Cerpen
Disukai
0
Dilihat
10,250
Letter in October.
Romantis

Hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan raga membuat orang-orang yang berkumpul di depan sebuah warung makan sederhana tampak betah berlama-lama. Mereka duduk di satu tempat yang sama sembari dengan fokus mendengarkan berita terkini mengenai gembar-gembor pemerintah pusat untuk menggulingkan kekuatan organisasi berpaham kiri dari negara Indonesia.

Seorang ibu yang tengah membersihkan mangkuk pun tampak begitu fokus mendengarkan hingga keningnya yang halus terlihat berkerut. Bapak-bapak yang tengah duduk berkumpul sembari menyesap secangkir kopi pun ikut mengerutkan kening saat berita dari radio itu sampai ke telinga mereka.

"Sejak proses pengangkatan mayat-mayat jenderal besar itu ramai diperbincangkan, orang-orang mulai semakin berani dan gencar untuk membasmi komunis."

Tiga orang bapak-bapak yang mendengar opini rekan mereka itu mengangguk tegas yang menandakan bahwa mereka sepaham dengan pendapat pria bercelana hitam dengan sarung coklat tersampir di pundak kirinya itu.

"Itu tragedi naas yang menyisakan duka mendalam. Ternyata benar ada saudara kita sendiri yang tega melakukan itu pada jenderal besar yang sudah berjasa besar bagi negara."

"Bukankah mereka yang seperti itu sama saja dengan penjajah? Lalu apa arti merdeka jika masih ada oknum berani bertindak di bawah payung ideologi yang tak sesuai Pancasila seperti Cakrabirawa? Dunia memang sudah gila."

Helaan napas salah seorang pria yang memakai kopyah hitam membuat rekan-rekannya turut merasa lesu seketika.

Sebagai negara yang belum terlalu lama merasakan kemerdekaan, peristiwa yang disebut oleh Soeharto sebagai gerakan 30 September yang didalangi oleh PKI membuat luka dalam hati rakyat Indonesia seperti tersiram garam. Belum selesai duka akan penjajahan dari luar tanah air sendiri, saudara sedarah justru tega melakukan hal keji dengan dalih membenahi pemerintahan menggunakan paham ideologi yang tidak bisa diterima sebagian besar rakyat Indonesia.

Gugurnya para jenderal besar di Lubang Buaya tentu telah terdengar ke seluruh penjuru negeri. Bahkan proses pengangkatan mayat-mayat para jenderal menjadi hari kelabu bagi seluruh rakyat. Semua orang terlihat lesu dan tak bersemangat saat berita tentang betapa sulitnya prosesi evakuasi itu tersiar. Bahkan hingga satu minggu berlalu setelah para jenderal yang gugur dimakamkan, duka yang dirasakan oleh rakyat masih amat melekat.

Tak berhenti di sana, setelah pemerintah secara resmi mengumumkan pembubaran PKI dan hendak melakukan gebrakan untuk membubarkan organisasi masyarakat berpaham kiri lainnya, rakyat semakin berani bertindak. Lingkungan terasa tidak aman karena setiap hari, ada saja orang-orang yang dicap sebagai komunis diburu lalu dihabisi.

Tidak sulit bagi para angkatan darat menemukan para oknum komunis di masyarakat karena data mereka tidak rahasia. Pembataian habis-habisan para oknum komunis juga terjadi di banyak tempat. Hanya para tokoh komunis besar yang diadili secara hukum untuk memuaskan dunia Internasional.

Oknum-oknum kecil di bawahnya telah tersisa nama karena baik para tentara maupun rakyat biasa dengan gencar dan berani melakukan pembersihan tanah air dari orang-orang berpaham komunis. Namun tidak sedikit pula oknum-oknum komunis yang akhirnya bersembunyi dan memilih menutup identitas mereka rapat-rapat agar bisa berbaur di masyarakat serta menyelamatkan nyawa mereka.

"Selamat siang." Suara mendayu nan lembut dari seorang gadis berparas elok membuat bapak-bapak serta ibu penjaga warung kompak menoleh dan menatap gadis itu dengan senyuman.

