Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,520
Langit Jingga di Ujung Koridor
Romantis

Langit Jingga di Ujung Koridor


Aku masih ingat hari itu—langit berwarna jingga, dan lonceng sekolah baru saja berbunyi. Semua orang sibuk keluar dari kelas, tapi aku memilih diam, duduk di bangku paling pojok. Bukan karena pelajaran, tapi karena dia.


Namanya Raka. Cowok kelas sebelah, ketua OSIS, pintar, jago basket, dan… selalu lewat di depan kelasku setiap pulang sekolah.


Dan seperti biasa, sore itu, dia lewat.


Dan seperti biasa, aku pura-pura sibuk dengan novel yang tak pernah benar-benar kubaca.


Tapi kali ini, dia berhenti.


“Baca apa?” tanyanya sambil menunduk sedikit.


Jantungku meledak.


“Eh… ini…” Aku menunjuk halaman secara acak, bahkan aku nggak tahu itu halaman berapa.


Dia tersenyum, “Aku sering lihat kamu duduk di situ, tiap sore.”


Keringatku dingin. “Suka aja… langitnya bagus dari sini.”


Raka menoleh ke luar jendela, melihat langit yang memang sedang cantik. “Iya, warnanya pas ya—jingga.”


Dan sejak saat itu, kami jadi sering ngobrol. Awalnya Cuma soal buku, lalu soal musik, film, bahkan soal cita-cita. Ternyata dia ingin kuliah di luar kota. Aku? Masih belum tahu. Tapi satu hal yang pasti: aku mulai suka dia.


Suka banget.


Tapi aku tahu, dia seperti bintang—terang dan jauh.


Dan waktu itu datang juga—hari kelulusan.


Sekolah ramai, teman-teman sibuk berfoto dan menangis. Aku diam, duduk lagi di bangku pojok itu, menunggu. Entah untuk apa.


Lalu Raka datang.


“Kamu nunggu aku?” tanyanya sambil senyum.


Aku tersenyum kikuk. “Cuma pengen lihat langit jingga hari ini.”


Dia duduk di sebelahku. “Aku mau bilang makasih. Kamu salah satu alasan aku betah di sekolah.”


Aku menoleh kaget. “Aku?”


Dia mengangguk. “Kalau kamu nggak keberatan… kita masih bisa saling kirim kabar, walau aku kuliah di luar kota.”


Aku ingin menangis. Tapi aku hanya mengangguk.


Langit sore itu jingga sekali.


Dan meski kami akhirnya berpisah dan waktu berjalan cepat, setiap aku lihat langit jingga… aku selalu ingat dia.


Orang pertama yang mengajarkanku bahwa cinta nggak harus selalu dimiliki—kadang cukup untuk dikenang, di ujung koridor, di bawah langit yang sama.



Bagian 2: Surat yang Tak Pernah Terkirim


Sudah tiga bulan sejak hari kelulusan itu.


Raka kini kuliah di Bandung, sedang aku masih di kota kecil ini, menunggu pengumuman kampus yang belum pasti. Kami masih saling berkabar… awalnya.


Tiap malam, aku selalu mengecek ponsel. Ada notifikasi? Ada pesan darinya? Tapi lama-lama, pesan itu mulai jarang. Dan ketika kubalas, ia baru membaca keesokan harinya. Atau dua hari kemudian. Lalu seminggu.


Dan akhirnya… hening.


Aku tak pernah marah. Tapi aku bingung. Mencari alasan.


Mungkin dia sibuk.


Mungkin dia sedang banyak tugas.


Mungkin dia lupa.


Atau mungkin… aku bukan alasan dia lagi.


Sore itu, aku duduk lagi di bangku paling pojok di koridor sekolah yang kini sudah sepi. Daun-daun kering berserakan, dan suara angin seperti menyanyikan lagu yang menyayat hati.


Aku membuka buku catatan kecil yang dulu sering kubawa. Di dalamnya ada puisi-puisi pendek yang kutulis—sebagian tentang dia.


