Cerpen
Disukai
0
Dilihat
9,548
Kucing Tak Kunjung Bahagia
Drama


"Weeeeeonngggg...weooonggg...weoonggg..." teriakku subuh buta di depan pintu samping rumah majikanku saat itu.

Pintu itu tak kunjung terbuka, aku tahu ini masih subuh buta dan mereka pastinya belum bangun. Tetapi aku tak bisa apa-apa, hanya bisa mengeong meminta pertolongan.

Anakku yang terakhir yang mereka sebut dengan nama Cibul, tengah sekarat. Dingin subuh buta saat itu Bogor, tak sanggup kurasakan lagi.

Aku hanya bisa melihat Cibul tengah mengap-mengap di tempat dia tidur saat itu. Ku hanya bisa menangis, sebagai ibu aku tak sanggup apa-apa. Aku hanya seekor kucing betina tak kunjung bahagia.

Ya, saat itu, aku hanya bisa melihat ya meregang nyawa karena penyakit yang kuderita. Tak hanya Cibul. Minggu lalu sebelumnya, si Nyo-Nyo juga sakit dan berakhir mati di ujung selasar.

Ku lagi-lagi hanya bisa menangisinya, memeluknya di ujung dan mencoba untuk menyusuinya berharap dia masih bisa bertahan. nyatanya, Nyo-Nyo harus meregang nyawa kalah dari penyakitnya.

Majikanku sebenarnya telah mencoba untuk membuatnya bertahan. Rajin memberikan obat-obatan, bahkan makan minum pun dilakukannya dengan telaten, berharap anak-anakku ini bisa bertahan sampai besar.

Meski sempat khawatir karena Nyo-Nyo kerap mengeong keras setiap diberikan obat dan makanan, aku selalu menyemangati Nyo-Nyo untuk mau makan obat dan vitamin yang diberikan agar dirinya sehat.

Setelah diberikan obat maupun vitamin itu, biasanya Nyo-Nyo selalu bersemangat bermain menjelajahi Kebun yang diluas di belakang rumah majikanku. Mengajak main Cibul, lari-larian di rerumputan hingga minum sendiri di air yang memang disediakan khusus di teras samping untuk kucing-kucing lainnya.

Tetapi suatu malam itu, kondisi kesehatan Nyo-Nyo semakin menurun, meskipun mengeongnya masih kencang saat itu. Iya tidak mau menyusu lagi padaku. Beberapa hari belakangan ini ku lihat juga majikanku seperti bersedih, terlihat dari raut mukanya. Meskipun aku tak tahu apa yang membuatnya bersedih saat itu. Mungkin urusan manusia jauh lebih rumit daripada kami para kucing.

Sampai akhirnya ku dengar dari Si Jabriko, kucing kesayangannya keluarga majikanku itu. Menurutnya, Majikanku itu tengah pusing, dan khawatir dengan keadaan di kantor, ada masalah keuangan sepertinya.

"Dia khawatir, tidak bisa memberikan kita makan lagi nantinya. Dia bahkan membisikanku untuk mulai cari makan di jalanan untuk bisa bertahan hidup," cetus Jabriko.

"Rumit memang ya jadi manusia, harus cari uang untuk bertahan hidup," sebut si Aki, kucing oyen paling gembrot yang dipelihara majikanku.

"Makanya Aki.. kamu jangan sering makan terus. Hidupmu cuma makan tidur, makan tidur, terus pup aja, " ketus Jabriko.

Aku mendengar mereka berbicara itu dari kejauhan sambil menyusui Cibul dan melihat kondisi Nyo-Nyo di kejauhan.

Aku pun hanya bisa berdoa, semoga majikanku ini diberikan jalan keluar dari masalah-masalahnya itu. Ya, hanya itu yang bisa kucing lakukan.

Malam itu, Nyo-Nyo sepertinya mengalami penurunan kesadaran. Aku gigit dia sampai ke ujung selasar samping rumah. Ku coba susui dia untuk membuatnya bertahan. Tetapi gagal. Mulutnya terkunci rapat. Ku hanya bisa menangis, menangis dan menangisinya. Memeluknya untuk terakhir kalinya sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya. Disini.

Pagi itu weekend, dan ku tahu majikanku ada di rumah. Dengan sisa-sisa tenagaku semalam dan sisa tangisku ini, kubawa Nyo-Nyo ke dekat Bak penampungan air, agar mudah ditemukan.

