Cerpen
Disukai
1
Dilihat
9,668
Meraih Cinta dan Asa
Drama

Beranjak Dewasa

Aku bersekolah di sebuah sekolah yang unggul di daerahku. Bersekolah di sekolah yang unggul tentunya membuat mental kita naik turun. Bukan hanya masalah saingan akademis maupun non akademisnya. Tetapi mental juga akan teruji dengan keadaan lingkungan pertemanan yang sungguh berbeda dari yang lain. Saling menjatuhkan adalah hal yang sering terjadi, walaupun tidak semua orang seperti itu. Apalagi aku mengikuti sebuah organisasi besar di sekolah yang orang-orangnya cukup dipandang. Perilaku sekecil apapun pasti diusik oleh mereka yang tidak suka agar kita jatuh dan nama organisasi kita juga ikut jelek. Namun, seperti halnya dengan orang-orang di SMA lain, aku juga memiliki sahabat-sahabat yang sangat dekat denganku, mereka tidak satu organisasi denganku, tetapi mereka satu kelas denganku. Kami bisa dibilang sangat dekat, dan sering berbagi cerita satu sama lain.

               Cerita ini, berawal pada saat pertengahan kelas 11, pada saat itu kondisi tubuhku tidak cukup baik. Karena aktivitasku yang padat, baik aktivitas pelajaran sekolah, aktivitas organisasi, dan aktivitas ekstra membuat aku sering sekali mengabaikan makan, dan istirahat. Hal itu membuatku tidak bersekolah selama 1 minggu, karena aku terkena dispepsia akut atau yang biasa disebut maag akut, sampai-sampai aku harus berada di rumah sakit selama 3 hari. Tidak ada teman-temanku sekolah selain para sahabatku yang tahu aku berada di rumah sakit, mereka hanya tahu bahwa aku sakit.

               Setelah 1 minggu aku tidak sekolah, semua aktivitasku di sekolah, aku tinggalkan akhirnya keadaanku cukup membaik, dan mulai bersekolah tetapi tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan organisasi dan ekstrakulikuler terlebih dahulu. karena hal ini, aku jarang sekali bertemu teman-teman organisasiku.

               Namun, selang 2 hari setelah 1 minggu aku tidak masuk sekolah, sahabatku memberitahukanku sebuah omongan buruk yang dilontarkan oleh salah satu teman organisasiku. Ternyata, selama ini dia sering sekali menjelek-jelekanku didepan teman-teman non organisasiku. Dia mengatakan bahwa aku hanya bersandiwara sakit, untuk menginggalkan tanggungjawabku di organisasi. Awalnya aku tidak mempercayai hal ini, namun tak lama kemudian aku mendengar sendiri perkataannya saat aku tak sengaja melewati kamar mandi, dan pada saat itu dia dan teman-temannya sedang membicarakanku.

               Pada kondisiku yang seperti ini, tentunya aku membutuhkan dukungan dari teman-temanku. Namun, apa yang terjadi justru sebalaiknya. Aku merasa sangat hancur seketika dan rasa kesal dalam hatiku sudah tidak bisa terbendung. Dia yang aku anggap sebagai teman ternyata diam-diam menjatuhkanku dihadapan orang banyak. aku pernah mendengar dia mengatakan agar sakitku lebih parah. Dia juga pernah mengatakan bahwa semua ini hanya sandiwara. Tetapi di didepanku dia berlagak seperti seorang teman. Mungkin bermuka dua itu adalah keahliannya, bukan hanya aku yang mengatakan hal seperti ini. Banyak dari teman-teman lamanya yang juga tidak suka dengan tingkah lakunya mengatakan hal ini kepadaku. Para sahabatku juga mengetahui perkataan kejinya yang ditujukan kepadaku, bahkan dia juga menghasut teman-teman organisasiku untuk tidak memperdulikanku dan membenciku. Sungguh semakin hari, hati dan pikiranku sudah sejalan tidak ingin bertemu ataupun berbicara dengan dia. Aku hanya tidak ingin menjadi orang rendahan yang marah-marah kepadanya. Tujuanku menghindar dari kondisi ini karena aku tidak mau melampaui batas kesabaranku. Jika aku benar-benar menemuinya dan melabraknya mungkin keadaan akan semakin rumit, dan orang lain juga akan memandangku jelek tentunya.

