Cerpen
Disukai
3
Dilihat
13,125
Menari di Atas Pecahan Beling
Drama

Cerpen ini tahun juara 2 lomba Cerpen Online Taman Fiksi tahun 2016

Langit mulai redup. Tak lagi secerah tadi. Petang sudah datang menggantikan sore yang sejuk. Lolongan tangis di batinmu entah sudah keberapa kali. Selalu begitu. Seakan kompak dengan ambang petang yang sudah menghampiri tempatmu duduk. Selalu begitu. 

     Mereka yang berlalu lalang di sekitarmu hanya menoleh, atau melirik dengan mata miris padamu. Tapi engkau tak perduli. Tetap setia duduk di bongkahan batu di pinggiran Laut Talango, yang memiliki akses pandangan ke Pelabuhan Kalianget.

     Berharap ada perahu dari tengah lautan yang menepi ke dermaga. Lalu melompat tubuh tegap lelaki pujaanmu. Membimbingmu seperti biasa meninggalkan tepi laut. Setelah itu mengembalikanmu kembali duduk di bongkahan batu.

    Engkau tersenyum menerima manisan gula jawa beberapa bungkus kecil pemberian lelakimu, yang dibelinya di perjalanan. 

    Manisan itu akan engkau makan satu persatu di sepanjang jalan menuju pulang. Manisan gula jawa olahan penjual rumahan memang kesukaanmu sejak kecil.

    Setiap sore emakmu membelikannya sepuluh buah. Engkau menikmatinya dengan mata berbinar. Bibirmu basah oleh lelehan manisan yang sudah terkunyah. Tak jarang meleleh tanpa engkau sadari ke baju yang engkau kenakan. Emakmu maklum. Ia tak pernah marah.

     Petang telah sempurna menggantikan sore kesukaanmu. Karena sore telah memberimu sejuk. Memberimu sesuatu penuh arti. Dan kebahagiaan yang membawamu terbang tinggi. Lalu petang adalah dukamu. Pedihmu. Hngga jiwamu melolong tersakiti. Walau tidak engkau ungkapkan dengan kalimat.

     Engkau hanya bisa merasa tapi tak pandai memilah. Engkau menerima takdirmu tanpa punya rasa berbeda. Karena engkau terlahir dengan segala   kekurangan yang tersembunyi di dalam tubuhmu yang semampai.

    Ah seandainya saja engkau tak terlahir dengan rasa manis, mungkin lelaki itu tak akan pernah berkesempatan melukai batinmu. Tapi semua sudah tercipta. Tak ada yang kuasa menentang takdir yang telah tertulis jauh sebelum engkau terlahir ke dunia ini. Mungkin bersandar dari itulah emak tak pernah menyesali keberadaanmu. Kekuranganmu dijadikan lahan kesabaran. Menerima bentuk segala bentuk kasih dari Tuhan.

    Karena kasih itu bukan hanya berupa harta dan anak yang cantik dan sempurna. Emakmu bukan orang pandai. Sekolah dasar pun ia tak tak tamat. Tapi hatinya seluas lautan. Engkau sangat beruntung terlahir dari rahimnya. Walau engkau tak memiliki daya pikir sesempurna perempuan berhati malaikat itu.

    Petang adalah saat engkau melepas sang pujaan berperahu menyeberangi laut Talango. Lelaki itu mendayung perahunya menjauh. Esok hari datang lagi menjemputmu. 

     Engkau begitu senang diajak jalan jalan. Terkadang ke pedalaman menyusuri ladang kebun rimbun. Terkadang engkau diajak berperahu ke ujung sana, dimana hanya ada engkau dan dia.

     "Aku tidak akan meninggalkanmu, " ujarnya seraya mengelus pipimu. 

    Engkau percaya, seakan engkau hanya memiliki kepercayaan, lain tidak.

    "Bing, buat apa kamu duduk di pinggir Tase' terus, ayo mole ..." bukan sekali dua kali emakmu mengajak engkau pulang. 

