Cerpen
Disukai
3
Dilihat
2,886
Luca Matthijs van der Zee
Horor

Cerpen ini kutulis sebagai persembahan untuk Luca Matthijs van der Zee. Sosok hantu Meneer Belanda yang selalu hadir di sisiku, mengikuti langkahku sejak dari rumah nenek. Kehadirannya bukanlah ancaman, melainkan pengingat akan luka, cinta, dan penyesalan yang tidak pernah usai. Ceritanya menyisakan jejak yang dalam di hatiku. Jejak tentang bagaimana cinta dapat bertahan bahkan di tengah kehancuran dan bagaimana kebencian dapat mengikat jiwa yang tidak lagi memiliki tubuh.

***

Hari ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Sejak semalam, aku terus memikirkannya dan tidak bisa tidur. Rasanya waktu berjalan sangat lambat, seakan-akan tidak sabar untuk segera berangkat. 

Hari ini aku akan pergi berlibur ke rumah nenek selama satu minggu. Liburan yang selalu aku nantikan setiap tahunnya. Rumah nenek yang jauh di desa selalu memberikan ketenangan yang tidak bisa ditemukan di kota. Aku membayangkan masakan enak, suasana pedesaan yang tenang, dan tentunya nenek yang selalu menyambutku dengan penuh kasih sayang.

Saat aku menunggu di depan rumah, sebuah mobil warna hitam tiba. Om dan tanteku turun dengan senyum lebar. Ternyata, di dalam mobil sudah ada kedua kakak sepupuku yang lain. "Ayo, jangan lama-lama. Mbah uti sudah menunggumu," kata om sambil tertawa. Aku pun melonjak senang, tidak sabar untuk tiba di rumah nenek.

Sesampainya di rumah nenek, benar saja aku melihat nenek sudah menungguku di depan rumah. Wajahnya yang ramah dan penuh kasih menyambutku. "Ayo masuk, Nduk. Mbah sudah masak banyak untukmu."

Nenek memelukku erat, membuat hati ini terasa hangat. Nenek memang selalu begitu, selalu menyiapkan makanan favoritku. Ada ayam goreng, telur balado, dan yang paling aku tunggu-tunggu adalah semur daging kelinci yang menjadi menu wajib saat aku berkunjung. "Ini, semur daging kelinci kesukaanmu," kata nenek dengan senyum penuh kasih.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku sangat menikmati liburan kali ini. Nenek mengajakku ke sawah, berenang di salah satu tempat wisata, dan tentu saja selalu memanjakanku dengan berbagai masakan enak. Aku merasa begitu beruntung bisa berada di sana. Meskipun keluarga yang lain lebih sering mengunjungi nenek, aku adalah cucu yang paling jarang datang, hanya setahun sekali saat Idul Fitri.

Namun, malam ketiga aku di sana, segalanya mulai berubah. Mimpi aneh itu datang menghantuiku berulang kali. Setiap malam, aku selalu dimimpikan oleh sosok laki-laki yang aku rasa bukan orang Indonesia. Wajahnya tampan dengan mata biru yang tajam, tetapi ada sesuatu yang sangat mengganggu. Dia selalu memanggilku, "Ratna, kekasihku. Ratna, cintaku. Aku minta maaf." Suaranya terdengar begitu nyata, seakan-akan dia berbicara langsung di telingaku. Aku terbangun setiap kali mimpi itu datang. Rasa penasaran dan ketakutan membuatku terus memikirkannya. Siapa dia? Dan siapa sebenarnya Ratna?

Mimpi itu terus menggangguku, bahkan setelah aku kembali ke rumah. Setiap malam aku merasakan kehadirannya, seolah-olah dia selalu ada di dekatku. Ketika aku tidur, aku merasa seperti ada sesuatu yang menekan dada, membuatku tidak bisa bernapas. Setiap kali aku terbangun, wajah laki-laki itu muncul di pikiranku, semakin jelas dan semakin nyata.

Hingga puncaknya datang, malam itu aku terbangun dan melihat dia berdiri di depan tempat tidurku. Wujudnya sangat menyeramkan. Lehernya berdarah-darah seperti luka tebasan benda tajam dan kepalanya hampir terlepas dari tubuhnya. Aku terkejut, hampir tidak bisa bergerak karena ketakutan. Teriakan hampir keluar dari tenggorokanku. Hanya suara tercekat yang bisa terdengar.

“Kenapa kamu terus mengikutiku?” Aku akhirnya bisa berteriak, walaupun suaraku terasa serak.

Dia mendekat dengan langkah yang pelan. Wajahnya masih dipenuhi darah. "Kamu bisa melihatku, tapi kenapa kamu mengabaikanku?" katanya dengan suara serak.

Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar. "Apa urusanmu denganku? Apa yang kamu mau dariku?" tanyaku dengan ketakutan, tetapi ada rasa penasaran yang semakin tumbuh pula.

Dia diam sejenak lalu menjawab dengan suara yang lebih lembut. Raut wajahnya terlihat penuh penyesalan. "Aku melihatmu dan kamu... kamu mirip sekali dengan kekasihku, Ratna."

Bayangan mimpi-mimpi itu kembali muncul di pikiranku. Aku mulai menyadari ada benang merah di sini, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. "Aku bukan Ratna," kataku dengan tegas.

Dia hanya mengangguk lalu berkata pelan, "Aku tahu kamu bukan Ratna, tapi saat aku melihatmu, aku teringat pada Ratna."

Aku bingung, semakin tidak mengerti. "Lalu apa yang kamu mau sekarang?" tanyaku mencoba untuk tetap tenang.

"Izinkan aku ikut bersamamu," jawabnya dengan suara penuh harap. "Aku sudah tidak tahu lagi harus ke mana. Aku selalu tersiksa sejak kecil. Bahkan nyawaku sendiri diambil oleh papa..." Kata papa keluar dengan nada yang lebih gelap dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang sangat mengerikan dalam kata itu.

