Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,247
Manusia Serigala
Horor

Sinopsis


Sejak kepulangan Gladis dari pendakiannya ke sebuah bukit, banyak kejadian-kejadian aneh di rumah Surya.


Gladis yang sebelumya memiliki sifat yang periang berubah menjadi gadis yang sangat pendiam. Lebih sering mengunci diri di kamar.


keanehan demi keanehan terus berlanjut. Bi Marni pembantu rumah Surya sering sekali kehilangan daging mentah di dalam kulkas.


Teror semakin mencekam. Surya yang sering melihat Gladis bersikap aneh mencoba mencari tau apa sebenarnya yang terjadi pada putrinya itu. Tapi usaha Surya justru menguak tabir kelam masa lalu pak Surya.


PART 1


Hujan yang turun sejak sore hari membuat cuaca terasa dingin. Apa lagi bagi penduduk kampung yang tinggal di bawah kaki gunung Ciremai. Pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat sejak menjelang waktu magrib. Seperti halnya dengan Surya dan istrinya yang memilih menghangatkan tubuh di bawah selimut.


"Sakit, Kang!"


Arum yang sedang tidur di samping suaminya terbangun karena merasakan sakit yang teramat di sekitar perut dan pinggang.


"Kenapa, Bu? Apanya yang sakit?" tanya Surya sambil mengucek mata.


Surya yang tidur sejak habis sholat isya terbangun saat mendengan rintihan kesakitan istrinya yang sedang hamil tua.


"Jangan-jangan Ibu teh sudah mau lahiran?" Surya menyingkap selimutnya dan mengelus perut istrinya yang besar.


"Enggak tahu, Kang? Rasanya sakit sekali. Menurut bidan desa, Ibu melahirkan sekitar dua mingguan lagi." Arum mengatur napas agar bisa meringankan rasa sakitnya.


Surya melirik jam tua yang menempel pada dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.


Tok! tok! tok!


"Ini Titin, Kang."


Titin, adik perempuan Surya yang malam itu bermaksud ke kamar mandi berhenti di depan kamar kakaknya karena mendengar suara rintihan Arum.


"Masuk saja, Tin, pintunya tidak dikunci."


Titin pun mendorong pintu kamar kakaknya dengan hati-hati.


"Astaghfirullah. Teh Arum kenapa, Kang?" tanya Titin sambil menghampiri kakak iparnya.


"Akang juga tidak tahu. Tadi sebelum tidur, Arum baik-baik saja," jawab Surya.


"Teteh, apa yang dirasa?" Titin duduk di samping Arum yang sedang memegangi area perut dan pinggang.


"Perut sama pinggang Teteh sakit dan panas, Tin. Percis seperi waktu mau melahiran Gladis," jawab Arum sambil meringis menahan sakit.


"Jangan-jangan Teteh mau melahirkan?"


"Menurut bidan desa Teteh mu melahirkan antara dua mingguan lagi. Bagaimana ini? Mana jarak ke bidan desa jauh. Tahu bakal begini tadi Akang pinjam mobil Bos." Surya mengaruk kepalanya yang tidak gatal.


"Titin bangunkan Emak, ya, Kang? Takutnya perkiraan bidan desa salah." Titin menatap Surya.


"Bagaimana baiknya saja, Tin. Terus terang Akang bingung. Untung Gladis sudah tidur sama Eyangnya."


Baru saja Titin membuka pintu kamar untuk memberi tahu ibunya perihal Arum, seorang perempuan paruh baya mengenakan daster sudah berdiri di luar pintu.


"Ada apa rame-rame di kamar Akangmu, Tin?"


"Teteh Arum sakit perut seperti mau melahirkan, Mak. Perutnya mules sama pinggangnya sakit," jawab Titin memberi jalan pada ibunya.


Mendengar ucapan Titin, wanita paruh baya itu lansung menghampiri Arum. Bibir Mak Euis yang sedang menguyah sirih komat Kamit sambil meraba perut menantunya yang sedang berpegangan pada tiang ranjang besi.


"Tin, tolong pangilkan Dedeh di kamar depan. Ini darurat. Emak mau ambil dulu garam di kamar." Mak Euis buru-buru keluar dari kamar Surya.


Untuk sampai ke kamar adiknya, Titin harus melewati beberapa kamar yang berjejer. Dulu, Mak Euis adalah seorang Pardji dan paranormal. Biasanya orang-orang yang datang menginap beberapa hari begitu juga dengan para pasien yang melahirkan.


Sampai di depan kamar adiknya, Titin mendengar suara perempuan sedang membaca Al-Qur'an.


"De, maaf menganggu!" Titin mengetuk pintu kamar pelan.


"Iya, Teh, ada apa? Kok belum tidur?" Seorang wanita cantik yang masih mengenakan mukena membuka pintu kamar.


"Belum De, sekarang kita ke kamar Kang Surya. Emak menyuruh kita berkumpul di sana. Teh Arum dari tadi sakit perut." Titin menarik tangan adiknya.


***

Arum yang merasa perutnya sudah tidak terlalu sakit turun dari ranjang. Surya pun dengan sigap membantu istrinya. Wanita yang sedang mengandung anak kedua itu bermaksud berjalan-jalan di dalam kamar untuk mengurangi sakit di bagian pinggang.


BRUGHH!


Tiba-tiba pintu jendela kamar terbuka lebar seiring suara angin yang menyeruak masuk ke dalam kamar.


WUSSSH!


"Awas, Kang!" Arum mendorong tubuh suaminya hingga terpental ke belakang.


AWW!


Mata Surya terbelalak melihat tubuh istrinya tergeletak di pojok kamar. Entah dari mana datangnya bola api tersebut. Kemunculannya begitu tiba-tiba.


A-RUM!


Surya tertatih menghampiri istrinya yang sedang mengerang kesakitan. Namun kembali sebuah bola api meluncur melalui jendela yang masih terbuka.


Sebelum bola api mengenai Tubun Surya, Mak Euis yang baru masuk kamar dengan cepat menyiramkan air dalam ember yang sudah diberi garam ke arah bola api tersebut.

Bola api yang hampir mengenai tubuh Surya itu melesat ke arah luar jendela dan menghilang dalam pekatnya malam.


AUNNGGG!


Sayup-sayup terdengar lolongan anjing hutan disertai suara riuh angin di luar rumah menyapu dedaunan.


Astaghfirullah!


Titin dan Dedeh berteriak saat melihat kondisi Arum. Kakak beradik tersebut langsung menghambur ke dalam kamar dan membantu kakak iparnya yang sedang berusaha bangun.


"Dedeh, cepat tutup jendelanya sambil baca ayat kursi tiga kali," peringatan Mak Euis.


"Titin, ambilkan Emak air hangat dan bangunkan Abah!"


"Baik, Mak." Titin berlari ke dapur setelah sebelumnya membangunkan dulu Abahnya.


Mak Euis menghampiri Surya yang sedang memangku kepala istrinya. Tubuh Arum terkulai dengan bagian dadanya yang menghitam seperti luka bakar. Wanita berambut panjang itu berusaha mengatur napas yang terasa sesak dan sakit.

Mak Euis meletakan baskom yang berisi air hangat dan handuk kecil di samping menantunya yang sedang mengerang sambil memegangi dadanya.


"Deh, teruslah mengaji sampai terdengar suara Adzan subuh. Kalau ada suara-suara memangil nama keluarga kita abaikan saja. Jangan sampai ada yang keluar dari kamar apa lagi membuka pintu ruang depan," ucap Mak Euis pada semua anggota keluarganya.


PART 2


Malam semakin merambat seperti jarum jam yang terus berputar. Mak Euis menatap petunjuk waktu yang tinggal beberapa menit lagi sampai di angka dua belas malam.


"Tin, tolong bawa ke sini Gladis pelan-pelan saja jangan sampai terbangun," titah Mak Euis sambil membuang cairan berwarna kuning kemerahan dari mulutnya yang terus menguyah sirih.


