Masukan nama pengguna
Mbah Google vs Mbah Dukun – Bab 1: Sial Terus, Bro!
Hari itu Rafi bangun dengan perasaan... nyesek. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena kenyataan: WA dari HRD bilang, “Maaf, Anda belum sesuai kriteria.” Itu sudah yang ke-17 minggu ini.
“Hidupku kayak sinyal WiFi di desa. Nampak kuat, tapi gak pernah konek,” keluhnya sambil menatap CV yang dia buat dengan penuh harapan—sekarang cuma jadi arsip luka di folder laptop.
Sambil rebahan dengan ekspresi tanpa jiwa, Rafi scroll grup Facebook. Matanya tertarik ke satu postingan aneh:
> “Butuh bantuan gaib? Sering ditolak kerja? Gebetan ghosting? Mbah Karyo siap bantu! Gratis konsultasi, cukup isi Google Form dan kirim foto jempol.”
“Google Form? Dukun zaman sekarang makin adaptif ya,” pikir Rafi, separuh nyinyir, separuh penasaran.
Tanpa mikir panjang, ia klik link-nya. Formulirnya... meresahkan:
Formulir Konsultasi Gaib Mbah Karyo – Versi 8.9 (update terakhir: kemarin subuh)
✅ Nama lengkap (boleh samaran)
✅ Masalah yang sedang dihadapi
✅ Foto jempol kiri
✅ Jam lahir (kalau gak tahu, tebak aja)
✅ Apakah Anda pernah menolak amplop undangan hajatan? (Ya/Tidak)
Rafi tertawa kecil. Tapi ya, kenapa tidak? Pekerjaan tak kunjung datang, saldo e-wallet tinggal angka sakral: Rp 4.444, dan mentalnya sudah setipis kulit lumpia.
Dia isi semuanya. Bahkan mengedit foto jempolnya supaya terlihat lebih ‘cerah’ pakai filter soft glow.
Tak lama kemudian, WA masuk.
> Mbah Karyo:
Asslamualaeykum... Anda sudah terdeteksi energinya. Aura kusam. Banyak debu dosa. 😐 Siap lakukan ritual pertama? Ini hanya untuk yang kuat mental.
> Rafi:
Siap, Mbah. Hidup saya udah kayak mie instan tanpa bumbu. Hambar.
> Mbah Karyo:
Makan mie instan jam 3 pagi. Harus posisi jongkok. Tidak boleh bersin sebelum selesai. Kirim buktinya pakai foto.
> Rafi:
Ini ritual apa simulasi masuk angin, Mbah?
> Mbah Karyo:
Jangan banyak tanya. Gaib tidak suka dibantah.
Jam 3 pagi.
Rafi, lengkap dengan hoodie merah dan mata ngantuk seperti panda, membuka satu bungkus mi ayam bawang. Ia jongkok di teras rumah kos, makan pelan-pelan sambil menahan bersin.
Ibu kos lewat dan melihatnya dalam pose mencurigakan.
> “Rafi, kamu gapapa, Nak?”
“Saya... sedang cleansing, Bu.”
“Cleansing kok pake mi instan?”
“Ini... gaya hidup baru.”
Besok paginya, Mbah Karyo mengirimkan “hasil pembacaan aura”.
> Mbah Karyo:
Dari hasil ritual, kutukanmu berasal dari:
Pernah salah jawab ‘salam’ dari satpam
Sering skip azan Isya
Dan... terlalu sering pakai emoji 🙃
> Rafi:
Emoji juga bisa bawa sial?
> Mbah Karyo:
Emoji adalah energi. Salah emoji = salah vibrasi.
Untuk bersih total, butuh Transfer Pulsa Gaib. Minimal 25 ribu.
> Rafi:
Ini dukun... atau reseller?
> Mbah Karyo:
Saya dukun. Tapi zaman sudah digital. Transfer adalah bentuk kurban modern.
Rafi mulai ragu. Tapi dia juga mulai merasa... hidupnya sedikit berubah.
Aneh memang—tapi kemarin dia nemu Rp 10.000 di kantong celana lama.
Apakah itu... efek dari mi instan jongkok?
Besoknya, Mbah Karyo mengirim ritual tahap dua.
> Mbah Karyo:
Untuk membuka gerbang rezeki, lakukan Ritual Daster Merah.
Caranya:
Pakai daster merah
Selfie di sawah atau dekat pohon mangga
Kirim foto sambil pegang telur rebus
> Rafi:
Mbah, saya cowok.
