Cerpen
Disukai
1
Dilihat
12,213
Mirna
Drama

Dalam keremangan malam, sebuah mobil SUV merah melaju dengan penuh kehati-hatian menelusuri jalan yang berkelok menembus belantara hutan dan perbukitan di Minggu malam itu. Rintik hujan pun mulai turun dan perlahan tapi pasti berubah menjadi deras. Membuat hawa dingin di dalam mobil semakin terasa menusuk sampai ke tulang sum-sum.


Terdengar suara musik sayup-sayup dari dalam mobil diselingi obrolan antara dua orang penumpang didalamnya. Malam itu, Mirna dan suaminya hendak pulang ke Jakarta setelah menghabiskan waktu akhir pekan mereka di Bandung. Sengaja pasangan pengantin baru itu memilih rute Subang karena selain bosan lewat jalan tol, mereka kepengin suasana yang berbeda. Perjalanan pulang itu menjadi penutup dari rangkaian travelling akhir pekan mereka sebelum Senin menyapa kembali. 


"Next time kita kesana lagi ya, say," rayu Mirna ke suaminya.


"Ketagihan ya?" godanya.


Sesaat kemudian mobil itu mendekati sebuah tikungan tajam yang mengarah ke kiri. Masih asyik ngobrol, Mirna memperhatikan pemandangan janggal di depannya. Dengan samar tersorot oleh lampu depan mobil, ia seperti melihat sesosok wanita yang berada di tengah jalan hendak menyeberang ke sebelah kiri ruas jalan. Dengan spontan ia berteriak, "Awas!"


Sang suami yang panik segera membanting setir ke kanan. Kondisi jalan yang basah akibat hujan, membuat mobil tak mampu dikendalikan dengan baik. Mobil yang lepas kendali menjadi oleng lalu menerabas beton pembatas pinggir jalan sebelum akhirnya terjun bebas ke persawahan yang ada di bawahnya. "Brak!" Mobil mendarat dalam posisi terbalik. Kondisi mobil rusak berat dengan alarm yang masih meraung-raung dengan lampu depan yang masih menyala menanti untuk ditemukan.


Dengan napas tersengal-sengal, Mirna terbangun dari tidurnya. Mimpi itu terulang kembali. Jam dinding di ruang itu menunjukkan pukul 01:35. Sambil mengusap mata, ia duduk di tepi tempat tidur. Mengingat mimpi itu, sontak rasa takut menjalar dalam dirinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih segelas air dan beberapa buah pil di meja kecil samping tempat tidurnya lalu meminumnya. Berusaha untuk tidur kembali, ia meringkuk di bawah selimutnya di malam dingin dan lembab itu.


...........


Peristiwa itu terjadi sekitar enam bulan lalu. Kecelakaan maut itu torehkan duka yang mendalam bagi Mirna dan keluarga yang ditinggalkan. Baru tiga bulan menikah, tanpa pernah disangka ia harus berpisah dengan sang suami tercinta untuk selamanya.


Suaminya sudah tak bernyawa saat ditemukan petugas medis beberapa jam pasca kejadian tragis itu. Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain terhadap Mirna. Meski dalam kondisi medan yang berat karena tempat kecelakaan itu berada di lembah ditambah hujan yang deras, ia ditemukan masih bernyawa dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.


Walaupun sempat mengalami koma beberapa hari tapi takdir berkata lain. Seperti mukjizat, Mirna berangsur sadar dan mampu melewati fase kritisnya. Hari-hari selanjutnya kondisinya terus membaik. Para dokter dibuat heran dan tak percaya dengan progress yang terjadi padanya. Semula mereka pesimis akan kesembuhannya. Mengingat ada pendarahan di selaput otaknya akibat benturan keras yang ia alami dalam kecelakaan mobil itu.


Pada titik itu vonis mati sebenarnya sudah layak disandang Mirna. Namun para dokter tidak menyerah dan berusaha melakukan apapun untuk menolongnya. Saat itu harapan para dokter satu-satunya adalah operasi otak. Namun pilihan berat itu pun harus mendapat persetujuan dari keluarga Mirna karena risikonya sangat besar sekalipun operasi itu berjalan dengan baik.


Melihat perkembangan Mirna yang terakhir, seperti menjungkirbalikkan semua diagnosis dan analisis ilmiah yang dianut oleh dunia medis. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan menghendaki. Kini mereka percaya apa yang terjadi pada Mirna adalah sebuah takdir.


Dalam perkembangannya kemudian, Mirna dinyatakan sembuh total menurut hasil lab sekaligus meralat diagnosis awal yang dulu pernah dibuat para dokter. Meski demikian, fisioterapi dan konseling masih diperlukan baginya untuk beberapa bulan ke depan agar dirinya benar-benar sembuh dan normal kembali seperti semula baik secara fisik maupun mental.


............


Sebulan lebih telah berlalu sejak peristiwa kecelakaan nahas itu. Ditemani ibunya, Mirna berziarah ke makam sang suami pagi itu. Sudah lama ia ingin melakukan itu namun kondisinya belum memungkinkan. Akhirnya hal tersebut baru bisa terlaksana hari itu.


Berpakaian serba hitam dan mengenakan kerudung, ia berjongkok di dekat pusara sang suami. Lalu menaburkan sekantong bunga dilanjutkan dengan menuangkan sebotol air sebagai tradisi yang umum dilakukan para peziarah. Ritual tabur bunga dan air yang berkembang di masyarakat itu, merupakan ungkapan kasih sayang dan perhatian kepada si ahli kubur dari si pelayat.