"Kita berkumpul di ruangan ini semua. Kecuali Abah. Abah berjaga di luar kamar. Tolong tiap sudut ruangan diciprati air garam yang Emak kasih tadi." Mak Euis menyodorkan ember kecil yang berisi air garam pada suaminya.


Suasana malam itu begitu mencekam. Rumah yang terletak di kaki gunung Ciremai itu seolah di selimuti aura mistis yang sangat pekat. Suara lolongan anjing terus terdengar bersama angin malam yang menggoyangkan rumpun pohon bambu di belakang kamar Surya.


"M-mak, Arum sudah nggak kuat! A-rum titip Gladis. M-maafkan A-rum, Mak!" Wajah Arum mendongak ke atas. Dari bibirnya terus keluar darah segar.


"Rum, jangan bilang begitu, kamu harus kuat demi bayi yang sebentar lagi akan lahir." Surya terus memberi semangat sambil mencium pucuk kepala istrinya yang semakin lemah.


Kepala Arum bergerak-gerak dengan mulut terus mengeluarkan darah dan beberapa binatang yang menyerupai lintah. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan.


ALLAHUAKBAR!


Arum berteriak menyebut asma Allah. Kepalanya mendongak sambil berusaha mengumpulkan tenanga. Kedua tanganya mencengkram lutut yang ditekuk.


Eaa! Eeaaa!


Suara tangis bayi terdengar membelah malam yang yang sesaat terasa sepi. Begitu jarum jam dingding menunjukan pukul dua belas malam. Mendadak angin berhembus dengan kencang. Riuh suara pepohonan yang saling beradu satu sama lain begitu juga lolongan anjing yang tadi menjauh kini kembali terdengar semakin dekat bersama dengan derap kaki kuda yang sesekali meringkik membuat buku kuduk merinding.


Dengan cekatan Mak Euis memotong tali ari-ari dari pusar bayi merah yang terus menangis. Setelah selesai dibersihkan, jabang yang baru lahir itu dipindahkan ke atas kasur kecil yang sebelumnya sudah disiapkan Titin.


"Rum, bangun!" Tangan Surya yang sedang mengelap keringat di kening istrinya berteriak panik.


"Mak, tolongin Arum!" Surya memanggil ibunya yang baru saja selesai mengurus bayi yang baru lahir.


Kepala Arum terkulai lemah. Setelah sebelumnya dia sempat mengucap kalimat tauhid. Ada seulas senyum di sudut bibirnya yang penuh dengan darah. Wajahnya yang tadi membiru kini terlihat tenang dan bercahaya.


Surya meraba pergelangan tangan Arum yang tak berdenyut lagi. Merasa belum yakin kalau istrinya sudah berpulang Surya meletakan telunjuknya di depan hidung istrinya. Terasa dingin karena kini wanita yang hampir tiga tahun lebih menemaninya sudah tak bernafas lagi.


INNALILAHIWAINNAHIROJIUN!


"Sur, kamu harus kuat. Ingat situasi yang kita hadapi. Iklasakan Arum, lihat anakmu dia dalam bahaya." Mak Euis mengusap bahu Surya.


Setelah bayi perempuan yang baru lahir itu dibalut kain jarik, Mak Euis segara membungkus tali ari-ari dengan kain putih dan memasukan ke dalam kendi kecil yang terbuat dari tanah liat.


AUNNGGG!


Lolongan anjing disertai suara cekikikan perempuan di luar rumah semakin membuat situasi mencekam. Begitupun dengan suara kuda meringkik dengan kaki yang dihentak-hentakan ke tanah menandakan kalau keadaan di luar rumah Mak Euis sedang genting.


"Sur, cepat adzankan anakmu agar tak mengundang mereka yang tak kasat mata. Biar Abah yang mengurus jenazah Arum." Mak Euis memberikan bayi mungil yang sangat cantik ke pangkuan Surya.


Sambil menahan air mata, Titin membersihkan darah di tubuh kakak iparnya. Darah bekas muntahan dan melahirkan. Sementara Abah Karta menyiapkan kasur kapuk dan beberapa kain jarik.


Setelah jasad Arum selesai dibersih, Abah Karta dan Titin memindahkan ke atas kasur. Menutup tubuhnya dengan kain jarik hingga kepala.


Dengan suara bergetar Surya mengadzankan anaknya di depan jasad arum. Air mata yang tak dapat ditahan jatuh membasahi kain yang membalut tubuh bayi mungil yang sekarang terdiam. Surya semakin pilu mengingat anaknya terlahir dengan ditukar nyawa sang ibu.


Setelah selesai mengadzankan anaknya, suasanapun tenang kembali hanya suara dedaunan yang berjatuhan di samping rumah Mak Euis yang dikelilingi pohon-pohon bambu.


Sementara di sudut kegelapan, tampak beberapa pasang mata memerah memandang rumah Mak Euis yang terlihat bercahaya dan menimbulkan aura panas saat suara lantunan ayat-ayat suci seakan membakar mahluk-makluk tak kasat mata. Mereka memilih pergi dari pada harus terbakar.


Begitupun suasana di suatu tempat. Tampak seorang lelaki dengan wajah yang menghitam sedang mengerang kesakitan, "Aki, tolong saya, Ki! Sakit ... panas ...!" Lelaki yang usianya seumuran dengan Surya tersebut memegangi wajahnya yang mengitam.


"Bodoh! Ceroboh! Mengapa kamu senekad ini? Kamu tidak tau siapa sebenarnya keluarga yang kamu santet itu, hah? Lihat keadaanmu sekarang. Anak yang lahir di malam satu suro itu akan mencelakai kita semua. Terutama para pengikutku." Lelaki yang di panggil Ki guru itu mengepalkan tanganya.


PART 3


19 tahun kemudian…


"Dis, ini terahir kali Ayah kasih izin kamu mendaki. Itu juga cuman ke bukit seperti yang kamu omongin tadi malam." Surya menatap anak gadisnya yang duduk bersebrangan di meja makan.


"Mau sampai kapan, kamu ngikuti hobbymu itu? Ayah pengen kamu itu fokus kuliah," ucapnya lagi.


"Iya, Ayah. Adis janji, ini yang terakhir kalinya pergi sama teman-teman. Ini juga karena lagi libur kuliah, Yah," jawab Gladis sambil mengoles selai kacang pada rotinya.


"Pesan Ayah, hati-hati sekarangkan lagi musim hujan. Ayah khawatir kamu mendaki dengan cuaca yang sedang ekstrim begini." Surya mengingatkan putrinya.


"Tenang saja, Yah, Adis bukan mendaki gunung kok. Kata Benny, bukitnya dekat dengan pemukiman penduduk. Setiap hari ramai pengunjung yang menikmati keindahan alam. Seperti tempat wisata alam gitu, Yah." Gladis menyakinkan ayahnya.


"Iya. Ayah percaya. Jaga diri baik-baik di sana, Sayang." Surya meraih tas kerjanya.


"Ayah berangkat dulu. Salam buat teman-teman kamu." Surya menghampiri anaknya yang masih sarapan. Sebelum pergi dia mencium pucuk kepala putri tersayang.


***


"Bi, Adis berangkat sekarang, ya." Gladis berpamitan pada Bik Marni.


"Emang jadi si Neng teh ngebolang lagi?" Wanita yang sudah puluhan tahun menjadi ART di rumah Surya menatap Gladis yang sudah siap dengan rangsel gunungnya.


"Iya, Bik. Ngga lama kok paling tiga hari juga sudah pulang. Adis nitip Ayah, ya, Bi!" Gladis mencium punggung tangan Bik Marni.


"Iya, Neng." Bi Marni mengantarkan Gladis sampai teras rumah.


Di halaman rumah yang luas dan asri tampak sebuah mobil hitam sudah menunggu Gladis.


"Elahh, lama amat, sih, Dis!" Yulia langsung mengomel begitu Gladis membuka pintu mobil.


"Sabar napa, kaya nggak tau bokap gue aja. Segalanya kudu dijelasin sejelas-jelasnya." Gladis memasukan tas ranselnya yang berisi perlengkapan selama di bukit nanti.


