Masukan nama pengguna
Debu beterbangan, tipis seperti kabut abu-abu yang tak pernah benar-benar hilang dari udara. Setiap pagi, suara batuk bersahut-sahutan dari rumah-rumah kecil yang berjajar di sepanjang jalan berdebu. Di sela-sela retakan tanah kering, sisa-sisa hujan semalam menguap cepat, meninggalkan bau tanah basah yang bercampur dengan asap hitam dari truk-truk tambang yang hilir-mudik. Di kota kecil ini, tambang batubara adalah nadi yang memompa ekonomi, tapi juga racun yang menyusup ke paru-paru setiap warganya.
Aji, pria bertubuh kekar dengan wajah yang mulai keriput meski usianya belum genap lima puluh, menyandarkan tubuhnya ke dinding rumahnya yang retak-retak. Ia menarik napas panjang, lalu terbatuk keras. Batuk yang semakin hari semakin parah, semakin sulit diabaikan. Istrinya, Lira, memandangnya dari dapur kecil mereka, matanya dipenuhi kecemasan yang ia coba tutupi dengan senyum lelah.
“Kau harus ke dokter, Ji,” suara Lira pelan, namun tegas. Ia tahu, ucapan itu sudah diulanginya berkali-kali tanpa hasil. Aji hanya menggeleng, menghirup rokoknya lebih dalam seolah itu bisa melawan rasa sakit yang menyelinap di dadanya.
“Dokter mana yang bisa menyembuhkan udara buruk?” jawab Aji singkat, tanpa menoleh. Tatapannya terpaku pada anaknya, Laras, yang tengah mempersiapkan sesuatu di atas meja makan.
Laras sudah lama ingin keluar dari kota ini. Ia tahu, semakin lama tinggal di sini, semakin besar risiko yang harus dihadapi keluarganya. Sebagai mahasiswa yang aktif dalam gerakan lingkungan, Laras sering berdebat dengan ayahnya. Bagi Aji, tambang batubara adalah sumber nafkah, sementara bagi Laras, tambang itu adalah kutukan yang perlahan-lahan membunuh semua orang di kota ini.
Di luar, suara bising truk tambang semakin dekat. Setiap harinya, truk-truk besar itu mengangkut batubara dari perut bumi, melewati jalanan kota yang penuh dengan retakan, menimbulkan goncangan setiap kali roda-rodanya menghantam jalan. Aji menghela napas, mengingat hari-hari ketika kota ini masih tenang, sebelum debu dan batubara mendominasi setiap sudut kehidupan mereka.
“Laras, kau akan ikut aksi lagi?” tanya Aji tiba-tiba. Matanya menyipit, menatap anak perempuannya yang sudah berdiri dengan poster-poster di tangan.
“Harus, Ayah. Kalau kita tidak bergerak sekarang, tidak akan ada yang berubah. Apa kau tidak lihat? Setiap hari ada saja orang yang sakit. Pak Burhan sudah tidak bisa bekerja karena paru-parunya kena. Mau sampai kapan kita diam?”
Aji menunduk, tangan kekarnya menggenggam rokok yang hampir habis. Ia tahu apa yang dikatakan Laras benar, tapi ia juga tahu bahwa aksi protes tidak akan memberikan makanan di atas meja. “Kau pikir dengan teriak-teriak di jalan, semuanya akan selesai? Kita butuh kerjaan, Ras. Tanpa tambang ini, kita makan apa?”
Suasana di ruang kecil itu berubah hening. Hanya suara kipas angin tua yang berderit pelan, berusaha keras mendinginkan udara panas yang penuh debu. Laras menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang ingin ia keluarkan. Ia sudah tahu, debat ini tidak akan berujung. Setiap kali ia membicarakan tentang lingkungan, ayahnya selalu menutup percakapan dengan argumen yang sama. Uang. Kebutuhan hidup. Kenyataan pahit yang tak bisa dipungkiri.
Namun, Laras tak mau menyerah. Ia tahu, ini lebih dari sekadar soal uang. Ini soal masa depan, soal udara yang mereka hirup, soal hidup yang layak untuk mereka semua.
“Aku hanya ingin kita bisa hidup tanpa harus takut sakit, Ayah,” ucap Laras akhirnya, suaranya melembut. “Aku tahu ini sulit, tapi kita harus memikirkan jalan lain.”
Aji terdiam, hanya memandangi rokok di tangannya yang kini tinggal puntung. Ia tahu, jauh di dalam hatinya, apa yang dikatakan Laras benar. Tapi ketakutan akan hari esok yang tanpa kepastian lebih menakutkan baginya daripada debu yang setiap hari memenuhi paru-parunya.
Di luar, langit yang semula cerah perlahan berubah kelabu. Awan-awan tebal bergerak cepat, menutup matahari, dan dalam sekejap, hujan turun deras, membasahi jalan-jalan kota kecil yang semakin muram.
---
Hujan deras memukul atap seng rumah Aji, mengalahkan suara truk-truk tambang yang terus lalu-lalang di kejauhan. Air hujan meluncur deras dari talang yang bocor, mengalir ke tanah yang mulai berubah menjadi lumpur. Di sela-sela suara hujan, batuk Aji semakin jelas terdengar, berat dan serak, seakan paru-parunya tak mampu menahan beban udara yang ia hirup setiap hari.
Laras menatap keluar jendela kecil rumah mereka. Jalanan tanah yang tadinya kering kini berubah menjadi kubangan air, sementara debu yang biasanya beterbangan kini menempel menjadi lumpur licin di sepanjang jalan. Ia tahu, hujan seperti ini hanya akan bertahan sebentar sebelum debu kembali menguasai kota.
Dari kejauhan, terdengar teriakan para tetangga yang sibuk menutup jendela dan pintu rumah mereka. Anak-anak berlari mencari perlindungan, takut terkena hujan yang telah tercampur dengan partikel debu tambang. Laras menghela napas, perasaan gelisah terus membuncah di dadanya.
Ia tahu ada yang salah dengan kota ini. Setiap tetes air yang turun membawa serta polusi yang tak kasat mata. Dan meski hujan seringkali membawa kesegaran, di sini, ia hanya mengingatkan mereka akan ancaman yang lebih besar—bahaya yang tak terlihat, namun nyata.
"Ayah, apa kau tidak merasa ini sudah berlebihan?" tanya Laras lagi, memecah keheningan. "Hujan tidak seharusnya membuat kita takut. Tapi di sini, setiap kali hujan turun, aku malah semakin khawatir."
Aji tetap diam, tatapannya tertuju pada lantai, seakan menimbang sesuatu yang tak ia ungkapkan. Batuknya semakin jarang terdengar, tapi Laras tahu bahwa itu bukan pertanda baik. Ayahnya sering menahan batuknya, mencoba terlihat kuat meski tubuhnya semakin melemah.
"Apa yang bisa kita lakukan, Ras?" jawab Aji akhirnya, suaranya lirih. "Ini sudah jadi hidup kita. Kota ini... tambang ini... semua orang di sini bergantung padanya. Kalau tambang tutup, kita semua juga mati."
Laras mendekat, duduk di samping ayahnya. Ia menatap wajah lelaki yang dulu terlihat begitu gagah, tapi kini mulai ringkih. "Aku tahu, Yah. Tapi aku juga tahu bahwa kita bisa cari jalan lain. Kalau terus begini, kita hanya akan jadi korban. Batubara mungkin memberi kita uang hari ini, tapi bagaimana dengan besok? Bagaimana dengan anak-anak yang tumbuh di sini?"
