Masukan nama pengguna
Pagar dari tali rafia melintang, mengelilingi area lapangan. Puluhan ibu muda berjejer, tak memedulikan panas matahari yang membara di tengah hari. Tangan tegap menggenggam gawai pintar, bergerak pelan mengikuti putra-putri mereka yang tengah melaksanakan praktik ibadah.
Rombongan murid Raudhatul Athfal Al-Iklhas kompak memakai baju serba putih, berkalung syal model hasduk warna hijau dan sebuah tas kecil berwarna senada. Mereka berbaris rapi, begitu antusias dan semangatnya mengikuti arahan pihak sekolah sambil tak henti melantunkan kalimat Talbiyah.
Berjarak sekitar lima meter di ujung rombongan tampak seorang gadis kecil berjalan pelan sambil menggandeng seseorang. Perawakannya bungkuk, mengenakan mukena terusan yang warnanya menguning, serta sandal jepit tipis. Memandang dari manapun siluetnya menampakkan sosok seorang nenek-nenek di penghujung usia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Mata merapat menahan silau siang yang makin menegaskan keriputnya, desahan berat terdengar jelas. Namun, binar matanya memperlihatkan semangat yang tak kalah dengan para anak di sekitar.
Tangan mungil nan lembut seperti kue mochi Asriyani mengelus punggung tangan nenek buyutnya, Mak Min.
"Bentar lagi kita sampai di Kakbah, mbah," ucap gadis kecil itu. Sang nenek menoleh lalu mengangguk dengan senyum rumpang.
"Kalau keliling Kakbah itu berapa kali ya, nduk?"
Mulut Asriyani menganga, membunyikan a panjang dan menggaruk-garuk kepalanya. Ia kemudian tersenyum malu.
"Hehe, enggak tahu, mbah." Gadis kecil itu menoleh ke belakang di mana dua ustadzahnya mengekor sambil asyik bercengkrama.
"Ustadzah Laila! Kita nanti keliling Kakbah berapa kali?" teriak Asri. Perempuan yang dipanggil tersentak, mempercepat langkah, berjalan beriringan di sebelah Mak Min.
"Ya, Asri?" tanya ustadzah Laila. Memastikan.
"Kita nanti keliling Kakbah berapa kali?"
"Oh, tujuh kali."
"Tujuh kali, mbah!" lanjutnya dengan suara lantang. Mak Min hanya mengangguk-angguk pelan. Tenggorokannya terlalu kering untuk menjawab.
Barisan terakhir di depan berhenti. Asriyani ingin segera mengejar jarak yang tak seberapa itu, tetapi ia ingat pesan ibu, Kaki mbah iyut sudah tidak mampu berlari. Adik yang sabar ya, jaga mbah iyut baik-baik. Maka ia menghela napas panjang dan berjalan pelan mengikuti ritme sang nenek.
Begitu mereka masuk barisan paling bekalang, Mak Min menarik mukenanya yang menjuntai, mengatur napas, lalu menyeka keringat. Cicitnya melompat-lompat ingin melihat keadaan di depan. Suara yang keluar dari toa lama itu seperti dengungan lebah, kadang melengking tinggi, membuat Asri tak mampu menangkap dengan baik kata-kata sang ustadz. Beruntung ustadz dan ustadzah lain di samping mereka menjelaskan dan memdemonstrasikan gerakan selanjutnya.
Masuk dari kanan, wajah tidak boleh menghadap Kabah, berkeliling sambil tangan diangkat mengucap bismillahi Allahu akbar, tidak boleh berbicara, tidak boleh toleh-toleh, dan keuar barisan setelah putaran ke tujuh. Para peserta kemudian berlatih semenit menghafal lafal serta mengingat-ingat gerakannya.
Sayang, pundak Mak Min beberapa hari lalu terkilir karena mengangkat kuali besar. Ia tidak bisa menaikkan tangan. Asri langsung cemas, ia memanggil ustadzah Laila dan menjelaskan masalahnya.
"Tidak apa-apa Asri, Mak Min, yang penting niat kita kepada Allah."
"Beneran?" Asri tak yakin. Ustadzah Laila mengangguk. Melihat senyumnya yang sedingin embun pagi barulah Asri percaya. Barisan paling pojok depan bersiap masuk tawaf. Empati anak itu sangat tinggi, tangan kanan dengan sigap menggandeng Mak Min, sedangkan tangan kirinya terangkat sesuai aturan.
Tawaf dimulai, semua anak berbaris rapi, mengelilingi miniatur Kabah berukuran satu setengah kali satu setengah meter dengan gerakan teratur dan suasana khidmat. Tampak satu dua anak bergurau, tertawa atau saling mendorong teman di dekatnya. Ustadz dan ustadzah di sebelah mereka dengan sigap mengingatkan, tetapi namanya saja anak kecil perasaan bahagia masih mendominasi pikiran dan mereka kembali mengulang gurauan.
