Cerpen
Disukai
3
Dilihat
9,343
Leave Me Alone
Drama

"SIAPA BILANG dewasa itu menyenangkan? Nggak! Rasanya aku mau kembali jadi anak kecil yang pikirannya cuma bermain!"

Masa SMA adalah masa di mana aku belajar mencari jati diri sebenarnya, penuh dengan gejolak emosi dan berjuang dalam meraih impian. Meskipun SMA identik dengan kisah asmara di sekolah bernada cinta pertama di mana aku merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta tetapi bukan hanya perihal dua hati yang bertemu di satu tempat yang sama. Itu adalah peristiwa dimana aku bertekad untuk hidup mandiri dan menggapai mimpi-mimpi yang telah aku tulis dalam diary setiap malam sebelum beranjak tidur.

Aku hendak menyodorkan selembar surat dari pihak sekolah kepada orang tuaku. Isinya seputar informasi bahwa akan diadakan study tour ke Singapura dengan melewati proses seleksi terlebih dahulu dan persetujuan orang tua. Aku merasa berat hati ketika ingin memberi sepucuk surat itu lantas mengurungkan niatku dan bertanya sebuah pertanyaan yang sudah lama aku pendam kepada orang tua.

"Ibu, Ayah. Kalian tahu kan kalau Dewangga bukan anak kecil lagi? Dewangga sudah dewasa!"

"Iya, Ibu tahu kamu sudah jadi anak SMA artinya sudah dewasa dan tahu apa itu cinta. Tapi Ibu masih menganggapmu anak kecil selama masih tinggal di sini. Sudahlah, Nak. Kamu di rumah saja.

"Ibu! Selama ini kalau Dewangga dapat undangan ulang tahun dari teman-teman, kalian nggak pernah kasih aku kesempatan untuk ikut! Dewangga sangat kecewa!"

"Bu, sebaiknya kita jangan memaksa Dewangga untuk diam di rumah terus. Dia sudah dewasa dan itu artinya dia perlu berada di luar lingkungan rumah untuk bersosialisasi dan menjalin interaksi. Apalagi dia masih harus mencari jati dirinya. Kalau terus berbuat begini, Dewangga nggak akan punya kepercayaan diri ketika sendirian di luar."

"Maafkan bunda. Baik, Yah. Bunda tidak menyangka ternyata apa yang bunda anggap sepele ternyata tidak baik untuk anak kita ...."

Di sebuah pagi cerah di sekolah, suara dentingan gitar memenuhi udara. Aku duduk di sudut taman, jari-jariku menari di atas senar, menciptakan melodi yang lembut. Suara burung berkicau menambah suasana yang tenang. Tiba-tiba, langkah kaki mendekat, dan tiga sosok familiar muncul di hadapanku. Mereka adalah teman-teman baruku: Shakira, Bima, dan Kirana.

Shakira: "Eh, kamu jago banget main gitar! Kenapa nggak bergabung sama kita di ekstrakurikuler musik?"

Bima: "Iya! Kita butuh gitaris buat band kita. Suara kamu keren!"

Kirana: "Datang aja, kita bisa latihan bareng. Seru lho!"

Aku tersenyum, merasa senang dengan tawaran itu.

Aku: "Hmm, kedengarannya menarik. Apa saja yang kalian latih di sana?"

Shakira: "Kita belajar banyak lagu dan juga bikin lagu sendiri. Asyik banget!"

Bima: "Yuk, join! Kita bisa jadi tim yang solid."

Kirana: "Ayo, kita bisa berteman lebih dekat sambil musik!"

Aku mengangguk, antusias.

Aku: "Oke, aku mau! Kapan kita mulai?"

Shakira: "Besok sore, di ruang musik. Jangan sampai ketinggalan ya!"

Dengan semangat baru, aku pun merasa bersemangat untuk menjelajahi dunia musik bersama teman-teman baruku.

"Ya, aku berusaha bersyukur. Sekarang aku pun sangat bersyukur punya bestie (best friend never die) yang sangat perhatian dan lucu! Aku sayang kalian!"

Aku dan tiga sahabatku memiliki hobi yang sama. Bermain gitar dan bernyanyi. Oleh karena itu kami bergabung dalam ekstrakurikuler yang sama dengan nama band, Nada Remaja SMA.

Hari-hari semakin mendekati festival musik sekolah. Di ruang musik, suasana selalu dipenuhi oleh semangat latihan. Aku, Shakira, Bima, dan Kirana berlatih tanpa henti, mempersiapkan penampilan terbaik kami. Setiap nada, setiap melodi, kami jalin bersama dalam harmoni yang semakin kuat. Aku memegang gitar dengan penuh keyakinan, memainkan kord demi kord yang sudah kuhafal di luar kepala, sementara Bima, dengan ketukan drumnya, menjaga irama yang stabil.