Ia memandang ke arah nisan dengan tatapan kosong. Tak mampu menahan haru, air matanya jatuh berderai. Terdengar samar-samar ia seperti memanjatkan doa sambil sesekali mengusap matanya yang basah. Tak tinggal diam, Ibu yang berada di sampingnya, mengelus bahu anak semata wayangnya itu dengan sepenuh hati berusaha untuk menguatkan dan menghiburnya. Tak lama kemudian keduanya pergi meninggalkan tempat itu.


Ibu orang yang terdekat dengan Mirna setelah ia berpisah dari Ayah. Perpisahan itu terjadi saat Mirna masih berumur sekitar lima tahun. Sebagai anak tunggal yang dibesarkan tanpa kehadiran sang ayah, curahan kasih sayang yang diperoleh Mirna dari Ibu tidaklah kurang. Itu sebabnya ia sangat berat berpisah dari Ibu ketika ia sudah berumah tangga dan memilih tinggal di apartemen bersama suaminya.


Hingga saat ini, Mirna tidak terlalu paham alasan Ibu berpisah dari Ayah. Ia hanya menduga ada indikasi kekerasan dalam rumah tangga meski hal itu tidak pernah Ibu akui secara eksplisit. Ia pun tidak ingin menyakiti hati Ibu dengan mengungkit kembali masalah itu. Meski begitu hubungan Ibu dan Ayah masih berjalan baik hingga saat ini. Saat peristiwa kecelakaan Mirna dan suaminya terjadi, dengan sigap Ayah langsung datang menjenguk dan membantu mengurus berbagai keperluan.


Menyadari beratnya cobaan yang menimpa sang anak, dengan setia Ibu mendampinginya di masa sulit itu. Mirna diminta untuk bersabar dan tabah menjalani cobaan tersebut serta selalu berserah diri dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena semua yang terjadi pada setiap manusia pada hakikatnya tidak lepas dari takdir yang telah ditetapkan-Nya. Untuk itu, ia diharapkan dapat menerima dan selalu berbaik sangka atas apa yang terjadi padanya terlepas itu baik atau buruk.


............


Pagi itu, Mirna mulai bekerja kembali. Setelah cuti hampir dua bulan akibat kecelakaan tragis ditambah lagi proses pemulihan diri, kini ia betul-betul sudah merasa siap untuk beraktivitas kembali. Namun bukan hal mudah untuk membangkitkan kembali dirinya yang sempat down berat. Butuh perjuangan dan tekad yang kuat dan bulat untuk melakukan hal itu.


Walau berat kehilangan suami, tetapi "life must go on". Begitulah "mantra" yang selalu didengungkan dari beberapa kali konseling yang pernah ia ikuti. Dirinya harus diyakinkan berulang kali untuk merelakan apa yang sudah terjadi. Karena itu lebih baik dan damai baginya. Juga mengurangi beban berat dan menghilangkan stres hebat pada dirinya. Dan yang terpenting kehidupannya bisa normal kembali.


Bak atlet peraih medali di olimpiade yang baru pulang ke Tanah Air, ia merasa gembira sekaligus terharu dengan sambutan dari rekan-rekan sekantornya. Dengan sesenggukan, ia menyampaikan terima kasih atas dukungan dan perhatian yang diberikan padanya selama ia berkabung. Dan berharap semoga ia dapat kembali melakukan tugas dan pekerjaannya dengan baik dan profesional.


"Welcome home ya, Mir," sambut Santi sambil cipika-cipiki.


"Terima kasih, San," jawab Mirna sambil menyeka air matanya yang sesekali masih terurai.


"Good to see you back," ucap Santi sambil mengantar Mirna ke meja kerjanya.


"Me too," ujar Mirna sambil memperhatikan sekuntum mawar dan selembar kartu ucapan di atas mejanya.


Mirna tersenyum lalu berkata, "Kau memang sahabat terbaikku. Thanks a lot."


"It's okay, dear. Selamat bekerja kembali," imbuhnya sembari berjalan kembali ke meja kerjanya.


Santi adalah sahabat seperjuangan Mirna dalam urusan kerja. Mirna sudah mengenalnya sejak awal ia masuk kerja. Sebelum lulus kuliah, Mirna sudah magang di perusahaan penerbit itu. Jerih payahnya terbayar kemudian saat ia diterima dan bekerja secara penuh. Dalam empat tahun karirnya, beberapa pos pernah ia singgahi sebelum ia menempati bagian marketing dan promosi seperti saat ini.


Perlahan tapi pasti, Mirna menemukan kembali ritme kerjanya. Sebagai asisten kepala bagian, ia mampu melaksanakan apa yang diinstruksikan atasannya dengan baik. Meski awalnya sang atasan sempat khawatir terhadap kinerja Mirna pasca cuti panjang itu namun kini ia bisa bernapas lega. Ia tahu Mirna tetap bisa diandalkan karena dari dulu pekerjaannya memang bagus. Tanpa segan ia menyatakan kepuasannya dan memuji Mirna secara langsung atas kinerjanya itu.


.............


Sebulan berlalu sejak bekerja kembali, Mirna tampak enjoy dengan fase hidupnya yang baru. Dengan menyibukkan diri bekerja, pelan tapi pasti ia sudah dapat move on dari tragedi memilukan yang ia alami dan secara tragis telah menewaskan sang suami. Kesibukan harian telah membantunya dalam mengusir kesedihan dan kemuraman yang kerap datang sewaktu-waktu tanpa disadari.


