Masukan nama pengguna
Chapter 1. Hari yang Terbalik.
Langit di atas kota terlihat seperti biasanya. Biru pucat, dengan matahari tergantung di timur. Tapi pagi itu, ada sesuatu yang terasa janggal bagi Bima.
Ia membuka tirai kamar dan menyipitkan mata. Matahari... bukannya terbit, justru bergerak perlahan turun, seperti hendak tenggelam. Daun-daun kering yang biasa tertiup angin dan beterbangan jatuh ke tanah, kini melayang ke atas, menempel kembali ke cabang pohon yang gundul.
Bima menggosok matanya. Mengira mungkin ia masih mengantuk.
Ketika ia turun ke dapur, ibunya tidak ada. Hanya ada secangkir kopi yang mengepul. Tapi saat ia menyentuhnya, kopi itu malah mendingin dalam sekejap, dan mengepulannya menyusut masuk ke dalam cairan, seperti waktu sedang dilipat mundur.
Di luar rumah, jalanan terlihat... salah. Mobil-mobil melaju ke belakang. Langkah kaki orang-orang menari mundur, seperti pita rekaman yang diputar terbalik. Bahkan suara klakson dan tawa anak-anak terdengar aneh, seperti ditarik mundur dari ujung ke awal.
Bima melangkah ke trotoar, mencoba menghentikan seorang pria tua yang berjalan terbalik. Tapi pria itu hanya terus melangkah, mundur dengan wajah kosong, seolah tak melihatnya. Seorang anak kecil mengangkat balon yang terlepas dari genggamannya. Tapi balon itu justru terbang dari langit dan masuk ke tangan si anak. Semua hal terjadi secara terbalik.
Bima mulai panik. Ia berlari ke minimarket di pojok jalan. Tapi saat sampai di depan pintu, ia tertegun. Kaca pintu terbuka sendiri. Bukan karena sensor, melainkan karena seseorang baru saja keluar dari dalam—berjalan mundur, tanpa sadar, kembali ke lorong belanja.
Televisi yang tergantung di atas kasir memutar berita. Gambar-gambar bergerak mundur. Presenter menyebutkan sesuatu, tapi suaranya terbalik, dan kata-katanya tak bisa dimengerti. Jam digital di dinding menyusut waktunya. Detik berjalan ke belakang.
Bima meraih cermin kecil di rak kosmetik. Wajahnya terlihat normal. Tapi saat ia menatap lebih lama, ia menyadari sesuatu yang tak masuk akal. Kerutan di sudut matanya yang biasa ia abaikan... kini menghilang. Perlahan.
Ia mengamati tangannya. Urat-uratnya mengecil. Warna kulitnya lebih cerah. Kuku yang pernah ia potong beberapa hari lalu tumbuh kembali ke bentuk aslinya.
Bima tidak hanya berjalan maju saat semua mundur. Tubuhnya... menjadi muda kembali.
Panik dan bingung, ia keluar dari toko dan menatap sekeliling. Dunia ini tidak hanya kacau. Dunia ini... berjalan ke masa lalu.
Dan hanya dia yang melangkah ke depan.
Chapter 2. Mereka Tidak Mengenalmu.
Langkah Bima terhenti di depan rumah tetangganya, Bu Lastri. Perempuan paruh baya yang biasa menyapanya setiap pagi, kini berdiri di halaman dengan gerakan aneh. Ia tampak sedang menyiram tanaman, tapi air dari selang justru mengalir naik, masuk kembali ke dalam pipa. Tangan Bu Lastri bergerak mundur, seperti sedang menarik ulang sesuatu yang baru saja dilakukan.
"Bu Lastri!" seru Bima, setengah berlari mendekat.
Perempuan itu hanya memalingkan wajah. Sorot matanya kosong. Ia menoleh tanpa ekspresi, lalu melangkah mundur masuk ke dalam rumah. Pintu menutup perlahan setelahnya, seperti adegan yang diputar terbalik dalam film.
Bima menelan ludah. Pikirannya berdesing, seperti radio yang mencari sinyal. Ia mencoba menenangkan diri dan kembali ke rumah. Ia memutuskan untuk menghubungi seseorang. Siapa pun.