"Eh, Nona Dayita. Mau kemana siang-siang begini? Matahari sangat terik, apa tidak takut kulit putihnya menjadi hitam?" Gadis bernama Dayita itu tertawa kecil usai mendengar guyonan dari salah satu bapak-bapak di warung tersebut. Ibu penjaga warung yang mendengar itu pun mendengus dan melemparkan kain lap di tangannya pada pria tersebut.

"Aduh, Rukmi! Kenapa jorok sekali?!"

"Mulutmu itu yang jorok! Bisamu hanya merayu gadis-gadis muda. Dayita, kamu sesekali harus mengadu pada bapakmu agar pria tua bangka ini ditembaknya!" Dayita lagi-lagi tertawa seraya berjalan menuju warung makan sederhana milik Rukmi.

"Ah, Bibi, tidak perlu seperti itu. Dayita tidak masalah dengan guyonan seperti itu."

"Lalu apa yang Nona Dayita lakukan di sini? Siang ini benar-benar panas terik, benar ucapan Harto. Kulit putihmu bisa gosong." Dayita berjalan memasuki warung lalu meletakkan rantang yang ia bawa ke atas meja warung milik Rukmi.

"Tidak, Paman. Dayita sama sekali tidak mempermasalahkan matahari, lagipula hawanya sedang berangin. Meskipun terik tetap terasa sejuk. Dayita mampir untuk menambah lauk." Pria bernama Harto yang tadi menggoda Dayita pun bersiul pelan usai mendengar jawaban gadis cantik dengan kulit putih bersih itu.

"Wah wah, sepertinya ada yang ingin menyambangi pujaan hati lagi ya."

"Biarkan saja, Harto. Maklum, darah muda. Lama tak bertemu, sekalinya bisa berjumpa langsung tidak ingin pisah." Harto dan bapak-bapak lain pun tertawa yang membuat Dayita juga terkekeh pelan.

"Ah, Paman bisa saja. Tapi memang sudah lama Dayita tidak bertemu dengan Aiman. Hampir sebulan lebih dia pergi ke Jakarta dan baru tiga hari lalu dia kembali. Kami saling merindukan karena selama ini hanya bisa saling bertukar surat." Rukmi tersenyum mendengar ucapan Dayita lalu meraih rantang makan yang dibawa oleh gadis itu.

"Itu wajar saja. Aiman selalu terlihat sibuk, bukankah semua orang tau jika dia adalah mahasiswa ibukota. Aiman juga pasti kesulitan untuk meluangkan waktunya kembali ke kampung halaman. Nah, Dayita ingin membeli apa?"

"Tolong berikan satu porsi soto ayam dengan telur bumbu bali, Bibi. Aiman suka sekali makan itu." Bapak-bapak yang mendengar ucapan Dayita lantas terkekeh dan saling berpandangan.

"Andaikan waktu bisa diulang, aku pasti akan mencari wanita yang pengertian seperti Dayita."

"Itu benar. Istriku di rumah hanya memasak tempe dan tahu setiap hari, tidak pernah dia bertanya makanan apa yang aku inginkan atau yang aku suka." Rukmi yang mendengar itu pun mendengus dan dengan cepat memasukkan bungkusan makanan ke dalam rantang Dayita dan memberikannya kembali pada si pemilik.

"Istri adakah cerminan diri. Jika kamu beranggapan bahwa istrimu buruk maka kamu harus berkaca! Ini Dayita, pergilah cepat sebelum kamu habis digoda oleh para buaya ini." Dayita terkekeh pelan dan dengan sopan menerima rantang dari Rukmi. Gadis itu menyerahkan uang di tangannya pada Rukmi dan segera berjalan pergi meninggalkan warung itu.

"Terima kasih banyak, Bibi. Dayita permisi dulu, sampai jumpa, Paman semua."

"Silahkan, Cah Ayu."

