Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,190
Mereka Yang Tak Terlihat
Horor

Karena sesuatu hal, kami diharuskan untuk meninggalkan rumah dan dengan berat hati mencari tempat tinggal baru untuk kami huni.

Sekitar akhir bulan Maret, kami telah menemukan sebuah rumah yang bisa dibilang baru. Namun rumah ini sudah dibangun sekitar dua tahun silam, tanpa seorangpun pernah tinggal di dalamnya. Rumah bergaya modern dengan tangga di bagian belakang yang terhubung dengan dak atas untuk sekedar menjemur pakaian. Dan, sangat kebetulan jika rumah yang berada tepat di sebelah rumah kami ini juga belum dihuni oleh pemiliknya. Bisa dikatakan sang pemilik rumah sebelah menunggu kami untuk tinggal di sini lebih dahulu. Entah mengapa sebabnya.

Hari pertama kami mengunjungi rumah ini untuk bersih-bersih. Lantai yang berdebu memang tak bisa dihindari. Namun secara keseluruhan rumah ini bisa dibilang bersih dengan catnya yang masih baru.

"Aku beli minum dulu, ya?" kata suamiku yang pergi begitu saja tanpa menunggu jawabanku. Hari masih siang, namun awan mendung bergerak dan mulai menutupi cahaya mentari. Entah mengapa rasanya aku sedikit tak nyaman berada di dalam rumah ini sendirian dengan keadaan cuaca seperti itu. Namun aku tetap harus membersihkan rumah ini mengingat satu minggu lagi kami sudah harus menempatinya.

Aku melangkah ke arah dapur, lalu berhenti di depan pintu kamar mandi. Menyalakan keran air untuk melihat bagaimana kondisi airnya. Tidak ada masalah, air keran yang bersumber dari Toren di atas mengalir dengan deras dan jernih. Namun tiba-tiba lampu di dalam kamar mandi itu mati, padahal kami baru saja meminta pemilik rumah untuk mengganti lampunya dengan bolam yang baru, jadi tidak mungkin lampunya putus begitu saja. Aku mendongak ke atas, melihat ke arah bolam lampu yang mati, di saat itu dari balik punggung terasa ada bayangan besar yang menutupi, reflek aku pun berbalik dan tak seorangpun berada di sana.

"Mungkin hanya perasaanku," gumamku dan kembali melangkah ke dapur untuk membersihkan lantainya. Rasanya memang terasa asing, mungkin karena ini pertama kalinya kami masuk dan bersih-bersih. Setiap kamar yang aku masuki juga terasa aneh, tapi aku menguatkan diri untuk tidak berpikir macam-macam. Ya, wajar saja rumah ini sudah kosong selama dua tahun.

"Gimana, ngak, apa-apa, kan?" tanya suamiku yang kembali dengan senyum lebar setelah 30 menit berlalu, padahal warung yang ia tuju tidak jauh dari sini.

"Ngapain aja? Beli minum kok lama banget," kataku kesal, seolah dia sengaja melakukan itu karena tahu kalau istrinya ini sedikit penakut.

"Diajak ngobrol sama bapaknya yang punya warung. Kenalan gitu. Terus, ini sudah selesai?"

"Ya, sudah. Besok lagi aja keburu hujan," sahutku yang kemudian menutup pintu rumah dan menguncinya dari luar.

"Lah, hujan," kata Suamiku yang nyatanya mengharuskan kami kembali menunggu karena hujan yang cukup lebat itu. Suamiku duduk di lantai teras, begitu juga denganku.

ceklek ....

Aku dan suamiku saling pandang, jelas kami berdua mendengar suara itu dari dalam pintu rumah.

"Kamu denger, ngak?" tanyaku memastikan.

Suamiku mengangguk, "Iya, seperti orang mengunci pintunya."

"Terus?" kataku lagi.

"Ya, biarin aja," jawabnya sembari meneguk air mineral dingin yang dibelinya tadi. Aku menarik napas panjang, belum juga tinggal sudah begini. Apalagi hanya aku dan anak - anak yang tinggal di sini, sementara suamiku hanya pulang setiap akhir pekan karena bekerja di luar kota.

"Sudah, ngak ada apa-apa. Jangan dipikirkan," ujarnya lagi sembari berdiri untuk bersiap pulang karena hujan sudah berhenti.

...

"Ini rumah kita sekarang," aku mengatakan itu kepada anak - anak yang terlihat antusias. Mereka masuk dan langsung melihat kamarnya.

"Wah, bagus!" celetuk si kecil yang terlihat senang.

Hari berjalan seperti biasa, tidak ada yang terjadi di sana. Sampai genap satu bulan kami tinggal di rumah ini dan tetangga sebelah pun sudah menghuni rumahnya.

"Mbak, si kecil kalau tidur malam jam berapa?" tanya mba Ida, yang menghuni rumah tepat di sebelah rumahku itu.

"Sekitar jam 8 malam, Mbak, kenapa?" tanyaku.

Terlihat Mbak Ida terdiam, seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Ehm, enggak. Beberapa malam ini terdengar seperti suara anak lari - lari. Mungkin sekitar pukul 10 malam. Aku pikir itu si kecil, Mbak," ucapnya.