Pertanyaan Laras menggantung di udara, tak ada jawaban. Di luar, hujan semakin deras, mengguyur atap rumah mereka seakan ingin menenggelamkan seluruh kota kecil itu dalam keheningan yang suram.
"Aku pernah berpikir tentang itu, Ras," gumam Aji tiba-tiba, suaranya pelan, hampir tenggelam dalam suara hujan. "Tapi setiap kali aku berpikir mencari jalan lain, aku kembali pada kenyataan. Apa yang bisa kita lakukan selain ini?"
Laras menatap ayahnya dalam-dalam. Di balik kekerasan sikap Aji, Laras bisa merasakan ada rasa takut yang sama. Takut akan kehilangan mata pencaharian, takut akan masa depan yang tidak pasti. Tapi ia juga tahu, di sisi lain, rasa takut itu harus dihadapi, atau mereka akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama.
"Kalau kita terus begini, kita mungkin tidak punya masa depan, Yah," jawab Laras pelan. "Batubara sudah membuat kita semua sakit. Kalau kita tidak berubah, kita semua akan menjadi korban."
Aji terdiam, lama sekali. Pandangannya menerawang ke luar, menembus tirai hujan yang semakin rapat. Laras bisa melihat betapa lelah ayahnya, baik secara fisik maupun mental. Kehidupan sebagai pekerja tambang tidak pernah mudah, dan polusi yang menyelimuti kota ini hanya memperburuk keadaan.
Tiba-tiba, dari luar terdengar suara ketukan di pintu. Laras berdiri dan membuka pintu, membiarkan angin dingin yang membawa sisa hujan menerobos masuk. Di depan pintu, berdiri seorang pria muda dengan wajah cemas, basah kuyup karena hujan.
"Laras, ayo cepat! Longsor di bukit dekat tambang! Beberapa rumah hancur!" pria itu, salah satu tetangga mereka, berbicara cepat di tengah derasnya hujan.
Laras terkejut. "Longsor? Bukit yang mana?"
"Yang di dekat tambang selatan! Beberapa orang terjebak! Kau tahu Pak Burhan? Rumahnya ikut tertimbun!"
Laras terdiam, tubuhnya mendadak lemas. Tanpa pikir panjang, ia menarik jaketnya dan berlari keluar rumah. Di belakangnya, Aji hanya bisa memandangi dengan napas yang semakin berat, menahan batuk yang kian menekan dadanya.
Hujan masih turun deras, membasahi jalanan licin yang Laras lalui. Di kejauhan, suara sirene mulai terdengar, menandakan bahwa keadaan darurat telah terjadi. Di bawah langit kelabu, kota kecil itu kembali dihadapkan pada kenyataan pahit akibat tambang yang merusak tanah dan kehidupan mereka.
---
Laras berlari di tengah hujan yang semakin deras, air mengalir deras di sepanjang jalan, membuat langkahnya sulit. Teriakan-teriakan dari warga yang bergegas menuju bukit di sebelah selatan membuat suasana semakin kacau. Orang-orang berlarian, membawa sekop, ember, dan apa saja yang bisa mereka gunakan untuk membantu. Wajah-wajah mereka penuh kepanikan, seperti sudah terbiasa dengan malapetaka yang datang tiba-tiba. Longsor bukan hal baru bagi mereka, tapi setiap kali terjadi, korban selalu bertambah.
Saat Laras sampai di kaki bukit, pemandangan yang ia lihat membuat tubuhnya gemetar. Bukit yang dulu penuh dengan pohon-pohon rimbun kini hampir gundul, dipenuhi galian tambang yang terbuka lebar. Lumpur bercampur air hujan mengalir deras dari atas, menghantam rumah-rumah di bawahnya. Beberapa rumah sudah hancur, tertimbun tanah dan batu. Orang-orang berusaha menggali dengan tangan mereka, mencoba mencari siapa saja yang mungkin terjebak di bawah timbunan.
"Laras, di sini!" suara tetangga yang tadi mengabari terdengar lagi, memanggilnya dari dekat timbunan besar tanah.
Laras berlari mendekat. Di depan matanya, rumah Pak Burhan hanya tersisa puing-puing. Atapnya ambruk, dan dinding-dindingnya roboh tertimpa longsoran tanah. Pak Burhan, pria yang dikenal di kota ini karena penyakit paru-paru yang dideritanya akibat bertahun-tahun bekerja di tambang, kini tak lagi terlihat. Tetangga-tetangga mulai menggali dengan panik, berharap menemukan korban yang masih hidup.
“Kita harus cepat!” salah satu warga berseru, tangannya kotor penuh lumpur. “Kalau tidak, mereka bisa kehabisan napas di bawah sana!”
Laras langsung bergabung, tangannya menggali tanah yang basah dan berat dengan sekuat tenaga. Di tengah hujan yang masih turun tak henti-henti, ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena tenaga yang ia kerahkan, tapi juga ketakutan yang menggigit hatinya. Setiap detik terasa berharga. Setiap gerakan tangan adalah upaya melawan waktu.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan penuh tekanan, hanya suara hujan dan usaha keras mereka yang terdengar. Tiba-tiba, salah satu penggali berteriak, “Ada! Aku merasakan sesuatu di sini!”
Semua orang mendekat, bekerja lebih cepat untuk membuka timbunan tanah di tempat yang dimaksud. Laras menahan napas, harapan bercampur dengan kecemasan. Ketika akhirnya tanah itu terkuak, mereka menemukan sebuah tangan. Tangan Pak Burhan, kaku dan dingin, terjebak di bawah reruntuhan rumahnya.
Tangisan terdengar dari warga di sekitar, beberapa jatuh terduduk ke tanah, tak sanggup lagi melihat pemandangan itu. Laras terdiam, menatap tubuh Pak Burhan yang kini terbujur kaku. Matanya tak berkedip, hatinya menjerit dalam diam. Ini bukan sekadar bencana alam, ini adalah akibat dari kerakusan manusia.
Laras tak bisa menahan air matanya. Bukan karena ia mengenal Pak Burhan dengan baik, tapi karena rasa marah yang terus mendidih dalam dirinya. Kota ini telah dijajah oleh industri yang hanya memikirkan keuntungan, sementara orang-orang seperti Pak Burhan menjadi korban yang terlupakan.
“Laras, ayo kita ke rumah lain. Ada laporan bahwa ada lebih banyak korban tertimbun di tempat lain!” salah seorang warga memanggilnya, tapi Laras hanya mengangguk pelan. Kakinya terasa berat untuk melangkah, namun ia tahu, tidak ada waktu untuk tenggelam dalam duka.
Saat mereka bergerak menuju lokasi lain yang terdampak longsor, Laras tak bisa mengabaikan pertanyaan yang terus menggema di kepalanya. Sampai kapan semua ini akan berlanjut? Sampai kapan kota ini harus terus menanggung beban akibat tambang yang terus-menerus merusak lingkungan mereka? Dan berapa banyak lagi nyawa yang harus hilang sebelum ada yang mau peduli?