***

Dayita dengan lembut mengetuk pintu kayu bercat hijau di depannya. Gadis cantik itu menyelipkan anak rambut panjangnya di belakang telinga selagi menunggu sang pujaan hati membuka pintu. Setelah beberapa saat menunggu dan tak kunjung mendapatkan tanggapan, Dayita kembali mengetuk kaca kecil yang berada di pintu rumah Aiman, sang kekasih.

"Ya ya, aku datang." Dayita tersenyum lebar mendengar suara berat Aiman yang terdengar semakin mendekat. Begitu pintu itu terbuka, Dayita menatap Aiman dengan tatapan penuh cinta seperti laki-laki itu menatapnya.

"Dayita? Kamu datang siang-siang begini. Harusnya tidak perlu kemari. Aku bisa mampir ke rumahmu sembari menuju balai desa untuk perkumpulan warga sore nanti." Dayita tertawa kecil mendengar ucapan Aiman lalu menyerahkan rantang makanan di tangannya pada sang kekasih.

"Ini untukmu. Bapak mengatakan padaku untuk tidak datang dengan tangan kosong. Aku sempat memasak bersama ibu tapi hanya sedikit. Jadi aku mampir ke warung Bibi Rukmi untuk membeli makanan tambahan."

Aiman tersenyum kecil mendengar ucapan gadis di depannya lalu menerima rantang itu. Ia pun dengan tegas berjalan mendekati Dayita dan membubuhkan sebuah kecupan hangat di kening kekasihnya yang membuat Dayita tersenyum malu-malu.

"Terima kasih banyak. Aku memang jarang memasak sejak aku kembali ke sini. Kamu tau sendiri, kan?" Dayita menganggukkan kepalanya menanggapi ucapan Aiman lalu tersenyum kecil.

"Warga desa bangga karena memiliki pemuda yang bisa menempuh pendidikan tinggi sepertimu. Tidak heran jika banyak warga di sini yang selalu membutuhkan bantuanmu." Aiman tertawa kecil sembari meraih tangan Dayita dan hendak membawa sang kekasih memasuki rumahnya.

"Aku paham itu. Apalagi sejak kabar pembataian PKI beredar. Banyak warga was-was orang-orang PKI yang dikejar datang kemari dan menerobos ke rumah mereka. Ada beberapa rumah yang bahkan memasang pagar baru karena itu." Dayita menghela napas pelan lalu berjalan mengikuti Aiman, namun baru saja ia masuk ke dalam rumah sederhana milik sang kekasih, mereka dihentikan oleh sebuah suara dari arah belakang.

"Aiman! Le! Aiman!" Aiman mengerutkan keningnya lalu memutar tubuh untuk melihat seorang ibu yang berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.

"Ada apa, Bibi Imah?"

"Haduh, Le. Radio Bibi tidak berfungsi lagi. Bisa tolong perbaiki? Pak Darmo juga titip, katanya televisi Pak Darmo tidak muncul gambar. Bisakah kamu membantu?" Aiman tertawa kecil sementara Dayita kini tersenyum tipis.

"Aiman bisa. Ayo, Bi." Wanita bernama Imah itu tersenyum lebar dan berjalan pergi terlebih dulu. Aiman pun menyerahkan rantang di tangannya pada sang kekasih sembari tersenyum.

"Kamu tolong bawa ke dapur ya? Aku akan segera kembali." Sebelum Aiman berjalan, Dayita lebih dulu menahan tangan laki-laki itu hingga itu berhenti dan menatapnya.

"Tapi kamu belum makan, Aiman."

"Aku akan segera kembali bahkan sebelum kamu menyadarinya. Tunggu ya?" Dayita menghela napas lalu dengan berat hati menganggukkan kepalanya. Aiman pun berjalan pergi meninggalkan sang kekasih yang mulai berjalan semakin dalam ke rumah Aiman.

Dayita hampir tidak pernah berjalan lebih jauh melewati ruang tamu saat ia berada di rumah Aiman. Ini adalah kali ketiganya masuk ke dalam rumah sang kekasih terhitung sejak ia menjalin kasih dengan Aiman. Pria lebih sering datang ke rumah Dayita atau mengajak gadis itu menikmati waktu mereka di luar.