Di sebelahku, Shakira menyanyi dengan penuh perasaan, suaranya mengalir seirama dengan gitar yang kumainkan. Kirana, dengan jari-jarinya yang lincah di atas keyboard, menambahkan lapisan melodi yang memperkaya suara kami. Setiap kali lagu itu selesai dimainkan, kami saling menatap, terkadang tersenyum puas, terkadang saling memberi masukan. Tak ada yang sempurna, tapi kami terus bekerja keras untuk membuat semuanya sebaik mungkin.

Shakira: "Oke, suara kita udah mulai menyatu. Tapi bagian reff-nya, kita perlu bikin lebih kuat lagi. Setuju?"

Aku: "Setuju. Aku bisa kasih sedikit variasi di gitarnya, mungkin buat masukin dinamika di sana."

Bima: "Aku juga bisa tambah variasi di bagian drum pas reff, biar lebih greget."

Kirana: "Mantap! Kalau kita dapetin feel-nya, ini bakal keren banget di atas panggung."

Latihan terus berlanjut. Kadang ada momen-momen tawa saat salah satu dari kami salah memetik senar atau salah tempo. Tapi justru dari kesalahan itu, kami belajar dan tumbuh menjadi lebih baik. Setiap sesi latihan terasa seperti langkah kecil menuju mimpi besar kami—tampil di depan seluruh siswa di festival sekolah, menampilkan hasil kerja keras dan kekompakan kami.

"Gimana kalau kita tambahin sedikit interaksi sama penonton di akhir lagu? Kayaknya bakal bikin penampilan kita lebih hidup."

Shakira: "Bisa banget! Kita buat klimaksnya penuh energi biar mereka ikutan nyanyi bareng!"

Kirana: "Aku suka ide itu. Kita bisa buat ending-nya epik!"

Bima: "Asal kita latihan terus kayak gini, nggak ada yang mustahil."

Dengan semangat yang semakin membara, kami terus berlatih, hari demi hari. Ada perasaan gugup, tapi lebih dari itu, ada rasa percaya bahwa kami siap. Dalam bayanganku, aku bisa melihat diriku dan teman-temanku berdiri di atas panggung dengan lampu sorot yang terang, memainkan musik kami untuk seluruh sekolah. Hari festival semakin dekat, dan kami siap memberikan segalanya.

Malam itu, di ruang keluarga, aku duduk di meja makan dengan gitar tersandar di samping kursi. Hatiku terasa berat sejak pembicaraan dengan orang tuaku tadi siang. Mereka memandang ke arahku, wajah mereka serius.

Ayah: "Kamu ini serius mau ikut festival musik itu? Main gitar memang bisa bikin kamu sukses?"

Ibu: "Nak, sekolah itu prioritas. Masa depanmu ditentukan oleh nilai-nilai akademis, bukan oleh permainan gitar. Festival itu hanya buang-buang waktu."

Kata-kata mereka menusukku seperti duri. Setiap kali aku ingin menjelaskan bahwa musik adalah bagian dari jiwaku, suaraku selalu terputus. Rasanya seperti semua yang kuanggap berharga diremehkan begitu saja.

Aku: "Tapi, aku sudah latihan keras… ini penting buatku."

Namun, argumenku tak ada gunanya. Mereka hanya melihat musik sebagai hobi tak berguna. Aku mencoba menahan air mata, tapi tak bisa. Malam itu, aku pergi ke kamar, menutup pintu, dan menangis dalam keheningan. Aku merasa sendirian, tak ada yang mendukung apa yang paling aku cintai.

Keesokan harinya, aku tiba di sekolah dengan mata sembab. Aku masih ragu apakah aku harus terus ikut festival itu. Namun, saat aku tiba di ruang musik, Shakira, Bima, dan Kirana sudah menunggu. Wajah mereka penuh semangat, tapi begitu melihat keadaanku, mereka langsung tahu ada sesuatu yang salah.

Shakira: "Hei, kamu kenapa? Kok kelihatan sedih banget?"

Aku tak bisa menahan tangis lagi.

Aku: "Orang tuaku… mereka nggak percaya sama aku. Mereka pikir musik itu nggak penting."

Kirana: "Apa? Tapi kamu berbakat banget! Kamu nggak boleh biarin mereka bikin kamu mundur."

Bima: "Kita semua tahu kamu jago, dan kita butuh kamu di festival ini. Ini bukan cuma soal penampilan, tapi soal buktiin ke mereka kalau kamu bisa."

Shakira menepuk pundakku, senyumnya menenangkan.