Setibanya di lokasi berikutnya, suasana tak jauh berbeda. Rumah-rumah yang hancur, tangisan warga yang kehilangan anggota keluarga, dan lumpur yang menenggelamkan harapan mereka. Laras ikut menggali lagi, tapi setiap kali tangannya menyentuh tanah, ia merasa seakan sedang menggali lebih dalam ke perasaan putus asa yang melanda kota ini.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti seumur hidup, Laras akhirnya kembali ke rumah. Bajunya basah kuyup, kotor oleh lumpur dan tanah. Saat ia membuka pintu, Aji masih duduk di kursi kayu dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong. Batuknya terdengar pelan, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa kondisinya belum membaik.
“Bagaimana, Ras?” tanya Aji pelan, suaranya serak.
Laras tak langsung menjawab. Ia melepaskan jaketnya yang basah, kemudian mendekat ke ayahnya. Wajahnya pucat, dan matanya merah karena menangis.
“Pak Burhan... sudah tidak ada, Yah. Rumahnya tertimbun longsor,” jawab Laras dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Aji menunduk, tangannya menggenggam erat lengan kursi. “Aku tahu ini akan terjadi suatu hari nanti,” gumamnya pelan. “Bukit itu, tambang itu... semuanya membuat tanah di sini jadi rapuh.”
Laras duduk di sebelah ayahnya, tubuhnya lelah, tapi pikirannya penuh dengan amarah yang tak bisa ia pendam lagi. “Ayah, kita harus melakukan sesuatu. Ini tidak bisa terus begini. Kita semua tahu tambang ini berbahaya, tapi kenapa kita terus membiarkan diri kita menjadi korban?”
Aji menarik napas dalam-dalam, menatap anaknya dengan tatapan kosong. “Kau benar, Ras. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Orang-orang di sini sudah terlalu bergantung pada tambang. Tanpa tambang, mereka tidak punya pekerjaan. Aku tidak punya pekerjaan.”
Laras menatap ayahnya dalam-dalam. “Tapi, Yah, kalau kita tidak bertindak sekarang, akan lebih banyak orang yang mati. Kita harus memilih, hidup di bawah bayang-bayang tambang yang membunuh kita perlahan, atau berjuang untuk masa depan yang lebih baik.”
Aji terdiam, merenung dalam keheningan hujan yang mulai reda di luar. Kata-kata Laras menancap di pikirannya, menggoyahkan keyakinan yang selama ini ia pegang erat. Di tengah semua kebingungan itu, Aji tahu, sesuatu harus berubah—atau kota ini akan terus tenggelam dalam lumpur yang mereka gali sendiri.
---
Pagi itu, setelah malam yang diwarnai oleh keheningan dan duka, langit di kota kecil kembali berwarna kelabu. Awan-awan berat menggantung di atas bukit yang gundul, seolah-olah menanti longsor berikutnya. Suara truk tambang terdengar lebih pelan dari biasanya, mungkin karena banyak pekerja yang masih sibuk membantu upaya penyelamatan di lokasi-lokasi yang terdampak.
Laras bangun dengan tubuh yang masih terasa lelah, tapi pikirannya tak berhenti bekerja. Kejadian semalam, longsor yang menelan korban jiwa, terus terngiang di benaknya. Kota ini tidak bisa terus-menerus hidup dalam ancaman bencana, sementara perusahaan tambang terus mengeruk kekayaan dari tanah mereka tanpa peduli pada kehidupan warga.
Setelah meminum secangkir teh yang dibuat ibunya, Laras duduk di meja makan. Pikirannya sudah bulat—ia harus melakukan sesuatu. Tak bisa hanya diam, membiarkan kota ini perlahan mati. Ia memutuskan untuk menemui kelompok aktivis lingkungan yang selama ini ia ikuti secara daring, tetapi belum pernah benar-benar bertemu langsung. Mereka adalah sekumpulan mahasiswa, pengacara, dan jurnalis yang peduli pada isu-isu lingkungan, dan kali ini, Laras yakin mereka bisa menjadi sekutunya.
"Ayah, aku mau pergi ke kota," katanya pada Aji yang duduk di ruang tamu, tampak lebih lelah dari sebelumnya.
Aji menoleh, batuknya terdengar sedikit lebih ringan pagi itu, tetapi tetap tak sepenuhnya hilang. "Untuk apa? Kau tidak perlu ikut aksi protes lagi, Ras. Lihat apa yang terjadi semalam. Semua orang butuh waktu untuk memulihkan diri."
"Justru itu, Yah. Aku tidak mau kita terus menunggu sampai ada lagi yang tertimbun. Aku akan bertemu dengan beberapa orang yang bisa membantu kita melawan tambang ini. Mereka punya koneksi, punya sumber daya. Aku sudah terlalu lama menunggu, sekarang saatnya kita bertindak."
Aji terdiam sejenak. Wajahnya menunjukkan campuran antara ketakutan dan keraguan. "Lawan tambang? Bagaimana caranya? Apa kau pikir perusahaan sebesar itu akan mendengarkan suara-suara kecil seperti kita?"
Laras menatap ayahnya dengan serius. "Mungkin kita memang kecil, Yah. Tapi kalau kita bersatu, suaranya bisa lebih besar. Kita punya hak atas tanah kita sendiri, kita bisa menuntut perubahan. Aku tidak akan diam saja saat tambang ini menghancurkan hidup kita."
Aji tak menjawab lagi. Ia hanya memandangi anaknya dengan mata yang sarat emosi. Ada kebanggaan di sana, tapi juga kekhawatiran yang dalam. Aji tahu Laras benar, tapi ia tak bisa membayangkan perlawanan melawan perusahaan tambang raksasa yang memiliki kekuasaan besar di kota ini. Semua orang di kota bergantung pada tambang untuk hidup, meski itu artinya mengorbankan kesehatan dan masa depan mereka.
Laras bersiap untuk pergi. Ia mengenakan jaket hujan tipis dan mengambil tas kecil yang berisi dokumen-dokumen serta catatan yang selama ini ia kumpulkan tentang dampak tambang batubara di daerah mereka. Di luar, hujan masih gerimis, tapi itu tidak menghentikannya. Langkahnya mantap menuju halte bus yang akan membawanya ke kota besar di mana pertemuan aktivis itu akan diadakan.
**
Di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Laras duduk bersama lima orang aktivis lingkungan. Ada Satria, seorang pengacara muda yang pernah menggugat perusahaan tambang di daerah lain; Dewi, jurnalis investigasi yang sudah lama menulis tentang kerusakan lingkungan; serta beberapa mahasiswa yang aktif dalam kampanye-kampanye pelestarian alam. Mereka semua tampak serius, mendengarkan cerita Laras tentang longsor semalam dan bagaimana tambang di kotanya telah menghancurkan hidup banyak orang.
"Apa yang terjadi di kotamu, Laras, bukanlah kasus yang terisolasi. Ini masalah yang sudah meluas di banyak daerah tambang di negeri ini," kata Satria sambil membolak-balik beberapa berkas di tangannya. "Perusahaan tambang punya kekuasaan besar, tapi kita juga punya hukum di pihak kita. Jika ada bukti bahwa tambang itu melanggar regulasi lingkungan, kita bisa ajukan gugatan."
Laras mengangguk. "Tapi kita butuh bukti kuat, dan orang-orang di kotaku banyak yang takut untuk bicara. Mereka tergantung pada tambang untuk makan."