Saat Dayita berjalan menuju dapur, Dayita melihat karpet di dekat dapur yang tersingkap ke atas. Dayita pun meletakkan rantang yang ia bawa di atas meja sebelah membungkuk untuk merapikan karpet itu. Tetapi ketika Dayita mengangkat ujung karpet di tangannya, mata Dayita terpaku pada sebuah celah kayu yang tampak seperti pintu.

Gadis yang dipenuhi kebingungan itu memilih mengangkat karpet itu dan membelalakkan kedua matanya saat ia benar-benar melihat sebuah pintu di bawah karpet itu. Dayita menoleh ke kanan dan ke kiri seraya menelan ludahnya. Gadis itu dengan ragu mengangkat pintu kayu berukuran cukup kecil itu hingga terangkat ke atas.

Begitu pintu itu terbuka, Dayita bisa dengan jelas melihat tangga menuju sebuah ruangan di bawah tanah. Dayita pun perlahan turun dengan hati-hati dan berdiri di tengah sebuah ruangan dengan dua buah papan yang dipenuhi kertas dan berita dari koran. Ada sebuah meja di sisi kiri ruangan yang membuat mulut Dayita sukses menganga.

Pasalnya, gadis itu melihat sebuah map dengan tulisan besar yang berwarna hitam. Map itu memiliki tulisan "Arsip Rahasia Pesindo" di bagian sampulnya. Keringat sebesar biji jagung membasahi kening Dayita saat gadis itu membuka map itu dan melihat jajaran nama anggota di dalam map itu. Mata Dayita dengan cepat bergulir hingga terhenti pada satu nama yang merupakan nama sang kekasih.

"Astaga," pekik Dayita seraya menutup mulutnya tak percaya. Gadis cantik dengan wajah sedikit pucat itu memilih untuk menutup map di atas meja dan melihat papa di belakangnya. Berita tentang pemberontakan PKI serta pembataian PKI lengkap tertulis di atas. Bahkan berita tentang gerakan 30 September yang baru-baru ini terjadi juga tertulis lengkap di sana.

Dayita seolah kesulitan menelan ludahnya saat sadar bahwa sang kekasih yang selama ini ia cintai merupakan salah satu orang yang menjadi musuh masyarakat saat ini termasuk sang ayah. Ayah Dayita adalah seorang anggota angkatan darat yang memiliki kecintaan besar terhadap tanah air, jika sang ayah tau rahasia besar Aiman, Dayita tidak yakin jika sang ayah dapat menerimanya.

Dayita buru-buru keluar dari ruangan itu dan dengan rapi menutup pintu serta karpet yang menyembunyikan pintu itu. Ia memilih untuk menyajikan makanan yang sebelumnya ia bawa ke atas piring sebelum berlari keluar meninggalkan kediaman sederhana Aiman.

Saat Dayita berlari dengan wajah tertekan dan terkejut, seorang laki-laki yang tak sengaja berpapasan melihatnya tampak mengerutkan kening dan mengikuti Dayita hingga gadis itu sampai di rumahnya. Ayah Dayita yang kebetulan duduk di teras rumah sembari membaca radio pun mendongak dan menatap tingkah aneh sang putri yang terlihat sangat tak biasa.

"Dayita? Ada apa dengan-" Dayita berjalan cepat memasuki rumah dan segera melesat menuju kamarnya bahkan tanpa mendengar ucapan sang ayah. Hasan yang melihat sikap tak biasa sang putri pun memutuskan untuk bangkit dan dengan asal meletakkan korannya di atas meja. Saat Hasan hendak memasuki rumah, laki-laki yang tadi mengikuti Dayita kini menyapa pria paruh baya itu.

"Paman Hasan, ada apa dengan Dayita?" Tanya laki-laki itu yang membuat Hasan menggelengkan kepalanya.

"Imran? Kamu datang?"

"Aku melihat Dayita tadi, dia tidak seperti biasanya. Apa yang terjadi padanya?" Hasan menggeleng sembari menghela napas panjang.

"Paman belum mengetahuinya."