Ketika dia mengucapkan kata papa, tampaknya ada aura gelap yang muncul dari matanya dan wujudnya semakin mengerikan. Aku merasa seakan-akan dia bisa menghancurkan segalanya dengan hanya memandang.

Aku hampir panik, tetapi aku berusaha untuk tetap tenang. "Hei, Tuan, tolong kendalikan dirimu," aku berkata dengan suara gemetar.

Sekejap, wajahnya berubah kembali. Senyum tipis muncul di bibirnya. Tiba-tiba dia terlihat seperti pria yang lebih muda, lebih tampan, meskipun masih tampak seperti sosok yang mengerikan. Aku baru menyadari ada lesung pipit di pipi kirinya yang semakin membuat wajahnya terlihat menarik.

"Baiklah," kataku setelah berpikir sejenak. "Kamu boleh ikut bersamaku, tapi jangan sampai kamu menakuti keluargaku. Apalagi adikku yang masih bayi, kasihan dia."

Dia mengangguk seakan mengerti. "Terima kasih," katanya, suaranya terdengar lebih tenang. "Aku akan berusaha."

Setelah malam itu, dia mengenalkan dirinya sebagai Luca Matthijs van der Zee, seorang Meneer Belanda yang berasal dari kota tempat nenekku tinggal. Selama hampir setengah tahun, dia selalu bersamaku, mengikutiku ke mana pun aku pergi.

Suatu hari, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Siapa sebenarnya Ratna itu? Kenapa kamu terus mengingatnya?"

Luca menundukkan kepala sejenak lalu mulai bercerita. Dia menceritakan kisah tentang Ratna, kekasihnya yang tidak pernah bisa dia lupakan. Dari ceritanya, aku pun akhirnya mengetahui bahwa nasib Luca dan Ratna berakhir dengan cara yang sangat tragis.

***

Tahun 1893. Indonesia masih bernama Hindia Belanda, tempat di mana matahari bersinar terik di atas tanah yang dikuasai oleh penjajah. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan penjajahan Belanda, banyak keluarga Belanda yang memboyong keluarga mereka untuk tinggal di Hindia Belanda. Salah satunya adalah keluarga Tuan Hendrik Jan van der Zee. Dia adalah seorang anggota militer Belanda yang gagah, ditemani oleh istrinya, Nyonya Helena Catharina van der Meer. Bersama mereka, tinggal pula putra mereka, Luca Matthijs van der Zee yang berusia 9 tahun pada saat itu.

Kehidupan mereka sangat bahagia atau setidaknya itulah yang terlihat oleh orang luar. Hendrik selalu tampil tegap dan gagah, sementara Helena yang selalu tersenyum lebar, tanpa pernah merasa lelah untuk memasak dan membuat kue-kue lezat di rumah mereka. "Luca, mau makan apa hari ini?" tanya Helena sambil mengaduk adonan kue.

"Appeltaart, Mama," jawab Luca kecil. Pipinya yang bulat kemerah-merahan berbinar ceria.

Helena tertawa lembut, "Appeltaart kesukaanmu, ya. Baiklah, Mama buatkan."

Hendrik, meski tampak bahagia, selalu merasa ada yang kurang. Setiap kali Luca terlihat sedikit gemuk, Hendrik selalu mengeluh.

"Luca, kamu itu harus lebih kurus! Anak tentara itu tidak boleh gendut!" katanya tajam, seakan setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah perintah.

Helena dengan sabar dan penuh kasih selalu mengabaikan kekhawatiran suaminya dan terus memasakkan apa pun yang diminta oleh Luca. "Jangan khawatir, Luca. Mama akan selalu buatkan kue kesukaan Luca."

Luca kecil tidak mengerti kenapa papanya begitu keras, tetapi dia merasa sangat disayangi oleh mamanya. Dia selalu menikmati appeltaart yang disiapkan dengan penuh cinta oleh Helena.

Namun, takdir berkata lain. Di akhir tahun 1893, sebuah bencana besar datang. Wabah kolera menyebar dengan cepat, menginfeksi banyak orang tanpa ampun. Helena pun tidak bisa menghindar dari wabah tersebut. Pada suatu malam yang sunyi, saat Luca tertidur lelap, Helena menghembuskan napas terakhirnya.

Luca tidak pernah tahu apa yang harus dia lakukan setelah itu. "Mama, kenapa Mama pergi?" Hanya itu yang bisa dia katakan, saat tubuh mamanya dibawa pergi untuk dimakamkan. Air mata mengalir deras dari matanya yang biru, yang dulunya penuh semangat, kini tampak kosong dan hampa. Kehilangan itu memporak-porandakan dunia kecilnya.

Hendrik, suami yang dulu sangat mencintai istrinya, berubah menjadi sosok yang sangat berbeda setelah kematian Helena. Dia menjadi pemabuk, pulang setiap malam dengan aroma alkohol yang sangat menyengat. Suatu malam, Hendrik kembali dengan wajah memerah karena mabuk dan membawa seorang perempuan ke rumah mereka. Luca yang melihat itu merasa bingung. Perempuan itu seorang pribumi, yang baru diketahui oleh Luca saat dia tumbuh dewasa bahwa perempuan itu disebut sebagai gundik.

Tidak hanya itu, Hendrik kini menjadi pria yang tempramen dan penuh amarah. Suatu hari, Luca menjadi sasaran kemarahannya. "Anak gendut yang jelek!" teriak Hendrik saat dia dengan kasar memukuli Luca menggunakan sabuk kulit yang keras. Luka-luka memar mulai muncul di tubuh Luca. Berat badannya juga berangsur-angsur berkurang.