Pagi itu, seperti biasa ia ke kantor dengan mengendarai mobilnya. Sesekali ia mengucek kedua matanya. Seperti ada garis-garis putih samar-samar dalam penglihatannya. Kondisi itu muncul tidak lama setelah ia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun ia tak begitu ambil pusing dan tidak memeriksakan diri ke dokter. Saat mobil berhenti di perempatan lampu merah, ia segera mengamati kedua matanya di spion dalam mobil sambil bergumam, "Sepertinya tidak apa-apa."


Secara spontan ia lalu menguji matanya dengan coba memperhatikan beberapa tulisan yang berada agak jauh dari mobilnya. Dengan terkejut ia berseru, "Ya ampun! Penglihatanku sepertinya semakin buruk saja. Mungkin sebaiknya aku segera memakai kaca mata."


Di meja kerjanya, Mirna tampak serius menatap laptopnya. Baru pukul 09:35, tiba-tiba terdengar suaranya. "Aduh! Muncul lagi!" keluhnya sambil meringis dan memegang kepalanya. Terasa ruangan di sekelilingnya seakan berputar. Sambil menahan rasa sakit, ia memejamkan matanya lalu menundukkan wajahnya beralaskan kedua lengannya di atas meja untuk beberapa saat.


Bukan kali pertama hal itu terjadi. Gejala itu mulai sering ia rasakan sebulan terakhir. Datangnya tidak menentu bisa kapan pun dan dimana pun. Seperti yang terjadi di kantor pagi itu. Awalnya ia anggap itu seperti sakit kepala biasa saja yang mungkin disebabkan masuk angin atau telat makan. Namun semakin lama, malah semakin sering dan parah.


Meski demikian, rasa sakit itu tidak berlangsung lama dan dapat hilang dengan minum obat sakit kepala. Itu sebabnya sekarang kemana-mana ia selalu membawa serta obat sakit kepala. Merasa teratasi, ia menganggap tak perlu repot lagi untuk periksa ke dokter. Namun untuk penglihatannya, ia berencana akan menemui dokter mata suatu hari nanti.


Sesaat setelah "serangan" mendadak itu mereda, Mirna melanjutkan kembali aktivitasnya seakan tidak terjadi apa-apa. Baginya pekerjaan yang pertama dan utama. Begitu keras kemauannya agar tidak mengecewakan atasan dan rekan-rekannya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan kembali padanya. Untuk itu, ia akan melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan profesional. Sekaligus ingin membuktikan bahwa dirinya masih bisa seperti dulu lagi.


...........


Setelah seminggu berkutat dengan pekerjaan, weekend yang ditunggu itu akhirnya tiba. Dengan semangat thanks god is friday, benaknya sudah dipenuhi dengan berbagai hal yang menanti untuk segera dieksekusi. Sepulang kerja, ia langsung memacu mobilnya menuju ke sebuah mal Jumat sore itu.


Selain belanja keperluan rumah, beberapa gerai pakaian tampak ia kunjungi dengan antusias. Tanpa terasa hampir jam sembilan saat ia melihat HP-nya. Puas setelah selesai menyalurkan hasratnya, ia pulang dengan membawa satu troli barang belanjaan.


Melaju keluar dari mal tersebut, Mirna memacu mobilnya dengan santai. Tak ada yang ia kejar. Pulang tinggal istirahat. Makan pun sudah sewaktu di food court tadi. Besok tinggal menikmati weekend. Pikirnya sambil mencari gelombang radio yang sesuai mood-nya saat itu.


Setelah berbelok beberapa kali, kondisi jalan mulai agak lengang. Tampak sorot lampu sebuah mobil di belakangnya terpantul jelas di kaca spion dalam dan juga luar. Sambil memperhatikan dengan saksama, ia berujar, "Bukankah itu mobil yang tadi?"


Meskipun malam, ia dapat mengenali mobil van itu karena saat antre keluar dari mal tadi, mobil itu berada persis di belakangnya. Dengan risau ia bertanya dalam hati, "Mungkinkah mobil itu mengikutiku dari tadi?" Seketika ia langsung membantah dugaan itu. "Mungkin saja kebetulan ia searah denganku."


Lama kelamaan kecurigaan itu bukannya hilang tetapi malah kian bertambah. "Apakah ini hanya perasaanku saja?" gumamnya sambil memperhatikan kembali kaca spionnya. Mobil van itu tampak konsisten dalam menjaga jarak dan terus membuntutinya.


"Oh, gimana ini?" ungkapnya panik.


Tak disangka laju mobilnya terpaksa terhenti karena lampu lalu lintas. Dengan cemas ia menoleh ke arah belakang. Terlihat sangat jelas mobil van itu berada persis di belakang mobilnya. Jantungnya berdegup kencang. Dadanya naik turun. Napasnya terengah-engah. Tampak jelas perasaan takut meliputi dirinya.


Tak berapa lama rintik hujan mulai turun. Membuat suasana semakin mencekam. Begitu lampu berkedip hijau, ia langsung tancap gas bak pembalap dalam balapan Formula One. Mirna lalu memacu mobilnya sengebut mungkin menjauh dari kejaran mobil penguntit itu.


Untuk beberapa saat mobil itu menghilang. Merasa aman, ia mengurangi kecepatan mobilnya. Namun tiba-tiba mobil itu muncul kembali di belakang dalam jarak yang agak jauh. Terkejut mengetahuinya, ia berusaha mempercepat kembali laju mobilnya karena sedikit lagi sampai ke apartemen.