"Jadi kita cuman ber-lima, nih?" Gladis yang sudah duduk di depan menoleh ke belakang. Terlihat tiga temanya sedang asik dengan ponselnya masing-masing.


"Iya, Dis. Si Sarah masih trauma waktu kesurupan di gunung salak. Kalau Aldo ortunya lagi sakit," jawab Ayu.

"Gimana sudah siap berangkat sekarang?" Benny yang duduk di belakang kemudi bertanya pada teman-temanya.


"Dari tadi juga udah siap kita. Sampe pegel pantat gue gegara nungguin bidadari lama banget turunya." Ayu yang merasa kesal karena lama menunggu menatap punggung Gladis yang duduk di depan bersama Benny.


"Kan gue udah minta maaf dan ngejelasin semuanya." Gladis menoleh ke arah Ayu.


"Ini kita mau berangkat atau debat, sih?" Dion menengahi dua sahabatnya.


"Mumpung hari masih pagi kita otw sekarang, ya. Bismillahirrahmanirrahim." Benny mulai menjalankan mobil keluar dari halaman rumah Gladis.


Udara masih terasa sejuk saat mobil yang di kendari Benny melaju membelah jalanan kota Jakarta yang pagi itu masih lengang.


"Ben, emang loe udah ngecek lokasi yang mau kita pake buat camping?" Gladis menatap Benny yang sedang mengemudi.


"Sudah, Dis. Kebetulan ada paman gue yang masih tinggal daerah sana. Gue juga kecil lahir di sana pas SMP gue sama keluarga hijrah ke Batavia dan menetap di tempat sekarang."


"Berarti loe orang Sunda, ya, Ben?" tanya Ayu.


"Sunda blasteran Palembang lebih tepatnya,"


"Gue malah baru tahu loe orang Kuningan, Ben. Nenek gue juga tinggal di Cirebon sama Tante." Gladis menatap sahabatnya.


"Iya, Dis. Bokap gue orang kuningan nikah sama nyokap orang Palembang. Kalau gitu sekalian aja kita mampir ke tempat Nenek loe," ucap Benny.


"Pengen, sih. Tapi gue kaga tahu tempatnya karena terakhir ke sana pas kelas tiga SD. Bokap juga jarang pulang kampung paling setahun sekali kalau habis lebaran itu juga ngga lama." Gladis menatap ke samping jendela mobil.


"Terus rencana kita sesampai di sana gimana? Ngga mungkin kan kita langsung mendirikan tenda?" tanya Dion.


"Rencananya kita ke rumah sodara gue sekalian nginep semalam. Sama nitipin mobil soalnya jalan yang menuju bukit cuman bisa dilalui kendaraan roda dua saja."


"Kenapa kita nggak mendaki ke gunung Ciremai sih, Ben? sekalian gitu?"


"Rencana awal sih emang begitu, Yon. Cuman karena lagi musim hujan, terus rute pendakian lagi extrim, jadi pendakian ke Gunung Ciremai sementara di tutup dulu."


"Tenang, Yon, bukit yang akan kita tuju masih berada di kaki Gunung Ciremai. Pemandangnya juga ngga kalah Amazing nya." Benny menatap Dion dari kaca spion.


"Eh, Dis, tumben bokap loe ngasih izin putri kesayangannya mendaki ke daerah timur."


"Nah itu dia, untung bokap kagak nanyain tempat bukit yang mau kita datangi," jawab Gladis.


"Bentar dulu, berarti bokap loe kaga tahu kalau loe mau ke daerah yang ...?"


"Kalau gue ngasih tahu pastinya gue kaga bisa bareng elu pade sekarang."


"Wahh, parah loe, Dis. Pokoknya gue kaga mau ikut-ikutan kalau bokap loe nyalahin kita," Yulia melempar punggung Gladis dengan kulit kacang.


"Salah bokap juga kenapa dari kecil gue kaga boleh ke daerah sana. Ngga masuk akal." Gladis sedikit mendengus.


"Mungkin bokap loe punya mantan atau masa lalu di sana." Ayu terkekeh.


"Mungkin. Tapi seingat gue, bokap ngga pernah membahas tentang perempuan. Pokoknya tertutup banget." Wajah Gladis terlihat murung.


"Padahal bokap loe masih muda, ganteng, mapan pula. Masih pantas jadi sugar Deddy." Yulia menimpali.


"Cieee... jangan-jangan loe naksir dan pengen jadi Mamah mudanya Gladis." Ayu mengikut lengan Yulia yang duduk di sebelahnya.


"Kalau iya, masalah buat loe?" Yulia memukul kepala Ayu pakai botol bekas air mineral.


"Kaga masalah sih. Cuman kalau kejadian pasti kalian berdua bikin masalah mulu." Ayu menepuk jidat Yulia.


Mobil terus melaju meninggalkan hiruk pikuk kota Jakarta. Gladis menyandarkan punggungnya pada sandaran jok mobil. Rasa lelah membuatnya mengantuk, sampai tak sadar ia tertidur.


PART 4


Gladis terbangun karena merasakan udara dingin mengelus wajahnya. Rasa lelah telah membuatnya tertidur, sementara Benny yang sedang menyetir di sampingnya hanya tersenyum melihat Gladis mengusap iler di sudut bibirnya, "Pules amat tidurnya, Dis, sampe ngiler gitu, he..he." Benny terkekeh.


"Iya, Ben. Ngga tahu nih ngantuk banget. Sini gantian nyetirnya biar kamu bisa istirahat," ucap Gladis sambil mengikat rambutnya.


"Nggak usah, Dis, gue udah biasa nyetir mobil perjalanan jauh. Udah, loe tidur aza lagi," jawab Benny denga tetep fokus ke depan.


Gladis menoleh ke belakang, nampak Ayu dan Yulia sedang tertidur, begitu juga Dion sampe ngorok di kursi paling belakang.


"Emang kita nggak berhenti di tempat istirahat Ben. Kali aza anak-anak pada laper atau mau ke toilet." Gladis menatap ke luar jendela mobil yang sepanjang jalan tampak berjejer pepohonan.


"Tanggung, bentar lagi juga nyampe. Anak-anaknya juga pada tidur pules. Tapi, kalau loe mau ke toilet entar sambil jalan kita nyari tempat, bahaya kalau di tahan-tahan."


"Nanti saja, Ben, kalau sudah di rumah sodara loe."


"Aduhhh, tega ya kalian berdua malah pacaran. Kok nggak bangunin sihh! Laperr nihh!" Ayu yang terbangun meraba perutnya yang terasa perih.


"Sorry Yu, gue juga baru bangun. Kalau lapar, tuh di tas gue banyak makanan sama minuman. Makanya kalau tidur jangan kaya kebo!"


"Woy ... Yulia, Dion, bangun! Udah nyampe, dasar kebo!" Ayu menepuk- nepuk pipi Yulia.


Yulia yang sedang tidur bersandar di behu Ayu pun terbangun.


"Cepet amat udah nyampe!" Dion yang ikut terbangun menatap ke luar jendela mobil.


"Nyampe, nyampe, iya nyampe ke alam mimpi." Benny menatap Dion dari kaca spion.


"Et dah, kirain beneran udah nyampe. Untung Gladis bawa makanan banyak, kalo kaga bisa naik nih asam lambung gue," ujar Yulia yang mulutnya penuh dengan roti.


"Bentar lagi guys, sabar!" ucap Benny.


"Wihhh, udaranya sejuk amat, jiwa petualang gue seperti udah mencium udara pegunungan. Matiin aza AC mobilnya, Ben." Dion mengeser kaca jendela mobil di sampingnya. Udara segar pun menyeruak masuk ke dalam mobil.


"Boleh juga tuh, buat apa pake AC kalau udara di sekitar kita lebih sejuk. Nah, sekarang kita sudah memasuki kawasan gunung tertinggi di Jawa barat. Tuh lihat gunung di depan kita." Benny menunjuk ke depan.