"Oh, aku kok nggak denger, ya? Aku malah dengernya kalau pagi itu. Ada suara dari dapur Mbak Ida seperti ngulek cabai. Cuma aku mikir masa setiap hari ngulek."

Mbak Ida tampak terkejut, "Hah? Padahal aku nggak pernah masak kalau pagi. Biasanya buat sarapan anak - anak itu beli, Mbak," jawabnya.

Mendengar jawaban itu, giliranku yang terdiam. Selama ini aku pikir kalau Mbak Ida yang sedang memasak di dapur setiap pukul 4.30 pagi sehingga aku tidak merasa cemas sama sekali, berpikir kalau sudah ada teman yang bangun dan memasak di jam itu. Tapi ternyata jawaban itu membuatku harus berpikir lagi.

"Owalah, saya kira itu Mbak Ida," kataku putus asa.

Sore pun berlalu, digantikan dengan malam yang begitu hening dan sepi. Rumah di mana kami tinggal bisa dibilang tidak terlalu ramai dengan aktivitas penduduknya. Biasanya mereka sudah berada di dalam rumah dan menutup pintu sebelum pukul sembilan malam. Bahkan di siang hari pun sepi.

Malam itu, aku terbangun pukul 2 dini hari karena mendengar suara tarikan kursi yang cukup nyaring dari rumah Mbak Ida. Aku pikir, barangkali Mbak Ida belum tidur dan sedang menata ruang tamunya itu. Ya, sudahlah. Pikirku yang tidak terlalu ambil pusing dan kembali tidur.

Esok paginya seperti biasa aku membuka pintu rumah pukul 4.30 pagi untuk mengambil sapu yang kuletakkan di teras. Saat itulah Mbak Ida juga ke luar untuk menyiram tanaman di halaman rumahnya.

"Mbak Lala, malah sekarang narik kursi segala, Mbak!" serunya dari balik dinding setinggi 2 meter yang menjadi pembatas antara rumah kami.

"Loh, itu bukan Mbak Ida, ya?" tanyaku terkejut.

"Bukan, ngapain aku tengah malam narik-narik kursi. Mbak Lala juga denger?" ujarnya.

"Denger, nyaring begitu," balasku.

"Ini kenapa, ya, Mbak? Kok makin aneh - aneh aja," tukasnya.

"Iya, padahal kita juga sudah mengadakan doa syukuran di rumah ini," sahutku.

"Ya, sudah, Mbak. Semoga tidak ada apa - apa lagi," ucap Mbak Ida yang melanjutkan aktivitasnya itu.

Aku pun masuk ke dalam untuk menyapu dan memasak bekal sekolah bagi anak - anakku. Atas apa yang terjadi semalam, aku terpaksa menyalakan semua lampu di ruangan yang masih redup karena matahari belum sepenuhnya terbit.

Pagi itu sang kakak menghampiriku, dengan sedikit berbisik dia berkata, "Ma, semalam kayak ada suara orang nangis. Suara perempuan."

"Oh, itu sebabnya kamu pindah kamar?" ucapku membuatnya tertawa kecil.

"Makanya jangan suka nonton game horor jadi kebawa mimpi. Sudah, ayo, berangkat nanti terlambat," kataku lagi.

"Tapi itu bukan mimpi, Ma," ucap kakak yang tak terima dengan jawabanku tadi. Aku memilih untuk tidak menjawab lagi. Tidak ingin anakku ketakutan karena hal seperti itu.

Sepulang dari mengantar sekolah anak - anak, aku pun kembali bertemu Mbak Ida yang masih berada di teras rumahnya untuk bersih - bersih.

"Mbak," sapaku membuatnya berjalan untuk menemuiku.

"Eh, Mbak, pernah ngak denger suara perempuan menangis?" Pertanyaan itu membuatku menautkan kening sekaligus terkejut. Ternyata bukan hanya si kakak yang mendengarnya.

"Kalau aku, sih, enggak. Tapi anakku yang besar mendengarnya semalam. Oh, ya, kapan magrib itu Mbak Ida berdiri di luar tidak? Saat itu aku lagi kedatangan tamu dan kebetulan kami berbincang di luar karena si kecil main sepeda. Maaf, ya, Mbak. Kemarin itu aku tidak menyapa karena lagi mendengarkan teman yang bicara, cuma senyum aja," ucapku yang merasa tidak enak karena itu.

"Loh, kemarin magrib aku tidak di rumah, Mbak. Aku pergi dan baru kembali sekitar pukul sepuluh malam. Memangnya ada apa?"

Deg ... lagi? pikirku.

"Jadi, kemarin itu aku lagi kedatangan tamu. Terus melihat Mbak Ida berdiri di depan pagar, tapi Mbak Ida juga cuma tersenyum saat kita beradu pandang. Lumayan lama kok Mbak Ida berdiri di situ. Setelah itu aku pikir Mbak sudah masuk ke dalam, karena nggak terlihat lagi," jelasku.

"Pakai baju apa, Mbak? Daster panjang?"

"Iya, daster panjang ungu bunga - bunga," sahutku yakin karena aku melihatnya dengan jelas.

"Padahal aku nggak punya warna seperti itu, Mbak. Wah, semakin parah ini," ujarnya kemudian.

"Berarti itu bukan orang, Mbak. Mungkin mau kenalan aja," ucapku yang merinding di sekujur tubuh.









Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)