"Itu yang selalu menjadi kendala," sahut Dewi. "Tapi kita bisa mulai dengan investigasi lapangan. Kalau kau bisa membantu kami mengumpulkan data, kami bisa mengangkat kasus ini ke media nasional. Kita butuh perhatian lebih banyak orang agar masalah ini tidak terpendam."
Laras merasa harapan mulai tumbuh di hatinya. Untuk pertama kalinya sejak longsor terjadi, ia merasa tidak sendirian. Ada orang-orang yang peduli, yang siap membantunya membawa perubahan di kota kecilnya.
"Baik," kata Laras dengan tekad yang semakin kuat. "Aku akan membantu. Aku akan mulai dengan mendokumentasikan semua yang terjadi di kotaku. Aku yakin, jika kita bisa menunjukkan kepada dunia betapa parahnya dampak tambang ini, kita bisa membuat perusahaan itu bertanggung jawab."
Satria tersenyum tipis. "Kau punya semangat yang luar biasa, Laras. Tapi ingat, jalan ini tidak akan mudah. Mereka akan mencoba membungkam kita, menggunakan uang dan kekuasaan untuk menutupi kebenaran. Kita harus siap untuk itu."
"Aku siap," jawab Laras tegas. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan mundur."
**
Beberapa hari kemudian, Laras kembali ke kota kecilnya dengan hati yang penuh tekad. Ia mulai bekerja dengan para aktivis, memotret dan merekam bukti-bukti kerusakan lingkungan akibat tambang. Setiap kali ia mendengar cerita tentang orang yang sakit akibat polusi, atau melihat bekas-bekas longsor yang semakin meluas, semangatnya hanya semakin berkobar.
Tapi, seperti yang sudah diperingatkan Satria, perlawanan ini tidak akan mudah. Suatu hari, saat Laras pulang dari wawancara dengan salah satu warga yang rumahnya hancur karena longsor, ia mendapati seorang pria asing menunggu di depan rumahnya. Pria itu berpakaian rapi, membawa tas hitam kecil, dan senyumnya dingin.
"Laras, bukan?" tanya pria itu, suaranya tenang namun penuh dengan maksud tersembunyi.
"Ya, saya Laras. Anda siapa?" tanya Laras dengan waspada.
"Saya hanya ingin berbicara sebentar. Dari perusahaan tambang. Kami mendengar Anda sedang sibuk dengan... kegiatan tertentu yang mungkin bisa merugikan kami. Saya di sini untuk menawarkan solusi."
Laras menegang, matanya menyipit. "Solusi apa? Jika kalian ingin menghentikan apa yang saya lakukan, kalian bisa berhenti merusak kota kami dulu."
Pria itu tersenyum tipis, seolah sudah memperkirakan jawaban itu. "Tentu, Anda punya hak untuk berpendapat. Tapi saya yakin, kita bisa mencapai kesepakatan yang baik tanpa harus melibatkan... pihak luar. Saya di sini untuk menawarkan kompensasi yang pantas, kalau Anda bersedia menghentikan semua aktivitas Anda."
Laras memandang pria itu dengan marah. "Anda pikir uang bisa menghentikan apa yang saya lakukan? Banyak nyawa sudah hilang karena tambang kalian, dan sekarang Anda datang menawarkan uang?"
Pria itu mendekat, senyumnya mulai memudar. "Dengar, Laras. Ini hanya permulaan. Jika Anda terus melanjutkan, segalanya bisa menjadi lebih... sulit. Untuk Anda, dan juga keluarga Anda."
Ancaman itu jelas. Laras tahu ini adalah peringatan untuk mundur, tapi ancaman itu hanya membuat tekadnya semakin kuat. "Katakan pada atasanmu," kata Laras tajam, "saya tidak akan berhenti. Ini adalah kota kami, dan saya akan melakukan apapun untuk menyelamatkannya dari kalian."
Pria itu tersenyum dingin sekali lagi sebelum berbalik dan pergi. Tapi Laras tahu, pertempuran sebenarnya baru saja dimulai.
---
Setelah pria itu pergi, Laras merasa ada beban baru yang menghimpit dadanya. Ancaman yang baru saja ia terima bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Meski begitu, tekadnya tetap bulat. Ia tidak akan berhenti memperjuangkan keadilan untuk kotanya, meskipun harus menghadapi kekuatan besar di balik tambang itu.
Beberapa hari berlalu dengan ketegangan yang terus meningkat. Laras semakin intensif mengumpulkan bukti dan dokumentasi. Ia pergi dari satu rumah ke rumah lainnya, mewawancarai warga yang terkena dampak langsung. Banyak dari mereka yang mengeluh tentang batuk kronis, penyakit kulit, atau masalah pernapasan akibat polusi udara dari tambang. Tapi banyak juga yang ketakutan untuk bicara secara terbuka, khawatir akan kehilangan pekerjaan atau diintimidasi oleh pihak perusahaan.
Suatu sore, ketika Laras sedang mengecek catatan lapangan di kamarnya, ponselnya berbunyi. Nama Dewi, jurnalis investigasi yang membantu kasus ini, muncul di layar.
“Halo, Dewi?” Laras menyapa, suaranya penuh harapan akan berita baik.
“Laras, kita punya masalah,” suara Dewi terdengar cemas. “Aku baru saja mendapat kabar dari sumber di kantor redaksi. Ada upaya dari pihak perusahaan tambang untuk membungkam liputan kita. Mereka menggunakan pengaruhnya untuk menekan media-media besar agar tidak memberitakan kasus ini.”
Laras terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. “Jadi, semua usaha kita selama ini... tidak akan sampai ke publik?”
“Tidak semuanya. Tapi akan lebih sulit daripada yang kita kira. Ini bukan hanya soal tambang di kotamu, Laras. Perusahaan ini punya koneksi politik dan ekonomi yang kuat di tingkat nasional. Mereka tidak akan membiarkan berita buruk menyebar begitu saja.”
Laras menghela napas panjang, frustrasi mulai merayap di pikirannya. “Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang?”
“Kita masih punya pilihan,” jawab Dewi tegas. “Aku punya beberapa kontak di media independen dan komunitas jurnalis investigasi internasional. Jika kita bisa mengemas cerita ini dengan baik, kita mungkin bisa menarik perhatian dunia. Ini tidak akan mudah, tapi itu satu-satunya cara agar suara kita tetap terdengar.”
Laras merenung sejenak. "Oke, kita akan lakukan itu. Beritakan lewat media yang bersedia mendengar. Aku juga akan terus bergerak di lapangan untuk mengumpulkan lebih banyak bukti."
Setelah menutup telepon, Laras merasa pikirannya kembali fokus. Tantangan ini lebih besar dari yang ia bayangkan, tapi ini bukan pertama kalinya ia menghadapi kesulitan. Bagaimanapun juga, ini adalah perjuangan hidup dan mati bagi kotanya.
**
Beberapa hari kemudian, Laras menerima pesan dari salah satu mahasiswa yang tergabung dalam kelompok aktivis. Pesan itu menyebutkan bahwa akan ada pertemuan besar di Balai Desa malam itu. Warga setempat berencana membahas langkah-langkah yang harus mereka ambil untuk menanggapi bencana longsor dan tekanan dari tambang. Laras merasa ini adalah kesempatan penting untuk menyatukan warga dan menggalang kekuatan melawan tambang.