Ia menyalakan ponselnya. Aneh. Waktu di layar menunjukkan pukul 07.12, lalu 07.11, lalu 07.10... Detiknya berjalan turun.
Daftar panggilan terakhirnya menghilang satu per satu. Seakan seluruh rekam jejak hidupnya sedang disapu bersih. Ia buru-buru mengetik nama adiknya, Alin.
Terdengar nada sambung. Satu detik... dua detik... lalu tersambung.
"Hallo?" suara perempuan muda terdengar.
"Alin! Ini aku, Bima! Ada yang aneh di kota! Kamu di mana sekarang?"
Hening.
"Maaf, siapa ini?"
Dada Bima bergetar. "Ini aku... kakakmu."
"Maaf, saya rasa kamu salah sambung."
Klik.
Nada sambung terputus. Layar menampilkan tulisan panggilan berakhir. Namun sesaat kemudian, tulisan itu bergeser perlahan ke atas dan menghilang. Panggilan itu tidak pernah terjadi.
Bima terduduk di tangga depan rumahnya. Kepalanya menunduk, napasnya pendek-pendek. Dunia ini tidak hanya mundur. Dunia ini sedang melupakannya.
Ia bangkit dan berlari menyusuri gang menuju rumah masa kecilnya yang kini sudah kosong. Tapi saat ia sampai, rumah itu... tidak kosong. Ada suara dari dalam. Suara tawa anak kecil.
Pintu terbuka sedikit. Ia mengintip ke dalam.
Di ruang tamu, tampak seorang wanita muda sedang memandikan seorang balita. Suara anak itu riang, tubuhnya mungil dan belum bisa berjalan. Wanita itu... tidak asing.
Itu ibunya. Tapi jauh lebih muda. Seperti dua puluh tahun lalu.
"Ibu...?" bisik Bima.
Tangan ibunya menghentikan gerakan. Ia menoleh pelan ke arah pintu. Wajah itu, wajah yang begitu dirindukan Bima selama bertahun-tahun, kini muncul begitu nyata. Namun saat mata mereka bertemu, tidak ada pengakuan. Tidak ada kehangatan. Hanya kebingungan.
"Kamu siapa?" tanya sang ibu.
Bima tidak menjawab. Tubuhnya mematung. Pandangannya kabur oleh air mata yang belum sempat jatuh.
Dunia ini tidak hanya berjalan mundur. Tapi semua orang di dalamnya... tidak pernah mengenalnya.
Chapter 3. Jejak yang Tersapu.Langit kota berubah lebih gelap, meski matahari belum benar-benar tenggelam. Arah bayangan benda-benda di jalanan tidak lagi mengikuti logika. Pohon-pohon merontokkan daun, lalu dalam hitungan menit kembali hijau, lalu kembali meranggas. Siklusnya terus berulang, seperti waktu yang tertelan rekaman usang.
Bima berjalan tanpa arah. Tubuhnya makin terasa ringan. Lututnya tidak lagi sakit. Otot-ototnya seperti kembali ke usia dua puluhan. Tapi itu tidak membuatnya lega. Karena setiap langkah membawa rasa asing. Setiap wajah yang ia lihat tidak lagi mengingatnya. Kota ini sedang menghapusnya.
Ia menyusuri jalanan menuju sekolah tempatnya dulu mengajar. Gedung tua itu biasanya sepi di akhir pekan. Tapi hari ini, keramaian aneh memenuhi halaman.
Anak-anak berlarian... mundur. Mereka baru saja bubar sekolah, tapi sekarang kembali berkumpul. Seragam mereka yang tadinya kusut, perlahan rapi kembali. Makanan yang sudah dimakan muncul kembali di tangan mereka. Tumpukan sampah menghilang satu per satu. Wajah-wajah kecil itu tertawa, namun suara tawa mereka terdengar terbalik.
Bima memasuki ruang guru. Di dalam, ia melihat seseorang yang membuatnya terpaku.