Mobil city car itu berbelok ke kiri masuk ke area apartemen. Sambil membuka kaca mobilnya, Mirna melihat ke arah satpam yang sedang berjaga lalu menoleh ke belakang. Mobil van itu tampak berjalan pelan seakan mengamati mobil Mirna kemudian berlalu mengambil arah lurus. Mirna menarik napas lega dan langsung menuju gedung khusus parkir penghuni apartemen.


Keesokan pagi, Mirna langsung menelepon ibunya lalu menceritakan peristiwa tersebut. Ibu mendengarkan dengan saksama dan menyatakan kekhawatirannya. Menurutnya, mungkin Mirna sedang lelah sehingga tidak heran merasa seperti itu. Ia berpesan agar jangan terlalu memorsir diri dalam bekerja. Ibu juga menyarankannya untuk cek ke dokter agar tahu kondisi dirinya secara medis. Di akhir obrolannya, Ibu berharap dan berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja.


.............


Untuk kesekian kalinya, sakit kepala Mirna kambuh kembali saat sedang berada di kantor. Parahnya akhir-akhir ini gangguan itu semakin sering dan memburuk bahkan disertai efek samping yang menyakitkan. Berbagai suara atau bunyi aneh muncul bersamaan dengan datangnya serangan sakit kepala.


Ia mampu mendengar bunyi dan suara dari berbagai obyek yang berada di sekitar dan agak jauh darinya. Seperti orang yang sedang ngobrol. Suara tarikan dan hembusan napas seseorang. Bunyi ketukan di keyboard dan mouse. Suara air minum yang dituang ke dalam cangkir. Bunyi jarum jam dinding yang berdetak.


Saat mendengarkan bunyi-bunyi itu, ia betul-betul tersiksa. Sekalipun sudah menutup kedua telinganya, suara-suara itu membuat sakit kepalanya semakin parah. Tak kuat menahan sakitnya, suatu ketika ia pernah ditemukan pingsan tergeletak di bawah meja kerjanya. Segera setelah kejadian itu, seisi kantor tahu kondisi Mirna.


Kabar itu sampai ke telinga sang atasan, Suwandi. Dari laporan, ia mengetahui bahwa Mirna telah beberapa kali absen dari rapat kerja. Selain itu, ia juga mendapatkan informasi bahwa beberapa seller mengeluh karena order buku yang mereka buat, telat dikirim.


Untuk memastikan kabar berita itu, Suwandi memanggil Mirna ke ruangannya. Ia ingin mendengarkan langsung pengakuan dari mulut Mirna. Disamping itu, ia dan pihak manajemen sudah berdiskusi dan mengambil langkah antisipasi terkait perihal Mirna jika memang ditemukan ketidaksesuaian dengan aturan kepegawaian yang berlaku. Kini ia bermaksud menyampaikan keputusan itu ke Mirna tentunya setelah mendengar penjelasan darinya terlebih dulu.


"Menurut kabar yang beredar dan saya dengar, anda punya masalah kesehatan. Apakah benar?" tanyanya.


"Betul, Pak. Saya terkadang mengalami sakit kepala akhir-akhir ini. Maafkan saya, Pak. Belakangan ini pekerjaan saya jadi agak terganggu akibat sakit kepala itu," ungkapnya.


Seakan ingin membela diri, buru-buru ia melanjutkan, "Tapi saya baik-baik saja dan masih bisa melakukan pekerjaan saya dengan baik."


Suwandi langsung merespons, "Mir, saya mengerti kondisimu. Pasca musibah itu, saya masih yakin padamu. Bahkan saya sendiri akui kinerjamu masih bagus. Tapi ingat kita di perusahaan punya aturan. Mengenai apa yang terjadi padamu saat ini, pihak manajemen sudah memutuskan".


Ia lalu melanjutkan, "Manajemen masih memberimu kesempatan untuk tetap disini. Untuk itu, kamu diberi waktu off dulu seminggu ke depan. Dengan harapan, nanti saat kamu kembali lagi bekerja, kamu lebih siap, fresh dan bersemangat. Manfaatkan waktu itu! Oke, Mir?"


Meski berat diterima, dengan mata yang berkaca-kaca ia menjawab, "Baik, Pak. Terima kasih."


..............


Sebelumnya Ibu pernah menyarankan Mirna untuk ke dokter namun tidak dilakukan. Akan tetapi kali ini Mirna tak bisa mengelak lagi. Membawa sebuah map coklat lebar berisi hasil CT scan lab kemarin, Mirna didampingi Ibu masuk ke ruang praktik dokter di Minggu sore itu. Tampak jelas raut wajah tegang keduanya. Itu kali kedua mereka menemui sang dokter untuk menyerahkan hasil lab sekaligus memperoleh diagnosis.


Dokter Latif, ahli saraf dan neurologi, mengernyitkan dahi saat memperhatikan foto scan tersebut dengan saksama. Beberapa kali ia terlihat mengangkat kaca matanya ke dahi untuk melihat foto itu secara langsung dengan mata telanjang. Suasana hening sesaat meliputi ruangan. Tak lama akhirnya ia buka suara.


"Dari hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada indikasi kerusakan pada sel dan jaringan otak ataupun gejala yang mengarah kesana. Kondisinya normal. Sehat wal afiat," ungkapnya tersenyum.