    Tapi engkau tetap percaya bahwa lel akimu itu akan muncul di sore hari, seperti dulu ia mengenal dirimu.

    "Tunggulah aku di sore hari. Pasti aku menjemputmu dan akan membawamu belayar di perahu cinta kita ..." janji manis lelaki muda berdada bidang, dan memiliki senyum memikat itu membulatkan penantianmu.

     "Ya, " engkau menjawab dengan tersipu malu.

     "Engkau cantik," puji lelakimu.

     Engkau menatap bahagia. Engkau tahu kata cantik berarti wajahmu cantik. Walau tanpa kata, engkau merabs kedua pipimu yang memang ranum dengan kedua tanganmu.

     "Aku cinta kau ..." ujar lelaki yang setia mengunjungimu di setiap sore, dimana engkau selalu duduk di bongkahan batu besar. Setelah itu engkau sangat bahagia menerima genggam tangannya. Dua jam setelah dia membawamu pergi, engkau diantarkan kembali ke pinggiran laut. Begitu seminggu berturut turut.

     Setelah pertemuanmu yang terakhir di sore yang mendung dia pamit. Petang mengiringi kepergiannya. Dan engkau tiga bulan ini dengab setia menunggu di tepi laut. 

     Sia sia karena sore yang dijanjikan tak pernah ia tampak. Dan petang membuatmu merintih.

     Setiap sore engkau duduk di bongkahan batu. Dalam tatapan orang orang yang sudah tak asing lagi, karena engkau selalu setia duduk di sana. Lalu meninggalkan pesisir pelabuhan jika petang telah merambat.

    Orang orang mengenalmu sebagai gadis idiot. Tak jarang orang yang baru turun dari kapal Feri ibah melihatmu. Diantara mereka ada yang menyempatkan memberi uang. Tapi engkau menggeleng. Tanpa suara menolak setiap pemberian.

     "Bing boleh main keluar rumah tapi tidak boleh menerima pemberian orang ..." rupanya engkau paham ucapan emakmu, yang waktu mengucapkannya lengkap dengan memperagakan yang berhubungan dengan larangannya.

     Engkau mengangguk. Untuk lebih meyakinkan, engkau bersuara, "Ya, "

    Engkau mlihat senyum di bibir emakmu dan acungan jempolnya. Pertanda ia senang atas jawaban dan janji yang engkau berikan.

     "Baju harus salin setiap hari, " ujar emakmu lagi.

    . "Ya," engkau mengangguk.

     "Bagus," emakmu tersenyum.

    "Ya, " engkau mengacungkan jempol.

    Emakmu menangis terharu. Dan engkau mendekat menghapus air mata haru emakmu. Lalu kalian berpelukan. Sungguh engkau tak mengertibdan tak pernah akan tahu, bahwa tangis emakmu itu karena hatinya miris melihat engkau bertumbuh sebagai gadis yang kata mereka cacat mental.

    "Siapa yang melakukannya?" Emakmu bagai singa terluka meraung menekan kedua bahumu yang ringkih.

    Engkau hanya tertegun menatap perutmu yang tak lagi rata dengan tubuh yang meringkuk pasrah. Tak ada air mata di wajah cantikmu yang polos dan bermata kosong itu. Bahkan engkau terheran heran memandang emakmu yang bersimbah air mata. Reflek tanganmu menghapus air mata di kedua pipi emakmu.

     Emakmu terkesiap menatap tajam wajahmu. Engkau ketakutan. Seketika melepas tangan dari pipi perempuan yang sehari hari bertani garam itu. Kesadaran akan siapa dirimu merayapi lagi pikiran emakmu. Seketika cekalan yang menekan bahumu terlepaskan. Ia terduduk lunglai di lantai semen kasar rumah kalian yang terbuat dari bilik, tak jauh dari ladang garam yang sudag mengkristal.

     "Oh anakku ...' emakmu menatap tanpa daya pada perut dibalik baju longgarmu. 