Pak Ranto. Kepala sekolah yang sudah pensiun lima tahun lalu. Kini berdiri tegak, rambut hitam penuh, mengenakan batik rapi. Ia tengah berbicara, tetapi mulutnya bergerak ke arah yang berlawanan dari suara. Kalimatnya diputar dari belakang. Di sebelahnya, ada Bima... yang lebih muda. Duduk di kursi sudut ruangan. Tapi tak lama, sosok itu berdiri dan mundur keluar pintu, seolah waktu menyeretnya menjauh.
Bima menahan napas. Ia telah kembali ke masa lalu. Tapi bukan sebagai bagian dari masa lalu itu. Ia adalah pengganggu. Sebuah serpihan dari masa depan yang terdampar di tengah arus yang berbalik.
Ia mendekati meja kerjanya yang lama. Di sana, ada secarik kertas yang sudah kuning. Catatan kecil, ditulis dengan tangannya sendiri. Tapi saat ia menyentuhnya, tinta di atas kertas mulai pudar. Perlahan huruf-huruf itu mundur, baris demi baris, hingga kertas itu kosong kembali.
Bima gemetar. Ia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata.
"Apa yang terjadi padaku..." bisiknya, tak berharap ada jawaban.
Ia membuka matanya dan berjalan ke luar gedung. Jalanan terasa lebih lengang sekarang. Langkah-langkah mundur manusia terus berputar, seperti roda tak henti.
Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu. Sebuah mural di dinding lorong belakang sekolah. Gambar itu menampilkan siluet seorang pria berdiri membelakangi arus, menghadap ombak besar yang meluncur mundur. Di bawahnya, ada tulisan samar. Hampir tidak terbaca.
Tapi satu nama masih terlihat jelas.
Bima.
Hatinya terhentak.
Ia tidak tahu siapa yang menggambarnya, atau dari waktu yang mana. Tapi ia tahu satu hal. Ini bukan sekadar kebetulan. Ada seseorang, atau sesuatu, yang meninggalkan jejak.
Jejak bahwa ia masih ada. Atau pernah ada.
Chapter 4. Ruang yang Tidak Mundur.Bima berdiri memandangi mural itu cukup lama. Dindingnya mulai retak, namun gambar itu tetap utuh. Seakan waktu tidak berani menyentuhnya. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh cat yang mengering. Tidak ada yang aneh, namun juga tidak ada yang biasa.
Ia menoleh ke kiri. Lorong belakang sekolah ini pernah ia lewati setiap hari. Tapi kini ia merasa asing. Suara klakson di kejauhan terdengar seperti gema yang diputar mundur. Bayangan-bayangan tubuh orang berlalu-lalang dengan arah yang terbalik. Tapi di lorong ini... semuanya diam.
Tidak ada orang berjalan mundur. Tidak ada suara. Bahkan angin pun berhenti.
Ia melangkah lebih jauh ke dalam lorong, dan ketika sampai di ujung, ada sesuatu yang menarik pandangannya. Sebuah pintu besi setengah terbuka, tertutup semak liar. Pintu yang dulu ia tahu tidak pernah ada.
Dengan ragu, Bima menyibak semak-semak dan mendorong pintu itu. Engselnya berderit, suara pertama yang ia dengar dalam bentuk normal selama berjam-jam terakhir.
Di balik pintu itu, terbentang ruang kecil seperti gudang tua. Bau besi tua dan debu memenuhi udara. Namun yang paling mengejutkan, segala sesuatu di dalamnya... berjalan normal.
Jam di dinding berdetak ke depan. Layar komputer yang menyala menampilkan waktu sekarang, bukan mundur. Tumpukan kertas di meja tidak terurai. Bahkan cahaya lampu tidak berkedip seperti biasa, melainkan tetap stabil.
Bima melangkah masuk. Tubuhnya menggigil, antara takut dan lega. Untuk pertama kalinya sejak pagi itu, ia merasakan kenyataan.
Di meja tengah, ada tumpukan dokumen yang diikat tali rapat. Ia merobeknya perlahan. Judul di halaman pertama membuat jantungnya berdegup cepat.
Proyek Pembalik Arah Entropi – Catatan Eksperimen Dr Laksana.