Mendengar pemaparan sang dokter, Ibu dan Mirna langsung bernapas lega. Secara refleks keduanya mengucap syukur pada Tuhan dan berterima kasih ke dokter. Lebih lanjut dokter menyarankan agar Mirna menemui psikiater guna memperoleh penjelasan rinci seputar kondisi psikologis dan kejiwaan yang sedang ia alami.


Di kesempatan berbeda, keduanya menemui psikiater seperti yang disarankan dokter. Menurut Psikiater Elvira, kemungkinan Mirna masih ada trauma akibat kecelakaan itu. Hal itu yang kemudian memicu gangguan klinis seperti sakit kepala beserta efek sampingnya dan juga keluhan pada mata. Selain itu, muncul juga gangguan psikis seperti rasa cemas dan takut yang berlebihan. Untuk pengobatan, ia meresepkan obat dan menyarankan Mirna untuk konseling. Dengan harapan semoga Mirna benar-benar bisa sehat kembali baik fisik maupun mental.


............


Seminggu setelah cuti khusus yang diberikan berlalu, Mirna kembali bekerja. Masih segar dalam ingatannya saat sang atasan berharap agar ia bisa comeback dengan semangat baru dan lebih fresh. Untuk itu, ia bertekad dan berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik yang ia bisa. Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, semua ia lakukan dengan totalitas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain dapat bekerja dengan performa seperti dulu lagi.


Pada awalnya sempat ada perubahan positif yang tampak di permukaan dan sesuai dengan harapan semua pihak. Namun sakit kepala ditambah efek samping yang kerap kali datang, membuatnya kewalahan dan akibatnya tidak mampu memenuhi target kerja yang telah ditentukan.


Tak hanya itu, belakangan kondisi jiwanya juga terlihat labil. Di suatu kali rapat, Mirna pernah didapati sedang melamun. Badannya memang ada di tempat tapi pikirannya melayang entah kemana. Semakin lama ia semakin tampak seperti orang bingung dan linglung.


Beberapa minggu berlalu namun tidak banyak yang dapat ia lakukan untuk mengubah keadaan. Sebuah acara launching buku baru molor dari waktu yang ditentukan dan terpaksa harus di-reschedule. Dan puncaknya sebuah acara meet and greet seorang penulis ternama, terpaksa dibatalkan karena penguluran jadwal dari waktu yang telah disepakati dengan si penulis. Semua sengkarut itu tidak lepas dari peran dan andil Mirna di dalamnya.


Kini harapan dan impian tinggal kenangan. Masa keemasan itu tinggal sejarah usang yang tak mungkin terulang. Kinerja Mirna benar-benar berbalik 180 derajat. Dulu dipuji kini dijauhi. Semua hasil kerja kerasnya selama ini lenyap seketika bak ditelan bumi. Karirnya terpaksa harus berakhir sampai disini.


............


Menyadari kondisi Mirna yang ternyata tidak lebih baik dan diluar ekspektasi, Suwandi tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan kelangsungan karir anak buahnya itu. Masalah Mirna kini sudah diambil alih oleh bagian personalia. Ia sendiri tidak tahu pasti kebijakan yang akan diambil perusahaan tapi sudah bisa menduga ke mana arahnya. Ia hanya diminta menunggu perintah dari atas dan melaksanakannya.


Hari itu Suwandi mengantar Mirna ke ruang personalia yang berada di lantai yang atas. Bak tersangka dalam sebuah kasus, Mirna akan dihadapkan ke manajer personalia untuk menerima vonis terakhirnya. Sedih dan kehilangan yang ia rasakan saat akan melepas kepergian Mirna untuk selamanya. Sebagai atasannya, ia merasa kasihan pada jalan hidup Mirna yang penuh liku dan haru.


Terlepas dari sudut pandang subyektifnya, Suwandi menilai masalah ini haruslah dilihat secara obyektif dan profesional. Satu sisi, perusahaan sudah berusaha untuk tetap mempertahankan Mirna dengan memberinya kesempatan melalui cuti panjang pasca kecelakaan dan cuti khusus. Sisi lain, berbagai upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil. Hingga deadline yang ditentukan, Mirna tetap tidak juga menunjukkan tanda-tanda yang diharapkan perusahaan. Dari kenyataan itu, sudah bisa disimpulkan apa yang akan terjadi selanjutnya.


Tak lama kemudian sampailah mereka di ruang yang dituju. Setelah mengetuk, Suwandi membuka pintu dan mempersilahkan Mirna masuk sementara ia sendiri tidak ikut masuk. Sesaat ia menatap Mirna diiringi senyuman dan anggukan kepala isyaratkan simpati dan dukungan padanya lalu segera berlalu tanpa berkata apa-apa.


Di ruangannya sang manajer sudah menanti kedatangan Mirna. Bak algojo hukuman mati, ia akan menyampaikan keputusan itu. Dengan welcome, ia menyambut dan mempersilahkan Mirna duduk. Sambil menanyakan kabar dan ngobrol santai, ia berusaha membuat suasana jadi lebih cair dan rileks sebelum masuk ke inti masalah.


"Baik, saudari Mirna terima kasih atas kedatangannya. Saya ingin langsung to the point. Menindaklanjuti cuti khusus yang sudah diberikan perusahaan, manajemen sudah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap performa dan kinerja anda beberapa waktu terakhir ini. Setelah melalui berbagai pertimbangan, sampailah kami pada keputusan terakhir. Dengan berat hati manajemen terpaksa menempuh langkah berat ini."


