Masukan nama pengguna
Setiapku tundukkan kepala penuh duniawi, aku melihat luasnya langit di tanganku. Langit itu seperti menatapku, mengagumiku, atau bahkan menginginkanku. Ia seperti menarikku dalam ruang biru hampa tiada batas yang menyisakan keheningan berisik. Setiapku genggam tangan ini, terasa dingin bagai kutub yang bersarang di tubuh. Dingin tanpa hangat. Menyiksa jiwa yang terlena atas kehampaan. Perlahan tertarik pada gravitasi nostalgia. Aku menyingkiran segalanya, mementingkan ketenangan. Hingga aku masuk, aku ditipu! Langit biru hampa bukanlah biru. Keheningan berisik berubah menjadi berisik yang hening, membuat ragaku hilang. Semua tinggal kekosongan, bukan biru abadi.
Ternyata, langit itu tak pernah ada di tanganku-yang ada hanya bayangan hampa yang menyesatkan rasa.
Tapi, tak apa. Akan ku pelajari setiap hela napas caraku beradaptasi dalam hampa. Ku pelajari bagaimana berdansa ditengah berisiknya hening. Ku putuskan tali harapanku menuju cahaya. Lalu, ku kubur jauh semua yang ku dambakan dalam hidup yang kehilangan makna. Entah sampai kapan 'kan ku kutuk hatiku untuk menyangkal semua ini.
Aku terdiam di antara denyut waktu yang enggan berjalan. Duniaku tak lagi terbagi atas pagi dan malam—hanya kabut yang berputar-putar, menyelimuti nadi. Setiap detik terasa seperti gema dari hal-hal yang telah lama hilang, namun tak benar-benar pergi. Semuanya menggantung, membatu di dalam dada.
Aku mulai terbiasa berjalan dalam hampa. Tak lagi mencari pegangan. Tangan yang dulu meraba, kini hanya menggenggam udara yang tak peduli. Kupelajari cara menjadi sunyi. Bukan sunyi yang lahir dari diam, melainkan sunyi yang tercipta dari kesadaran bahwa segalanya tak benar-benar memiliki makna.
Dan anehnya, dalam segala kekosongan itu, ada semacam ketenangan. Bukan ketenangan yang menyembuhkan, tapi ketenangan yang mengendap. Seperti luka yang berhenti berdarah namun tetap nyeri saat disentuh angin. Seperti laut yang terlihat tenang, padahal arus bawahnya mampu menyeret jiwa siapa pun yang mencoba menyelaminya.
Aku tidak lagi bertanya: mengapa langit itu menipuku? Mengapa harapan menjelma racun? Sebab semua pertanyaan hanya berputar-putar di ruang yang tak menawarkan jawaban. Aku belajar tidak menuntut penjelasan dari dunia yang bahkan tak bisa menjelaskan dirinya sendiri.
Kini, aku hanya hidup. Bukan dalam pengertian yang umum. Aku hidup seperti batu yang bertahan dari pelapukan—diam, tapi tetap ada. Setiap tarikan napas bukan upaya melanjutkan hidup, melainkan rutinitas yang terjadi begitu saja. Aku hidup seperti bayangan: mengikuti arah cahaya tapi tak pernah menyatu dengannya.
Kadang, dalam pekatnya malam yang bahkan tak sanggup membungkus kesepianku, aku mendengar sesuatu. Bukan suara, tapi semacam gema dari diriku yang dulu. Ia memanggil, nyaris tak terdengar, seperti bisikan dari dimensi lain—mengajakku kembali. Tapi aku tak tahu harus kembali ke mana. Rumah telah menjadi konsep, bukan tempat. Cinta telah menjadi dongeng, bukan rasa.
Dan aku pun terus berjalan. Bukan menuju, tapi mengitari. Setiap langkah seperti ritus, semacam ziarah ke bagian-bagian jiwaku yang sudah lama mati. Di sana, aku membacakan doa-doa yang tak pernah selesai ditulis. Aku memaafkan, bukan karena aku murah hati—tapi karena lelah menyimpan dendam pada dunia yang bahkan tak tahu aku pernah terluka.
Aku mulai menulis kembali. Bukan untuk didengar, bukan pula untuk dikenang. Aku menulis agar aku tahu: aku masih ada. Tulisan-tulisanku adalah fragmen dari keberadaanku yang tercecer di antara retakan logika dan rasa. Mereka adalah bukti, bahwa meski aku telah kehilangan arah, aku masih berusaha mengenali diriku.