"OMG, akhirnya gue bisa juga melihat secara dekat gunung yang udah lama banget pengen gue jelajahi. Masyaallah, indah sekali!" Yulia mengeluarkan sedikit kepalanya di jendela karena saat itu jalanan agak sepi.


"Iya, yull. Sayangnya kita ke sini bukan untuk mendaki. Insyaallah, kedepannya kita cus ke sana, mengibarkan bendera merah putih di puncak gunung Ciremai," ucap Benny penuh semangat.


"Ehhh, Ben, Kok di sini banyak banget kuda berseliweran di jalan?" tanya Dion keheranan.


"Namanya juga kota kuda. Di sini sebagian kendaraannya manggunakan kuda, tuh lihat patung kuda yang dipakai buat aikon kota ini," jawab Benny.


"Keren! Nanti kalo pulang gue mau minta patung kudanya satu."


"Sekalian saja pulang ke Jakarta naik kuda, Yon," ucap Gladis.


"Et dah, tar gue dikira ksatria Majapahit."


"Guys, gimana kalau kita mampir dulu ke warung hucap buat ngisi perut?"


"Gue setuju, Ben. Kebetulan gue lapar sama pengen ke toilet ngeluarin isi kantong kemih." Yulia memegangi bawah perutnya.


"Hucap itu sejenis makana apa sih, Ben?" tanya Gladis pada Benny yang sedang menepikan mobilnya tepat di samping sebuah kedai pinggir jalan.


"Hucap itu makanan khas kota Kuningan, singkatan dari tahu sama ketupat yang disiram kuah kacang," jawab Benny.


"Yummy, kaya nya endes tuh, Ben." Gladis yang penyuka kuliner yang berbumbu kacang langsung ngiler.


***


Seorang wanita paruh baya tersenyum ramah saat menghampiri meja Benny dan temannya. Suasana kedai yang lumayan ramai pengunjung itu menyuguhkan pemandangan yang begitu asri. Suara kaki kuda yang lalu lalang di depan kedai membuat suasana begitu berbeda dengan tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi.


"Ini teh jang Benny, anak wa Umar bukan, ya?" Wanita tersebut menunjuk Benny ragu-ragu.


"Iya, Bi. Bibi apa kabar? Alhamdulilah Bibi masih mengenali saya." Benny menyalami tangan wanita tersebut.


"Ingat dong, dulu sebelum keluarga Jang Benny hijrah ke Jakarta kita kan tetanggaan."


"Iya, Bi. Dulu hampir tiap hari dikasih hucap. Saya jadi kangen hucap buatan Bibi."


"Kalau gitu Bibi bikinkan hucap buat ngobatin kangen Ujang. Mau pesan apa saja? Selain ada hucap di kedai Bibi juga ada sorabi dan bandrek."


"Hucapnya lima porsi, sama sorabi yang pake oncom. Siapa tahu temen-temen mau nyobain."


Sambil menunggu pesanan datang Benny dan teman-temannya mengobral seputar kegiatan apa saja yang akan mereka lakukan setiba di bukit.


"Pemandanganya bagus dan udaranya sejuk, kalau malem pasti dingin banget, ya, Ben?" Gladis mengosok-gosok telapak tangannya.


"Iya, Dis. Di sini udaranya emang dingin, apalagi di bukit yang mau kita datangin nanti." Benny melepaskan jaket kulitnya dan memakaikan kepada Gladis.


"Cieee---ehem. Mau dong aku di jaketin juga, dingin beut." Dion mengedipkan sebelah matanya pada Benny.


"Rese loe, noh kalau dingin pelukan sama kuda."


"Elahh extrim banget loe, mentang-mentang gue jomlo." Dion nyengir kuda.


"Jang Benny, ini pesanan hucapnya sudah datang. Sorabi sama bajigurnya masih dibikin dulu."


"Terima kasih, Bik."


Melihat makanan yang begitu menggiurkan, Gladis menelan ludahnya. Makanan kuliner yang di siram dengan saos kacang yang medok, ditaburi kerupuk emping emang benar-benar menggugah selera.


"Ben, kalo gue nambah boleh nggak?" Gladis menatap piringnya yang sudah bersih.


"Boleh lah. Empat piring juga boleh," jawab Benny tersenyum.


"Busyet, loe leper apa doyan, Dis?" Ayu membelalakkan matanya.


"Kan loe tau, gue paling suka makanan yang ada kacangnya, apa lagi ini, enak bangettt."


Seorang pelayan datang menghampiri meja Benny dengan sebuah nampan besar berisi pesanan yang sebelumnya. Ada sorabi dan bandrek dengan asap yang masih mengepul menebarkan aroma jahe yang begitu menggiurkan.


"Kang, punten pesan hucapnya lagi satu porsi," ucap Benny pada pelayan yang sedang menata pesanan di atas meja.


"Aseeekkkk, Mukbang nih kita, guys!" Mata Dion berbinar-binar melihat pesanan yang baru datang.


PART 5


Setelah sarapan, Gladis bersama ke empat teman bersiap pergi ke bukit. Sementara di halaman rumah, Asep yang akan menjadi petunjuk jalan sedang memanaskan mesin motor.


Asep, remaja yang baru lulus SMA tersebut sudah terbiasa mengantar para pengunjung yang mau berkemah di bukit.


Semalam, Benny mengajak teman-temannya mengginap di rumah om Hadi. Yaitu Kakak laki-laki ayahnya Benny.


Berhubung letak bukit yang lumayan jauh dan tak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Benny dan teman-teman memutuskan naik kendaraan roda dua.


"Sep, jangan lupa mampir dulu ke tempat Abah Kliwon. Minta izin dulu sama beliau," pesan pak Hadi ayahnya Asep.


"Iya, Pak. Yuk, semuanya kita berangkat," ucap Asep yang sudah siap dengan motor gunungnya.


"Kami berangkat dulu, ya, Pak. Terima kasih sudah memberi tempat untuk kami bermalam dan sarapan pagi ini." Gladis menyalami Pak Hadi.


"Iya, Neng, sama-sama. Lagi pula habis dari bukit kalian mampir ke sini lagi kan?" Pak Hadi menatap keponakannya.


"Iya, Wa. Benny titip mobil dulu di sini, ya."


"Iya, Jang. Jangan khawatir. Kalian di sana hati-hati. Kalau sudah selesai berkemah tunggu di rumah Abah Kliwon sampai Asep menjemput kalian," ucap Pak Hadi.


Setelah Benny dan teman-teman berpamitan kepada pak Hadi mereka pun berangkat dengan menaiki jasa ojek.


***


Setelah melewati beberapa perkampungan dan desa, akhirnya rombongan sampai di sebuah rumah sederhana. Rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu itu terletak jauh dari pemukiman warga.


Setelah Asep mengucapakn salam beberapa kali, pintu rumah pun terbuka. Seorang perempuan setengah baya mengenakan kain jarik dan kebaya mempersilahkan Asep dan rombongan masuk ke dalam rumah.


"Sebentar, Cu, Ambu panggilkan dulu Abah di belakang." ucap wanita tersebut ramah.


"Iya, Bu, terima kasih. Bu, apa boleh saya numpang ke toilet?" Gladis yang sejak tadi nahan buang air kecil nampak gelisah.


"Boleh, Neng. Mari ikut Ambu ke belakang."


Gladis dan Yulia mengekor di belakang wanita yang merupakan istri Abah Kliwon. Sebuah kolam langsung menyambut kedatangan dua gadis yang nampak bingung.


"Neng, di kampung toiletnya begini." Ambu menununjuk tempat yang terbuat dari bilah bambu yang di pasang di atas kolam. pinggirannya di kelilingi anyaman bambu.


***


Setelah Asep menerangkan tujuan mereka. Lelaki yang sering dipanggil dengan sebutan Abah Kliwon itu memandang Gladis dan teman- temanya.