Hendrik tidak hanya memukulinya, tetapi juga sering kali mengabaikan Luca begitu saja. Luca pernah tidak diberi makan hampir tiga hari berturut-turut. Untuk bertahan hidup, Luca sering memakan sisa nasi bungkus yang sudah dimakan oleh papanya, bahkan bekas makanan yang dibuang ke tempat sampah.

Hendrik selalu mengejeknya, "Kamu hanya anak gendut yang tidak berguna. Aku malu punya anak seperti kamu!"

Untungnya ada satu orang yang tetap peduli pada Luca. Seorang teman dekat ibunya, Liesbeth. Setiap kali Hendrik tidak ada di rumah, Liesbeth datang dengan membawa makanan dan cemilan manis.

"Luca, ini ada appeltaart kesukaanmu," kata Liesbeth sambil tersenyum lembut. Luca yang merasa kelaparan segera memakannya, merasakan rasa manis yang mengingatkannya pada kasih sayang mamanya.

Kehidupan yang tadinya tenang dengan kehadiran Liesbeth, ternyata menyimpan kegelapan yang lebih dalam. Liesbeth bukan hanya teman biasa. Setiap kali dia datang, ada sesuatu yang sangat aneh tentang cara dia melihat Luca dan bagaimana dia berusaha terlalu keras untuk menjaga Luca tetap dekat dengannya.

Saat Hendrik pergi keluar, Luca melihat Liesbeth berdiri di jendela, menatap ke luar dengan mata kosong yang penuh kegilaan. Saat Luca mendekat, dia mendengar suara lirih dari bibir Liesbeth yang berbicara tanpa menoleh, "Kamu tidak bisa lari dari nasibmu, Luca."

Suara itu seperti menggema di dalam pikirannya. Luca merasa ketakutan. Apakah benar ada sesuatu yang gelap di balik kehadiran Liesbeth yang begitu peduli padanya? Semakin lama, dia merasa ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang bahkan lebih menakutkan dari papanya sendiri.

Suatu malam, setelah Luca tidur, dia terbangun oleh suara aneh di dapur. Ketika dia menyelidikinya, dia melihat Liesbeth sedang berdiri di sana, memegang sebuah pisau dapur besar, mengiris kue.

"Luca, mau kue lagi? Kue ini untukmu," kata Liesbeth dengan senyum yang aneh, matanya penuh dengan kerlingan yang tidak wajar. "Kue ini akan membawamu lebih dekat dengan mamamu."

Luca merasa ada sesuatu yang salah, ada aura gelap yang menyelimuti rumah itu. Mungkinkah kehadiran Liesbeth adalah kutukan, sesuatu yang lebih menyeramkan dari yang dia bayangkan? Apa yang sebenarnya terjadi di balik kebahagiaan palsu keluarga van der Zee ini?

Ternyata, Liesbeth tidak hanya datang ke rumah van der Zee untuk sekadar memberikan perhatian kepada Luca. Lebih dari itu, dia mencintai Hendrik. Beberapa kali, Liesbeth mencoba membujuk Hendrik untuk menikahinya, menawarkan dirinya sebagai pengganti sang istri yang telah tiada. Namun, Hendrik selalu menolak dengan alasan yang membuat Liesbeth semakin marah.

"Aku tidak akan menikahi siapa pun, karena ada Luca. Dia adalah satu-satunya warisan yang harus kujaga," kata Hendrik dengan dingin.

Liesbeth merasa terhina. Dia tidak bisa menerima penolakan itu. Terlebih lagi, setiap kali Hendrik berbicara tentang Luca.

"Jika kamu terus ada, aku tidak akan bisa hidup bahagia dengan Hendrik," gumam Liesbeth, tanpa sepengetahuan Hendrik yang sedang mabuk di kamar sebelah.

Liesbeth mulai merencanakan sesuatu yang gelap. Dia berusaha untuk menjauhkan Luca dari Hendrik. Semakin lama kebencian terhadap anak itu semakin membara di dalam dirinya. Luca yang dahulu ceria dan manis kini menjadi sasaran kebenciannya. Bahkan, Liesbeth tidak segan-segan merencanakan pembunuhan terhadap Luca.

"Hanya dengan menghilangkan Luca, aku bisa memiliki Hendrik sepenuhnya," bisiknya pada dirinya sendiri saat Hendrik terlelap. Namun, setiap usaha yang dia lakukan untuk mencelakakan Luca selalu gagal. Luca seperti memiliki keberuntungan yang tidak terduga.

Waktu pun berlalu. Hendrik akhirnya menyerah pada godaan Liesbeth. Sadar bahwa dia sangat membutuhkan seseorang yang bisa menemani hidupnya, Hendrik memutuskan untuk menikahi Liesbeth. Sayangnya, pernikahan itu malah membawa malapetaka bagi Luca.

Liesbeth kini menjadi ibu tiri bagi Luca. Sejak awal, Liesbeth tidak pernah bisa menyembunyikan kebenciannya terhadap anak tirinya itu. Setiap kesempatan, dia mempermalukan Luca dengan kata-kata tajam dan sikap yang sangat dingin.

"Kamu bukan anakku. Jangan coba-coba merasa seperti itu," katanya sambil menatap Luca dengan penuh penghinaan. Luca lebih sering menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan mata ibu tirinya itu.

Tahun-tahun berlalu dengan penuh penderitaan bagi Luca, tetapi ada satu cahaya kecil yang muncul dalam kegelapan itu. Setahun setelah pernikahan Hendrik dan Liesbeth, lahirlah seorang bayi laki-laki. Nama bayi itu adalah Robbert Willem van der Zee.

Robbert menjadi alasan Luca untuk terus bertahan. Meskipun Hendrik dan Liesbeth tidak pernah peduli padanya, Luca merasa kebahagiaan kecil hadir saat melihat adiknya itu tumbuh. Robbert menjadi simbol harapan yang mungkin tidak pernah dia dapatkan sebelumnya.