               Maka dari itu, aku memilih jalan lain untuk membalasnya, bukannya aku dendam atau semacamnya, tetapi aku hanya ingin dia merasakan betapa hancurnya seseorang hanya dengan satu kalimat penghinaan yang tidak benar.

               Seminggu berlangsung aku sering menghabiskan waktu di kelas, jarang pergi ke kantin. Aku tidak ingin tiba-tiba bertemu dengannya. Namun, setiap hari teman-teman organisasiku menghampiriku di kelas. Mereka memintaku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi aku tidak mau mereka tahu sebelum aku dan sahabatku mengusut tuntas hal ini. Setiap kali teman-temana organisasiku dating, aku hanya mengatakan bahwa aku tidak ingin dulu bertemu dengan dia. Mungkin mereka juga bertanya kepada orang bermuka dua itu, tapi mungkin dia tidak mau mengaku. Mana mungkin orang yang pandai mencari muka seperti dia mau mengaku. Akhirnya sahabatku secara diam-diam mendekati seseorang yang cukup dekat dengan orang bermuka dua itu. Sahabatku berhasil melihat isi chat orang bermuka dua itu dengan salah seorang temannya, sungguh isi chat tersebut sangat diluar dugaan. Ternyata perkataannya lebih kejam, amarah yang kupendam sungguh tidak dapat kupendam. Aku menunjukkan isi chat tersebut kepada teman organisasiku yang setiap hari menghampiriku. Mereka terkejut, dan tidak menyangka tentang semua ini. Akhirnya, teman-teman organisasiku sepakat untuk menanyai hal ini kepada orang bermuka dua itu. Mereka tidak mau, kita semua dalam satu organisasi terus-terusan bertengkar.

               Sebenarnya aku tidak mau meluruskan hal ini dengan orang bermuka dua itu, tetapi aku juga berpikir kalau terus-terusan seperti ini, orang bermuka dua itu juga tidak akan terbongkar kebusukannya. Akhirnya aku memutuskan menemuinya.

               Sepulang sekolah, kami berkumpul di ruang organisasi untuk menyelesaikan hal ini. Suasana tegang sungguh terjadi, aku hanya diam untuk menahan emosiku. Teman-temanku organisasi menunjukkan isi chat tersebut kepada orang bermuka dua itu. Dia hanya terdiam dan terlihat sedikit menahan takut. Aku sudah tidak tahan dengan kondisi seperti ini, akhirnya aku angkat bicara dengan nada sedikit tinggi,

“Apa maksud kamu, ngelakuin semua ini?” kataku kepadanya. Dia awalnya mengelak isi chat tersebut dengan berbagai alasan yang tidak logis. Kata-kata amarahku terus terlontar, samai pada akhirnya aku diam sejenak dan menatapnya. Tak lama kemudian dia mau mengakui kebenaran, dia sempat meminta maaf denganku, dan teman-temanku organisasi yang lain juga ikut menenangkanku dan memintaku untuk memaafkannya. Sebenarnya dalam hatiku sungguh tidak rela, tapi aku juga tidak tega melihat teman-teman organisasiku yang menangis melihat hal ini, air mataku juga ikut mengalir deras dan akhirnya aku memaafkannya. Akhirnya, hari demi hari keadaan semakin membaik, aku dan dia juga sudah mulai mengobrol dengan biasa. Aku juga sudah mulai aktif kembali di kegiatan organisasi.

               Masalah yang berawal dari ketidaktahuan satu sama lain, yang mengakibatkan hati saling membenci. Seucap kalimat yang menghina tidak dapat bisa kita anggap remeh dampaknya terhadap orang lain. Dari perkataan dia yang menyakitkan mampu membuat hidupku seakan berada di ruang yang segalanya berwarna hitam, yakni sungguh menyiksa.

               Dan pada akhirnya, kita dapat bertindak lebih dewasa sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan hati yang ikhlas. Dari semua kejadian yang membuatku merasa hancur tersebut, aku dan teman-temanku dapat mendapatkan pelajaran bahwa kita perlu saling memahami satu sama lain. Tidak perlu saling menyalahkan, kita butuh kedamaian maka kebenaran dengan sendirinya akan terungkap. Dari awal pertengkaran dampai akhir hingga kita meneteskan air mata, memiliki sebuah akibat yang luar biasa, yakni rasa kekeluargaan kita semakin erat, dan kita dapat memahami sifat teman kita masing-masing. Dari kejadian itu juga, kini kita memiliki sebuah pengalaman yang luar biasa, sehingga kita dapat mengajarkan kepada generasi penerus organisasi kami mengenai berbagai solusi yang perlu kita ambil disaat kita menghadapi masalah. Ego tidak perlu bertindak berlebihan jika hati masih bisa diajak berdamai.

