minah jadi pusing sendiri.

"Papa hanya berharap tidak ada lagi orang tua yang melemparkan tanggung jawab mendidik anak mereka yang kelewat nakal pada pihak pesantren. Seharusnya anak-anak kita yang paling cerdaslah yang dikirim ke sana, agar dimasa depan nanti kita punya ulama-ulama yang hebat dan kompeten dibidangnya."

Pak Rustam berhenti sejenak, menunggu jika sang istri ingin mengomentari. Namun karena Bu Minah diam saja, beliau pun melanjutkan orasinya.

"Para orang tua selalu bangga jika anaknya bisa jadi polisi, dokter, pilot, dan semacamnya kan? Karena itu saat memiliki anak yang cerdas mereka cenderung mengarahkan anak mereka pada bidang-bidang ini, bukan pada bidang agama."

"Itu tidak bisa disalahkan juga kan? Karena setiap orang tua tentu ingin anaknya mendapat pekerjaan yang bisa menghidupinya dengan baik. Kalau hanya menjadi ulama rasanya akan sulit."

"Menjadi ulama bukanlah penghalang untuk menekuni profesi lainnya, kan? Ulama-ulama kita rata-rata punya profesi sendiri kok diluar statusnya sebagai guru di masyarakat," tukas Pak Rustam.

"Kayaknya hanya segelintir dari lulusan pesantren yang bisa jadi ulama beneran, kecuali mungkin anaknya mau terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Itupun gak banyak yang berhasil," sahut Bu Minah skeptis.

"Ya, itu tadi, karena memang tidak semua yang masuk kesana punya tujuan yang sama. Padahal dakwah itu kewajiban semua orang lho. Namun, memang agak muluk mengharapkan semua orang bisa jadi alim hanya dengan masuk pesantren beberapa tahun. Tapi setidaknya minimal yang lulus dari sana basic agamanya sudah bagus."

"Papa dari tadi hanya menyoroti anak-anaknya, lalu bagaimana dengan adanya oknum-oknum pengajar yang bermasalah? Kan ada itu kasus-kasus pelecehan santriwati di berita?"

"Papa bukannya mengabaikan hal itu, tapi coba pikir, anak nakal dimasukkan ke pesantren dengan kesadaran penuh orang tuanya, kan? Artinya mereka punya andil disini. Sedangkan oknum pengajar yang bermasalah itu diluar kendali orang tua. Jadi minimal sebelum memasukkan anaknya ke pesantren tertentu harusnya orang tua kan sudah riset terlebih dahulu seperti apa track record sekolah itu. Kehati-hatian diawal setidaknya bisa meminimalisir kemungkinan itu."

"Kan ada juga yang sudah hati-hati tapi kalau emang lagi apes trus ketemunya yang gak baik, bisa apa?"

"Orang jahat itu ada dimana-mana, Ma. Berapa persen sih kasus pelecehan di pesantren kalau dibandingkan yang sekolah umum? Papa yakin diluar pesantren jauh lebih banyak, tapi karena pesantren identik dengan agama, makanya pemberitaannya jadi di blow-up habis-habisan. Intinya jangan fokus pada hal yang diluar kendali kita, fokuslah pada hal-hal yang bisa kita lakukan, usaha yang terbaik untuk masa depan anak-anak, sisanya tawakal saja pada Allah."

"Orang tua mendukung anak-anaknya untuk jadi dokter dan semacamnya itu juga termasuk mengusahakan yang terbaik untuk masa depan anaknya, kan? Jadi tidak salah dong kalau saat punya anak yang cerdas tidak kita masukkan ke pesantren."

"Tidak salah, pekerjaan apapun selama itu halal maka itu baik. Hanya saja apapun jenis profesi yang ingin ditekuni anak nanti, dasar agamanya tetap harus ada. Anak kita boleh jadi dokter, tapi hendaknya jadi dokter yang paham agama. Dia juga boleh jadi polisi tapi jadilah polisi yang paham agama, profesi apapun itu, agama tetap penting. Setidaknya kalau dasarnya sudah bagus, InshaAllah itu yang akan membangun kesadaran dirinya agar tidak terjerumus dalam praktek-praktek haram dalam lingkup pekerjaannya nanti."

"Trus kenapa Papa tadi kayaknya gak suka orang tua memasukkan anaknya yang cerdas bukan di ranah agama?"

"Karena jika semua yang cerdas hanya fokus pada bidang keduniawian, maka ulama seperti apa yang bisa kita harapkan kelak? Dokter, polisi, pilot, pengusaha dan lainnya itu kalau meninggal kita gampang nyari gantinya. Nah, kalau ulama?"

"Iya juga sih, ulama agak sulit untuk mencari gantinya, terutama yang benar-benar berkualitas."

"Makanya itu, dalam satu kampung minimal setidaknya ada satu warganya yang paham agama dengan baik. Supaya saat ada paham-paham tidak benar yang masuk ke daerahnya, ada yang bisa berdiri untuk menentangnya. Apa jadinya kalau tidak ada seorang pun dikampung yang tahu agama? Mereka mungkin dengan mudah akan terpengaruh aliran-aliran sesat. Naudzubillah."

Bu Minah yang kini mulai memahami garis besar penjelasan suaminya sontak kembali terpikir bagaimana nasib keponakannya.

"Trus si Badu gimana? Apa kita larang aja Dik Murni dan suaminya masukin Badu ke pesantren? Dari pada nanti dia mukulin santri disana kan?"

"Kita ajak bicara saja dulu baik-baik, gak hanya orang tuanya, anaknya juga. Kita analisa apa masalah utamanya, hal ini kan harus diselesaikan lebih dulu. Bukan main kabur ke pesantren aja. Kalau perlu bawa si Badu ke psikolog buat konseling. Setidaknya kalau memang akhirnya harus ke pesantren, dia harus berangkat dengan hati yang lapang dan kehendak sendiri, bukan keterpaksaan."

"Mungkin susah kalau bawa-bawa psikolog, Pa. Murni gak akan setuju, takut orang-orang mikir yang enggak-enggak soal anaknya."

"Lho kan demi kebaikan anaknya sendiri. Lagi pula ke psikolog kan gak harus orang tau. Bisa kok diem diem."

Bu Minah menggaruk kepalanya, ragu. "Ya udah deh, nanti kita coba ajak bicara dulu Marninya, tapi Papa yang harus jelasin, ya?"

"Lha, Mama dong yang ngomong, sesama cewek kan lebih gampang, lagian itu kan adek kamu sendiri. Kalau Papa yang ngomong salah-salah malah bisa bikin masalah baru."

"Padahal dari tadi ngomongnya pake kita, taunya cuma Mama nih yang disuruh pasang badan?"

"Papa ikut kok nyemangatin Mama, dari samping aja tapi." Pak Rustam nyengir.

Bu Minah speechless.





Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)