Dan jika suatu hari aku harus menghilang sepenuhnya—tanpa jejak, tanpa tanya—biarlah langit palsu itu tetap biru bagi orang lain. Biarlah mereka melihatnya sebagai simbol harapan. Biarlah mereka percaya. Sebab mungkin, tak semua ilusi harus dihancurkan. Kadang, kebohongan adalah pelindung terakhir dari jiwa yang nyaris rapuh.
Aku akan tetap berjalan. Menyusuri lorong-lorong kesadaran, berdansa bersama bayangan, dan bersahabat dengan kehampaan. Aku tak lagi mengejar cahaya. Aku hanya ingin belajar menjadi gelap yang tak menelan apa pun. Yang hanya diam, dan cukup.
Lalu suatu hari, aku berhenti. Bukan karena lelah—tapi karena tak ada lagi tempat untuk melangkah. Di hadapanku, hanya bentangan ruang kosong, sejernih cermin tanpa pantulan. Tak ada jalan. Tak ada dinding. Hanya kehampaan yang bersinar redup, seperti lampu yang nyaris padam tapi tak juga mati.
Di titik itu, aku sadar: barangkali aku bukan berjalan menjauh, tapi sedang diserap. Diserap oleh ruang dalam diriku sendiri—ruang yang selama ini kuabaikan karena terlalu sibuk mengejar apa yang di luar. Dan saat semua hal luar itu runtuh, yang tersisa hanyalah aku, dengan diriku yang telanjang: tanpa ambisi, tanpa peran, tanpa sandaran.
Aku mulai berbicara pada diriku, pelan-pelan, seperti sedang menenangkan anak kecil yang tersesat. Aku tanya: mengapa kau takut sendiri? Mengapa kau selalu haus akan pengakuan? Mengapa langit harus ada di tanganmu, bukan hanya di matamu?
Tak ada jawaban. Tapi keheningan di antara pertanyaan itu terasa lebih jujur daripada semua kebisingan yang pernah kuterima dari dunia.
Dan mungkin itu cukup.
Aku tidak tahu ke mana arahku setelah ini. Tapi kali ini, aku tidak akan menipu diriku dengan harapan palsu. Tidak akan lagi memeluk langit yang tak bisa kupeluk. Aku akan berdiri di tengah hampa ini, bukan sebagai korban, tapi sebagai saksi. Saksi dari diriku yang perlahan tumbuh dari luka.
Jika tak bisa menemukan cahaya, maka biarlah aku menjadi lentera kecil untuk diriku sendiri. Redup, tapi nyata. Tak bersinar megah, tapi cukup untuk melihat satu langkah ke depan.
Dan mungkin... satu langkah itu saja sudah cukup untuk bertahan hidup. Walau dibayangi hampa yang tak berujung, 'kanku jadikan ia kekasih, yang selalu membelai halus tubuh kecilku dengan penuh harap. Ku jadikan ia rumah, tempatku bersandar, dan tempatku berlindung dari serangan pikiran. Seperti dermaga di tengah lautan. Ku peluk engkau, wahai kehampaan. Kau dekap erat diriku, rasanya seperti mati tapi ragaku hidup. Dan di sanalah aku tinggal—di antara denyut yang pelan, dalam pelukan kosong yang tak lagi menakutkan. Tak ada denting jam, tak ada suara langkah kaki, hanya detak jantung yang membisik: aku masih di sini. Aku masih menjadi sesuatu, walau tak lagi menginginkan segalanya.
Kehampaan tak lagi kuanggap musuh. Ia telah menjadi cermin. Di sana kutatap wajahku yang sebenar-benarnya: rapuh, penuh retakan, tapi jujur. Tidak lagi dibungkus topeng harapan atau ambisi kosong. Hanya aku, apa adanya. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa perlu menjadi siapa-siapa.
Jika suatu saat dunia kembali memanggil, mungkin aku akan menjawab. Tapi tidak dengan tergesa. Tidak dengan hati yang berharap. Aku akan datang sebagai sosok yang sudah berpelukan dengan sunyi, yang sudah belajar duduk tenang bersama luka.
Dan bila hidup ternyata hanya sebatas perhentian singkat dalam kekosongan yang luas, maka biarlah aku jadi serpihan kecil yang pernah berdamai dengannya.
Tak perlu dikenang. Tak perlu dipahami. Cukup diakui keberadaannya.
Karena kadang, menjadi hening adalah satu-satunya cara untuk benar-benar didengar.