Asri dan Mak Min pun masuk rombongan tawaf. Ustadzah Laila meminta mereka agak menjauh untuk keselamatan Mak Min. Mata-mata tak berdosa menoleh ke arah Asri dan Mak Min, kadang terdengar tawa kecil. Asri awalnya tidak begitu peduli, namun di putaran ke empat ia mulai gerah dengan ulah temannya.
"Hei! Kata Ustadz Fadil tadi enggak boleh toleh-toleh," tegur Asri.
"Ih, galak banget!" timpal anak lelaki yang sedari tadi memperhatikan mereka. Ia dan dua teman lainnya terkekeh. Asri cemberut, Memang kenapa? Orang dia yang salah malah ketawa! geram Asri dalam hati. Ustadzah Laila menegur anak itu, membuat Asri mendengkus atas kemenangannya.
Tawaf selesai, dilanjutkan dengan Sai, yaitu berjalan dan berlari-lari kecil pulang pergi tujuh kali dari Safa ke Marwa. Rombongan manasik haji cilik itu pun berlari kecil antara dua papan nama berjarak kurang lebih lima meter. Terakhir adalah Tahallul atau mencukur rambut yang dilakukan secara simbolis. Anak-anak berhenti di depan ustadz dan ustadzah yang berjaga menggunting udara di atas kepala mereka.
Rangkaian kegiatan selesai. Para murid berhamburan mengambil jatah konsumsi lalu mendatangi orang tua masing-masing, menyisakan Asri dan Mak Min. Ustadzah Mila menggunting udara di atas kepala Asri.
"Kres, kres, kres. Nah, Asri sekarang sudah sah hajinya."
"Tapi kan rambut Asri enggak dicukur?"
"Tidak betulan dicukur sayang," terang Ustadzah Mila.
Mulut Asri melengkung ke bawah sampai terlihat kerut di dagunya, "Kalau gitu enggak dapat gelar haji, dong? Kan harus dicukur beneran!" Ustadzah Mila tersenyum.
"Nggak apa-apa kalau dicukur?" Asri mengangguk.
"Baiklah. Ustadzah minta ijin potong rambutnya Asri, ya?" Asri kembali mengangguk, kali ini dengan senyum lebar. Ustadzah Mila menarik beberapa helai rambut dari pelipis di balik jilbab Asri lalu mengguntingnya.
"Mbah Yut! Giliran mbah!" Mak Min tersenyum canggung sambil mendekat ke arah Ustadzah Mila. Ada haru yang disembunyikan di balik senyum datar sang ustadzah. Ia mengambil helaian putih dari balik jilbab beliau lalu mengguntingnya.
"Alhamdulillah, simbah sudah haji!" Asri berucap girang sembari kedua telapak tangan mengusap wajah.
"Alhamdulillah ya, nduk," timpal Mbah Min. Ustadzah Mila dan yang lain ikut berucap syukur. Asri kembali menggandeng tangan nenek buyutnya, menuntun beliau kembali ke tempat di mana para wali murid menunggu.
Mak Min tahun ini berusia delapan puluh tujuh tahun. Ia hidup sebagai petani sayur mayur di kaki bukit. Suaminya meninggal lima belas tahun lalu meninggalkan cita-cita naik haji. Mak Min ingin mewujudkan impian suaminya itu. Sayang, ia hanya hafal surat fatihah dan merasa tak cukup pantas untuk pergi haji.
Asriyani yang mendengar hal itu merasa trenyuh. Ia ingat kalau minggu depan sekolahnya akan menyelenggarakan manasik haji. Malaikat kecil itu kemudian meminta ijin untuk mengajak Mak Min kepada orang tua dan para ustadz/ustadzah di sekolahnya. Mereka menyetujuinya.
Para peserta dan wali beristirahat di tribun lapangan. Asri mengambil pensil dari tas kecil. Ia mengambil kertas identitas yang ada di dalam tas milik Mak Min lalu menuliskan sesuatu sambil bergumam.
"H ... Amina ..." Ibu Asri tersenyum
"Kalau perempuan Hajah sayang, jadi H besar lalu J kecil," koreksinya.
"Oh, gitu. Hj. Amina. Sip!" Ibunda Asri dan Mak Min tersenyum haru, mereka membelai kepala bocah itu dengan penuh rasa syukur dan kasih sayang. Kegiatan manasik haji cilik hari itu selesai. Membawa cerita indah yang akan selalu dikenang hingga akhir hayat.