"Bisakah aku mencoba untuk bicara padanya, Paman? Kami bersahabat dekat, mungkin aku bisa mengajaknya bicara." Hasan menganggukkan kepalanya dan membiarkan Imran mengikutinya memasuki rumah.

Imran pun dengan lembut mengetuk pintu kamar Dayita seraya memanggil gadis itu dengan lembut. Selang beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dan menampilkan Dayita yang sudah menangis tersedu-sedu. Hasan yang melihat kondisi sang putri pun sontak merasa panik.

"Dayita! Apa yang terjadi padamu, Nduk? Kenapa? Apa Aiman menyakitimu?" Dayita mengusap air matanya dengan kasar lalu menggelengkan kepalanya cepat.

"Aku ingin bicara dengan Imran saja, apa Bapak bisa menunggu di luar?" Hasan mengernyit lalu menoleh untuk menatap Imran sebelum menganggukkan kepalanya pelan.

"Baiklah." Dayita pun berjalan keluar dari kamarnya saat Hasan pergi. Ia dan Imran kemudian mendudukkan diri mereka di ruang tamu.

"Dayita, apa yang terjadi?" Dayita menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan sebelum menceritakan segala hal yang baru saja ia ketahui tentang Aiman. Imran yang selama ini juga mengenal Aiman dengan baik pun tak mampu menutupi keterkejutannya. Laki-laki itu meraih tangan Dayita dan dengan lembut menggenggamnya.

"Dayita, Aiman adalah orang yang baik. Dia menyayangimu, semuanya akan baik-baik saja. Lagipula ormas itu sudah dibubarkan dengan paksa dan banyak petingginya yang ditangkap."

"Tapi tidak sedikit juga bagian dari mereka yang dibunuh, Imran. Bagaimana jika itu Aiman? Aku akan bicara padanya. Aiman adalah orang baik, dia tidak akan membahayakan orang-orang di desa ini atau negara ini." Imran menghela napas panjang sembari berdiri dari duduknya.

"Aku benci mengatakan ini, tapi tidakkah kamu melihat tindakan orang-orang PKI, Dayita? Mereka itu penjahat, tapi memang aku akui bahwa Aiman orang baik. Aku yang akan bicara padanya. Masuklah ke kamarmu dan tenangkan dirimu." Dayita menganggukkan kepalanya pelan lalu memilih untuk patuh. Gadis itu memasuki kamarnya dan kembali menitikan air mata karena setelah rahasia besar Aiman terbongkar, Dayita yakin jika ia tak akan mampu bermimpi indah lagi di malam hari.

***

Dayita yang tengah terlelap tiba-tiba terbangun karena suara keras dari luar rumahnya. Gadis itu mendudukkan dirinya secara tiba-tiba saat ia mendengar teriakan keras nan menggebu-gebu. Entah kenapa Dayita merasa begitu risau dan panik, gadis itu berlari keluar dari kamarnya dan melihat langit senja yang nampak begitu indah dipandang mata.

Bersamaan dengan itu, Dayita juga melihat gerombolan warga desa yang memegang obor serta senjata tajam seperti pisau dan golok. Jantung Dayuta berdegup kencang saat ia samar-samar mendengar cibiran warga-warga itu tentang sang kekasih. Di tengah gerombolan itu, Dayita melihat seorang pria yang ia kenali. Dayita pun berlari mendekati pria itu dan menatapnya dengan wajah pucat.

"Paman Harto, a-ada apa ini sebenarnya?? Kenapa semua orang berkumpul begini? Apa ada keributan?" Harta yang melihat Dayita pun menatap gadis itu dengan tatapan iba lalu mengusap rambut Dayita dengan lembut.

"Kamu masuk saja ke rumah, Nduk. Para wanita dan anak-anak sedang tidak diijinkan keluar."

"Ta-tapi kenapa, Paman?"