Banjir Pergi

Pada siang hari, di sebuah hutan yang sangat lebat terdapat rumah tua,rumah itu tidak ada penghuninya dan terlihat sungai yang cukup besar di dalamnya, namanya sungai cikeas. Hutan tersebut selalu di tutupi pohon-pohon besar. Sungainya pun airnya sangat jernih dan menyegarkan, sangat indah untuk di lihatnya.

               Pada suatu hari, terdengar bahwa sebentar lagi di pinggir hutan akan di bangun sebuah pabrik besar, pabrik pengolah bahan-bahan industri. Pabrik tersebut rencananya akan di bangun tepat menghadap depan sungai Cikeas. Para penghuni hutan sangat terkejut mendengar kabar tersebut, terutama Pak Diyan yang sering menjelajah hutan itu. Ia berpikir bahwa nantinya pabrik industri tersebut akan membuang limbah-limbah hasil olahannya. Jika itu terjadi, kelangsungan hidupnya akan terancam. Ia tidak ingin sampai hal itu terjadi. Sungai cikeas terasa sejuk karena di atas hutan terdapat pohon-pohon yang di tanami oleh Pak Diyan dan Pak Joko, mereka adalah laki-laki rajin yang sering membersihkan hutan dan ia di perintahkan oleh Pak Sakti pemilik hutan itu, supaya tetap menjaga kebersihan hutan tersebut. Suatu hari, Pak Joko berencana untuk mengunjungi sungai. Ia ingin bertemu dengan Pak Diyan. Karena sudah beberapa hari tidak bertemu. Pak Joko pun jarang pergi ke hutan itu, karena ia sakit dan kondisinya pun sudah tua. Setelah menelusuri hutan lebat. Pak Joko bertemu dengan Pak Diyan di pinggir sungai.

               Kemudian mereka saling berbincang-bincang. Pak Diyan pun bercerita tentang keadaan yang sedang ada di hutan saat ini, masalah yang di hadapi berkaitan dengan akan di bangunnya pabrik industri yang letaknya di pinggir sungai. Pak Diyan sangat khawatir dengan hal seperti ini dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, karena Pak Sakti marah apabila sampai ada pembangunan pabrik industri. Pak Joko pun mendengarkannya karena ia tidak tahu yang sedang terjadi di hutan ini. Pak Diyan meminta solusi kepada Pak Joko. Namun, Pak Joko dimintai solusi ia merasa ketakutan mendengar cerita Pak Diyan. Pak Diyan pun bertanya kepada Pak Joko mengapa ia merasa ketakutan setelah mendengar cerita Pak Diyan. Kata Pak Joko merasa khawatir jika pabrik itu di bangun, pabrik tersebut akan mengganggu kesehatan dan akan mengeluarkan asap polusi yang akan mencemari udara. Asap tersebut akan merusak dirinya dan semua penghuni hutan.

               Tidak terasa sudah pukul lima sore, mereka belum menemukan solusi masalah yang mereka hadapi. Namun, mereka berdua kembali ke atas hutan karena hujan turun dengan derasnya dan mereka pulang ke rumah masing-masing. Pak Diyan dan Pak Joko telah sepakat untuk meneruskan pembicaraan keesokan harinya. Keesokan harinya, pukul enam pagi, pak Joko yang awal datang ke hutan itu, tidak lama kemudian setelah Pak Joko duduk di bawah pohon besar ternyata Pak Diyan datang menghampirinya karena mereka ingin melanjutkan pembicaraan yang terpotong kemarin. Belum sempat mereka berbicara, tiba-tiba terdengar orang yang sedang berjalan ke arah mereka, tanpa mereka melihat ke arah belakang. Ternyata yang datang adalah Pak Sakti dan putranya bernama Bisma. Ia melihat keadaan hutan. Pak Sakti memanggil Pak Diyan dan Pak Joko, mereka berdua segera menemui Pak Sakti. Pak Sakti pun mengajak mereka untuk pergi ke pinggir hutan. Setelah sampai di pinggir hutan Pak Sakti sangat terkejut dan ia tidak percaya apa yang di lihatnya, ia melihat truk besar yang ada di sana. Ia juga melihat banyak pekerja yang sedang sibuk mempersiapkan alat-alat dan sebagainya. Nampaknya mereka ingin membangun sesuatu di pinggir hutan itu. Pak Diyan dan Pak Joko sangat ketakutan, ia menceritakan tentang rencana pembangunan pabrik besar di pinggir hutan di ceritakannya kepada Pak Sakti. Jantungnya berdetak, dan wajanya memucat. Kemudian Pak Sakti dan putranya memutuskan untuk pergi dari hutan itu, ia tidak percaya apa yang telah di katakana oleh Pak Diyan dan Pak Joko.Sudah hampir dua bulan pabrik itu berdiri. Pak Diyan dan Pak Joko semakin khawatir saja.