Luca sangat menyayangi Robbert. Meskipun mereka terpaut usia yang cukup jauh, yaitu 13 tahun, Luca merasa bahwa adiknya adalah satu-satunya keluarga yang benar-benar dia miliki.

"Robbert, kamu harus selalu berhati-hati. Dunia ini tidak seindah yang kamu kira," kata Luca dengan penuh perhatian. Robbert hanya tersenyum, tidak memahami betapa berat hidup yang telah dijalani kakaknya.

Robbert tumbuh menjadi seorang anak yang penuh semangat. Dia selalu melihat Luca sebagai teladan. Luca kini sedang menempuh pendidikannya di HBS (Hogere Burgerschool), sebuah sekolah menengah atas yang diperuntukkan hanya bagi anak-anak Eropa atau pribumi kaya. Di sekolah tersebut, Luca dikenal sebagai siswa paling cerdas.

Robbert sangat bangga terhadap kakaknya. Setiap kali melihat Luca belajar dengan tekun, Robbert ingin sekali mengikuti jejaknya. "Kelak saat aku dewasa, aku ingin seperti kamu, Luca," kata Robbert dengan penuh harapan.

Luca tersenyum kecil, menutup bukunya sejenak, dan menatap adiknya. "Robbert, menjadi seperti aku bukan hal yang mudah. Kamu harus siap belajar keras dan tidak takut menghadapi apa pun. Tapi aku percaya, kamu pasti bisa melampaui aku suatu hari nanti," jawab Luca sambil mengacak rambut Robbert dengan penuh kasih.

Hembusan angin di siang hari yang tenang itu perlahan berubah menjadi beban bagi Luca. Setelah lulus dari HBS, Hendrik memaksanya untuk mengikuti jejaknya di dunia militer. Hendrik adalah seorang pria keras dengan nilai-nilai yang kaku yang percaya bahwa militer adalah satu-satunya jalan bagi seorang van der Zee. Luca yang sebenarnya mendambakan kebebasan dan kehidupan yang lebih tenang terpaksa menyerah pada tekanan tersebut. Dunia Luca yang penuh potensi kini terasa sempit dan tidak berwarna.

Hari-hari di militer berlalu dengan monoton. Rutinitas tanpa jiwa membelenggunya, membuatnya merasa seperti burung yang kehilangan sayap. Hingga pada suatu sore, di tengah rasa lelah yang membebani, Luca menemukan sebuah momen yang kelak mengubah hidupnya.

Di bawah pohon rindang yang menjadi tempat favoritnya beristirahat, Luca tengah bersandar dengan mata terpejam. Dia mencoba menikmati angin sore yang menenangkan. Tiba-tiba suara langkah lembut terdengar mendekat. Luca membuka mata dan pandangannya jatuh pada seorang perempuan muda yang berjalan ke arahnya. Wajahnya bersih, dihiasi senyum manis yang tulus, dan rambutnya yang dikepang dua berayun seirama dengan langkahnya. Tangannya menggenggam rantang.

"Maaf, Meneer," sapanya dengan nada sopan "Apakah ini sudah waktu istirahat?"

Luca yang belum sepenuhnya sadar dari lamunannya sempat terpaku beberapa saat. "Oh, iya," jawabnya gugup. Dia menatap perempuan itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Nona sedang mencari siapa?" lanjutnya, mencoba menguasai diri.

Perempuan itu tersenyum lembut. "Saya ingin menemui papa saya. Dia bekerja di sini."

Luca mengangguk lalu menunjuk ke arah sekelompok tentara yang sedang berbincang di kejauhan. "Mungkin beliau ada di sana. Biasanya mereka berkumpul di sekitar tempat itu."

Perempuan itu mengucapkan terima kasih dengan suara halus sebelum berlalu pergi. Namun, langkahnya yang anggun dan sosoknya yang memancarkan aura kedamaian tetap tertinggal di pikiran Luca. Dia memperhatikan punggung perempuan itu hingga akhirnya hilang di balik kerumunan.

Hari-hari berlalu. Di suatu pagi yang cerah, Luca berpatroli di pasar. Hiruk-pikuk pedagang dan pembeli memenuhi udara, tetapi perhatian Luca terhenti pada sosok yang tidak asing. Dia melihat perempuan itu lagi. Rambutnya masih dikepang dua seperti sebelumnya. Kali ini dia sedang berbicara dengan seorang pedagang rempah-rempah. Dengan jantung berdebar, Luca mendekat tanpa berpikir dua kali.

"Nona, kita bertemu lagi," sapa Luca dengan suara penuh percaya diri, meskipun hatinya sedikit gugup. Dia menyodorkan tangannya. "Saya Luca Matthijs van der Zee."

Perempuan itu terkejut sejenak lalu tersenyum hangat. "Saya Ratna," balasnya lembut sambil menjabat tangan Luca.

Ada keheningan singkat sebelum Luca berbicara lagi. "Apa yang membawa Anda ke sini? Belanja untuk keluarga?" tanyanya mencoba mencari topik.

Ratna mengangguk. "Ya, saya membantu ibu menyiapkan bahan untuk dagangan kami. Kami menjual rempah-rempah di sini." Dia menunjuk ke salah satu kios kecil di pasar itu. "Papa saya juga bekerja di sini, kadang membantu tentara seperti Anda."

Mendengar itu, Luca merasa ada kesempatan untuk lebih mengenalnya. "Oh, jadi papa Anda seorang tentara juga?" tanyanya mencoba menunjukkan ketertarikan.

"Iya, tapi dia lebih sering membantu sebagai penghubung untuk pedagang lokal dan tentara Belanda," jelas Ratna sambil membenahi posisi keranjang yang dibawanya.