Tangan ini gemetar, tapi aku menulis lagi. Kali ini bukan puisi, tapi semacam surat.




Untuk Raka,

Langit di kota ini masih sama—masih jingga setiap sore. Tapi rasanya tidak lagi hangat. Karena kamu sudah tidak di sini.

Aku tahu kamu punya hidup baru, teman-teman baru, mimpi yang besar. Aku bangga. Tapi jujur, aku kangen.

Kangen versi paling sederhana—seperti rindu pada koridor sekolah yang kini sunyi, atau bangku pojok yang selalu kosong.


Kalau kamu baca ini, dan masih ingat aku, mungkin langit jingga juga mengingatkanmu padaku.


Dari aku,

Yang diam-diam masih menunggumu di koridor itu.




Tapi surat itu tak pernah kukirim. Hanya kusimpan, di balik novel yang dulu pura-pura kubaca.


Hari-hari berlalu, dan aku mulai belajar melepaskan.


Namun suatu sore, saat langit kembali membara jingga seperti dulu, ponselku bergetar.


[1 pesan dari Raka]


Ø “Langit sore ini cantik. Aku kangen kamu.”




Aku menutup buku catatan itu, memeluknya erat, dan tersenyum.


Ternyata... kadang yang hilang bukan benar-benar pergi. Mungkin hanya butuh waktu untuk kembali.



Bagian 3: Bertemu Lagi, Tapi Bukan Milikku


Setelah pesan dari Raka waktu itu, kami kembali berkabar. Tidak seintens dulu, tapi cukup untuk membuat hatiku sedikit hangat.


Sampai suatu hari, aku diterima di kampus di Jakarta—dan ternyata... Raka juga lagi magang di kota yang sama.


Kami memutuskan bertemu. Tempatnya sederhana, kafe kecil yang menghadap taman kota. Aku datang duluan. Deg-degan bukan main. Tangan gemetar seperti ujian matematika.


Dan ketika pintu kafe terbuka, dia datang.


Masih dengan senyumnya yang sama. Masih mengenakan jaket biru tuanya yang dulu sering dia pakai. Tapi... ada yang berubah. Matanya.


“Eh, kamu tambah cantik,” katanya sambil duduk di depanku.


Aku senyum malu-malu, “Kamu juga masih sama—datang pas langit sore mau jingga.”


Kami tertawa kecil. Suasana cair, nyaman, seperti dulu.


Tapi kemudian...


Ponselnya bergetar. Sebuah nama muncul di layarnya. Nama perempuan.


Refleks aku alihkan pandangan.


Dia membaca ekspresiku. “Itu… pacarku.”


Dunia seakan berhenti.


“Oh...” hanya itu yang keluar dari bibirku.


Dia buru-buru menambahkan, “Baru beberapa bulan. Maaf… aku nggak tahu harus ngomong dari mana. Aku nggak pernah niat ninggalin kamu. Tapi semua berjalan cepat.”


Aku tersenyum, memaksa kuat. “Nggak apa-apa, Rak. Aku senang kamu bahagia.”


Padahal hatiku hancur.


Hari itu kami tetap ngobrol. Tentang kampus, tentang mimpi, tentang masa SMA. Tapi tak satu pun dari kami menyebut soal perasaan.


Saat berpisah, dia bilang, “Makasih ya, udah mau ketemu. Meski semuanya nggak seperti dulu…”


Aku hanya mengangguk. Karena tahu, yang dulu... tak akan pernah kembali.




Sore itu, aku berjalan sendirian di taman. Langit jingga menyapu langit Jakarta. Tapi kini rasanya beda.


Aku sadar, kadang orang yang paling kita tunggu… bukan orang yang akhirnya bisa kita genggam.


Dan langit jingga?


Masih indah, meski kini hanya aku yang menatapnya.



Bagian 4: Saat Namanya Bukan Lagi Raka


Setelah pertemuan itu, Alya benar-benar mencoba melepaskan Raka. Bukan karena dia tak sayang lagi, tapi karena mempertahankan seseorang yang telah memilih jalan lain... hanya akan melukai diri sendiri.