Dengan tatapan murung dan bernada simpati, ia lalu melanjutkan, "Dengan sangat terpaksa kami menonaktifkan saudari sebagai pegawai di perusahaan ini. Itu artinya anda tidak bekerja lagi disini terhitung mulai hari ini."


Namun Mirna yang ngotot tetap ingin bekerja, meratap. "Tolong, Pak! Beri saya kesempatan sekali lagi! Saya masih sanggup bekerja. Saya janji akan melakukan apapun yang diminta dan tidak akan membuat kesalahan lagi. Saya akan buktikan pada Bapak," pintanya memelas.


"Maafkan saya. Dengan segala hormat, semua sudah diputuskan oleh manajemen perusahaan bukan saya," jelasnya sambil menyerahkan sebuah map berisi surat penonaktifan dirinya.


Ia coba menenangkan diri Mirna yang tampak begitu tergoncang seraya berkata, "Ini bukan akhir dari segalanya. Anda masih muda. Banyak yang masih bisa dilakukan. Jangan putus asa! Saya yakin dan percaya anda bisa sukses lagi seperti yang dulu pernah anda lakukan disini."


Sang manajer lalu berdiri dan berjalan menuju pintu ruangan kemudian membukanya. Mirna lantas keluar tanpa berkata apapun saat melewati manajer yang masih berdiri di samping pintu. Dengan tertunduk lesu dan berurai air mata, ia menyusuri lorong itu kembali ke lantai bawah tempat kantornya berada.


Dalam langkah kakinya, ia merasa begitu hampa dan tak berdaya. Menerima kenyataan pahit itu, benar-benar membuatnya terpukul. Tak mampu berpikir. Hanya gundah-gulana yang ia rasakan. Baru saja kesedihan karena kehilangan suaminya reda, kini hal itu seakan terulang kembali.


Saat Mirna hendak kembali ke mejanya, seluruh mata di ruang itu seakan tertuju padanya. Membandingkan sambutan hangat beberapa waktu lalu, tatapan itu membuat suasana hatinya terusik dan terganggu. Seakan menyiratkan penyalahan padanya atas kemelut yang terjadi dan kepuasan atas kemalangan yang menimpa dirinya. Membuat kondisi jiwanya semakin bertambah tak menentu dan tak terkendali.


Mengetahui apa yang dialami Mirna, Santi sebagai seorang teman dekat, mendatanginya. Ia bisa merasakan apa yang sedang Mirna rasakan. Ia mencoba menghibur dan meringankan sedikit masalah yang sedang merundung Mirna. Ia tahu itu masalah yang sangat berat bagi Mirna. Dan ia ingin Mirna tahu bahwa ia akan selalu bersama di sisinya.


"Mir, aku sungguh bersedih atas apa yang terjadi. Aku sadar ini sangat berat bagimu. Andai ada yang bisa ku lakukan untuk membantumu, tolong sampaikan saja. Jangan sungkan!" ujarnya penuh perhatian.


"Apa lagi yang kau inginkan dariku? Belum puaskah kau dengan apa yang terjadi? Kau sama saja seperti mereka. Menyalahkanku atas semua kekacauan yang terjadi. Tertawa di atas penderitaanku. Kau pikir aku tidak tahu?" amuknya sehingga terdengar oleh semua orang di ruang itu.


"Oh Mirna! Apa yang kau bicarakan! Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku melakukan hal buruk semacam itu. Kau tahu aku ini sahabatmu. Kita sudah lama saling kenal dan bekerja sama. Bagaimana mungkin aku tega menyakitimu?" ungkapnya.


"Jangan mendekat! Aku tidak butuh bantuanmu," bentaknya saat Santi hendak membantu mengepak barang-barang yang akan dibawanya pulang.


Coba redakan suasana, Santi berucap dengan tulus, "Mir, aku tahu kau sedang kesal dan kecewa dengan semua ini. Aku pun merasakan hal yang sama seperti dirimu. Dukamu dukaku juga. Walau kita tidak lagi bersama, aku ingin kau tahu aku akan selalu bersamamu di setiap langkah dan waktumu."


"Tidak! Kau tidak perlu lagi bermanis-manis di depanku! Selama ini aku bisa sendiri tanpamu. Kau bebas mengatakan apapun yang kau mau. Semuanya tidak ada gunanya lagi," ucapnya ketus lalu meninggalkan Santi tanpa kesan yang baik.


Mendapat respons mengejutkan dan tak mengenakkan, Santi begitu sedih harus berpisah dari Mirna dengan cara seperti itu. Ia terheran-heran dengan sikap Mirna itu. Seperti bukan Mirna yang ia kenal selama ini. Jauh dari arti sahabat yang semestinya.


Di saat terakhir mereka bersama, tak ada yang lebih ia inginkan selain perpisahan yang akan selalu dikenang. Meski begitu, Santi masih memaafkannya dan memaklumi suasana hati Mirna yang sedang kalut kala itu. Ia mendoakan yang terbaik baginya dan berencana menghubunginya suatu saat nanti.


............


Jumat sore itu benar-benar weekend terburuk dalam hidupnya. Pikirannya berkecamuk. Pada titik itu ia benar-benar hancur. Ia begitu hanyut dibuai kesedihan selama perjalanan pulang itu. Tiba-tiba sakit kepalanya muncul. Hampir saja ia tak mampu menyetir mobilnya, namun ia memaksa diri karena apartemennya sudah ada di depan mata.