"Cu, sebenarnya bukit yang akan kalian kunjungi itu tidak berbahaya. Semua orang bebas datang kesana. Dulu bukit itu adalah hutan yang sangat lebat, banyak lembah-lembah yang masih jarang di sentuh manusia . Namun setelah pemerintah setempat membuk menjadi tempat wisata alam, tempat itu menjadi ramai oleh para pengunjung. Di sana juga ada beberapa lahan yang sering di pakai para pecinta alam untuk berkemah, apalagi saat musim liburan seperti sekarang ini."


"Khusus untuk pengunjung luar daerah sini ada beberapa pantangan yang harus dipatuhi." Abah Kliwon menyambung ucapanya.


"Abah selaku sesepuh di daerah sini berharap kalian bisa mematuhinya, itu semua untuk keselamatan kalian juga." Abah Kliwon merubah posisi duduknya.


"Kalau boleh tahu apa pantangan yang harus kami patuhi sesampai di bukit nanti?" BagaimanaBenny merasa penasaran dengan ucapan Abah Kliwon selaku sesepuh bukit yang akan mereka kunjungi.


"Pantangan pertama, kalian jangan sampai terluka dalam arti darahnya tercecer di hutan. Kalaupun terluka kalian harus menutupnya dengan kain. Apa lagi bagi perempuan yang sedang datang bulan sangat berbahaya bermalam di bukit itu".


"Pantangan ke dua, bila tiba-tiba ada kabut tebal kalian jangan berpencar. Jangan berlari karena di bukit itu sangat banyak lembah yang dalam. Tunggu sampai kabut tebal itu menipis" papar Abah Kliwon.


"Pantangan ketiga, kalau ada suara lolongan Ajag /anjing hutan, kalian harus menutup telingga." Abah Kliwon menarik nafas pelan.


"Tapi soal kabut tebal yang Abah ceritakan, sudah 20 tahun ini tidak pernah muncul lagi . Begitu juga dengan suara-suara ajag. Ini hanya sekedar untuk berjaga, tak ada salahnya kalian tetap selalu waspada." Abah Kliwon meraih secangkir kopi yang baru di hidangkan istrinya.


***


Setelah Gladis dan rombongan mendapat arahan berupa beberapa pantangan yang harus di patuhi. Gladis dan teman-temanpun akhirnya berangkat menuju bukit. Asep yang hanya mengantar sampai kaki bukit pun kembali pulang bersama empat ojek yang membawa mereka tadi.


Gladis dan teman-teman memang sudah terbiasa berpetualang ke alam bebas. Mahasiswa semester akhir itu sering sekali menghabiskan waktu di alam bebas. Seperti semboyan komunitas mereka" JIWAKU BEBAS BERSAMA ALAM"


Perjalanan pun mulai mendaki, udara bukit yang sejuk membuat mereka kian bersemangat. Rindangnya pohon pinus sepanjang jalan yang meraka lewati membuat alam sekitar terasa asri. Suara kicau burung seakan menyambut kedatang Gladis dan teman-temannya. Rangsel yang bertengger di punggung seakan tak terasa berat. Tak terlihat sedikitpun wajah lelah, mereka benar-benar merbaur dengan alam yang masih alami.


Di perjalanan mereka beberapa kali berpapasan dengan rombongan yang juga bermaksud ke bukit. Kebanyakan dari mereka, adalah para pelajar yang membawa rangsel-rangsel besar, mungkin mereka juga sama seperti rombongan Gladis mau mendirikan kemah di bukit.


Menjelang tegah hari akhirnya rombongan Gladis sampai di bukit. Terlihat beberapa tenda sudah terpasang. Sungguh pemandangan yang mengagumkan.


Setelah mendapatkan tempat untuk mendirikan tenda, Dion dan Benny mulai memasang tenda. Sedangkan Gladis, Ayu dan Yulia bertugas mencari kayu bakar untuk persiapan nanti malam.


PART 6


Tempat Gladis berkemah menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. Bila siang hari terihat hamparan sawah bak permadani yang membentang sepanjang lembah. Dan sungai yang berkelok-kelok seperti ular raksasa yang mengelilingi kaki bukit.


Di pagi hari terlihat hamparan awan di bawah bukit. Siapapun yang berada di bukit itu berasa seperti sedang berada di atas awan. Itu salah satu daya tarik yang membuat para pengunjung lebih memilih datang di pagi hari untuk menikmati awan yang berarak mengepulkan asap putih.


Senja hari, kita akan melihat matahari tenggelam di balik gunung. Menyisakan sinar lembayung yang membuat mata ini tak bisa berpaling dari hamparan jingga yang penuh keagungan.


Begitu pun saat malam hari, udara akan terasa lebih dingin menusuk sampai ke tulang. Kerlap kerlip cahaya lampu di sempanjang lembah dan gunung laksana kunang-kunang yang sedang menari mengiringi suara denting gitar dari tenda-tenda kemah yang sedang menikmati hangatnya api unggun.


Ada banyak tempat bersua foto untuk para pengunjung yang sengaja di sediakan pengurus setempat. Bukit yang termasuk ke dalam obyek wisata alam tersebut begitu cantik dengan pemandangan alam yang benar-benar masih asri.


Gladis duduk memandang gunung yang berada di depannya, terasa begitu dekat namun sulit untuk disentuh. Seperti Benny yang sangat sulit untuk bisa menyetuh cintanya. Persahabatan yang sudah terjalin sejak masih di bangku SMA membuat Benny tak bisa jauh dari gadis yang diam-diam telah mencuri hatinya.


Benny datang membawa dua cangkir kopi yang masih mengepul. Sambil duduk di samping gadis pujaannya, Benny menyodorkan segelas kopi susu kesukaan Gladys.


"Terima kasih, Ben." Gladis menerima cangkir yang disodorkan sahabatnya.


Bukan tak tahu tentang perasaan Benny yang menaruh hati padanya. Tapi sampai sekarang dia belum bisa menyambut perasaan itu. Biarlah persahabatan di antara mereka menjadi pembatas karena bila persahabatan menjadi sebuah hubungan cinta, Gladis takut tak satupun tersisa dari hubungan mereka.


"Lagi mikirin apa, Dis? Inget di larang melamun di tempat begini." Benny menyikut lengan gadis pujaan hatinya.


Bertepuk sebelah tangan itu ternyata sering membuat ia lelah. Namun ia masih terus berharap semoga lelahnya suatu saat akan berakhir indah di hati Gladis.


"Nggak mikirin apa-apa, kok, Ben. Cuman lagi menghayal kapan kita bisa mendaki gunung yang ada di hadapan kita." Gladis menepuk nyamuk hutan yang hinggap di kakinya.


"Iya, Dis. Impian kita sama. Dari dulu pengen sekali bisa mendaki gunung tertinggi di Jawa barat itu. Apa lagi bisa sampai ke puncaknya. Sayangnya kondisi alam yang sedang tidak bersahabat dengan para pendaki sangat susah mendapatkan izin dari pihak setempat," ucap Benny sambil menggosok-gosokkan telapak tanganya untuk mengusir rasa dingin.


"Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa ke sana." Gladis menatap jauh ke depan.


Dari beberapa gunung yang pernah dia taklukan, Gladis sangat terobsesi dengan pesona Ciremai yang terkenal dengan legenda Nini pelet dan cerita-cerita para pendaki yang sudah pernah sampai ke puncaknya.


Saat Benny dan Gladis sedang mengobrol, terlihat seorang gadis berlari kecil menghampiri mereka berdua.


"Maaf, Ka. Saya bisa minta tolong pinjem korek api nggak? Korek api milik kelompok kami kena air semalam, jadi kami ngga bisa bikin perapian untuk memasak sarapan pagi ini," ucap gadis Vstersebut dengan nafas yang tersengal-sengal.


Benny merogoh saku jaketnya, mengeluarkan korek api dan memberikanya kepada gadis tersebut seraya berkata, "Ini pakai saja ,De. Tidak usah di kembalikan. kami masih punya beberapa cadangan korek."