Dan hari-hari di kampus baru pun dimulai.


Alya tak banyak bicara di kelas. Dia masih suka menyendiri, duduk di dekat jendela, menatap langit tiap sore. Tapi entah kenapa, ada seseorang yang selalu saja duduk tak jauh darinya. Awalnya biasa saja. Tapi lama-lama... cowok itu jadi sering muncul.


Namanya Dion.


Cowok tinggi, agak cuek, suka musik, dan ternyata satu jurusan.


“Lo ngelamunin siapa sih tiap sore?” tanya Dion suatu hari sambil duduk di sebelah Alya di taman kampus.


“Nggak siapa-siapa,” jawab Alya cepat.


Dion nyengir. “Bohong. Ekspresi lo kaya orang kangen, tapi kesel.”


Alya melirik sebal. “Kamu ngamatin aku?”


Dion mengangkat bahu. “Susah sih nggak ngeliat. Kamu duduknya selalu di tempat yang sama, mukanya juga gitu-gitu terus.”


Alya nggak bisa tahan ketawa. Cowok ini nyebelin, tapi jujur, bikin hari-harinya sedikit lebih ringan.


Hari-hari berikutnya, Dion mulai ikut duduk tiap sore. Kadang Cuma bawa kopi, kadang gitar kecil. Mereka ngobrol, bercanda, dan Dion selalu punya cara untuk bikin Alya lupa sejenak pada luka lama.


Tapi hati Alya masih ragu. Apakah benar dia siap membuka pintu baru? Atau Dion hanya pengalih luka?


Suatu sore, Dion mengeluarkan selembar kertas.


“Aku bikin lagu, tapi nggak selesai. Lo lanjutin dong,” katanya.


Alya baca bait pertama:


Ø Di bawah langit yang kau puja,

Aku duduk menunggu cerita,

Tapi bukan dia yang datang pertama,

Justru aku, yang tak sengaja jatuh cinta.




Alya terdiam.


“Ini tentang aku?” bisiknya pelan.


Dion Cuma nyengir. “Nggak tahu. Kamu pikir gimana?”


Dan tiba-tiba, Alya merasa jantungnya berdetak seperti dulu—tapi kali ini, bukan karena Raka.



Bagian 5: Ketika yang Lama Kembali, dan yang Baru Menunggu


Sore itu, langit Jakarta kembali berwarna jingga. Alya duduk di taman kampus, seperti biasa. Tapi kali ini, Dion tidak ada.


Sudah dua hari Dion tak muncul. Katanya ada urusan keluarga di Bandung. Alya diam-diam merasa… rindu. Aneh, dulu rasa rindu hanya milik Raka. Tapi sekarang?


Saat itulah, ponsel Alya bergetar.


[Raka – 1 Pesan Masuk]


Ø “Alya… bisa ketemu? Aku udah di Jakarta.”




Alya menatap layar ponselnya lama. Tangannya gemetar. Kenapa sekarang? Kenapa saat perasaannya mulai stabil?


Alya membalas singkat:


Ø “Di mana?”






Mereka bertemu di taman dekat stasiun, tempat yang dulu pernah mereka rencanakan untuk ‘jalan bareng’ tapi tak pernah sempat.


Raka datang. Wajahnya lelah, tapi matanya penuh sesal.


“Aku putus,” katanya tanpa basa-basi.


Alya terdiam.


“Aku nyadar... selama ini aku nyari kamu di orang lain. Tapi nggak pernah bisa. Dan sekarang aku nyesel banget.”


Alya menghela napas. “Rak… kenapa harus sekarang?”


Karena dalam hatinya, seseorang lain mulai mengisi celah yang dulu kosong.


Raka menatap Alya penuh harap. “Aku tahu aku salah. Tapi boleh nggak... aku minta kesempatan kedua?”




Dua hari kemudian, Dion kembali ke kampus. Mereka bertemu di bawah pohon besar dekat danau buatan.