> Mbah Karyo:
Gender tidak penting. Yang penting aura.
Daster adalah simbol kebebasan batin.
Dan begitulah, Rafi—seorang cowok normal, dengan masa depan abu-abu dan mimpi besar—terlihat pagi itu berdiri di sawah belakang rumah tetangga. Mengenakan daster merah pinjaman tetangganya, sambil memegang telur rebus dan senyum kikuk.
Tukang sayur lewat. Sepeda motornya hampir oleng.
> “Bro... lo cosplay jadi siapa?”
> “Saya... sedang cari kerja.”
Tukang sayur itu masih melongo, lalu lanjut jalan pelan-pelan. Rafi mendesah sambil meletakkan telur rebus di atas kepala, karena katanya itu bagian dari "ritual penyerapan energi positif".
> Mbah Karyo (via WA):
Bagus. Aura merahmu mulai aktif. Tapi belum bersih total.
Sekarang kirim rekaman suara kamu mengucapkan mantra:
"Dapurku adalah altar, dasterku adalah tameng. Rezeki, ayo datang!"
Ucapkan sambil tiup lilin bekas ulang tahun.
Rafi bengong.
> “Ini dukun, atau konten kreator prank?”
Tapi dia tetap rekam suara.
Demi apa? Demi hidup. Demi nasi padang yang belum bisa dia beli.
Satu jam kemudian, Mbah Karyo mengirimkan gambar hasil "scan energi". Entah siapa yang buat, tapi gambarnya kayak hasil Corel Draw tahun 2007: ada lingkaran warna ungu, panah kuning, dan tulisan: “RAFI – 73% SUDAH BERGAIRAH”
> Rafi:
Mbah, ini maksudnya apa?
> Mbah Karyo:
Artinya: kamu hampir sembuh dari kutukan.
Tapi tahap terakhir butuh penguatan mental.
Besok, kamu harus naik angkot, duduk paling depan, dan ajak ngobrol sopir tentang cinta sejati.
> Rafi:
Hah? Itu kenapa, Mbah?
> Mbah Karyo:
Supaya kamu ingat: cinta sejati itu seperti sopir angkot—jalan terus walau gak ada yang naik.
Rafi menatap langit. “Entah saya disembuhkan, atau pelan-pelan dibodohi.”
Tapi anehnya... semenjak mengikuti ritual-ritual konyol ini, ia merasa lebih semangat. Bukannya makin frustasi, malah... ada harapan.
Bukan karena hasilnya nyata. Tapi karena setidaknya ada yang percaya bahwa dia masih bisa “diobati”.
Malamnya, Rafi kembali memandangi chat terakhir dari Mbah Karyo. Ia mengetik, lalu hapus. Ketik lagi, hapus lagi.
Akhirnya dia kirim:
> Rafi:
Mbah... ini beneran ada ilmunya? Atau Mbah cuma ngibul tapi pake desain Canva?
Beberapa menit hening. Lalu balasan masuk:
> Mbah Karyo:
Nak Rafi...
Ilmu itu kadang bukan soal hasil. Tapi proses menerima nasibmu dengan tertawa.
Kalau kamu bisa ketawa di tengah sial, berarti kamu udah lebih sakti dari dukun.
Rafi bengong.
Dari semua hal aneh hari ini—mi instan jongkok, daster merah, telur rebus, sopir angkot dan cinta sejati—justru kalimat itu yang paling masuk akal.
Ia lalu merebahkan diri. Kali ini tidak sesak, tidak ngeluh, tidak juga berharap terlalu tinggi.
Tapi ada satu hal kecil yang tumbuh: percaya.
Bukan pada dukun. Tapi pada dirinya sendiri yang masih bisa ketawa.
Dan di luar kamar, ayam berkokok.
Entah menyambut pagi.
Atau... ritual baru yang belum diumumkan.
Paginya, Rafi bangun tanpa drama. Ia tidak mimpi dikejar tuyul, tidak juga kebasahan karena genteng bocor.
Hanya satu hal yang berbeda:
Ia merasa... enteng.
Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu, dia membuka laptop—bukan untuk cari lowongan, tapi untuk nulis.
Judul dokumen barunya:
"Mbah Google vs Mbah Dukun - Berdamai dengan Kegagalan"
Ia tersenyum.
Mungkin, hidupnya belum berhasil.
Tapi setidaknya... sekarang lucu dan mulai menyenangkan.