               Tidak lama kemudian mereka mengabari teman-temannya untuk datang ke hutan dan mereka memberikan solusi. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, mereka hanya menunggu apa yang akan terjadi untuk selanjutnya. Keesokan harinya Jemi adalah anaknya Pak Joko. Ia sedang berjalan di sekitar pabrik tiba-tiba ia terkejut melihat di pinggir sungai banyak tumpukan sampah dan kayu-kayu sisa pembangunan terapung di sungai. Terlihat sangat kotor dan berbau menyengat sehingga dapat mengganggu pernapasan manusia. Ia segera pulang ke rumah untuk memberitahukan apa yang terjadi di hutan.

               Sesampainya di rumah, Jemi segera memberitahu Pak Joko, ia melihat dengan jelas bahwa para pekerja pabrik membuang sampah dengan seenaknya saja. Kebetulan di rumah Jemi sedang ada pak Diyan dan teman-temannya. Segera mereka berbicara untuk mengatasi masalah ini. Pukul satu siang, semua berkumpul di hutan. Setelah semuanya datang Pak Sakti dengan muka serius menerangkan semua masalah yang mungkin akan mengancam kehidupan hutan. Semua dengan tenang mendengarkan Pak Sakti be rbicara semuanya mengelurakan ide-ide. Namun, semuanya hampir putus asa dan merasa bingung. Namun, lain halnya dengan Jemi, ia cukup cerdik untuk menyelesaikan masalah ini. Sejak tadi, terlihat sangat santai tanpa mengeluarkan pendapat. Hari sudah sore, saat semua terlihat bingung tiba-tiba Jemi angkat tangan, sepertinya ia ingin mengeluarkan pendapat.

               “Selamat sore Bapak-Bapak…” Jemi berkata.

“Kita memang sedang di hadapkan pada masalah yang sangat sulit, kita semua tidak boleh panik ataupun merasa takut, kita harus menyelesaikan masalah ini dengan baik, saya punya usul, apakah Bapak-Bapak setuju membuat bencana dan merusak pabrik yang sudah di bangun?” tanya Jemi. “Apa maksudmu membuat bencana?” tanya Pak Sakti.

“Maksudku adalah membuat bencana banjir agar pembuatan pabrik tidak bisa di lanjutkan.” Jawab Jemi. “Bagaimana caranya nak?” tanya Pak Sakti.

“Pak, untuk masalah seperti ini, Bapak bisa menyerahkan semuanya kepada kami, Bapak tinggal menunggu hasilnya saja.” kata Jemi menjawab dengan tenang.

“Apakah benar itu semua?” tanya Pak Sakti.

“Benar Pak, kami akan menyelesaikan dan menyelamatkan hutan ini.” jawab Jemi, berbicara dengan yakin. “Saya akan menyerahkan kepada kalian semua. Apakah semuanya siap?” tanya Pak Sakti. “Siiiaaaap…” jawab serentak.

               Pada pagi harinya, semua para penghuni hutan kembali untuk melaksanakan rencana Jemi dan semua orang yang datang membagi-bagi tugas masing-masing. Pertama bekerja adalah Jemi, ia dengan beberapa orang pergi ke pembangunan pabrik dan sungai. Tiba-tiba hujan pun turun.

               Semakin lama hujan turun semakin lebat. Semua orang yang berada di pabrik panik. Air sungai meluap dan mulai menggenangi area pabrik, bahan-bahan bangunan belum sempat di selamatkan sudah hancur terbawa arus sungai. Para pekerja tidak berani menyelamatkan alat-alat yang hanyut karena terbawa arus sungai yang sangat deras. Bukit-bukit mulai melongsorkan tanah. Semua alat tidak bisa digunakan lagi. Bangunan pabrik hampir jadi, setelah turun hujan yang sangat deras, kini sudah rata dengan tanah. Para pekerja sangat kebingungan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka hanya melihat bangunan yang mereka baru saja bangun sudah hancur. Mereka tidak tahu apakah ini akan dilanjutkan atau tidak. Mereka menunggu keputusan dari bos.