"Terima kasih, Ka. Kenalkan nama saya Safitri. Tenda kami berada di sebelah sana yang berwarna biru tua." Gadis berkulit hitam manis itu mengarahkan telunjuknya.


"Loe kenapa, Ben?" Gladis melambaikan tangannya di depan wajah Benny.


"Loe ngga ngerasa apa kalau gadis tadi wajahnya mirip banget sama loe?"


"Apa iya?" Gladis menatap punggung Safitri yang semakin menjauh.


"Iya. Bedanya Safitri berkulit putih dan berhijab."


"Jadi maksud loe, kulit gue item?" Gladis mengerlingkan mata indahnya.


"Itu loe yang ngomong, ya." Benny terkekeh.


"Sialan, loe. O iya, besok waktu berkemah kita sudah selesai kan?" Gladis yang masih betah berkemah di bukit merasa enggan untuk pulang.


"Iya, Dis. Sesuai kesepakatan sebelumnya kita berkemah cuman tiga hari. Aku juga malas pulang ke Jakarta, masih betah tinggal di sini."


"Kalian ini, bukanya bantuin kita masak malah pacaran!" Ayu yang sudah berdiri di belakang bertolak pinggang.


"Wihhh, cepat amat sudah mateng, Yu."


"Mateng pala loe!" Ayu menarik tangan Gladis dan membawanya ke belakang tenda.


***


Di hari ke tiga rombongan Gladis sudah harus kembali ke jakarta. Setelah sarapan pagi mereka mulai mengemasi peralatan kemah ke dalam rangselnya masing-masing. Dementara Dion dan Benny sibuk membuka tenda.


"Duhh, gue ko kebelet, ya!"


Yulia yang sedang melipat selimut menatap Gladis. "Loe kenapa, Dis?"


"Loe sakit?" Tanya Ayu menghampiri sahabatnya yang sedang jongkok sambil memegangi bagian perutnya


"Tau nih, perut gue kok berasa sakit dan mules. Gue mau ke sungai dulu bentar."


"Gue antar, ya."


"Nggak usah, Yull, kalian kan lagi berkemas."


"Ya sudah. Tapi jangan lama-lama," ucap Ayu kembali meneruskan pekerjaannya.


Sambil memegangi perutnya yang terasa sakit, hati-hati Gladis menuruni lembah tempat tempat MCK para pengunjung. Ada anak sungai yang airnya sangat jernih di sana.


"Pantes sakit perut, ternyata lagi datang bulan," gumam Gladis setelah melihat bercak noda di pakaian dalamnya.


PART 7


"Untung pulang hari ini. Coba kalau masih menginap di sini, bisa berabe," batin Gladis teringat pesan Abah Kliwon.


Baru saja beberapa langkah meninggalkan kamar mandi yang berada di lembah, Gladis berpapasan dengan safitri. Entah mengapa setiap bertemu dengan gadis ini ada perasaan lain di hatinya. Seperti tak asing lagi tapi itu tak mungkin.


"Mau ambil air, ya, Dek?" tanya Gladis sambil menatap ember kosong di tangan Safitri.


"Iya, kak. Kak Adis sendirian?" Safitri balik bertanya sambil mengulas senyum.


"Iya, Fit. Kakak duluan, ya. Kamu hati-hati soalnya jalan menuju ke bawah agak licin." Gladis memperingatkan Safitri.


Aww!


Gladis yang hendak melangkah tiba-tiba mendengar suara Safitri menggaduh. Benar saja saat membalikan tubuhnya terlihat gadis itu sedang berjongkok sambil memegangi telapak kakinya.


"Kamu kenapa?" Gladis menghampiri Safitri.


"Ini, Kak, kena tusuk ranting."


"Ya Allah, sampe berdarah begini. Kakak bantu nyabut rantingnya. Tahan, ya, pasti rasanya sakit."


Gladis mencabut ranting di kaki Safitri dengan hati-hati. Darah segar keluar dari kaki gadis itu. Dengan sigap Gladis menutup kaki Safitri agar darahnya tidak menetes ke tanah. Gladis mengelap darah yang keluar dari telapak kaki Safitri menggunakan saputangan miliknya.


"T--terima kasih, kak," ucap Safitri sambil meringis menahan sakit.


"Rupanya kamu di sini. Buruan ditunggu Kakak pembina. Kita mau pulang!" seru empat orang wanita yang merupakan teman Safitri.


"Teman kalian kakinya terluka," jawab Gladis sambil membantu Safitri berdiri.


"Kalau begitu biar kami bantu Fitri kembali ke tenda. Soalnya hari ini rombongan kami mau pulang." kata salah seorang teman Safitri.


"Duluan, ya, Kak. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya." Safitri menatap Gladis yang juga sedang menatapnya. Lagi-lagi Gladis merasa dadanya berdebar.


***


Sepeninggal Safitri dan teman-temannya, Gladis kembali berjalan menaiki jalan yang menanjak dan terjal. Beberapa kali dia hampir terpeleset karena sebelah tangannya sambil memegangi area pinggang dan perut yang terasa sakit .


Saat Gladis sudah sampai ke atas bukit. Bulu kuduk Gladis tiba-tiba berdiri saat mendengar lolongan anjing. Matahari yang sebelumnya mulai menghangatkan alam sekitar kini meredup.


Menyadari kejanggalan yang terjadi di sekitarnya, Gladis pun mempercepat langkahnya. Beberapa kali dia menengok kebelakang karena merasa seoerti ada langkah yang mengikuti. Tapi tak ada siapa-siapa hanya dirinya sendiri di tempat yang semakin gelap seperti sore menjelang malam.


"Ben!"


Gladis yang sedang dicekam perasaan takut merasa senang karena Benny datang menjemputnya.


"Ben, mau kemana?" teriak Gladis sambil mempercepat langkahnya menyusul Benny berjalan sambil menunduk.


"Ben, kenapa kita malah ke arah lembah larangan? Kita ke tenda, yuk. Suasana semakin gelap,aku takut!" Gladis yang sudah berada di belakang Benny berusaha menarik tangan sahabatnya.


Tak ada jawaban dari Benny. Langkahnya semakin lebar menuju sebuah lembah yang menurut salah satu pengunjung itu lembah larangan yang sangat dalam.


Gladis tak mempedulikan lagi rasa sakit di perutnya. Dia terus mengikuti Benny dari belakang walau beberapa kali tersandung namun sahabatnya seolah tak perduli.


Suasana semakin gelap dan sunyi. Benny yang lebih dulu sampai di bibir lembah berdiri tanpa menghiraukan Gladis yang berjalan terseok karena tak bisa dengan jelas melihat jalan yang dia pijak.


"Ben, loe kenapa, sih? Marah, ya?"


"Ben, loe jangan bercanda, deh. Ngga lucu tahu!" gerutu Gladis sambil memegangi perutnya yang terasa keram.


"Ben, kita pulang!" Gladis menarik tangan Benny dari belakang.


Deg!


Jantung Gladis berdegub kencang saat menyentuh lengan Benny yang terasa kasar dan seperti ditumbuhi bulu.


Astagfirullah!


Dalam keremangan suasana yang semakin gelap, Gladis melihat kalau pria yang sebelumnya menyerupai Benny telah berubah. Suara gerakan terdengar saat sosok tersebut memutar tubuhnya dan menarik tangan Gladis dengan cepat.


Aawww!


Gladis melayang saat sosok mengerikan itu melemparkan tubuhnya ke arah lembah.

***


Beberapa saat sebelum bukit tertutup kabut.


Matahari pagi yang menyembul dari balik gunung Ciremai disambut ceria oleh penghuni alam semesta. Burung-burung berkicau riang dan perlahan embun melepaskan diri dari pelukan dedaunan. Sebagian warga pun sudah bersiap dengan aktivitas mereka masing-masing. Sebagian besar warga di sekitar gunung Ciremai adalah petani.


Namun sinar matahari pagi tiba-tiba gelap gulita tertutup kabut yang sangat tebal. Semua orang yang sedang berkemah, menjadi panik. Ada yang segera menghambur ke dalam tenda dan yang berada di luar tenda saling berpegangan tangan dengan teman-temannya.