"Nduk, sebenarnya- kekasihmu, Aiman itu adalah PKI. Bapakmu dan Imran sudah pergi menggerebek rumahnya dan menemukan ruangan rahasia. Di sana mereka menemukan tiga orang anggota Pesindo dan satu orang buronan PKI dari Semarang. Orang bilang, mereka sedang membuat rencana, tapi bapakmu dan warga desa sudah berhasil menangkap mereka. Tapi ada yang melarikan diri termasuk kekasihku, Aiman."

Dayita membelalakkan matanya dan menutup mulutnya yang kini terbuka karena terkejut. Air mata gadis itu tiba-tiba menggenang yang membuat pandangan Dayita tampak kabur. Gadis itu pun berlari secepat mungkin membelah gerombolan warga lalu menerobos masuk menuju hutan jati yang memang mengelilingi desa tempat tinggal mereka.

"Imran- Imran berdusta padaku. Dia tidak mendukung Aiman, tidak percaya Aiman. Dia menusuk kami berdua. Teganya Imran melakukan ini. Kenapa seperti ini?" Gumam Dayita sembari menitikan air mata dan terus berlari ke tengah hutan.

"Aiman! Aiman dimana kamu?? Aiman!" Dayita berteriak sekuat tenaga dan berjalan menyusuri hutan tanpa peduli jika telapak kakinya yang halus kini tergores oleh duri dan dahan kering.

"Aiman! Ini aku, Dayita! Aiman kamu dimana?"

Dayita menangis tersedu-sedu saat tak mendengar jawaban apapun di tengah hutan yang nyaris gelap itu. Gadis itu tiba-tiba bersimpuh di atas tanah seraya menundukkan kepalanya.

Baru kemarin rasanya Dayita menikmati waktu yang indah bersama sang kekasih di tepian sungai tak jauh dari hutan ini. Mereka tampak bahagia sambil membicarakan tentang masa depan dimana mereka akan menikah dan hidup bahagia.

Dayita tak pernah menyangka bahwa selama ini, kekasih yang ia cintai rupanya memiliki paham dan ideologi berbeda dengan dirinya. Sebuah paham yang secepat api disiram bensin, tumbuh menjadi musuh negara. Gadis itu menutup wajahnya yang berkeringat dan basah oleh air mata sembari terus bersimpuh di tempatnya.

"Maafkan aku, Aiman. Kamu dimana, kamu dimana, Aiman," lirih Dayita dengan pilu.

"Dayita." Dayita mengentikan tangisannya dan mendongak saat telinganya mendengar suara yang begitu familiar baginya.

Gadis itu tersenyum melihat sang kekasih berdiri tak jauh darinya. Dayita pun berlari terseok mendekati Aiman saat rasa perih dari telapak kakinya yang tergores mulai terasa mengganggu dirinya. Dayita memeluk tubuh Aiman yang berkeringat dengan erat sembari menangis pilu.

"Aiman, kamu kemana."

"Maafkan aku, Dayita. Aku harus pergi lagi sekarang. Mungkin aku tidak akan kembali lagi ke desa ini." Dayita yang mendengar itu pun menggeleng ribut dan melepaskan pelukannya pada sang kekasih.

"Tidak, tidak! Kenapa kamu ingin pergi lagi? Bukankah sudah sangat lama kamu meninggalkan aku selama ini? Aiman, ayo temui Bapakku. Katakan padanya bahwa kamu bukan golongan mereka itu. Katakan bahwa kamu sudah berubah." Aiman tersenyum pilu mendengar ucapan Dayita lalu mengusap pipi sang kekasih dengan lembutnya.

"Aku tidak bisa. Bapakmu adalah orang pertama yang mengangkat senjata saat menemukan ruang rahasia di rumahku. Aku tau itu kamu, kamu yang menemukannya, kan? Aku tidak marah, Dayita. Lagipula aku tidak bisa menyembunyikan ini selamanya. Aku harus pergi sekarang karena nyawaku di desa ini sudah terancam."

Dayita menagis keras seraya menggelengkan kepalanya. Ia dengan erat menggenggam tangan Aiman yang membuat laki-laki itu juga tak kuasa menahan tangisnya.

