Masukan nama pengguna
Angin malam menyusup lewat celah-celah menara batu. Di balik jeruji penjara kastil Kerajaan Ardhayana, Putri Sagara duduk bersimpuh, gaunnya koyak, rambutnya tergerai, dan kedua tangannya terikat rantai besi. Suara trompet kemenangan terdengar dari kejauhan—tanda Raja Mahesa telah kembali dari perang. Tapi bagi Sagara, itu bukan kemenangan, melainkan hukuman yang ditunda.
Ia dituduh berkhianat. Bukan karena memberi rahasia perang kepada musuh, bukan pula karena membunuh siapa pun—melainkan karena mencintai seseorang dari kerajaan musuh: Pangeran Dira dari Kerajaan Mataraksa.
“Kenapa kau datang kemari?” suara Sagara pecah dalam bisikan ketika sosok bayangan menyelinap ke balik jeruji.
“Aku tak bisa membiarkanmu mati sendirian,” ujar Dira pelan, wajahnya terlindung tudung jubah kelabu. “Kita punya satu kesempatan malam ini. Aku sudah menyuap penjaga.”
Sagara menggeleng pelan, bibirnya gemetar. “Ayahku akan memburumu sampai ujung dunia jika kita kabur.”
“Lebih baik dikejar karena mencintai, daripada hidup diam sebagai musuh,” bisik Dira. Ia mengangkat rantainya dengan kunci kecil, membebaskan Sagara.
Kilatan bulan menyinari wajah mereka—dua anak raja dari dua kerajaan yang telah berperang selama puluhan tahun, saling mencintai diam-diam di tengah kebencian yang diwariskan turun-temurun.
Mereka melarikan diri malam itu. Menyusuri lorong rahasia yang Dira pelajari dari pengawal yang dibayar dengan dua kantung emas dan satu janji bahwa takkan ada darah yang tumpah.
**
Seminggu kemudian, seluruh wilayah utara Ardhayana gempar. Raja Mahesa memerintahkan pasukan untuk menyisir setiap sudut hutan, desa, bahkan pegunungan. “Putri Sagara diculik,” katanya. Tapi di hatinya ia tahu, putrinya pergi bukan karena dipaksa. Ia melihatnya di mata putrinya saat terakhir kali mereka bicara—cinta yang tak bisa ditawar.
Di sisi lain, Raja Batara dari Mataraksa murka karena putranya menghilang. Ia mencurigai Ardhayana menjebak Dira, lalu menjadikannya tawanan untuk memaksa perjanjian damai. Tapi perjanjian itu tak datang, hanya kabar bahwa putra dan putri mereka menghilang bersama.
Konflik yang sudah hampir mereda, kembali membara. Perbatasan dijaga ketat. Pedagang dicegat. Utusan dibunuh.
**
Sagara dan Dira membangun persembunyian kecil di pinggiran Danau Manasara, wilayah abu-abu yang tidak diklaim oleh kerajaan mana pun. Di sana, mereka hidup dari hasil berburu, menyamar sebagai pasangan petani pengembara. Tapi mereka tahu, waktu mereka terbatas.
“Jika kita tetap sembunyi, perang akan terus menyala karena kita,” kata Dira suatu malam. “Darah akan tumpah demi memisahkan dua hati.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Sagara, menahan air mata. “Kembali dan mati?”
“Tidak,” jawab Dira, mencium keningnya. “Kita kembalikan harga diri mereka… dan buat mereka memilih.”
**
Dua minggu kemudian, dua kuda berhenti di gerbang istana Ardhayana. Dira dan Sagara turun, menyerahkan diri tanpa senjata.
“Aku tak datang membawa perang,” seru Dira lantang di halaman istana. “Tapi jika Raja Mahesa ingin darahku, biarlah aku yang mati. Lepaskan Sagara.”
Sagara menatap ayahnya dengan mata yang sudah lama tak menangis. “Aku mencintainya. Jika itu kesalahan, maka biarkan aku dihukum. Tapi ketahuilah, Ayah, setiap darah yang kau tumpahkan setelah ini bukan demi kehormatan kerajaan, tapi demi luka hatimu sendiri.”
Kerajaan terdiam. Rakyat berkumpul. Bahkan para penjaga tak berani bicara.
Raja Mahesa, dengan wajah baja dan suara petir, berkata, “Aku seharusnya memenggal kalian di sini juga. Tapi aku bukan raja yang membunuh anak sendiri karena cinta.”
Ia menatap langit, lalu memalingkan wajahnya ke arah utara.
“Kirim utusan ke Mataraksa. Aku ingin bicara dengan Batara. Sebagai ayah… bukan sebagai musuh.”
**
Seminggu kemudian, dua raja duduk dalam tenda putih di atas tanah perbatasan. Tanpa pasukan. Tanpa pedang.