Lolongan anjing yang diikuti suara jeritan perempuan tiba-tiba terdengar memilukan di arah lembah. Tak lama kemudian sebuah cahaya perak datang dari arah lereng gunung ciremai menuju bukit yang sedang diselimuti kabut tebal.


Sejak terdengar suara lolongan anjing, para warga yang berada di kaki bukit langsung masuk ke dalam rumah masing-masing. Mengunci pintu dan jendela memercikan air garam di setiap pojok rumah. Mereka begitu ketakutan seakan ada bahaya yang sedang mengintai mereka.


Sementara itu, di sebuah rumah yang biliknya terbuat dari anyaman bambu, nampak seorang laki-laki sedang duduk bersila. Kedua tanganya diletakan di atas lutut. Mulutnya komat kamit dengan posisi matanya yang terpejam.


Abah keliwon, sesepuh yang sudah puluhan tahun menjadi juru kunci gunung Ciremai menarik napas berat berat.


"Bu, Ambu!" Abah Kliwon memangil Ambu Iroh, istrinya.


"Iya, Abah." Ambu Iroh yang sedang di kamar pun keluar.


"Abah mau ke bukit dulu. Mereka sedang dalam bahaya. Ambu jangan keluar rumah sebelum Abah pulang, ya." Abah Kliwon berpesan pada istrinya.


"Iya, Abah. Hati-hati, ingat umur ubah udah ngga muda lagi." Ambu Iroh menatap suaminya yang sesang mengikatkan tali kampretnya.


PART 8


Bukit yang beberapa saat lalu diselimuti kegelapan kini sudah terang kembali. Kicau burung yang tadi sempat menghilang terdengar lagi di pepohonan. Para pengunjung bukit sibuk memeriksa anggotanya. Termasuk Benny yang langsung panik saat menyadari Gladis tak ada di antara mereka.


"Ben, gue ikut!" Ayu dan yulia menyusul Benny yang berjalan menuju lembah diikuti beberapa orang pria yang sedang ada di bukit.


"Dis, Adis!" Ayu, Yulia terus memanggil Gladis.


Tak ada jawaban. Hanya ada suara angin yang menggoyangkan pepohonan. Benny dan Dion menyisir tiap tepi lembah. Beberapa orang yang mencoba turun ke lembah namun hasilnya nihil. Gladis bak hilang di telan bumi.


Sekelebat bayangan di antara pepohonan membuat beberapa orang tertegun saat mengetahui pria berpakaian serba hitam itu berhenti di depan mereka.


"Abah!" Benny langsung menghampiri Abah Kliwon.


"Iya, Cu. Maaf Abah datang terlambat, tolong beritahu kepada yang sedang berkemah di bukit ini supaya segera meninggalkan tempat ini sebelum magrib tiba," perintah Abah Kliwon.


"Abah salah satu teman kami hilang saat ada kabut tebal tadi." Benny menceritakan apa yang terjadi dengan Gladis.


"Iya, Abah tahu cu. Itu sebabnya Abah menyuruh semua yang ada di bukit ini segera meninggalkan tempat ini sebelum magrib. Takutnya ada korban lagi. Kalian juga harus pergi dari bukit sekarang juga. Tunggu di rumah Abah. Teman kalian biar Abah yang mencarinya." Abah Kliwon berusaha bicara tenang.


***


Suasana di kediaman Abah Kliwon nampak sepi. Pasca peristiwa tadi siang para penduduk seperti takut untuk keluar rumah. Benny menatap cakrawala yang bermandikan bias lembayung pertanda senja akan segera berganti malam. Kegelisahan terlihat jelas dari wajahnya. Pemuda yang sedang duduk menghadap jendela itu menatap ke arah jalan setapak, berharap Abah Kliwon segera datang bersama gadis yang sedang ia khawatirkan.


Tatapannya kian nanar saat melihat bukit di depanya mulai tertutup kegelapan. Membayangkan Gladis sendirian di bukit yang menyimpan sejuta misteri. Hati Benny semakin pilu. Ingin rasanya kembali ke bukit mencari keberadaan orang terkasih.


"Nak Benny, maaf gordennya mau di tutup dulu. Pamali kalau menjelang waktu magrib jendela dan gorden belum di tutup," suara Ambu Iroh membuyarkan lamunan Benny.


"Iya, Ben. Sebaiknya kita bersiap untuk Sholat Magrib berjemaah sekalian mendoakan Gladis," ucap Dion.


"Ambu, kok dari tadi belum terdengar suara adzan di masjid?" Ayu yang habis mengambil wudhu bertanya kepada Ambu Iroh.


"Begitulah, Neng, kalau habis ada kejadian seperti tadi siang mana ada penduduk sekitar sini yang berani keluar rumah sekalipun untuk ke mushola. Mereka ketakutan mengurung diri di rumahnya masing-masing," jawab Ambu Iroh sambil mengunci pintu mengunakan tulak.


"Astagfirullah. Sampai segitunya, Mbu!" Yulia mengusap dadanya.


"Iya,Neng. Dua puluh tahun yang lalu lebih parah. Hampir sebulan desa ini seperti desa mati. Banyak penduduk yang mati kelaparan karena mereka takut untuk mencari makanan ke luar." tutur Ambu Iroh.


Dion yang menjadi imam Sholat Magrib berusaha tenang walau pikirannya sedang kalut. Sementara Yulia dan Ayu tak bisa menahan kesedihan. Selesai berdoa bersama kedua sahabat itu berpelukan sambil menangis.

Apa lagi saat melihat Abah Kliwon pulang tanpa Gladis.


"Maafkan Abah, Cu. Sebisa mungkin Abah sudah mencari keberadaan temanmu yang hilang tadi siang namun hasilnya nihil. Begitu juga pencarian yang dilakukan oleh tim SAR. Berhubung hari sudah gelap mungkin pencarian bisa dilanjutkan besok lagi. Berdoa saja semoga teman kalian bisa segera di temukan dalam keadaan selamat."


"Gue nyesel banget, coba tadi gue ikut Gladis ke sungai mungkin kejadianya ngga bakal begini." Ayu terus menangis dan menyalahkan diri sendiri.


"Jangan menyalahkan diri sendiri, Cu. Ini semua sudah kehendak Gusti Allah. Abah juga berharap teman kalian masih selamat. Walau kemungkinan untuk selamat itu sangat kecil. Kecuali ..."


"Kecuali apa, Abah?" tanya Benny mengerutkan keningnya.


"Kecuali ada orang memiliki ilmu Kanuragan tingkat tinggi yang menemukan temanmu." Abah Kliwon menatap Benny.


"Maksud Abah dukun atau apa, Bah?" Dion yang dari tadi duduk menyimak mulai tertarik dengan ucapan Abah Kliwon.


"Dulu, sekitar dua puluh taun yang lalu ada seorang anak muda terjatuh di lembah itu. Waktu itu mereka sedang melakukan penjelajahan di bukit."


"Warga di sini sudah mencarinya ke lembah tapi karena dasar lembah terlalu dalam pencarian itupun di hentikan dan menyatakan kalau pemuda itu tewas di dasar jurang dan menjadi santapan binatang buas. Apalagi di lembah itu terkenal dengan mitos siluman Ajag/serigala yang sangat jahat." Abah Kliwon menatap langit-langit rumahnya.


"Terus, terus!" Dion yang paling suka hal-hal berbau mistik begitu antusias.


"Namun dua tahun kemudian anak muda yang terjatuh itu tiba-tiba kembali. Sayalah orang yang mengantarkan dia ke terminal cirendang sampai dia naik bus jurusan jakarta. Tetapi setelah satu tahun sejak kejadian kembalinya pemuda itu ada kejadian aneh di sekitar kaki bukit ini termasuk kampung ini. Kejadiannya percis seperti tadi pagi, bukit yang tadinya terang tiba-tiba gelap ditutup kabut tebal, suara lolongan Ajag/ serigala menjadi pertanda ada bahaya di sekitar bukit. Waktu itu banyak ternak mati dengan keadaan leher seperti digigit hewan buas dan isi perut yang amburadul. Anak perempuan yang sedang haid dilarang ke luar rumah selama belum bersih."