“Kamu kenapa murung?” tanya Dion sambil menyerahkan es teh favorit Alya.


Alya tak menjawab. Ia hanya menatap Dion lama. Lalu berkata pelan, “Raka datang lagi…”


Dion tak kaget. Tapi ada kilatan kecewa di matanya.


“Dan kamu bakal balik ke dia?” tanyanya, suara Dion nyaris bergetar.


Alya menunduk. “Aku nggak tahu, Dion…”


Dion tertawa kecil, pahit. “Yaudah. Kalau kamu balik sama dia, aku akan mundur. Tapi kalau kamu milih tetap duduk di sini—di tempat ini—besok sore jam lima, aku bakal datang. Tapi kalau nggak… aku anggap kita Cuma cerita sebentar.”




Sore itu, hari Sabtu, hujan turun ringan. Langit tetap mencoba memunculkan jingganya. Alya duduk di depan cermin, hatinya kacau. Raka menunggu di kafe, Dion mungkin menunggu di taman.


Dan ia tahu... ini bukan tentang siapa yang lebih dulu datang.


Tapi siapa yang benar-benar tinggal.



Bagian 6: Seseorang Akan Pergi, Seseorang Akan Tinggal


Sore itu, jam menunjukkan pukul 16:58.


Hujan sudah reda, langit sedikit mendung, tapi masih menyisakan semburat jingga di ujung langit. Alya berdiri di depan cermin, ragu. Dua langkah ke luar bisa membawanya ke dua arah berbeda.


Raka, cinta pertama, yang dulu begitu berarti, kini datang membawa penyesalan.

Dion, teman baru yang tumbuh pelan-pelan, tapi mengerti luka tanpa harus banyak tanya.


Alya menarik napas panjang. Ia berjalan ke luar, tanpa payung. Angin sore menyentuh pipinya lembut.




Di kafe, Raka menunggu. Duduk sendiri di pojok ruangan. Dia memegang kotak kecil—berisi kenangan, surat-surat dari masa SMA, dan sebuah gelang dari tali rafia, buatan Alya saat MOS dulu.


Ia melihat ke jam. 17.07. Tidak ada Alya.




Di taman, Dion berdiri di dekat bangku biasa mereka. Jaketnya sedikit basah, tapi ia tetap menunggu. Tak ada musik, tak ada gitar. Hanya ada selembar kertas, lirik lagu yang belum selesai.


Jam menunjukkan pukul 17.10.


Langkah kaki terdengar dari kejauhan.


Alya berdiri di sana, napasnya belum teratur, rambutnya sedikit basah. Ia menatap Dion—tak berkata apa-apa.


Dion tersenyum kecil. “Kamu datang…”


Alya mengangguk. “Aku datang... karena aku sadar, yang tinggal waktu aku jatuh—bukan dia.”


Dion menatapnya lama, lalu bertanya pelan, “Kamu yakin? Aku bukan orang sempurna, Alya.”


Alya tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak butuh sempurna. Aku Cuma butuh seseorang yang nggak pergi saat aku lagi nggak bisa bicara.”


Dion tertawa kecil. “Sama.”


Mereka duduk. Langit di atas mereka perlahan membuka cahaya jingga yang hangat. Dan untuk pertama kalinya… Alya tak merasa sendiri.


Bukan karena Raka kembali.


Tapi karena dia akhirnya berani memilih dirinya sendiri—dan seseorang yang memilih tetap tinggal.




Epilog_____


Raka tak pernah tahu kenapa Alya tak datang. Tapi ia menyimpan kotak kenangan itu di rak bukunya. Ia tahu, beberapa cinta tidak untuk dimiliki. Tapi akan selalu dikenang.


Sementara Alya dan Dion?


Mereka mungkin tak langsung sempurna. Tapi mereka belajar bersama, luka demi luka, tawa demi tawa. Dan sore-sore mereka kini… tak lagi sunyi.


Karena cinta yang datang pelan, kadang justru yang bertahan paling lama.





Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)