Malam itu, Balai Desa penuh sesak dengan warga yang datang dari berbagai sudut kota. Laras duduk di barisan depan bersama beberapa aktivis lingkungan dan warga yang berani angkat bicara. Di meja depan, seorang tokoh masyarakat setempat, Pak Ridwan, berdiri di depan mikrofon. Wajahnya serius, mencerminkan kekhawatiran yang dirasakan oleh semua orang di ruangan itu.
“Kita semua di sini tahu apa yang telah terjadi,” Pak Ridwan membuka pertemuan dengan suara berat. “Longsor yang menelan rumah Pak Burhan hanya puncak dari gunung es. Tanah di sekitar tambang semakin rapuh, dan polusi udara sudah mulai mempengaruhi kesehatan kita semua. Tapi yang paling parah, perusahaan tambang ini tampaknya tidak peduli.”
Suasana di ruangan itu tegang. Beberapa orang mengangguk setuju, sementara yang lain terlihat gelisah, takut jika mereka terlalu vokal dalam menentang tambang.
“Kita tidak bisa diam saja!” seru seorang warga dari barisan belakang. “Kalau kita terus membiarkan ini terjadi, lebih banyak nyawa yang akan hilang!”
“Tapi kalau kita melawan, bagaimana dengan pekerjaan kita?” seorang pria lain menyela. “Tambang adalah satu-satunya sumber penghasilan bagi banyak keluarga di sini. Tanpa itu, kita bisa kelaparan.”
Pak Ridwan mengangkat tangannya untuk meminta tenang. “Saya mengerti kekhawatiran kalian. Tapi apa yang kita hadapi sekarang adalah masalah hidup dan mati. Kita butuh solusi yang berkelanjutan, bukan yang hanya menguntungkan satu pihak sementara pihak lainnya menderita.”
Laras merasakan dorongan kuat untuk bicara. Ia berdiri, menarik napas dalam-dalam, dan mulai berbicara di hadapan semua orang.
“Saya tahu banyak dari kalian takut untuk melawan. Tapi tambang ini sudah terlalu jauh merusak kehidupan kita. Bukan hanya karena longsor, tapi juga karena polusi yang setiap hari kita hirup. Kita sudah melihat orang-orang yang jatuh sakit, dan kita tahu ada lebih banyak korban yang akan datang jika kita tidak bertindak sekarang.”
Semua mata tertuju pada Laras. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin memuncak di ruangan itu, tapi ia melanjutkan dengan lebih berani.
“Kita punya hak atas tanah ini. Dan jika kita bersatu, kita bisa membuat perubahan. Kita bisa menuntut agar tambang ini bertanggung jawab. Kita bisa menuntut perlindungan yang lebih baik, bukan hanya untuk pekerjaan, tapi juga untuk kehidupan kita. Ini adalah kesempatan kita untuk bertindak.”
Ruangan itu hening untuk beberapa saat, sampai akhirnya satu per satu orang mulai mengangguk setuju. Beberapa warga mulai berdiri, mengangkat tangan mereka, mendukung apa yang dikatakan Laras.
“Aku setuju!” teriak seorang ibu di belakang. “Anakku sudah lama sakit karena udara yang kotor ini!”
“Aku juga setuju!” sahut seorang pemuda. “Aku kehilangan teman karena longsor kemarin. Kita harus menghentikan mereka sebelum lebih banyak orang jadi korban.”
Pak Ridwan menatap Laras dengan kagum dan lega. "Baiklah," katanya sambil mengangguk. "Kalau begitu, kita sepakat. Mulai hari ini, kita akan bergerak bersama. Kita akan menyusun petisi untuk menuntut perusahaan tambang memperbaiki kondisi lingkungan, dan jika mereka menolak, kita akan membawa ini ke pengadilan."
Suara tepuk tangan menggema di ruangan itu. Laras merasa lega sekaligus gugup. Pertemuan ini adalah awal dari perlawanan besar yang selama ini ia impikan, tapi ia tahu jalan ke depan masih panjang dan penuh tantangan.
Namun, untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian dalam perjuangannya. Warga kota ini akhirnya siap untuk melawan. Dan mereka akan melawan sampai akhir, demi tanah mereka, demi kehidupan mereka, dan demi masa depan yang lebih baik.
---
Keesokan harinya, berita tentang pertemuan warga di Balai Desa mulai menyebar dengan cepat. Bukan hanya dari mulut ke mulut, tapi juga melalui media sosial. Laras dan kelompok aktivis segera memulai kampanye online untuk mendukung tuntutan mereka terhadap perusahaan tambang. Mereka menyusun petisi daring, mengajak warga dari berbagai daerah yang terdampak tambang batubara untuk ikut menandatangani. Media independen yang dihubungi Dewi mulai meliput peristiwa itu, menyoroti masalah yang selama ini diabaikan oleh media besar.
Di sisi lain, pihak perusahaan tidak tinggal diam. Mereka dengan cepat merespons perkembangan ini dengan berbagai cara, mulai dari merilis pernyataan di media, hingga mengadakan pertemuan tertutup dengan pemerintah daerah. Dalam pernyataan resminya, mereka mengklaim bahwa semua operasi tambang mereka telah mematuhi peraturan lingkungan, dan bahwa bencana longsor adalah hasil dari cuaca ekstrem, bukan akibat dari aktivitas tambang.
Namun, warga yang sudah sadar mulai tidak lagi percaya dengan klaim-klaim tersebut. Laras dan timnya terus membeberkan bukti-bukti yang mereka kumpulkan, termasuk foto-foto kerusakan lahan, video kesaksian warga yang sakit, dan hasil tes udara yang menunjukkan tingkat polusi jauh di atas ambang batas aman. Mereka juga mulai menerima dukungan dari organisasi lingkungan internasional, yang tertarik untuk membantu menyuarakan isu ini ke tingkat global.
Beberapa minggu setelah pertemuan di Balai Desa, situasi semakin memanas. Setiap hari ada saja laporan tentang intimidasi dari pihak perusahaan terhadap warga yang berani angkat bicara. Beberapa di antara mereka didatangi oleh pria-pria misterius yang menawarkan uang agar mereka berhenti terlibat dalam gerakan perlawanan. Bahkan, beberapa keluarga mulai ketakutan dan menarik diri dari gerakan tersebut.
Laras sendiri menjadi target utama intimidasi. Suatu malam, saat ia pulang dari rapat dengan aktivis lainnya, ia menemukan bahwa rumahnya telah diacak-acak. Barang-barangnya berserakan, dan di dinding kamarnya tertulis ancaman dengan cat merah: "Berhenti sekarang, atau kau akan menyesal."
Melihat pemandangan itu, tubuh Laras gemetar. Ia tahu risikonya besar, tapi ancaman ini terasa nyata, menakutkan, dan sangat pribadi. Namun, meskipun rasa takut mulai merambat dalam dirinya, ia tak mau menyerah. Tekadnya untuk melawan hanya semakin kuat.
Keesokan harinya, Laras melaporkan insiden itu kepada polisi. Namun, seperti yang sudah diduga, tidak ada tindakan berarti yang dilakukan. Aparat hukum di kotanya tampak sudah berada di bawah pengaruh perusahaan tambang, dan laporan Laras hanya dianggap sebagai masalah kecil yang "kurang bukti."