               Hujan pun turun, mereka terlihat sangat sedih, kesal dan juga marah. Para pekerja pergi dari tempat pembangunan pabrik dan meninggalkan semua alat perlengkapan.mereka segera melapor apa yang baru saja terjadi di hutan. Keesokannya, PaknSakti mengumpulkan orang yang telah membuat rencana menggagalkan pembangunan pabrik. Pak Sakti ingin berterima kasih kepada semuanya karena tela berhasil menyelamatkan hutan dan pemcemaran limbah pabrik industri. Semua terlihat sangat senang dan bahagia. Kini pembangunan pabrik di hutan tidak di lanjutkan lagi. Hutan bebas dari ancaman polusi dan limbah pabrik. Semua penghuni hutan menjalani kehidupan seperti biasanya dan mereka hidup dengan tenang.

Surat Ibu Guru

Merah padam wajah Lina ketika melihat Reza merobek-robek surat itu di hadapannya. Ingin rasanya ia menampar anak itu. Tapi dia tak punya keberanian. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya. Berlari ke luar tanpa mengucapkan apa-apa. Ia kesal. Ia marah. Tapi kepada siapa?

               Tadi pagi ketika Bu Guru mengabsen, beliau mengeluh. “Lagi-lagi Reza tidak masuk. Ini sudah hari kedua. Siapa yang tahu ke mana dia?” tanya Bu Guru.

Tak seorang pun menjawab.

“Siapa yang tinggal dekat dengan rumah Reza?” tanya Bu Guru lagi.

“Lina, Bu!” sahut Meta.

“Kalau begitu sepulang sekolah nanti mampir ke kantor. Ibu mau menitipkan surat untuk orang tua Reza,” kata Bu Guru kepada Lina. Lina tidak berani menolak, meskipun sebenarnya ia enggan melakukan tugas itu. Rumahnya memang berdekatan dengan rumah Reza. Bahkan persis berada di belakang rumahnya.

               Untuk menuju rumahnya Reza, Lina harus melewati gang yang terletak di sebelah kiri rumah Reza. Jadi setiap pergi dan pulang sekolah, ia selalu melewati rumah gedung yang bagus itu. Hanya saja gerbang masuk rumah Reza berada di sisi jalan yang lain. Lina perlu memutari jalan itu untuk ke rumah Reza. Akan tetapi, bukan itu alasannya tak pernah mampir ke sana. Lina merasa agak segan pada anak itu. Reza juga selalu bersikap acuh tak acuh bila Lina lewat di samping rumahnya.

“Apakah kamu sudah menyampaikan suratnya?” tanya Bu Guru keesokan harinya.

Lina mengangguk. Ia tak berani menceritakan hal yang sebenarnya.

“Tapi kenapa Reza masih belum masuk sekolah?” tanya Bu Guru lagi. “Apa dia sakit?”

Lina menggeleng.

“Kalau begitu, tolong berikan surat Ibu kepada orang tuanya sepulang sekolah nanti. Mungkin surat yang kemarin belum sempat mereka baca.” Kata Bu Guru. Lina mengeluh dalam hati. Lagi-lagi dia tidak punya keberanian untuk menolak. Kini pun kakinya gemetaran saat dia melangkah memasuki halaman rumah yang bagus itu.

“Surat dari guru lagi?” tegur Reza yang sedang asyik bermain dengan anjingnya. “Sini biar aku robek.”

Sesaat Lina kaget mendengar sambutan Reza. Ia tersinggung. Rasa marahnya timbul sehingga lupa pada ketidakberaniannya.

“Sombong!” katanya geram.

               Dilemparkan surat dari Bu Guru ke kaki Reza. “Tuh! Robek-robek sepuas kamu. biar besok aku lagi yang disuruh nganterin surat ketiga ke sini. Apa kamu nggak tau kalau waktu aku terbuang gara-gara surat itu? Aku harus membantu Ibuku, tahu! Orang tuaku tidak kaya. Karena itu, Ibuku harus berjualan agar aku bisa sekolah. Tak seperti kamu. Kamu masih sanggup cari sekolah lain kalau kamu dikeluarkan dari sekolah kita. Orang tuamu, kan, kaya. Bisa membayar berapa saja untuk membayar sekolahmu!” tanpa Lina sadari ia sudah menangis tersedu-sedu.