Ia menarik napas pendek. Nama itu terdengar akrab. Seorang ilmuwan eksentrik yang pernah ia dengar di berita bertahun-tahun lalu. Dulu orang-orang menyebutnya gila. Ia percaya bahwa waktu bukan garis lurus, melainkan spiral yang bisa dibelokkan. Dan sekarang... semua itu bukan teori lagi.
Bima menelusuri dokumen-dokumen itu dengan cepat. Di dalamnya terdapat diagram alat, rumus yang kompleks, dan catatan eksperimen dengan kode tanggal yang aneh—semuanya ditulis dari masa depan ke masa lalu.
Di salah satu catatan, ia menemukan namanya. Subjek B-01: Bima Nugraha.
Tangannya gemetar saat membaca paragraf berikutnya.
Efek eksperimental memperlihatkan anomali unik. Subjek mempertahankan arah waktu pribadi yang normal meski lingkungan sekitar berbalik. Potensi stabilisasi zona temporal berada pada Subjek B-01. Risiko: Subjek akan kehilangan kontinuitas biologis seiring mundurnya waktu global.
Bima menutup berkas itu dengan napas tercekat. Ia bukan kebetulan di luar arus ini. Ia adalah pusatnya.
Dan waktu sedang memburunya.
Chapter 5. Waktu yang Mengecil.Jam dinding di ruang itu berdetak normal, tapi setiap detiknya terasa menghimpit dada Bima. Ia menatap tumpukan dokumen di depannya. Kalimat terakhir di catatan itu masih terngiang di benaknya: Risiko... kehilangan kontinuitas biologis.
Itu menjelaskan kenapa tubuhnya makin muda. Tapi jika waktu terus mundur, sampai titik ia belum lahir, apa yang akan terjadi padanya?
Di sudut ruangan, ia melihat sebuah kotak logam besar, mirip kapsul. Di sisi luarnya terdapat layar kecil yang menampilkan gelombang waktu. Garis merah menyala di tengah layar, bergetar perlahan, lalu mendadak menyusut drastis.
Bima mendekat, mencoba memahami apa yang dilihatnya. Di bawah layar ada tombol bulat dengan lampu berkedip. Tombol itu bertuliskan satu kata dalam huruf kecil.
Reset.
Tangannya hampir menyentuh tombol itu, namun ia ragu. Jika ini alat untuk mengatur ulang waktu, siapa yang akan terkena dampaknya? Dunia? Dirinya sendiri? Atau semua?
Suara pelan dari luar lorong membuatnya menoleh. Ada langkah kaki—mundur. Tapi berbeda dari sebelumnya, langkah itu berhenti di depan pintu.
Lalu seseorang masuk.
Seorang pria berjas panjang, wajahnya asing, namun mata itu menyala dengan kecerdasan yang tidak biasa. Ia menatap Bima, tidak terbalik, tidak mundur. Langkahnya normal.
"Akhirnya kau sampai di sini," ucap pria itu tenang.
Bima menegang. "Kamu siapa?"
"Namaku... Laksana. Tapi seharusnya kau sudah tahu itu."
"Dokumen itu... kamu yang buat?"
Laksana mengangguk pelan. "Dan kau adalah satu-satunya yang berhasil bertahan melewati batas. Semua orang lain terjebak dalam arus. Kau... tidak."
Bima mundur satu langkah. "Kenapa aku? Apa yang terjadi dengan dunia ini?"
"Aku mencoba menyelamatkan waktu," jawab Laksana. "Tapi ternyata... eksperimennya menembus garis yang tidak boleh disentuh. Dunia ini mundur karena aku memaksakan waktu untuk diam. Dan kau... adalah hasil dari ketidaksempurnaan itu. Arus membelokimu."
Bima menatap pria itu lekat-lekat. "Kalau kau yang memulai semua ini... berarti kau bisa menghentikannya."
Laksana menghela napas. "Hanya dengan satu cara. Tapi itu akan menghancurkan semua titik percobaan. Termasuk tempat ini. Termasuk aku. Termasuk kau."
Hening merambat di antara mereka. Di luar, suara kota yang berjalan mundur mulai melemah. Seperti rekaman yang semakin rusak. Udara menjadi lebih dingin, dan cahaya lampu mulai redup.
"Apa maksudmu... aku juga?" tanya Bima perlahan.