Percakapan itu berlangsung santai. Luca merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Ratna. Selain kecantikannya yang alami, dia memiliki cara berbicara yang membuat orang lain nyaman. Saat matahari mulai tinggi, Luca akhirnya menawarkan sesuatu yang tidak dia rencanakan sebelumnya.

"Jika Anda tidak keberatan, bagaimana kalau saya mengantarkan Anda pulang?" tawarnya sambil menunjuk sebuah dokar yang terparkir tidak jauh dari mereka.

Ratna tampak ragu. "Ah, saya tidak ingin merepotkan, Meneer Luca. Lagi pula, saya biasanya pulang sendiri."

Luca tersenyum, berusaha meyakinkannya. "Ini bukan masalah. Lagipula, pasar ini cukup ramai dan perjalanan Anda pasti lebih nyaman dengan dokar."

Setelah beberapa saat berpikir, Ratna akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, Meneer."

Sepanjang perjalanan pulang, mereka melanjutkan obrolan ringan. Ratna bercerita tentang keluarganya, bagaimana ibunya seorang pedagang rempah yang cukup terkenal di kota itu, sementara ayahnya sering kali membantu tentara Belanda dengan urusan logistik. Luca mendengarkan dengan seksama, sesekali melontarkan pertanyaan untuk menunjukkan ketertarikannya. Dia merasa semakin terpesona oleh kepribadian Ratna yang hangat dan cerdas.

Setelah pertemuan itu, hubungan mereka mulai berkembang. Luca sering kali mencari alasan untuk pergi ke pasar, berharap bisa bertemu Ratna lagi. Dia merasa setiap percakapan dengan Ratna adalah sebuah pelarian dari dunia militer yang membosankan. Di sisi lain, Ratna mulai merasa nyaman dengan kehadiran Luca. Di balik tubuh tegap dan seragam militernya, dia melihat pria yang lembut dan perhatian.

Di balik semua kebahagiaan yang dirasakannya bersama Ratna, Luca tidak bisa sepenuhnya mengabaikan kenyataan yang menghantui. Perbedaan status sosial dan budaya mereka adalah tembok besar yang seakan-akan berdiri untuk memisahkan mereka. Luca tahu keluarganya, terutama Hendrik, tidak akan pernah menerima hubungan ini. Hendrik dengan pandangan keras dan prasangkanya terhadap pribumi, pasti akan marah besar jika mengetahui hubungan Luca dengan Ratna. Namun, setiap kali Luca memikirkan senyum lembut Ratna atau tawa kecilnya yang menenangkan, tekadnya semakin kuat. Bagi Luca, Ratna adalah satu-satunya sinar di tengah gelapnya kehidupannya yang penuh tekanan. Sinar itu layak diperjuangkan.

Sore itu, di bawah langit yang perlahan berubah menjadi jingga, Luca memutuskan untuk mengutarakan perasaannya. Dia mengajak Ratna bertemu di bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi berhembus, menyapu daun-daun yang berguguran, seakan menyambut momen penting ini.

Ratna datang dengan langkah tenang, mengenakan kebaya sederhana berwarna krem. Wajahnya yang dihiasi senyum lembut membuat hati Luca berdebar lebih kencang. Saat Ratna duduk di hadapannya, Luca merasa waktu seperti berhenti. Dia tahu, jika dia tidak mengatakannya sekarang, dia mungkin tidak akan pernah memiliki keberanian lagi.

"Ratna," panggil Luca perlahan, suaranya terdengar berat. Dia meraih tangan Ratna, menggenggamnya erat. Matanya yang biru menatap dalam ke mata Ratna, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.

"Ada sesuatu yang ingin aku katakan," lanjutnya dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku tahu ini mungkin terdengar tidak masuk akal. Aku tahu... dunia kita berbeda. Tapi aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Ratna, aku mencintaimu."

Ratna tertegun. Matanya membesar, menatap Luca dengan ekspresi campur aduk antara terkejut dan haru. Sejenak, dia tidak mampu berkata apa-apa, hanya membiarkan air matanya mengalir perlahan.

"Meneer Luca..." Ratna akhirnya membuka suara, suaranya lirih. "Aku juga... aku juga memiliki perasaan yang sama. Tapi bagaimana? Dunia kita... terlalu berbeda. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa bersama."

Luca menggeleng, matanya penuh keyakinan. "Aku tidak peduli dengan dunia, Ratna. Yang aku pedulikan hanyalah kamu. Aku tidak peduli apa kata orang, apa yang keluargaku pikirkan. Jika kamu memberiku kesempatan, aku akan berjuang. Aku akan melawan apa pun untuk kita."

Ratna menunduk, air matanya semakin deras. "Aku percaya padamu, Luca. Aku percaya. Tapi aku takut... Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku takut melihatmu terluka."

Luca mendekatkan dirinya, menarik Ratna ke dalam pelukannya. "Dengarkan aku," bisiknya, suaranya penuh dengan ketegasan dan rasa sayang. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kita. Tidak keluargaku, tidak dunia ini. Aku berjanji, Ratna. Aku akan melindungimu. Aku akan melindungi kita."

Ratna terisak di pelukan Luca. Dia tahu bahwa ucapan Luca tulus. Di bawah pohon rindang yang menjadi saksi cinta mereka, Ratna membiarkan dirinya percaya pada janji Luca.

"Aku hanya meminta satu hal, Luca," ucap Ratna akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Jangan pernah menyerah pada kita."

Luca melepaskan pelukan itu perlahan, mengangkat wajah Ratna agar matanya bisa menatap dalam ke mata perempuan itu. "Aku bersumpah, Ratna. Aku tidak akan pernah menyerah. Tidak pada kita. Tidak pada cinta ini."