               Reza terpaku mendengarnya. Dia tidak mengerti mengapa Lina bersikap seperti itu. Dia lebih tidak mengerti lagi ketika Lina tiba-tiba lari meninggalkan rumahnya. Hatinya jadi tidak enak. Semalaman dia tidak tidur. Bayangan Lina yang menangis sesudah berteriak-teriak tadi terus mengganggunya.

Lina juga tidak bisa tidur semalaman. Dia menyesal karena telah melampar surat itu ke kaki Reza. Seharusnya ia menyerahkan surat itu langsung kepada orang tua Reza. Bukan membiarkan Reza merobek-robeknya. Apa yang harus dia katakan nanti kepada Bu Guru, bila beliau menanyakan surat itu? Lina jadi enggan ke sekolah. Pagi ini dia sengaja bangun berlambat.

“Sudah siang, Lin. biar Ibu saja yang mengatur pisang itu. Gantilah pakaianmu,” kata Ibunya yang sedang menggoreng pisang.

Lina menggeleng lemah, “Aku ngga sekolah, Bu,” sahutnya dengan suara setengah berbisik.

“Ngga sekolah?” dahi Ibunya berkerut. “Kenapa? Ada rapat guru lagi?”

Lina menggeleng, pipinya memanas. Tidak enak rasanya mengatakan hal yang sebenarnya pada Ibunya.

               Selama ini Ibunya telah berusaha keras agar dia dan Adik-Adiknya bisa bersekolah dengan baik. Penghasilan Ayahnya sebagai pegawai kecil tentu tidak mencukupi. Itu sebabnya Ibunya menitipkan pisang goreng dan kue di warung-warung yang ada di sekitar rumah mereka. Ibunya juga menjual keripik singkong dan kacang bawang.

Karena itu, Lina hampir tidak punya waktu untuk bermain. Ia harus membantu Ibunya mengiris singkong dan mengupas kacang. Sebelum berangkat sekolah dia menitipkan jualan Ibunya dulu di warung. Itu pula yang membuat dia selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan Reza.

“Mbak Lina dijemput temannya,” lapor Adiknya.

“Siapa?” tanya Lina heran. Tidak biasanya temannya menjemput untuk berangkat bersama ke sekolah.

“Wah kamu belum siap? Sudah jam setengah tujuh, nih,” Sebuah suara di belakangnya mengejutkan Lina.

Lina menoleh dan… termangu. Reza telah siap dengan seragam dan tasnya.

“Maafin sikap aku yang kemarin ya,Lin. setelah kupikir-pikir, aku memang salah. Kupikir orang tuaku tidak akan tahu karena mereka sedang berada di luar kota. Aku tidak sadar kalau perbuatanku itu telah menyusahkan kamu,” kata Reza malu-malu.

Mendengar pengakuan Reza, Lina tersenyum senang. Kini dia bisa sekolah dengan tenang tanpa harus memikirkan soal surat kemarin.

“Syukurlah kalau kamu akhirnya mau sekolah,” katanya lega.

“Itu sebabnya aku ke sini mau menjemputmu,” sahut Reza.

“Menjemputku? Bisanya kamu dianterin pake mobil,” Lina heran.

“Mulai hari ini aku akan jalan kaki bersamamu. Masih sibuk, ya?” Reza berjongkok di dekat Lina yang masih mengatur piring di atas nampan. “Sini aku bantu. Kamu ganti baju saja dan siap-siap.”

Reza ikut mengatur pisang goreng itu meskipun Lina dan Ibunya berulang kali melarang. Akhirnya mereka membiarkan saja karena Reza nampak senang melakukannya.

“Di rumah, aku tidak punya teman. Tidak punya kesibukan. Aku janji akan sering datang ke sini untuk membantumu. Tapi kamu juga harus janji padaku,” kata Reza.

“Janji apa?”

“Janji akan membantuku mengejar ketertinggalan selama aku bolos. Mau, kan?” pinta Reza.

Iina mengangguk. Diam-diam dia merasa bahagia karena kini Reza telah berubah. Semoga Reza dapat menjadi anak yang beguna di kemudian hari. Esok harinya Lina mengerjakan tugas matematika bersama dirumahnya Reza

“Lin,ini caranya gimana?”kata Reza lalu aku menjelaskan dan mengajarkan caranya hingga ia bisa menyelesaikan tugas matematika.