"Teteh...si Nyo-Nyo ada disini..udah mati ! ," seru adik majikanku yang saat itu mau mengisi air dan mengecek Bak penampungan. Aku sendiri hanya melihat ya dari kejauhan sambil mengasuh Cibul yang masih sehat saat itu.

Kulihat majikanku langsung berlari ke belakang dan mengangkat Nyo-Nyo yang saat itu sudah terbujur kaku dan dingin.

"Ambil gunting! Kita gunting sarung ini buat kafan Nyo-Nyo," seru majikanku.

Dengan sigap, adik majikanku berlari ke dalam mengambil gunting.

"Ya Allah Nyo-Nyo maafin Teteh ya, ga bisa merawat Nyo-Nyo dengan baik, sampai harus mati begini," ucap majikanku menahan tangis.

Aku sebagai kucing hanya bisa melihatnya dengan muka datarku. Yang mungkin sudah habis tangis ini.

Kulihat kain sarung bekas itu disobek untuk menjadi kain kafan anakku dan dibungkuskan.

"Mau dikuburkan dimana?," sebut adik majikanku itu

"Dekat pohon jambu aja kali ya, sebentar diambilkan cangkul kecil dulu," tambahnya lagi.

Majikanku pun melihat ke arahku dengan mata sedih. Aku hanya bisa memalingkan Muka, takut ketahuan kalau aku pun sangat sedih kehilangan anak-anakku kesekian kalinya.

"Nih, cangkulnya sudah ada," seru adiknya lagi.

Ku melihat langkah-langkah kaki itu menuju pohon jambu dekat bekas kolam ikan.

"Ah, jangan deh disini Batu semua, susah galinya," tambahnya.

Kaki itu pun melangkah keluar pagar, menuju halaman dan bekas pohon tumbang. Kuikuti mereka keluar.

Adik majikanku mulai menggali di tanah bekas pohon tumbang itu. Tanah yang sama dengan pekuburan anak ku yang lain, dari generasi sebelumnya.

"Gali lebih dalam ya, biar muat,," seru majikanku yang membawa jenazah anakku, Nyo-Nyo.

Tanah hitam itu pun tergali. Majikanku pun meletakkan jenazah anakku di pembaringan terakhirnya. Dan menutupnya dengan tanah lagi.

Ku hanya melihatnya jauh di belakang mereka. Tak ingin aku terlihat sedih di depan mereka. Tapi aku memang sedih. Tak bisa kupungkiri.

Mereka pun kembali ke dalam rumah dan bercerita kepada ibunya bagaimana Nyo-Nyo ditemukan.

Aku pun menjejakkan kaki di tanah hitam itu, Tanah dimana Nyo-Nyo dikuburkan. Keempat kaki ku pun menghitam karena tanah itu. Ku menunduk, hanya bisa menangisinya.

"Maafkan ibu ya nak, tak bisa menjagamu, tak bisa mengasuhmu dengan baik memberikanmu tempat layak hidup bahkan memberikanmu kesehatan," ucapku saat itu yang pastinya hanya bisa didengar oleh Pencipta-ku.

Air mataku mengalir tanpa henti ketika melihat tubuh kecilmu yang lemah terbaring di depanku. Segala usahaku untuk merawatmu tak mampu menghalau kematian yang begitu rakus merenggutmu. Hatiku hancur melihat betapa tak berdayanya aku sebagai ibu bagimu.

Tiap kali anak-anakku lahir, rasanya seolah ada semangat baru dalam diriku. Namun, getirnya kehidupan selalu memupus harapanku. Anak-anakku terus menerus meninggalkan jagat ini

Aku mencoba keras untuk bertahan, tetapi setiap anak yang kucoba lindungi, terlepas begitu cepat dari dekapanku, meninggalkan aku terperangkap dalam reruntuhan rasa bersalah yang tak terhapus.

Sesekali, aku berharap ada yang mendengar tangisku di malam yang sunyi ini, namun tak ada yang memahami rasa kehilangan yang kurasakan.

Hari demi hari, aku terdampar dalam lautan kekosongan, melihat bayangan-bayangan kecil yang mati di hadapanku. Aku mencoba, sungguh, untuk mencari jawaban atas takdir yang kejam ini. Namun, semakin banyak aku mencari, semakin dalam aku terjerembap dalam kesendirian yang menyayat hati.

Subuh buta saat itu juga aku kembali merasakan sedih kesekian kalinya. Anakku tengah sekarat dan aku tak bisa apa-apa. Aku hanya seekor kucing betina yang tak kunjung bahagia.





Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)