Sore itu menjadi momen yang tidak terlupakan bagi keduanya. Meskipun hati mereka tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai, di bawah pohon rindang itu, mereka merasa yakin bahwa cinta mereka layak diperjuangkan, berapa pun harganya.

Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Hubungan Luca dan Ratna tercium oleh Hendrik. Suatu malam, saat Luca baru saja kembali dari tugasnya, Hendrik menunggunya di ruang keluarga. Suasana ruangan itu tegang dengan Hendrik berdiri di dekat perapian. Wajahnya memerah oleh amarah.

"Luca! Kau memalukan keluarga ini!" suara Hendrik menggema, penuh kemarahan. "Apa yang kau pikirkan, menjalin hubungan dengan anak seorang gundik?"

Luca yang sudah menduga ini akan terjadi berdiri tegak. "Papa, Ratna bukan seperti yang Papa pikirkan. Dia perempuan yang baik, cerdas, dan penuh kasih. Aku mencintainya!" balas Luca, nadanya tegas dan emosinya terlihat jelas.

"Cinta?!" Hendrik membalas dengan nada mengejek, melangkah mendekati Luca. "Cinta itu tidak ada artinya di dunia ini, Luca! Kau adalah putraku, seorang van der Zee! Kau punya tanggung jawab menjaga nama keluarga ini! Dan sekarang, kau mencoreng nama baik kita dengan perempuan seperti dia?"

"Nama keluarga? Apa artinya nama keluarga jika aku tidak bisa hidup sesuai hatiku, Papa?" sergah Luca, matanya memandang Hendrik tanpa rasa takut. "Aku mencintai Ratna dan aku tidak akan meninggalkannya hanya karena statusnya!"

Wajah Hendrik memerah semakin dalam. Dia menunjuk Luca dengan jarinya yang gemetar oleh amarah. "Kalau kau terus bersikeras, aku akan mengirimmu jauh ke pos militer di pelosok! Jangan pikir aku tidak berani, Luca! Kau tidak akan punya pilihan!"

Luca terdiam sejenak, merasakan ketegangan yang melingkupi mereka. "Kalau itu harga yang harus aku bayar, Papa, maka aku akan menerimanya. Aku tidak akan meninggalkan Ratna," ujarnya, suaranya penuh tekad.

Di sudut ruangan, Liesbeth mengamati perdebatan itu dengan sorot mata tajam. Senyum tipis tersungging di bibirnya saat dia melihat celah untuk campur tangan. Dengan langkah anggun, dia mendekati Hendrik dan menepuk lengannya dengan lembut. "Hendrik, kau tidak boleh membiarkan ini terus terjadi. Reputasi keluarga kita dipertaruhkan," katanya dengan nada dingin.

Liesbeth melanjutkan, seolah-olah ingin memastikan Hendrik tidak ragu. "Kita harus mengambil langkah tegas sebelum semuanya terlambat. Bagaimana jika berita ini menyebar? Apa yang akan dikatakan orang-orang tentang keluarga kita? Luca harus diberi pelajaran."

Hendrik mengangguk pelan, pengaruh Liesbeth mulai menguasainya. Dia memalingkan pandangannya kembali pada Luca. "Kau dengar itu? Jika kau tetap keras kepala, aku tidak akan ragu mengambil tindakan. Jangan paksa aku, Luca."

Luca menatap Liesbeth dengan penuh kebencian. Dia tahu wanita itu memiliki andil besar dalam memanaskan situasi. Namun, dia tidak menunjukkan kelemahannya. "Ambillah keputusan apa pun, Papa. Tapi aku tidak akan menyerah pada cinta ini," ucapnya sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah mantap.

Di luar rumah, Luca menghela napas berat. Angin malam menusuk kulitnya, tetapi pikirannya jauh lebih kacau daripada udara dingin itu. Dia tahu bahwa perjuangannya untuk Ratna baru saja dimulai. Dunia seolah melawan mereka. Luca berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah, apa pun risikonya.

Malam itu, mereka memutuskan untuk bertemu di bawah pohon rindang yang telah menjadi saksi cinta mereka. Namun, perjalanan pulang Luca berubah menjadi mimpi buruk. Langkahnya dihentikan oleh beberapa pria bertubuh kekar yang muncul dari kegelapan. Sebelum sempat melawan, pukulan keras mendarat di kepala Luca, membuat pandangannya gelap.

Ketika Luca siuman, dia mendapati dirinya terikat pada tiang kayu di sebuah gudang tua yang remang-remang. Kepalanya masih berdenyut akibat pukulan sebelumnya dan tubuhnya terasa lemah. Namun, pemandangan di depannya jauh lebih menyakitkan. Di tengah ruangan, Ratna tergeletak di lantai, tubuhnya berbalut luka. Lima prajurit berdiri mengelilinginya tertawa mengejek.

"Dinikmati saja pertunjukannya, Luca," suara Hendrik tiba-tiba terdengar, dingin dan penuh kebencian. Dia melangkah keluar dari bayangan, berdiri dengan tangan bersilang di depan dadanya. "Anak gundik itu memang pantas mendapatkannya. Dia telah mencemari kehormatan keluarga kita."

"Papa!" Luca berteriak, suaranya penuh kepedihan. Dia menggeliat, mencoba melepaskan ikatannya, tetapi tali di pergelangan tangannya terlalu kuat. "Hentikan ini! Jangan sakiti dia!"

Hendrik tidak menggubris. Dia hanya melirik para prajurit yang berdiri di sekitarnya. "Cukup. Dia sudah cukup dihukum. Biarkan dia hidup dengan rasa malu ini."

Salah satu prajurit bertanya dengan nada dingin, "Meneer, apakah kita harus menghabisinya?"

Hendrik menggeleng perlahan. "Tidak. Kehidupan ini sudah cukup menjadi hukuman bagi mereka. Luka di tubuhnya mungkin akan sembuh, tapi luka di jiwanya akan bertahan seumur hidup."