"Maafkan aku karena sudah lancang mencintaimu. Seharusnya, sejak awal aku tidak usah nekat mendekatimu. Aku harusnya tau posisiku, tapi aku tetap memaksa agar kita bersama. Maafkan aku, Dayita. Aku sungguh mencintaimu," ujar Aiman dengan lirih sebelum mengecup kening Dayita lamat.

Dayita pun memejamkan kedua matanya dan menikmati ciuman hangat terakhir dari sang kekasih karena selang sepersekian detik, Dayita bisa dengan keras mendengar suara tembakan serta suara rintihan tipis yang keluar dari mulut Aiman.

Dunia Dayita seolah runtuh bersamaan dengan waktu yang bergerak begitu lambat. Dayita mendelik tak percaya melihat Aiman yang mengeluarkan darah dari mulutnya perlahan-lahan jatuh ke pelukannya. Dayita menggigit bibirnya sekuat tenaga sembari memeluk tubuh sang kekasih dengan erat. Gadis itu membiarkan darah di perut Aiman merembes keluar membasahi bajunya sendiri.

Bibir Dayita tampak bergetar menahan tangisan dengan pandangan mata yang terarah pada sang ayah yang berdiri tak jauh di belakang Aiman ditemani beberapa warga termasuk Imran yang kini menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Da-dayita," lirih Aiman yang membuat hati Dayita terasa hancur tercabik-cabik.

"Diam. Ja-jangan bicara, aku mohon- diam-"

"M-maaf, tapi a-aku be-benar men-cintaimu." Pelukan erat Dayita pada tubuh Aiman membuat gadis itu mampu mendengar dengan jelas hembusan napas terakhir sang kekasih. Tangis Dayita pecah diiringi teriakan pilu yang menyebut nama Aiman saat ia tau bahwa sang kekasih telah pergi meninggalkan dunia yang sama dengannya.

"Aiman!" Dayita berteriak pilu sembari memeluk tubuh Aiman dengan erat yang membuat beberapa warga merasa iba melihat adegan itu. Hasan yang melihat tingkah sang putri pun berjalan maju dengan gagah lalu dengan paksa menarik Dayita hingga pelukannya pada Aiman terlepas dan Aiman yang sudah tak bernyawa pun jatuh ke tanah begitu saja.

"Ayo pergi!" Titah Hasan yang membuat Dayita berteriak histeris.

"Tidak! Lepaskan aku! Aiman!" Hasan memejamkan matanya mendengar tangis pilu sang putri lalu memaksa Dayita untuk berdiri. Pria itu memeluk sang putri dengan erat sembari memutar tubuh saat para warga membopong tubuh kaku Aiman meninggalkan hutan itu.

"Dia sudah tidak ada, Dayita. Tenangkan dirimu. Jangan menangisi kepergian penjahat sepertinya."

"Tidak, Pak- Aiman bukan penjahat- Aiman bukan penjahat," lirih Dayita di pelukan Hasan yang membuat pria itu menghela napas panjang sembari mendongak untuk menatap langit yang kini mulai gelap.

***

"Dayita, keluarlah!"

Dayita yang tengah termenung di dekat jendela kamarnya dengan berat hati melangkah keluar. Gadis itu mendudukkan dirinya di kursi ruang tamu bersisihan dengan sang ayah yang baru saja meletakkan sebuah kardus di atas meja.

"Bapak menemukan ini di ruangan rahasia milik Aiman. Ada beberapa hal yang Bapak rasa ditujukan padamu. Simpan ini untuk mengingatnya." Ucapan Hasan membuat Dayita menatap sang ayah dengan wajah tak percaya.

"Bapak ingin aku mengingat dia setelah Bapak mengakhiri nyawanya dengan tangan Bapak sendiri?" Dayita tertawa sinis lalu membawa kardus yang diberikan oleh Hasan tanpa peduli pada sang ayah yang kini menghela napas lelah.

Dayita pun memasuki kamarnya dan membongkar kardus itu. Ia menemukan beberapa lembaran foto dirinya dan Aiman serta surat-surat yang mereka tulis untuk satu sama lain saat Aiman berada di Jakarta.