Meski masih menahan rasa sakit, ia lega bisa sampai ke tujuan. Sambil mengerang, ia buru-buru merogoh saku luar tasnya. Dua pil itu langsung ia telan. Tak lama kemudian kepalanya terasa sedikit lebih enteng. Namun penglihatannya agak kabur dan suara-suara aneh itu mulai terdengar kembali.


Sengaja tidak membawa turun barang packing dari kantornya, ia bergegas keluar dari mobil. Dalam penglihatannya, lampu-lampu di tempat parkir itu tampak sesekali meredup. Derap langkah kaki dari high heel-nya begitu jelas menggema di pelataran parkir yang sepi itu.


Ia merasa dirinya sedang dikuntit. Saat menoleh ke samping dan belakang, seperti ada bayangan yang muncul sekilas lalu menghilang. Saat yang sama, ia mendengar sayup-sayup suara seperti memanggil namanya. "Miiirnaaa!" Dengan merinding, ia bergegas menuju pintu masuk ke dalam gedung dengan kartu pass yang digesek terlebih dulu.


Merasa aman setelah sampai di dalam gedung, ia segera menuju lift. "Bing!" pintu lift yang kosong itu terbuka. Dengan perasaan berdebar, ia melangkah masuk ke dalamnya. Berdiri di depan pintu lift, ia lalu menekan angka 12 sambil mengucek matanya yang samar melihatnya.


Sendirian dalam lift, suasana mencekam meliputinya. Sempat berhenti di lantai lima, namun saat pintu lift terbuka tidak ada siapa-siapa. Sekali lagi suara aneh itu terdengar kembali memanggil namanya. Entah bagaimana lampu dalam lift tiba-tiba meredup lalu mati sesaat.


Mirna yang panik, tak sengaja menjatuhkan kunci gesek dan kamarnya yang masih ia pegang. Saat menunduk untuk mengambil kunci itu, ia bergidik saat melihat pantulan dari pintu lift di depannya. Samar-samar terlihat sesosok bayangan seperti wanita tanpa menjejakkan kaki di sisi dinding bagian belakang lift.


Tak mampu melihatnya, ia hanya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang gemetar ketakutan. Seketika bau amis seperti darah menyeruak di dalam kabin lift yang kedap udara. Aromanya begitu menusuk sehingga membuatnya mual. Dari balik celah jemarinya, ia dapat melihat dari pantulan di pintu lift tampak sosok itu perlahan seperti akan mendekatinya. 


Ia mengutuk waktu yang seakan berhenti berjalan sementara ia ingin lift segera sampai ke lantai 12. "Cepat! Cepatlah!" teriaknya dalam hati. "Bing!" saat pintu lift terbuka, secepat kilat ia melompat keluar. Berlari tunggang-langgang ke sebelah kiri koridor menuju kamarnya.


Bak polisi sedang menggerebek tempat kejahatan, Mirna menyergap masuk ke dalam kamarnya lalu mengunci rapat pintunya. Ia segera meraih HP dan menelepon Ibu. Menanti teleponnya diangkat, seluruh lampu termasuk tv ia nyalakan untuk mengusir rasa takut yang menjalar dalam dirinya. Di panggilan kedua barulah teleponnya diangkat. Dengan mengharu-biru ia mengungkapkan semua yang terjadi kepada Ibu walau dengan suara terbata-bata.


..............


Sekitar 30 menit berselang, terdengar suara ketukan di pintu disertai suara yang memanggil namanya. Melalui lensa pembesar di pintu, ia memastikan itu Ibu. Begitu Ibu masuk, Mirna langsung mendekapnya erat dengan tersedu-sedu. Berusaha tetap kuat, Ibu menenangkan Mirna.


Belum paham duduk perkaranya dengan jelas, Ibu menanyai kembali Mirna. Ia tak percaya saat memperhatikan surat penonaktifan yang diberikan Mirna. Walau berat diterima, ia dapat mengerti alasan di balik keluarnya surat itu. Meski Ibu sudah merelakan tapi bagi Mirna mungkin tidak semudah itu. Ibu merasa ini menjadi tugasnya untuk memahamkan Mirna tentang hal itu. Dengan pelan-pelan akan ia lakukan dan berharap Mirna menerimanya dengan lapang dada.


Terkait halusinasi yang Mirna alami lagi, Ibu teringat pendapat psikiater yang ditemui pada waktu lalu. Menurutnya, kecelakaan itu telah menimbulkan trauma kejiwaan pada diri Mirna. Dampaknya adalah gangguan klinis maupun psikologis seperti yang Mirna alami sejauh ini.


Dari situ, Ibu menyimpulkan bahwa gangguan halusinasi yang terjadi disebabkan faktor trauma yang masih membekas dalam dirinya yang kemudian kambuh lagi. Tak heran jika hal itu suatu saat dapat terulang kembali. Untuk itu, ia akan membujuk Mirna untuk ikut konseling lagi seperti yang pernah disarankan psikiater.


Selama dua malam, Ibu menemani Mirna di apartemen. Saat hendak pulang, ia mengajak Mirna tinggal bersamanya. Namun Mirna tampak enggan seraya mengatakan ia sudah merasa lebih baik dan bisa ditinggal sendirian. Ibu lalu pulang dan berharap kondisi Mirna baik-baik saja selanjutnya.


............


Di suatu malam saat hujan deras, HP Mirna berdering. Ia lalu mengangkatnya dan tampak bahagia menerima telepon itu. Wajahnya berseri diselingi sesekali senyuman. Sebuah kondisi langka yang ia rasakan dalam beberapa waktu terakhir. Setelah mengakhiri obrolan yang cukup lama itu, ia lalu mengambil sebuah payung dan tampak bersiap ingin keluar meski dalam cuaca yang sedang tidak bersahabat.