Hendrik memberikan isyarat agar Luca dilepaskan. Begitu tali di tangannya terlepas, Luca jatuh tersungkur. Dengan tubuh gemetar, dia merangkak mendekati Ratna yang tidak berdaya di lantai. Luka-luka di tubuhnya, napasnya yang tersengal-sengal, dan wajahnya yang penuh air mata membuat hati Luca hancur berkeping-keping.

"Ratna... Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu..." Luca memeluk tubuh Ratna, tangisnya pecah memenuhi ruangan yang sunyi. "Aku bersumpah, ini tidak akan berakhir seperti ini. Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."

Hendrik melangkah maju dengan pedang di tangannya. Matanya dingin, tanpa belas kasihan. "Cukup, Luca. Kau terlalu bodoh untuk menyadari bahwa cinta ini hanya membawa kehancuran. Jika kau tidak bisa melupakan dia, maka aku sendiri yang akan mengakhiri semuanya."

Hendrik mengangkat pedangnya, mengarahkannya ke leher Luca. Namun, sebelum pedang itu bergerak, Ratna, dengan sisa-sisa kekuatannya, melompat dan berdiri di antara mereka. "Jangan sakiti dia!" teriak Ratna, suaranya lemah namun penuh keberanian.

Gerakan Hendrik terhenti sejenak, tapi matanya tidak menunjukkan belas kasihan. Dalam satu tebasan cepat, pedangnya melukai Ratna. Darah menyembur dari lehernya, membasahi tanah di bawah mereka. Tubuh Ratna ambruk di pelukan Luca yang berteriak histeris.

"RATNA!" Luca memeluk tubuhnya erat, tangisnya memenuhi ruangan. "Bangun, Ratna... kumohon... Jangan tinggalkan aku..."

Hendrik hanya berdiri diam, tanpa ekspresi. "Dia bukan siapa-siapa, Luca. Kau bodoh karena membiarkan dirimu hancur demi dia."

Dengan amarah yang memuncak, Luca meraih pedang yang tergeletak di lantai, matanya dipenuhi kebencian yang membara. Dia mengarahkan pedang itu ke Hendrik. "Kau monster, Papa! Kau bukan manusia! Mama akan membencimu atas apa yang telah kau lakukan!" teriaknya dengan suara penuh kemarahan.

Hendrik mencibir, tidak sedikit pun terpengaruh oleh ancaman Luca. "Helena sudah mati dan kau akan menyusulnya."

Dengan kecepatan yang mengejutkan, Hendrik menyerang lebih dulu. Pedangnya menembus leher Luca, menyisakan luka yang dalam. Luca terjatuh di samping tubuh Ratna, darahnya mengalir deras, bercampur dengan darah perempuan yang dia cintai.

Dalam kesadarannya yang semakin memudar, Luca menatap wajah Ratna untuk terakhir kalinya. Senyum kecil muncul di bibirnya meski rasa sakit melanda. "Aku mencintaimu, Ratna... sampai kapan pun..." bisiknya sebelum akhirnya matanya terpejam dan semuanya menjadi gelap.

Di tengah keheningan gudang itu, Hendrik berdiri di atas genangan darah, menghunus pedangnya kembali ke sarungnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Jauh di dalam hatinya, ada suara kecil yang mulai menggema, bertanya dengan keras. Apakah kehormatan keluarga van der Zee benar-benar layak ditebus dengan dua nyawa yang tidak bersalah. Kegelisahan itu mulai menggerogoti dirinya, meskipun dia berusaha menepisnya.

Tiba-tiba suara langkah tergesa-gesa terdengar mendekat. Robbert muncul di pintu gudang. Matanya melebar melihat pemandangan yang mengerikan di depannya. "Luca!" teriaknya dengan suara serak, napasnya terengah. Dia tertegun, menyaksikan tubuh kakaknya yang tergeletak tidak bernyawa bersimbah darah di samping Ratna.

"Apa yang terjadi di sini?" Robbert bertanya dengan suara gemetar, pandangannya beralih dari Luca yang tidak bernyawa ke Hendrik yang berdiri dengan wajah dingin. "Papa... apa yang Papa lakukan? Kenapa sampai seperti ini?" tangisnya pecah, lututnya melemas hingga dia jatuh terduduk.

Hendrik menatap Robbert dengan tatapan keras. "Luca membuat pilihan buruk. Dia menghancurkan kehormatan keluarga. Ini adalah konsekuensinya."

"Konsekuensi?" Robbert berteriak histeris, air matanya mengalir deras. "Dia kakakku, Papa! Dia keluarga kita! Bagaimana Papa bisa begitu tega?"

Hendrik tidak menjawab. Dia hanya berbalik, melangkah pergi tanpa sedikit pun rasa bersalah. Robbert memandang punggung ayahnya dengan sorot penuh kebencian. "Papa pengecut!" teriaknya, tetapi Hendrik tidak berhenti, hanya bayangannya yang perlahan menghilang di kegelapan.

Robbert kemudian mendekati tubuh Luca. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah dingin kakaknya. "Luca, bangun... Kumohon," bisiknya lirih. Luca tetap diam. Robbert terisak keras, memeluk tubuh kakaknya dengan putus asa.

Setelah beberapa saat, dia mengalihkan pandangannya ke tubuh Ratna yang tergeletak tidak bernyawa. Mata Robbert berkaca-kaca melihat luka yang begitu dalam di tubuh perempuan itu. Luka yang lebih dalam lagi tertoreh di hatinya.

Dengan tekad yang tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya, Robbert memutuskan untuk membawa jasad Luca pulang. "Aku akan membawamu pulang, Luca," gumamnya sambil menghapus air matanya.