Setelah mengalami kejadian tersebut, Laras bertemu dengan Dewi dan Satria di sebuah tempat yang aman. Mereka tahu bahwa perlawanan ini sudah sampai pada titik yang sangat berbahaya, dan mereka perlu menyusun strategi baru.
“Kita perlu ekspos lebih besar lagi. Kalau intimidasi seperti ini terus terjadi, kita harus membawa ini ke level internasional,” kata Dewi dengan tegas.
“Kita sudah punya cukup bukti untuk itu,” tambah Satria. “Jika kita bisa mendapatkan pengacara lingkungan yang lebih senior untuk mengambil kasus ini, kita bisa ajukan gugatan besar, tidak hanya di tingkat lokal, tapi juga ke pengadilan lingkungan internasional.”
Laras mendengarkan dengan serius, tetapi ia tahu bahwa membawa masalah ini ke tingkat yang lebih besar berarti risiko bagi semua orang yang terlibat, termasuk keluarganya. Ia memikirkan Aji, ayahnya yang semakin sakit-sakitan karena polusi, dan ibunya yang sudah mulai cemas dengan semua ini. Tapi ia juga tahu, tidak ada jalan lain.
“Lakukan apa yang harus kita lakukan,” kata Laras akhirnya. “Aku siap untuk apapun yang terjadi.”
Seminggu kemudian, Dewi berhasil mendapatkan liputan dari media internasional. Sebuah jaringan berita besar dari Eropa menyoroti kisah kota kecil yang berjuang melawan tambang batubara, yang dipenuhi dengan intimidasi dan ancaman bagi warga yang berani melawan. Liputan itu memicu perhatian luas di media sosial, membuat kasus ini menjadi perhatian dunia.
Tak lama setelah berita itu dirilis, tekanan terhadap perusahaan tambang semakin besar. Organisasi lingkungan internasional mulai mengeluarkan pernyataan dukungan, menuntut agar pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan untuk melindungi warganya dari dampak lingkungan yang merusak. Bahkan, ada desakan dari parlemen internasional untuk menyelidiki perusahaan tambang tersebut.
Di tingkat lokal, perusahaan tambang mulai merasa terjepit. Mereka mengajukan berbagai strategi untuk meredakan protes, termasuk menawarkan kompensasi lebih besar kepada warga yang terdampak dan menjanjikan program tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih baik. Namun, bagi banyak warga, tawaran itu datang terlambat.
Laras dan kelompoknya tidak puas dengan janji-janji kosong. Mereka ingin perubahan nyata, termasuk penghentian sementara operasi tambang dan audit lingkungan yang menyeluruh. Bersama dengan pengacara lingkungan, mereka mulai menyusun gugatan hukum yang akan diajukan ke pengadilan. Gugatan ini bukan hanya soal kompensasi, tapi juga meminta pertanggungjawaban perusahaan atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi selama bertahun-tahun.
Di hari-hari terakhir sebelum gugatan diajukan, suasana di kota kecil itu berubah drastis. Meski ada rasa takut akan tindakan balasan dari perusahaan, semangat perlawanan warga semakin membara. Mereka yang sebelumnya diam kini mulai berbicara, menyuarakan kemarahan dan kekecewaan mereka atas situasi yang sudah berlangsung terlalu lama.
Namun, di balik semua itu, ancaman nyata tetap membayangi. Laras tahu bahwa keputusan untuk melawan tambang tidak hanya membawa risiko bagi dirinya, tapi juga bagi keluarganya. Dan ancaman itu terbukti nyata suatu malam ketika ayahnya, Aji, jatuh sakit parah. Polusi udara yang semakin memburuk telah merusak paru-parunya, dan Laras terpaksa membawa ayahnya ke rumah sakit kota. Dokter mengatakan bahwa kondisinya kritis, dan tidak banyak yang bisa dilakukan.
Laras duduk di samping tempat tidur Aji di rumah sakit, memegang tangan ayahnya yang lemah. “Aku akan terus berjuang, Yah,” bisiknya dengan suara bergetar. “Aku akan pastikan mereka membayar semua ini.”
Aji tersenyum tipis, matanya penuh dengan kebanggaan dan kasih sayang. “Kau anak yang kuat, Laras. Aku bangga padamu. Lanjutkan perjuangan ini… untuk kita semua.”
Dalam hatinya, Laras tahu bahwa ia tidak akan pernah mundur. Pertempuran ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal keadilan bagi setiap nyawa yang telah hilang dan setiap keluarga yang telah menderita. Bagaimanapun, ini adalah tanah mereka—dan mereka tidak akan membiarkannya hancur lebih jauh.
Dan dengan itu, perjuangan melawan tambang batubara berlanjut.
---
Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang semakin terasa. Berita tentang kesehatan Aji yang memburuk membuat Laras semakin terpuruk, namun juga memantik api perlawanan yang lebih besar dalam dirinya. Di rumah sakit, Laras sering menerima kunjungan dari teman-teman aktivisnya yang membawa kabar terbaru dari gerakan mereka. Sementara itu, gugatan hukum yang mereka ajukan mulai mendapatkan momentum, terutama setelah dukungan internasional terus mengalir.
Suatu malam, saat Laras sedang menemani ayahnya yang tertidur lemah, ponselnya berbunyi. Nomor tak dikenal muncul di layar. Awalnya Laras ragu untuk mengangkat, tapi nalurinya mengatakan bahwa ini bisa jadi penting.
“Halo?” sapanya pelan.
“Laras,” suara di seberang terdengar tegas namun tenang. “Ini Wibowo, dari kantor pemerintah daerah.”
Laras langsung mengenali nama itu. Wibowo adalah pejabat daerah yang selama ini terkenal dekat dengan perusahaan tambang. Ia selalu menjadi sosok yang diam-diam menentang perlawanan warga, meskipun di depan publik ia berpura-pura netral. Laras merasa curiga dengan telepon ini, tapi ia tetap mendengarkan.
“Kami ingin bicara denganmu,” lanjut Wibowo. “Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan, terutama terkait situasi yang semakin memanas ini.”
“Apa maksud Anda, Pak Wibowo?” tanya Laras waspada.
“Kita tahu bahwa kondisi di lapangan sudah tidak terkendali. Pihak perusahaan tambang juga merasa terdesak. Saya ingin mengajakmu bertemu, secara pribadi, untuk membicarakan solusi yang lebih baik bagi semua pihak. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa terus seperti ini.”
Laras mengerutkan kening. “Maksud Anda, Anda ingin saya berhenti?”
“Bukan begitu,” Wibowo terdengar mencoba meyakinkan. “Kami ingin menemukan jalan tengah. Perusahaan tambang bersedia membuat beberapa konsesi, bahkan mungkin ada kompensasi yang lebih besar untuk warga yang terdampak. Kita bisa menyelesaikan ini secara damai, tanpa perlu memperpanjang konflik.”
Laras merasa darahnya mendidih. Tawaran seperti ini bukanlah solusi, melainkan upaya untuk membungkam perlawanan. “Pak Wibowo, orang-orang di sini sudah kehilangan terlalu banyak. Nyawa-nyawa melayang, lingkungan rusak, dan Anda menawarkan uang sebagai solusinya?”