Dalam dingin malam, ia menelusuri lorong demi lorong apartemen yang kosong dan sepi. Menapaki langkahnya dalam kegelapan demi kegelapan menuju taman yang berada di sebelah apartemen. Ia hendak menemui orang yang tadi meneleponnya. Mereka berdua sudah berjanji untuk bertemu di tempat yang dulu biasa mereka datangi di saat santai atau weekend.


Dalam temaram lampu taman diiringi desiran angin dan butiran air hujan, dari kejauhan ia dapat menyaksikan seseorang yang ingin ia temui telah menantinya. Di bangku taman itu, keduanya bertemu dan melepas kangen bak sepasang kekasih yang lama tak bersua. Mirna begitu mendambakan untuk bertemu dengannya. Ia sangat ingin terus bersamanya sampai kapanpun dan tak ingin melepasnya walau sesaat pun.


.............


Pagi subuh, Ibu dikejutkan oleh telepon yang masuk dari nomor asing. Mengaku dirinya sebagai pengelola apartemen tempat Mirna tinggal, si pria meminta Ibu untuk secepatnya datang ke apartemen karena telah terjadi sesuatu pada Mirna. Saat didesak ada apa dengan Mirna, ia hanya menjawab sesuatu yang kurang baik telah terjadi.


Tak menyangka mendapat kabar mendadak dan tak mengenakkan itu, Ibu buru-buru berangkat. Hampir tak jauh beda dengan yang ia rasakan seminggu lalu. Perasaan khawatir kerap muncul tiap kali mendatangi Mirna. Diliputi was-was, sulit baginya membayangkan hal buruk apa lagi yang akan ia temui kali ini.


Mendekati kamar Mirna, tampak ada dua orang pria. Salah satunya berpakaian satpam. Mereka sengaja menunggu di depan kamar nomor 1216 itu. Salah satunya yang berjaket kulit hitam, menyambut kedatangan Ibu. Ia memperkenalkan dirinya dan mengaku dirinya yang telah menelepon Ibu.


Satpam menuturkan ia menemukan Mirna tergeletak di atas bangku taman dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan. Dari CCTV tertera waktunya pukul 01:35 saat ia melintasi koridor bawah dekat taman. Keberadaannya baru ditemukan sekitar jam 5 subuh. Keduanya dibantu petugas yang lain lalu membawa Mirna kembali ke kamarnya. Setelah penuturan itu keduanya lalu pamit. Ibu berterima kasih banyak atas bantuan yang diberikan.


Saat Ibu masuk, Mirna sedang berbaring di tempat tidur. Kondisinya kelihatan baik. Namun yang mengejutkan, raut wajahnya tampak gembira. Bahkan tidak pernah segembira itu sejak insiden kecelakaan mobil yang merenggut nyawa suaminya.


Walaupun shock mendengar laporan barusan, dengan penuh kasih Ibu menyapa Mirna dan bertanya dengan lembut, "Ada apa, sayang? Apa yang terjadi?"


"Yuda, Bu. Ia meneleponku semalam dan datang menemuiku di taman sebelah apartemen," jelasnya bersemangat.


Mendengar itu, sontak wajah Ibu berubah pucat pasi, "Mir, Yuda sudah tiada. Ia ..." 


Mirna langsung menyela pembicaraan Ibu. "Tidak, Bu! Itu Yuda. Ia nyata. Itu benar-benar dia. Aku bersamanya semalam."


"Oh Tuhan! Suamimu sudah meninggal dalam kecelakaan enam bulan lalu, Mir. Tidakkah kau ingat saat berziarah ke makamnya bersama Ibu? Itu membuktikan Yuda telah wafat. Tempatnya bukan disini lagi. Sadarlah, Nak!" ratap Ibu pilu. 


.............


Melalui kaca sempit di bagian tengah pintu, Ibu tertegun menatap ke dalam ruang itu sembari mengusap matanya yang basah. Di ruang berukuran 3x4 meter itu, Mirna kini ditempatkan. Sudah hampir sebulan, ia disana. Fisiknya tampak sehat. Sementara untuk pemulihan kesehatan jiwanya, masih terus diupayakan pihak rumah sakit. Ditemani seorang dokter, Ibu meninjau Mirna untuk mengetahui perkembangannya hari itu.


Pasca insiden di taman itu, Ibu membawa Mirna menemui Psikiater Elvira yang dulu menanganinya. Ibu menceritakan seluruh kejadian yang dialami Mirna. Psikiater lalu memeriksa Mirna. Apa yang dulu ia sampaikan, tidak jauh beda dengan apa yang ia kemukakan kembali. Menurutnya, trauma lamanya kambuh lagi karena dipicu oleh masalah pekerjaan dan pemecatan dirinya.


Akibatnya, gangguan psikisnya yang sudah dideritanya menjadi lebih parah dan mengarah pada gangguan jiwa berat. Walaupun demikian, dengan pengobatan dan perawatan intensif, Mirna masih mungkin disembuhkan. Untuk itu, Ibu disarankan membawa Mirna ke RSJ. Sebenarnya Ibu tidak menginginkan hal tersebut tapi ia tidak punya pilihan lain. Itu yang terbaik bagi Mirna setidaknya untuk sementara waktu ini.


(SELESAI)



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)