“Anak-anak kita mencuri cinta di tengah kebencian yang kita pelihara,” kata Mahesa. “Aku ingin tahu, Batara… apakah lebih baik kita kehilangan mereka, atau mewariskan dunia yang berbeda?”
Batara, yang awalnya datang dengan dada penuh dendam, perlahan melembut. “Aku kehilangan istri karena perang ini. Aku tak ingin kehilangan anak juga.”
Mereka bicara sepanjang malam, dan ketika matahari terbit, perjanjian ditandatangani.
Bukan sekadar damai, tapi pernikahan kerajaan yang akan menyatukan dua darah.
**
Tiga bulan kemudian, Pangeran Dira dan Putri Sagara menikah di pelataran Danau Manasara—tempat cinta mereka tumbuh, tempat kerajaan mereka mulai berubah.
Tapi bahkan cinta yang besar pun tak selalu berakhir bahagia.
Lima tahun setelah pernikahan itu, sekelompok bangsawan fanatik dari kedua kerajaan melakukan pemberontakan. Mereka menganggap pernikahan itu penghinaan bagi darah murni, dan aliansi itu merusak warisan leluhur.
Dira dibunuh secara diam-diam saat mengunjungi desa pertanian. Racun dalam anggur—tidak ada darah, tapi ada luka yang tak terlihat.
Sagara hancur, tapi ia tidak menangis.
Ia naik tahta setelah ayahnya mangkat karena sakit. Dan dengan tangan yang gemetar tapi hati yang kuat, ia memimpin kerajaan ganda Ardhaksa—gabungan Ardhayana dan Mataraksa—dengan satu prinsip:
Cinta tidak membuat kita lemah. Luka yang kita biarkan menularlah yang menghancurkan kita.
Di makam Dira, Sagara menulis satu kalimat:
> “Engkau bukan musuhku. Engkau adalah damai yang kutemukan di tengah perang. Dan aku akan melindunginya… meski tanpamu.”
Hari-hari setelah kematian Dira adalah musim dingin panjang bagi Ardhaksa. Sagara memimpin dengan ketegasan, tapi dalam kesunyian, hatinya perlahan membeku. Ia membubarkan para penasihat tua yang dulu setia pada ayahnya dan memilih barisan muda dari kedua kerajaan, yang tak punya warisan dendam. Ia tahu, jika dendam tetap menjadi mata uang kekuasaan, maka cinta seperti dirinya dan Dira akan selalu menjadi pengkhianatan.
Setiap malam, Sagara duduk di menara tertinggi istana yang dulu menjadi tempatnya dipenjara, memandang ke arah danau yang dulu jadi saksi pelariannya. Di sanalah ia mendirikan Monumen Dua Mahkota, sebuah patung batu sederhana: dua mahkota yang disandarkan berdampingan, dengan retakan di tengahnya, dan tangan sepasang kekasih yang bersatu di atasnya.
Rakyat dari kedua bekas kerajaan mulai berdatangan ke sana. Mereka melihat dalam kesedihan ratu mereka, kekuatan. Dalam luka yang ia peluk, mereka menemukan harapan. Dan secara perlahan, dinding di antara Ardhayana dan Mataraksa runtuh. Nama baru kerajaan itu menjadi simbol: Ardhaksa, artinya “jiwa yang utuh dari pecahan”.
Namun, musuh terakhir Sagara bukanlah para bangsawan tua—melainkan kesepiannya sendiri.
Dua puluh tahun berlalu.
Sagara tetap sendiri. Ia tak pernah menikah lagi. “Hanya ada satu raja dalam hidupku,” katanya pada setiap lamaran diplomatis yang datang. Tapi ia juga tak membiarkan dirinya layu. Ia mengadopsi anak-anak yatim dari korban perang dan menjadikan mereka pemimpin muda. Ia membentuk dewan rakyat pertama di benua itu. Ia membuka perbatasan untuk perdagangan dan ilmu.
Pada hari ulang tahun ke-50 penyatuan dua kerajaan, seorang pelukis muda meminta izin membuat lukisan ratu.
“Lukislah aku… bukan sebagai ratu,” kata Sagara. “Tapi sebagai perempuan yang mencintai seorang musuh dan mengubahnya menjadi rumah.”
Lukisan itu menjadi terkenal sebagai “Perempuan yang Memandang Damai”. Di dalamnya, Sagara dilukis tengah memegang sepucuk surat—surat terakhir Dira, yang tak pernah sempat dibacakan:
> “Jika aku mati sebelum kita tua, jangan biarkan namaku hanya jadi kenangan. Biarkan ia tumbuh jadi harapan. Jadikan cintaku alasanmu untuk tetap hidup, bukan untuk menangisi masa lalu. Karena yang kucintai darimu bukan hanya hatimu, tapi kekuatanmu untuk mencintai dunia bahkan saat dunia membencimu.”
TAMAT!!