"Seiring waktu akhirnya mitos itu seperti hilang begitu saja. Apa lagi setelah pihak pemerintah menyatakan kalau bukit ini dibuka untuk umum dan wisata alam yang biasa di pakai berkemah bagi para pecinta alam."


"Tapi, setahu saya teman kami Gladis tidak melanggar pantangan yang pernah Abah peringatkan tempo hari." Yulia yang penasaran akhirnya menanyakan hal itu kepada abah Kliwon.


"Iya, Abah tahu, walaupun dari kota kalian anak-anak yang baik dan patuh. Itu yang membuat Abah heran, apalagi saat Abah mencoba memeriksa bukit tadi dengan mata batin, ada energi lain di lembah yang di duga tempat teman kalian jatuh."


"Maksud Abah?"


PART 9


Pagi-pagi sekali Benny dan ke-tiga temannya

sudah berangkat ke bukit bersama tim SAR dan warga sekitar. Beberapa paranormal pun ikut terlibat dalam pencarian Gladis.


Seluruh bukit dan lembah sudah disisir oleh tim SAR bahkan lembah larangan yang paling dalam di antara lembah-lembah yang lain. Namun hasilnya nihil.


***


AUNGGGG!


Suara lolongan anjing memecah kesunyian malam. Hujan yang turun sejak sore membuat malam terasa dingin dan mencekam. Apa lagi rumah besar milik Surya dikelilingi pepohonan yang rindang membuat kesan angker kalau malam hari.


SREEEKKK! SREEEKKK!


Bi Marni yang sedang berada di dapur menajamkan pendengarannya. Suara langkah menginjak dedaunan semakin jelas di belakang rumah. Ditatapnya jam dingding kuno yang tergantung di ruang makan. Baru lepas waktu magrib tapi keadaan seperti sudah malam sekali.


Sudah beberapa hari ini perasaan Bik Marni selalu kepikiran Gladis. Mimpi buruk kerap membangunkannya tidurnya. Apa lagi sudah hari ke empat anak asuhnya itu belum pulang juga.


KRIEEEETTT!


Bi Marni mendengar suara pintu dibuka dari arah kamar Gladis, "Non Adis sudah pulang to? Tapi kok nggak terdengar mengucap salam?" batin Bik Marni.


Merasa penasaran, Bi Marni pun meninggalkan pekerjaan dapurnya. Langkahnya bergegas menuju kamar Gladis. Benar saja sesampai di depan kamar terlihat pintu yang sebelumnya tertutup rapat kini terbuka lebar.


"Non Adis!" Bi Marni memanggil Gladis sambil menyembulkan kepalanya dari pintu kamar.


"Non Adis sudah pulang? Ini lampunya kenapa nggak dinyalain? Bibi nyalain, ya?" Bi Marni meraba-raba stop kontak lampu kamar Gladis. Saat sedang meraba-raba dingding kamar, Bi Marni seperti meraba sesuatu yang berbulu.


DEEEGGG!


Jantung Bi Marni berdegup kencang. Apa lagi saat mendengar suara nafas kasar didekatnya. Namun setelah berhasil menyalakan lampu kamar tak ada apa-apa hanya keadaan kamar yang hening.


Mata Bi Marni menyapu seisi kamar. Tak ada siapa-siapa di kamar. Kondisi kamar pun masih tetap seperti saat dirinya membersihkan tadi pagi. Perlahan Bi Marni berjalan ke arah kamar mandi untuk memastikan kalau Gladis ada di sana.


"Non Adis ada di dalam, ya?" Bi Marni mengetuk pintu kamar mandi.


Kalau Gladis tidak ada di kamar mandi lalu siapa yang membuka pintu kamar? Tak mungkin karena tiupan angin. Jelas-jelas tadi pagi dia yang menutup pintu dengan rapat.


CEKLEK


Perlahan Bik Marni membuka pintu kamar mandi. Kosong. Lantai kamar masih pun masih kering tak ada tanda-tanda seseorang habis ke kamar mandi.


Setelah Bi Marni memeriksa kamar mandi. Dia bermaksud meninggalkan kamar. Tapi langkahnya berhenti. Matanya tertuju ke arah jendela yang terbuka .


"Perasaan tadi pintu jendela kamar Gladis tertutup. Kenapa sekarang terbuka lebar, ya? Oalah, jangan-jangan ada maling masuk terus keluar lewat jendela. Tapi jendelanya kan dipasangi jeruji besi. Jangankan manusia, tikus pun tidak bisa masuk." Bi Marni berspekulasi sendiri.


Dengan perasaan was-was, Bi Marni berjalan ke arah jendela kamar yang bergerak-gerak karena tertiup angin.


AUUUUNNG!


Bulu kuduk Bi Marni merinding saat hawa dingin menyapu tengkuknya. Tangannya menarik pintu jendela yang terbuka. Namun pandangannya tertegun pada sesosok yang sedang berdiri di bawah pohon mangga. Keadaan yang malam itu gelap di tambah habis turun hujan lebat membuat keadaan halaman samping rumah gelap.


Mata Bik Marni tak berkedip. Bola matanya seolah terkunci pada sosok yang seperti sedang mengawasinya. Tiba-tiba cahaya kilat memecah pekat malam dan menerangi halaman belakang rumah.


ASTAGFIRULLAH!


Bi Marni merasa jantungnya seperti berhenti. Spontan tangannya menarik jendela dan mengunci dari dalam. Dengan sudah payah wanita yang kedua kakinya terasa berat itu keluar dari kamar. Bibirnya komat Kamit membaca doa walau bulak balik tak karuan.


"Astagfirullah. Duh Gusti, mahluk apa tadi, kok nakutin sekali." Bik Marni menghempaskan tubuhnya pada kursi di ruang tamu.


Tok! tok! tok!


Bik Marni yang sedang menyandarkan punggung dikejutkan oleh suara ketukan pintu dari arah ruang tamu.


"Ehh, lampir, lampor, lemper!" Bi Marni memegangi dadanya yang seperti mau copot.


Tok! tok! tok!


Bik Marni berdiri dan mengambil pentungan di samping rak televisi. Dengan mengendap-endap wanita yang pikirannya sedang dihinggapi rasa takut itu berjalan ke arah pintu ruang tamu. Perlahan tanganya menyibak sedikit gorden untuk melihat siapa yang ada di luar pintu.


ASTAGFIRULLAH!


Dari balik gorden yang terbuka tampak seorang perempuan dengan pakaian basah kuyup sedang berdiri di teras rumah.


"Non Adis!"


Setelah membuka pintu, Mata Bi Marni memindai halaman rumah yang pintu pagarnya masih tertutup. Pikirannya heran karena tak terlihat mobil atau teman yang mengantar Gladis.


"Non

Adis kok hujan-hujanan? Pulang dianter siapa? Rangselnya mana, Non?" Bi Marni memberondong Gladis dengan pertanyaan.


Gladis masuk dengan tanpa mempedulikan Bi Marni. Dengan tatapan dingin dan langkah kaku Gladis melangkah ke arah kamarnya.


"Non Adis mau makan apa? Nanti Bibi hangatkan dulu." Bi Marni mengekor dari belakang Gladis yang berjalan menuju kamarnya.


Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Gladis hanya gelengan kepala dan tatapan dingin.


CEKLEK!


Gadis yang malam ini terlihat aneh di mata pengasuhnya itu masuk ke kamar dan mengunci dari dalam.


AUUUUNNG!


Lagi, Bi Marni kembali mendengar suara lolongan anjing. Kali ini seperti dari arah kamar Gladis. Tanpa pikir panjang lagi wanita paruh baya itu berlari ke kamarnya yang berdekatan dengan dapur.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)