Tubuh kecilnya yang hanya berusia dua belas tahun berjuang menyeret tubuh Luca. Jalan yang dilalui penuh dengan batu dan lumpur. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar, tetapi dia terus melangkah. Sesampainya di rumah, dia mempersiapkan tempat untuk menguburkan kakaknya.

Namun, tugasnya belum selesai. Dengan sisa tenaga, dia kembali ke gudang itu untuk membawa jasad Ratna. Kali ini perjalanannya lebih berat. Dia hampir menyerah, tetapi bayangan senyum Luca memberinya kekuatan. Entah dari mana keberanian itu datang, seorang anak kecil seperti Robbert sanggup melakukan hal yang bahkan tidak mampu dilakukan orang dewasa.

Akhirnya, dengan susah payah, Robbert menguburkan Luca dan Ratna dalam satu liang lahat di samping rumah. Tangannya menggali tanah dengan alat seadanya, tubuhnya penuh kotoran dan luka. Setelah selesai, dia duduk di samping makam, air matanya mengalir deras. "Aku akan selalu mengingat kalian. Aku janji, Luca, aku tidak akan membiarkan kenanganmu dilupakan," katanya lirih.

Hari demi hari berlalu, kebencian Robbert terhadap Hendrik semakin memuncak. Dia mulai mengetahui bahwa mamanya, Liesbeth, ternyata juga terlibat dalam rencana untuk menghabisi nyawa Luca. Fakta itu menghancurkan Robbert. Dia merasa dunia yang dia kenal selama ini telah runtuh.

Robbert jatuh sakit karena tekanan yang terus menghimpit hatinya. Sekolahnya dia tinggalkan. Dia tidak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Tubuhnya semakin lemah hingga akhirnya dia menghembuskan napas terakhirnya, sendirian di kamarnya. Sebelum meninggal, dia berbisik, "Luca, aku ingin bersamamu lagi..."

Robbert dimakamkan di samping kakaknya. Kini, ketiganya beristirahat dalam kedamaian, meninggalkan dunia yang penuh dengan luka dan kepedihan.

Di dimensi lain, Luca berdiri dalam wujudnya yang tidak lagi berbentuk fisik, terperangkap di antara penyesalan dan kepedihan yang tidak berujung. Dia menyaksikan semua yang terjadi setelah kematiannya seolah sebuah drama tragis yang tidak mampu dia hentikan. Pandangannya tertuju pada bayangan dirinya sendiri saat dibawa pulang oleh Robbert, adik kecil yang dulu dia lindungi, kini mengambil alih peran itu meskipun dengan tubuh kecilnya yang rapuh.

Dia melihat bagaimana Robbert dengan kekuatan yang entah dari mana datangnya berjuang membawa tubuhnya dan tubuh Ratna untuk dikuburkan bersama. Langkah-langkah kecil Robbert di malam yang dingin, dengan air mata yang tidak pernah berhenti mengalir, seolah mengiris perasaan Luca berkali-kali. Ketika akhirnya Luca melihat liang kubur yang sederhana di samping rumah, dia hanya bisa berdiri tanpa daya, menatap peristirahatan terakhirnya bersama Ratna.

Lebih dari itu, Luca melihat sorot mata Robbert dipenuhi dengan kebencian yang membara terhadap Hendrik dan Liesbeth. Dia menyaksikan bagaimana rasa sakit dan pengkhianatan menghancurkan hati adik kecilnya. Luca tidak hanya menyaksikan kematian fisik Robbert, tetapi juga kehancuran jiwanya. Dia melihat Robbert menyerah pada dunia yang tidak pernah memberinya keadilan, dunia yang merenggut keluarganya satu per satu.

“Aku gagal melindungi mereka...” bisik Luca, suaranya bergetar dan sarat dengan penyesalan yang mendalam. Tatapannya berpaling pada makam kecil itu, tempat adiknya kini beristirahat dengan tenang di sampingnya. "Aku telah kehilangan semuanya. Kenapa hidupku harus seperti ini? Kenapa semua orang yang kucintai harus berakhir seperti ini?"

Hingga saat ini, bayangan Luca tetap terperangkap dalam dimensi antara dunia dan akhirat, dihantui oleh bayangan masa lalu yang tidak bisa dia ubah. Kebencian terhadap Hendrik dan Liesbeth terus mengakar di hatinya. Luka yang mereka torehkan begitu dalam sehingga tidak ada waktu atau jarak yang mampu menyembuhkannya.

Hendrik sendiri hidup dengan bayangan perbuatannya, meskipun dia tidak pernah mengakuinya. Seiring bertambahnya usia, dia menjadi pria tua yang kesepian. Liesbeth pun meninggal tanpa pernah menyesali tindakannya, percaya bahwa dia melakukan apa yang benar demi keluarga van der Zee.

Luka yang mereka tinggalkan tetap bertahan. Hingga kini, cerita tentang tragedi keluarga van der Zee tetap menjadi bisikan di antara mereka yang tinggal di kota itu. Rumah keluarga yang megah kini kosong, ditinggalkan dan dianggap sebagai tempat yang penuh kutukan. Beberapa penduduk bahkan bersumpah bahwa di malam-malam tertentu, mereka bisa melihat bayangan seorang pria berdiri di dekat pohon besar, menatap ke arah dua makam sederhana yang terletak di samping rumah itu. Bayangan itu adalah Luca, menanti keadilan yang tidak pernah datang dan terus merasakan perihnya kehilangan.

Bagi Luca, kebencian terhadap Hendrik dan Liesbeth adalah satu-satunya hal yang terus menghubungkannya dengan dunia, satu-satunya alasan dia belum bisa pergi menuju ketenangan. Hingga hari ini, kebenciannya itu tetap tidak pernah hilang, sama seperti cinta dan penyesalannya yang abadi.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)