“Kamu harus realistis, Laras,” Wibowo balas dengan nada lebih tegas. “Kita hidup di dunia yang tidak sempurna. Jika kamu terus melawan, kamu hanya akan membuat hidupmu dan hidup orang-orang di sekitarmu lebih sulit. Perusahaan ini tidak akan pergi begitu saja. Jadi pikirkan baik-baik.”
Laras terdiam sejenak. “Saya tidak butuh uang, Pak Wibowo. Yang kami inginkan adalah keadilan.”
Telepon terputus dengan nada keras. Laras meletakkan ponselnya dengan tangan gemetar, merasa campuran antara marah dan kecewa. Ia tahu bahwa perlawanan ini akan semakin berat, tapi ia juga sadar bahwa ia sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur.
Beberapa hari setelah percakapan itu, situasi semakin memanas. Tekanan dari perusahaan tambang semakin gencar, dan intimidasi terhadap warga yang terlibat dalam gerakan perlawanan semakin brutal. Beberapa rumah warga dilempari batu di malam hari, dan aktivis lingkungan yang vokal mulai merasa hidup mereka dalam bahaya.
Namun di sisi lain, semakin banyak media nasional dan internasional yang meliput kasus ini. Tekanan terhadap pemerintah daerah dan perusahaan tambang datang dari berbagai arah. Bahkan, sebuah organisasi hak asasi manusia internasional merilis laporan khusus yang mengkritik kondisi lingkungan di daerah tambang dan dampaknya terhadap kesehatan warga.
Pada saat yang bersamaan, gugatan hukum yang diajukan oleh kelompok aktivis dan warga mulai disidangkan. Proses hukum yang rumit dan panjang tidak mengendurkan semangat mereka. Para pengacara lingkungan yang mendampingi Laras dan warga membawa bukti kuat yang menunjukkan bagaimana perusahaan tambang telah merusak ekosistem, melanggar peraturan lingkungan, dan membahayakan nyawa manusia.
Namun, Wibowo dan pihak perusahaan tambang tidak menyerah begitu saja. Mereka membawa tim pengacara kelas atas untuk mempertahankan posisi mereka, menggunakan segala cara untuk menunda, mengelabui, atau bahkan merusak reputasi kelompok perlawanan. Beberapa media besar yang diduga menerima dana dari perusahaan mulai merilis berita-berita yang memojokkan gerakan Laras, menggambarkan mereka sebagai kelompok radikal yang hanya mencari masalah.
Laras menghadapi semua itu dengan tenang. Ia tahu bahwa jalan menuju keadilan tidak akan mudah, dan banyak pihak yang berusaha menghentikan langkahnya. Namun, di balik semua kesulitan itu, ada satu hal yang membuatnya terus maju: ingatan akan janji yang ia buat di samping tempat tidur ayahnya. Ia akan melanjutkan perjuangan ini demi Aji, dan demi seluruh warga yang telah menjadi korban.
Suatu sore yang suram, kabut asap dari tambang terasa lebih pekat dari biasanya. Laras baru saja kembali dari rumah sakit, setelah mengunjungi ayahnya yang masih dalam kondisi kritis. Ia duduk di beranda rumahnya, memandang langit yang tak lagi biru, tetapi kelabu oleh polusi. Napasnya terasa berat, dan tubuhnya lelah, namun ia tahu bahwa pertempuran ini belum selesai.
Dewi dan Satria tiba di rumah Laras, membawa kabar terbaru. “Kita hampir sampai di titik krusial,” kata Dewi dengan nada serius. “Sidang berikutnya akan menjadi penentu apakah kasus ini bisa berlanjut ke tahap yang lebih tinggi. Tapi pihak perusahaan sudah mulai mencoba menekan hakim.”
Laras mengangguk, tidak terkejut. “Mereka akan melakukan apa saja untuk menang.”
“Tapi kita tidak sendiri,” kata Satria. “Beberapa LSM internasional sudah bersedia membantu secara finansial dan hukum. Ini akan menjadi kasus besar, Laras. Dan jika kita menang, ini akan membuka pintu bagi banyak daerah lain yang mengalami hal serupa.”
Laras tersenyum kecil. Ia tahu bahwa ini bukan lagi hanya soal kotanya. Ini adalah perjuangan bagi banyak komunitas yang terdampak oleh eksploitasi alam yang tak bertanggung jawab. Tapi di saat yang sama, ia juga merasa bahwa akhir dari perjuangan ini masih jauh.
“Aku hanya berharap ayahku bisa melihat hasil dari semua ini,” bisik Laras, suaranya lembut namun penuh harap.
Dewi meraih tangan Laras dan menggenggamnya erat. “Kita semua berharap begitu, Laras. Dan percayalah, apa pun hasilnya, kau sudah melakukan lebih dari cukup untuk membuat perubahan.”
Laras menatap ke depan, ke langit kelabu yang seakan menjadi simbol dari semua yang mereka hadapi. Tapi di balik kabut asap itu, ia masih bisa melihat secercah harapan—harapan bahwa suatu hari, langit akan kembali cerah, dan kotanya akan mendapatkan keadilan yang layak mereka dapatkan.
Dan dengan itu, ia bersiap untuk menghadapi babak berikutnya dari perjuangannya.
---
Malam itu, Laras kembali ke rumah sakit, menemui ayahnya. Ia duduk di samping tempat tidur Aji yang semakin pucat. Mesin-mesin medis berdengung pelan, memberikan napas buatan yang semakin rapuh pada tubuh tua yang sudah banyak menanggung beban hidup. Laras menggenggam tangan ayahnya, mencoba memberikan kekuatan yang tak selalu ia miliki untuk dirinya sendiri.
“Bagaimana sidangmu?” tanya Aji dengan suara pelan tapi penuh rasa ingin tahu. Ia tahu betapa penting perjuangan itu bagi anaknya, dan meski tubuhnya lemah, pikirannya masih tajam.
“Kami terus berjuang, Yah,” jawab Laras, tersenyum lembut. “Belum ada keputusan, tapi semua orang mendukung. Banyak yang mulai sadar bahwa kita harus bertindak sekarang, sebelum semuanya terlambat.”
Aji tersenyum samar, meski batinnya penuh dengan kekhawatiran. “Kau tahu, Nak, saat aku dulu bekerja di tambang, aku tidak pernah berpikir bahwa semua ini akan terjadi. Kami hanya ingin memberi makan keluarga kami, hidup dari tanah yang diberikan pada kami. Tapi ternyata tanah ini, sama seperti kami, hanya diperas habis-habisan.”
“Bukan salah Ayah,” Laras menenangkan. “Sistem ini yang menghancurkan, bukan orang-orang kecil seperti kita.”
Aji mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku hanya berharap kau tidak akan menyerah, Laras. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang mereka yang akan datang setelah kita, tentang anak-anak yang harus tumbuh di dunia yang lebih baik.”
Kata-kata itu semakin mempertegas tekad Laras. Meski tubuhnya lelah, hatinya bergetar dengan semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia tidak bisa mundur. Perjuangan ini lebih besar dari dirinya, lebih besar dari keluarganya. Ini adalah perjuangan untuk masa depan, untuk dunia yang lebih adil dan lebih manusiawi.
Keesokan harinya, sidang berlangsung dengan penuh ketegangan. Gedung pengadilan dipenuhi wartawan, aktivis, dan warga yang terus berdatangan untuk memberikan dukungan. Di sisi lain, tim pengacara perusahaan datang dengan pakaian mewah, siap bertarung untuk mempertahankan keuntungan mereka.