"Kau tidak berasal dari waktu ini lagi, Bima. Kau sudah tidak punya tempat untuk kembali. Jika kita reset waktu, maka semua akan kembali seperti sebelum proyek ini dimulai. Termasuk keberadaanmu."
Bima menatap layar kecil di kapsul logam. Garis merah itu sekarang hanya seutas rambut tipis. Nyaris putus.
Ia tidak tahu harus memilih hidup dalam waktu yang salah, atau menghilang agar dunia bisa berjalan lagi.
Tapi waktu tidak memberinya pilihan.
Chapter 6. Detik Terakhir.Suara mendesing terdengar dari kapsul logam. Garis merah di layar mulai bergetar liar, tak lagi stabil. Angka-angka waktu di bawahnya berkedip, lalu berubah menjadi simbol-simbol tak dikenal. Udara di dalam ruangan mulai terasa berat, seolah gravitasi ikut tercampur dalam kekacauan waktu.
Laksana membuka laci logam di dekat kapsul dan menarik keluar selembar chip tipis transparan. Ia menyerahkannya kepada Bima.
"Jika kau ingin menghentikan semuanya, masukkan ini ke panel kontrol di kapsul. Lalu tekan tombol reset."
Bima menerima chip itu dengan tangan gemetar.
"Apa yang terjadi jika aku melakukannya?"
"Kau akan menghentikan aliran mundur," jawab Laksana. "Tapi kau akan tersapu. Karena dalam garis waktu yang benar, kau tak pernah seharusnya ada di sini... dalam bentukmu yang sekarang."
Bima menatap chip itu, lalu menatap sekeliling. Suara kota dari luar hampir hilang sepenuhnya. Semua seperti membeku. Wajah-wajah orang yang ia kenal... hilang dari ingatannya. Semua memudar seperti mimpi yang tak selesai.
Laksana berjalan perlahan ke arah dinding belakang dan membuka penutup tirai logam. Di baliknya ada jendela kecil yang menghadap ke jalan utama kota. Tapi yang terlihat hanya kehampaan. Gedung-gedung mulai menghilang. Bukannya runtuh, tapi terhapus, seperti dilukis mundur ke titik kosong.
"Kau lihat, ini sudah lewat dari batas aman," ujar Laksana pelan. "Segera... semua akan kembali ke titik sebelum waktu."
Bima menatap cermin kecil di sudut ruangan. Ia tak lagi tampak seperti dirinya. Rambutnya lebih tebal. Jidatnya bersih. Suaranya pun mulai terdengar seperti remaja. Bahkan napasnya terasa lebih ringan, seperti anak belasan tahun.
Ia sudah kehilangan dirinya.
Tangannya meraih kapsul logam. Panel kontrol di sisinya terbuka, menunggu chip disisipkan. Jari-jarinya gemetar saat ia menyelipkan chip itu ke dalam slot.
Seketika layar berubah. Warna merah berganti biru muda. Tulisan muncul.
Siap untuk Reset.
Laksana memejamkan mata dan berdiri tenang. "Waktu akan menghapusku. Tapi kau... kau bisa memilih. Masuk ke dalam kapsul. Biarkan mesin memproyeksikan kesadaranmu ke satu momen terakhir. Pilih detik yang ingin kau isi, sebelum semua dilupakan."
"Dan kalau aku tidak menekan tombolnya?"
"Maka waktu akan mati. Tidak maju. Tidak mundur. Hanya hening. Dan semua akan hilang."
Ruangan mulai bergetar pelan. Listrik meredup.
Bima menatap tombol bulat dengan lampu biru menyala. Detik ini... mungkin detik terakhir yang bisa ia pilih.
Dengan satu tarikan napas, ia meletakkan telapak tangannya di atas tombol.
Dan menekannya.
Begitu tombol ditekan, semua cahaya dalam ruangan padam. Bukan hanya lampu—tapi seluruh warna, suara, dan tekstur lenyap bersamaan. Yang tersisa hanya kegelapan dan satu detik hening, menggantung di antara keberadaan dan kehampaan.