               Saat ujian harian Reza dan aku mendapatkan nilai matematika yang cukup bagus Reza sangat senang karna dia mendapatkan nilai matematika yang bagus berkat bantuan Lin, dia mudah mengerjakan tugas tugas yang diberikan oleh Bu Guru.

Meraih Cinta dan Asa

Namaku Ramadhana Kurnia Putra, biasa dipanggil Dhana. Aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara dan berasal dari keluarga yang sederhana, pada saat aku berumur 7 tahun, aku selalu diajarkan oleh orang tuaku tentang arti kehidupan, di dalam hati aku sering berkata, “Betapa enak menjadi orang kaya, semua serba ada, segala keinginan terpenuhi karena semua tersedia.” Aku sering menghayal, seandainya aku jadi orang kaya, pasti aku sangat senang sekali, tapi orang tuaku selalu berkata. “Bahwa dengan menuntut ilmu dan berusaha dengan sungguh-sungguh, pasti apa yang kita inginkan akan tercapai,” Itu pun juga pernah dikatakan oleh guru ngajiku “MAN JADDA WAJADA.” yang artinya “Barang siapa bersungguh sungguh semua keinginan pasti akan tercapai,” itu selalu kutanamkan dalam hati, sampai sekarang selalu berusaha dengan sekuat tenaga untuk bisa mengejar cita-citaku yaitu ingin menjadi dosen. Suatu waktu pada malam hari aku diajak pamanku kerumahnya

Pamanku. “Dhan, hari minggu besok kamu ada kerjaan gak?”

Aku, “Tidak ada, emangnya kenapa,”

Pamanku, “Besok kamu mau gak, kerumah Paman”

Aku, “Emang ada apa Paman?”

Pamanku, “Besok saja kamu dating,”

Aku, “Oke deh.”

               Keesokan harinya aku langsung pergi kerumah Pamanku yang ada di Candi Lontar, tanpa pamit kepada orang tuaku. Pamanku meminta aku untuk mengikuti ke samping rumahnya, aku langsung duduk. Tanpa basa-basi pamanku langsung memberikanku sebuah buku yang berjudul “Kisah Abuzar Al Ghifari” di dalam hatiku aku selalu bertanya untuk apa Pamanku memberi buku ini. Setelah itu Pamanku langsung menjelaskan bahwa Abuzar Al Ghifari itu merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang lain, selain itu dia juga shaleh dan termasuk orang kaya dari para sahabat Nabi Muhammad. SAW, dia dulunya sangat miskin tetapi dia berusaha dengan sungguh-sungguh dan menjadi orang kaya sukses, hartanya ada dimana mana. Setelah pamanku bercerita panjang lebar, Bibiku datang.

“Dhan. Ibumu, mencarimu kemana-mana, dia naik pitam takut kalau kamu itu diculik orang,” kata Bibiku. Aku pun langsung pamit kepada Paman, tapi sebelum aku pamit Pamanku menyuruh untuk datang lagi besok setelah pulah sekolah, aku langsung menyetujuinya.

Dan keesokan harinya setelah aku pulang sekolah aku langsung pamit kepada orang tuaku untuk pergi kerumah Pamanku

Aku, “Ma, aku mau pergi kerumah Paman, nanti sore aku pulang,”

Ibuku, “Iya,tapi kamu jangan terlambat lagi,”

Aku, “Iya, aku pamit dulu, Assalamu’alaikum,”

Ibuku, “Wa’alaikumussalam.”

Setelah sampai dirumah Paman dan Bibi mengajak ngobrol.

Paman, “Dhan, setelah kamu lulus dari SMP Negeri 25 Surabaya, kamu ingin melanjutkan dimana?” tanya Paman perhatian.

Aku pun berkata. “Aku ingin sekolah di SMA Negeri 11 Surabaya, karena itu merupakan impianku sejak kecil.”

Paman melanjutkan perkataanya, “Kenapa nggak kamu coba memilih di tengah kota, misalnya di SMA Negeri 5 Surabaya?”

Aku membuat alasan, “Aku sih mau, tapi aku ingin sekolah di SMA Negeri 11 Surabaya yang lebih dekat dengan rumah dan menghemat biaya ongkos.” Selain itu, sekolah mana saja sama kok, yang penting niatnya.

Pamanku. “Ohh, baguslah kalau begitu. Kamu mau gak mengembala kambing Paman.”