    Beberapa bulan lagi bayi itu lahir. Siap tidak siap dirinya harus mengurus cucunya. Otomatis akan ada dua makhluk ciptaan Tuhan yang harus diperhatikannya. Ekstra perhatian. 

    Emakmu paham, engkau tak dapat diharapkan mengurus bayi yang akan engkau lahirkan. Semua harus diterima. Emakmu adalah perempuan luar biasa. Ikhlas menerima kekuranganmu. Engkau adalah putri kiriman Tuhan. Emakmu telah terpilih sebagai telah terpilih sebagai


  "Kita harus berpisah walau pahit ..." lelaki yang jadi suami emakmu menatap dengan berjuta perih. Betapa tidak, pernikahan yang baru berjalan satu bulan harus dibatalkan. Ternyata lelaki pembuat garam itu saudara lelaki emakmu sendiri. Perpisahan orang tua membuat mereka tak tahu kalau masih ada hubungan darah.

    Ternyata waktu lelaki yang juga pamanmu itu pergi jauh ke luar Talango, membawa luka hatinya ke luar Madura, engkaub berupa janin ternyata telah bersemayam di dalam rahim emakmu.

     Saat engkau ditakdirkan sebagai anak yang memiliki kekurangan, bahkan tumbuh sebagai gadis enam belas tahun yang tidak seperti gadis lainnya, emakmu pasrah. Lewat mantri puskesmas didapat sedikit keterangan, bahwa pernikahan sedarah akan membuahkan keturunan yang tidak normal. Dalam persoalan ini bisa cacat fisik, namun terutama keterbelakangan mental.

    Engkau tumbuh dengan fisik cantik,.walau kulitmu tidak putih, tapi hitam manis. Dengan keterbelakangan mental serta daya pikir yang payah, bukan salahmu. Karena engkau tak minta dilahirkan demikian. Emakmu berbesar hati. Menyayangi engkau sepenuh jiwa. Saat pemuda mengolok olokmu sebafai gadis idiot, dengan bersimbah air mata emakmu merangkul dirimu segenap jiwa.

    Saat lelaki pujaanmu pergi, diam diam emakmu berusaha mencari. Tapi dia adalah lelaki yang hanya ingin mengisap madumu. Hanya memperdaya kekuranganmu. Menjadikanmu tempat pelepas birahinya yang busuk. Dengan keterbatasan pada dirimu, engkau sulit mengerti soal ini.

     

    "Bagaimana mungkin saya harus memiliki isteri perempuan gila?" Lelakimu menolak engkau, dan air mata emaakmu mengalir deras.

    "Tapi tolonglah anakku mengandung dan kamu harus bertanggung jawab..." rintih emakmu menghiba."Anakku tidak gila, dia ... dia ..." tak samggup lagu meneruskan ucapannya, emakmu hampir pinsan sempoyongan dengab wajah pucat.

    "Namanya orang tidak waras bisa siapa saja yang menghamilinya ...!

    "Anakku memang gadis keterbelakangan mental. Tapi cuma kamu yang ditunggunya, tak ada lelain lain ..." emakmu merintih, memohon dan mremelas di depan lelaki yang merayumu dan engkau kagumi. 

    Lelaki itu berkacak pinggang dengan mencemoh menatap emakmu. Sungguh engkau tak tahu kalau lelaki yang engkau tunggu itu, telah menganggapmu tak pantas untuknya. Engkau gadis gila!

     Engkau tidak akan pernah tahu pula betapa emakmu bersimpuh du kaki lelakimu itu, supaya dia mau menikahimu. Melupakan kodratnya seorang ibu yang pantas dihormati calon menantunya.

    Seorang ibu tahu perubahan fisik anak gadisnya. Dan engkau tak pernah menyadari kalau rayuan manisnya telah membuatmu hamil. Engkau juga tak akan pernah tahu kalau lelaki yang engkau tunggu setiap sore tak akan pernah datang. Dan engkau tak menyadari kalau gadis seperti engkau hanya cantik fisik tapi siapa yang mau memperisterinya.