Shakira: "Kita semua ada buat kamu. Ini festival pertama kita, dan kita akan menghadapi ini sama-sama."

Dukungan mereka menghangatkanku. Meski orang tuaku tak mendukung, aku merasa tak lagi sendirian. Mereka bertiga adalah sahabat sejati yang selalu ada, bahkan di saat terberat.

Hari festival tiba, dan jantungku berdebar kencang saat kami bersiap di belakang panggung. Panggung itu tampak begitu besar, lampu-lampu terang mulai menyala, dan suara sorakan penonton terdengar hingga ke belakang. Aku sempat ragu, tapi melihat Shakira, Bima, dan Kirana di sampingku, keberanian mulai tumbuh dalam diriku.

Shakira: "Kita siap, kan?"

Aku mengangguk, mencoba menenangkan diriku. "Siap."

Ketika panggung akhirnya menjadi milik kami, semua ketakutan dan keraguan perlahan memudar. Kami memainkan lagu dengan penuh energi, melodi mengalir, dan suara Shakira menggema dengan sempurna. Penonton bersorak, ikut bernyanyi, dan tiba-tiba, rasa tak percaya diri yang sempat menggelayuti diriku lenyap. Setiap ketukan drum, setiap nada keyboard, setiap petikan gitar yang kumainkan, semuanya terasa tepat.

Bima memberikan tanda untuk bagian akhir. Kami semua tersenyum, melanjutkan dengan klimaks yang sudah kami rencanakan. Penonton berdiri, bertepuk tangan dengan meriah. Panggung itu seperti tempat di mana aku akhirnya menemukan diriku.

Saat festival berakhir, aku menatap teman-temanku dengan perasaan lega dan bahagia. Meskipun orang tuaku tak hadir dan mungkin masih tak mengerti, aku tahu bahwa di momen ini, aku sudah melakukan yang terbaik. Dan yang terpenting, aku tidak melakukannya sendirian.

Kirana: "Lihat penontonnya! Mereka cinta banget sama penampilan kita!"

Bima: "Aku bilang juga apa, kita bisa bikin mereka terkesan."

Shakira memelukku erat. "Kita berhasil! Ini baru permulaan buat kita."

Aku tersenyum, air mata haru mulai menggenang di mataku lagi. Tapi kali ini, itu adalah air mata kebahagiaan. Meski perjalanan ini sulit, aku tak pernah menyesal karena terus maju. Bersama mereka, aku tahu, tak ada yang mustahil.

Aku berdiri di depan mikrofon dan penampilan terakhir adalah menyanyikan lagu dari vokalis band terkenal bernama Boy Pablo.

"Leave Me Alone by Boy Pablo. Lagu ini aku persembahkan untuk semua orang yang sangat membutuhkan kesempatan untuk bebas mengekspresikan bakat dan jati dirinya serta teruntuk sahabatku yang telah membawa aku mengenali dunia luar yang indah dan buruk itu seperti apa. Karena kita sama-sama tumbuh untuk jadi dewasa maka kita pasti akan membuka kisah baru pada lembaran hidup setiap harinya!"

Tak terasa waktu berganti begitu cepat. Hasil dari seleksi study tour bahwa aku dinyatakan lolos dan berhasil menjadi salah satu peserta! Meskipun begitu, aku harus meninggalkan ketiga sahabatku yang telah membawa dunia penuh warna bersama suka dan duka kita lalui bersama.

"Maaf. Kirana, Shakira, Bima .... aku nggak rela kita berpisah. Aku tahu kita sudah berjuang bersama untuk bisa pergi melihat dunia luar itu seperti apa. Kita yang awalnya terperangkap di rumah saja ibarat burung dalam sangkar kini kita buat kenangan indah lewat musik! Aku ... aku tidak mau meninggalkan kalian ...."

"Dewa. Kamu boleh menangis akan masa lalu kita tapi kamu tidak boleh berhenti sampai di sini untuk mengukir masa depan yang penuh dengan misteri."

"Kita sama-sama sudah dewasa dan ada banyak beban hidup yang sedang kita pikul tapi ingatlah dengan itu kita senantiasa bertahan dalam hidup. Aku hanya berpesan .... semoga kamu belajar dengan baik di negeri orang dan pulang membawa kebanggaan untuk kita semua. Aku tunggu! Sampai jumpa!"

"Sampai jumpa lagi, bestie!"

Aku tak dapat menahan rintik air mata yang terus berjatuhan, menangis penuh dengan perasaan terharu. Akhirnya impian terbesarku telah tercapai. Aku terduduk di atas kursi penumpang pesawat kelas bisnis dan tersenyum menatap sosok ketiga sahabat yang melambai-lambaikan tangannya.

"I wanna leave from this country and leave me alone!

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)