Aku mencoba menolak, “Aku gak bisa ngembala kambing, tapi akan aku usahakan untuk belajar.”

               Pada malam harinya setelah salat maghrib aku membaca buku tentang kisah Abuzar Al Ghifari yang dikasih Pamanku tempo hari, setelah membacanya hatiku merasa tergerak dan termotivasi supaya aku berusaha dengan tekun bias mewujudkan cita-citaku, dalam hatiku berkata “Memang betul pilihanku mengembala kambing Pamanku kan nanti uangnya bisa ditabung untuk keperluan sekolahku.” Setelah sebulan bekerja Pamanku memberikan uang, dan uang itu langsung aku tabung untuk keperluan sekolah.

***

               Di sekolah aku mempunyai dua teman yang sangat dekat denganku yang selalu memotivasi dan menemaniku disaat senang ataupun susah. Ia bernama Rio Hidayatullah dan Zihnul Puadi.

Zihnul berkata. “Dhan, kamu mau gak besok ikut? Kita pergi ke pantai, kan besok hari libur.” “Kan kamu kerja melulu, gak ada waktu luang,” kata Rio meyakinkanku.

               Setelah terdiam sejenak aku menyetujuinya. Dan keesokan harinya aku minta izin ke Pamanku untuk berlibur ke pantai yaitu ke pantai kenjeran, dan Pamanku memberi izin . Tepat pada pukul 8 kami berangkat menggunakan sepeda motor, di perjalanan aku merasa senang sekali. Sekian lama aku tidak pergi ke pantai, terakhir kali pada saat kelas 1 SMP dan sekarang kelas 3 SMP. Setelah sampai disana aku membaca sebuah puisi karyaku yang berjudul pantai.

Pantai

Hamparan pasirmu indah mempesona

Tak letih mata memandang dari ujung pengharapan

Adakah engkau tahu wahai pantai ...

Engkau mempesona diriku......

Mentari pagi terbit dan tenggelam disisimu oh... pantai

Hembusan angin menerbangkan pasir putihmu

Tahukah engkau senangnya hatiku........

Karena dapat mengunjungimu.

Pantai oh pantai biar pun engkau di cintai

Tapi engkau tetap angkuh dan tak peduli.

Kalau engkau marah semua menderita

Tapi engkau seolah tidak tahu engkau tetap tenang

Bagai air yang tenang tapi menghayuntukan.

Ombakmu adalah lidahmu

Yang kadang mendatangkan bencana

Walaupun begitu engkau tetap dipuja dan disanjung

Oh pantai sampaikan salamku lewat angin ...

Sampaikan kesahku lewat deburanmu....

Kirimkan dukaku lewat lagumu....

Pantai, engkau tetap sebuah pantai

Yang tak mengerti hatiku.........

               Setelah kurang lebih 1 tahun lamanya aku mengembala kambing, aku memutuskan untuk berhenti mengembala kambing karena aku fokus untuk melanjutkan sekolahku di SMA Negeri 11 Surabaya, setelah aku mengutarakan keinginanku akhirnya Pamanku mengizinkanku untuk berhenti mengembala kambing. Karena dia tahu bahwa tidak selamanya aku akan bekerja ngembala kambing. Setelah aku lulus dari SMP Negeri 25 Surabaya. Aku sangat bersyukur karena bisa diterima di SMA Negeri 11 Surabaya. Sekolahnya terkenal di kawasan Surabaya Barat.

               Masalah yang selalu hinggap dalam benak pikiranku yaitu tentang masalah biaya, Alhamdulillah dengan kerja kerasku selama ini aku bias; membayar uang sekolah, membeli seragam sekolah dan kelengkapan lainnya dan dibantu juga oleh orang tuaku. Aku selalu ingat kisah sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Abuzar Al Ghifari, pekerja keras dan sungguh-sungguh hingga dia menjadi orang kaya sampai harta dan kekayaannya ada di mana-mana. Itu membuatku semangat lagi dalam menggapai cita-citaku, yaitu ingin menjadi guru dan menjadi orang yang sukses seperti kisah Abuzar Al Ghifari.

               Selain itu juga kisah Abuzar Al Ghifari sebagai inspirasi hidupku dan kata. “Man JaddaWajada” Akan selalu ku-ingat untuk memotivasi menggapai cita-citaku. Aku selalu berdoa kepada Allah SWT agar cita-citaku bisa terwujud dan menjadi orang yang sukses dikemudian hari Amin amin ya robbal alamin.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)