Gadis itu juga menemukan tangkai bunga mawar yang sudah layu serta sebuah buku berwarna coklat lusuh. Di bagian kardus paling bawah, Dayita melihat sebuah lembaran surat dengan kertas kecoklatan yang ia yakini ditulis langsung oleh Aiman.

Gadis itu pun membaca kata demi kata yang tertulis di dalam surat itu. Tetes demi tetes air mata Dayita jatuh membasahi pipinya saat ia membaca keseluruhan surat itu. Begitu Dayita melihat tanda tangan sang kekasih berada di sudut surat, saat itulah tangisan pilu Dayita pecah.

Gadis malang itu menangis tersedu-sedu saat ia dipaksa menerima kenyataan bahwa selain kekasihnya adalah musuh negara, kekasihnya itu juga telah tiada dan pergi meninggalkan dirinya selamanya. Kepergian Aiman menyisakan luka mendalam di hati Dayita yang membuat gadis itu bahkan seolah tak lagi mampu untuk melihat matahari esok pagi.

***

10 Oktober 1965

Kepada kasihku, Dayita.


Dayita yang ku cinta, yang aroma tubuhya seharum kenanga, yang kulitnya sehalus sutra, yang rambutnya sehitam arang, dan yang senyumnya semanis gula jawa. Sejak aku kembali ke Madiun,aku tidak pernah benar-benar merasa tenang, Cinta. Tiada malam tanpa mimpi buruk yang aku rasakan sejak munculnya berita kegagalan kudeta.

Aku tau kita berada di kapal berbeda, aku percaya pada kiri dan kamu tetap dengan kanan. Entah mengapa, aku merasa usiaku tak lama. Sebagai anggota dari PESINDO aku sadar bahwa namaku ada dalam daftar buruan. Jauh aku melarikan diri hingga kemari dengan harapan bahwa aku akan hidup panjang dan berakhir denganmu di pelaminan.

Semua orang di kampung bangga pada Aiman yang katanya mahasiswa ibukota. Tapi aku tak lebih dari kaum komunis yang berusaha keras menyebarkan ideologinya pada Indonesia. Sejak pemberontakan PKI di Madiun, aku memilih melancong ke Jakarta dan fokus dengan kegiatan PESINDO di sana. Namun sejak pembataian itu muncul, aku ketakutan, Dayita. Rupanya aku takut akan kematian dan masih berharap bisa kembali padamu.

Maafku yang paling dalam jika suatu saat surat ini sampai di tanganmu dan kamu akhirnya mengetahui bahwa kekasih yang kamu cintai merupakan komunis yang tidak akan pernah sudi direstui oleh ayahmu. Entah apa yang ayahmu pikirkan tentang aku, tapi aku percaya pada ideologi yang akan aku genggam ini hingga mati.

Semua orang berkata bahwa ini salah,mereka boleh berkata apa saja. Mereka bebas sekarang, tidak seperti aku yang harus sembunyi dan hidup diam-diam. Tapi satu hal yang pasti, saat dunia ini sibuk akan benar dan salah, kamu menjadi satu-satunya hal paling mutlak yang selama ini pernah aku percaya. Kamu boleh meragukan jati diriku sebagai pemuda Indonesia tapi tolong tetap percaya pada hatiku. Cintaku padamu bukan dusta, Dayita.

Jika suatu saat aku tiada dan akhirnya kamu menemukan surat ini di atas tumpukan dokumen paling rahasia yang aku simpan rapat-rapat, maka kamu harus berjanji jika kamu akan hidup bahagia dan jauh dari konflik apapun di masyarakat yang gila ini. Aku juga tidak tau kenapa tiba-tiba aku ingin menulis surat ini, aku hanya merasa bahwa surat ini akan menjadi kenangan tentangku yang akan kamu ingat selamanya. Terima kasih untuk semua cinta kasihmu selama ini Dayita. Aiman akan terus menjadi milikmu, selamanya.


Dari pria rendah yang berani mencintai seorang Tuan Putri,


Aiman H. Suryana.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)