Kemudian, cahaya putih perlahan muncul. Lembut. Tidak menyilaukan. Bima membuka matanya dan mendapati dirinya berdiri di tempat asing, tanpa dinding, tanpa langit. Segalanya putih tak berujung. Di depannya, melayang ratusan fragmen waktu, seperti potongan kaca yang berisi adegan hidupnya.
Ia melihat dirinya sedang bermain sepeda saat kecil. Duduk di perpustakaan dengan ayahnya. Tersenyum pada Alin saat mereka tertawa karena tontonan konyol di televisi. Menatap wajah ibunya yang tertidur di sofa setelah bekerja seharian.
Semuanya begitu dekat, namun tak bisa disentuh.
Di tengah fragmen itu, satu momen tampak berbeda. Tidak terang. Tidak gemerlap. Hanya sederhana: dirinya, duduk sendirian di atap sekolah, menatap senja.
Waktu dalam momen itu tidak berjalan. Matahari membeku di tengah langit jingga.
Bima menatapnya lama.
"Ini detik yang belum diambil siapa pun," terdengar suara Laksana dari kejauhan. Lembut, seolah berasal dari pikirannya sendiri. "Kau bisa menyatu di sana. Sebagai ingatan terakhir yang tidak pernah hilang."
Bima melangkah mendekat. Kakinya tidak menyentuh tanah, karena tak ada tanah di tempat ini. Ia hanya bergerak karena keinginan.
Saat ia menyentuh fragmen senja itu, tubuhnya tersedot masuk. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada rasa takut.
Hanya kelegaan.
Ia kini duduk di atap sekolah, seperti dulu. Baju seragam longgar, angin bertiup pelan. Langit berwarna kuning pucat. Suara dari bawah samar—suara anak-anak bermain. Ia tahu ini bukan masa depan. Bukan masa lalu. Ini... adalah satu detik yang ia pilih untuk mengisi, sebelum segalanya lenyap.
Waktu tak bergerak, tapi ia merasa utuh.
Dan jauh di luar sana, dunia kembali diam. Arus mundur berhenti. Kota yang tadi berjalan ke belakang, kini terdiam sejenak, sebelum perlahan bergerak maju seperti seharusnya.
Orang-orang bangun di pagi hari tanpa ingatan akan kejadian aneh. Mereka pergi bekerja, tertawa, dan mencatat hari-hari baru. Semua kembali seperti semula.
Kecuali satu hal.
Di dinding belakang sekolah tua, di lorong yang tak pernah dilewati, mural itu tetap ada. Siluet pria yang berdiri melawan arus, dengan satu kata samar di bawahnya.
Bima.
Tak ada yang tahu siapa dia. Tapi setiap anak yang lewat lorong itu, entah mengapa, merasa tenang. Seperti ada sesuatu yang pernah menjaga waktu agar tetap berjalan.
Dan senja... selalu sedikit lebih indah dari biasanya.
Tamat
Hikmah Cerita dan Penutup.
Cerita ini adalah fiktif, disusun dan disampaikan seolah nyata agar lebih menyentuh, namun bukan kejadian sungguhan. Tujuannya bukan untuk menyesatkan, melainkan mengajak kita merenung dan mengambil pelajaran.
Salah satu hikmah yang bisa kita ambil dari kisah "Seluruh Kota Berjalan Mundur, Kecuali Kamu" adalah tentang pentingnya waktu. Waktu tidak bisa diulang. Tidak bisa dibalik. Dan setiap detik yang kita miliki adalah anugerah dari Alloh.
Alloh berfirman dalam Al-Qur'an:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.”
— Surah Al-Asr ayat 1-2.
Waktu adalah amanah. Bila kita sia-siakan, maka hanya penyesalan yang akan tersisa. Cerita ini ingin mengajak kita semua untuk lebih menghargai waktu, memanfaatkannya untuk kebaikan, dan menyadari bahwa setiap hari adalah kesempatan yang tidak akan datang kembali.
Terima kasih sudah membaca cerita ini hingga akhir. Jika kamu suka dengan cerita seperti ini, jangan lupa untuk like, berikan komentar, dan share agar tidak ketinggalan cerita-cerita lainnya.
Sampai jumpa di kisah berikutnya.