    Engkau pun tak mau mendengar permintaan emakmu supaya jangan menunggu lelakimu di bongkahan batu.itu. setiap sore tetap engkau lakukan. Kembakibje rumah setelah petang tiba.

    Perutmu hampir pada masa melahirkan. Tapi mana engkau mengerti. Setiap hendak berangkat ke ladang garam tempatnya mencari nafkah, e makmu pun berpesan supaya engkau tidak lagi ke tepi laut.

    Tapi setelah emaknya sudah pergi, engkau kembali menyusur jalan menuju tepi laut. Menjadi pemandangan yang menimbulkan beragam bisikan.

     "Kasihan dihamili dan ditinggal pergi ..." seru orang yang prihatin.

     "Hanya lelaki yang bejad yang menggauli gadis idiot." Seru suara yang lain.

    "Mungkin dosa orang tuanya anak gadisnya jadi begitu!" Seru orang yang tak.punya perasaan,.suka mencela yang ia sendiri tak tahu apa apa tentang silsilah keluargamu. Mirisnya engkau hanya senyum senyum pada orang yang sudah menghujat emakmu.

     Selebihnya hanya tatapan ibah fari orang orang di sekitar pelabuhan kecil dan terpencil itu. Lalu anak anak nakal yang mengelilingimu.

    "Gila ...!"

    "Orang gila hamil ...!"

    Engkau hanya memandang tanpa kata pada mereka. Kareba engkau memang tak mengerti apa yang mereka teriakkan. Terlebih yang ada dalam pikiran mereka. Bahkan bibirmu tersenyum senang melihat jingkrak jingkrak beberapa anak kecil yang mengolokmu.

     "Raddin raddin gila ..." ujarnya menyebutmu cantik cantik gila. Dan engkau sangat menikmati suasana itu, hingga seorang ibu yang baru turun dari Feri mengusir anak anak nakal itu.

    Ah engkau hanya tahu sore hari waktunya menunggu kekasihmu. Petang datang waktunya engkau pulang.

    Begitu setiap hari, engkau dijemput pulang emakmu di ambang petang yang sebenarnya sangat membuat emakmu aedih. Berjalan pulang dalam tatapan orang orang yang memandang penuh warna.

    Sore hari berikutnya engkau taj nampak lagi duduk di bongkahan batu alam, yang konon suda ada sejak sejak pelabuhan itu ada. Engkau pun tak akan pernah lagi meratapi ambang petang yang datang. Tak akan lagi menunggu lelakimu yang sama sekali telah melupakanmu. Dan tak akan ada lagi yang memandangmu miris. Tak akan ada lagi anak anak yang mengelilingimu dengan teriakan "Gila,"

     Karena dengan keterbatasan yang engkau miliki telah mengkhiri prnantianmu. Mengakhiri derita batinmu. Dan mengakhiri ketidak mengertianmu tentang arti perhatian sesaat dari lelaki yang telah memperdayamu.

    Malam itu perutmu mulas luar biasa. Tapi engkau tak mengerti itu tandanya bayi dalam rahimmu akan keluar ke dunia. Memang diluar prediksi dukun yang mendapat serifikat penyuluhan dari bidan Puskesmas. Dimana hari engkau melahirkan jatuh pada hitungan tiga hari lagi. Entah karena bayimu tak sabar ingin keluar ke dunia, atau karena engkau terlalu lelah berpikir yang tak pernah terjangkau kemampuan syaraf otakmu.

     Malam itu engkau mengalamu kontraksi luar biasa. Ada pergolakan dalam rahimmu. Darah bersimbah bersamaan dengan lengkingan bayi. Emakmu terkejut luar biasa melihatbrngkau berkubang darah. Kedatangan dukun beranak terlambat. Engkau telah pergi pada Sang Pencipta. Meninggalkan warisan kenangan bayi laki laki yang terus menerus menangis.

    Selesai 

Catatan

Bing : Neng

Mole. ; Pulang

Raddin. : Cantik

https://www.kwikku.com/short/read/menari-di-atas-pecahan-beling

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)