Hakim tampak tegas namun tenang saat sidang dimulai. Tim Laras mempresentasikan bukti-bukti yang tak terbantahkan—foto-foto kerusakan lahan, hasil tes udara yang berbahaya, serta kesaksian dari dokter-dokter yang menangani banyak kasus gangguan pernapasan akibat polusi tambang.
Di sisi lain, pengacara perusahaan dengan penuh percaya diri menyangkal semua tuduhan. Mereka memutarbalikkan fakta, menyatakan bahwa polusi tersebut disebabkan oleh cuaca dan kondisi alam yang tak bisa dikendalikan, bukan oleh operasi tambang. Bahkan, mereka membawa saksi ahli yang mengklaim bahwa operasi tambang telah sesuai dengan regulasi yang ada.
Namun, bukti demi bukti yang dibawa oleh kelompok Laras menunjukkan sebaliknya. Tim pengacara lingkungan tidak gentar, mereka terus menggempur argumen perusahaan dengan data yang akurat dan kesaksian-kesaksian nyata. Salah satu momen paling mengejutkan adalah ketika seorang mantan pekerja tambang memberikan kesaksian mengejutkan bahwa perusahaan sering mengabaikan prosedur keamanan dan kesehatan lingkungan demi efisiensi biaya.
Saat sidang berjalan, Laras sesekali menengok ke barisan penonton. Ia melihat warga yang ia kenal sejak kecil, beberapa di antaranya adalah orang-orang yang dulu tidak peduli dengan perlawanan ini, namun sekarang berdiri bersama. Bahkan ada wajah-wajah baru, orang-orang dari luar kota yang datang untuk memberikan solidaritas.
Di tengah-tengah perdebatan yang semakin sengit, ada momen di mana mata Laras bertemu dengan tatapan Wibowo. Pejabat itu duduk di barisan belakang, wajahnya dingin, namun jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Laras tahu, di balik layar, ia adalah salah satu orang yang terus berusaha menghentikan perlawanan ini. Tapi sekarang, di depan mata publik, Wibowo tidak bisa lagi bersembunyi.
Setelah beberapa hari persidangan yang penuh tekanan, akhirnya hakim memberikan waktu istirahat sementara sebelum keputusan akhir diumumkan. Laras dan timnya kembali ke markas mereka, sebuah ruangan sederhana yang dipenuhi peta, dokumen, dan poster-poster perlawanan. Wajah-wajah lelah terlihat di mana-mana, tapi semangat mereka tetap tinggi.
“Kita sudah melakukan semua yang bisa kita lakukan,” kata Satria. “Sekarang tinggal menunggu keputusan.”
Laras mengangguk, meskipun hatinya masih berat. Ia tahu bahwa meskipun semua bukti di pihak mereka, keputusan hukum sering kali tidak adil. Uang dan kekuasaan bisa membengkokkan keadilan, dan perusahaan tambang memiliki lebih dari cukup untuk mempengaruhi segalanya.
“Kalian semua sudah luar biasa,” kata Dewi, memecah keheningan. “Apa pun hasilnya, kita sudah memenangkan pertempuran ini di hati masyarakat. Mereka tahu siapa yang benar, dan itu adalah kemenangan terbesar.”
Laras tersenyum tipis, meski pikirannya melayang ke ayahnya. Ia berharap Aji bisa bertahan sedikit lebih lama, untuk melihat akhir dari perjuangan ini. Tapi dalam hatinya, ia juga tahu bahwa waktu ayahnya semakin singkat.
Malam itu, Laras kembali ke rumah sakit. Ia duduk lagi di samping tempat tidur Aji, yang terlihat semakin lemah dari hari ke hari. Napasnya semakin berat, dan suaranya hampir tak terdengar.
“Laras,” suara Aji terdengar seperti bisikan yang nyaris hilang di udara. “Aku bangga denganmu, Nak. Jangan pernah menyerah.”
“Tidak akan, Yah,” Laras menahan air mata. “Aku akan terus berjuang, seperti yang kau ajarkan.”
Aji mengangguk pelan, dan untuk terakhir kalinya, ia menatap Laras dengan penuh kasih sayang sebelum matanya terpejam selamanya.
Malam itu, Laras menangis dalam diam. Tapi di balik air mata itu, ada janji yang lebih kuat dari sebelumnya. Sebuah janji bahwa ia tidak akan pernah berhenti berjuang, tidak hanya untuk ayahnya, tetapi juga untuk semua orang yang telah menjadi korban dari keserakahan industri.
Seminggu kemudian, keputusan pengadilan diumumkan. Di hadapan ruang sidang yang dipenuhi dengan antisipasi, hakim membaca putusan dengan nada serius. Suasana tegang, semua orang menahan napas.
“Kami memutuskan,” kata hakim, “bahwa perusahaan tambang terbukti bersalah atas kerusakan lingkungan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.”
Ruang sidang meledak dalam sorak-sorai. Warga yang selama ini tertindas oleh perusahaan tambang akhirnya mendapatkan keadilan. Laras terdiam sejenak, merasakan beban yang selama ini ia pikul perlahan terangkat. Matanya berkaca-kaca, bukan karena kemenangan ini hanya miliknya, tapi karena ia tahu, ayahnya akan bangga.
Perusahaan tambang diperintahkan untuk membayar kompensasi besar, menghentikan operasi sementara, dan melakukan rehabilitasi lingkungan. Ini adalah kemenangan yang besar bagi gerakan lingkungan, bukan hanya di kota kecil itu, tetapi juga bagi banyak komunitas lain yang mengalami hal serupa.
Laras keluar dari gedung pengadilan dengan wajah lega, dikelilingi oleh teman-temannya, aktivis, dan warga. Mereka merayakan kemenangan ini, meskipun mereka tahu bahwa perjuangan masih panjang. Tapi untuk hari ini, mereka berhak merasakan kebahagiaan.
Di tengah keramaian itu, Laras berdiri sejenak, menatap ke langit. Meski langit masih kelabu oleh polusi, ia tahu bahwa masa depan akan lebih cerah, karena hari ini, kebenaran telah menang.
Dan dengan itu, ia melanjutkan langkahnya, siap untuk menghadapi perjuangan yang lebih besar, demi dunia yang lebih baik.
---
Setelah kemenangan yang diraih di pengadilan, kehidupan di kota kecil itu perlahan-lahan mulai berubah. Keputusan pengadilan yang menghukum perusahaan tambang memaksa mereka untuk menghentikan operasi sementara, dan program rehabilitasi lingkungan mulai diterapkan. Meski begitu, perubahan tidak datang dengan cepat, dan polusi serta kerusakan alam masih tampak di mana-mana.
Namun, satu hal yang pasti—masyarakat kini memiliki harapan. Warga yang dulu merasa terpinggirkan dan tak berdaya, sekarang bersatu untuk memastikan bahwa keputusan pengadilan itu benar-benar dilaksanakan. Laras, meski kehilangan ayahnya, tetap menjadi motor penggerak perubahan di kotanya. Ia tidak lagi sendirian. Banyak orang yang sebelumnya acuh tak acuh, kini ikut terlibat dalam gerakan untuk menjaga lingkungan.
Beberapa bulan kemudian, Laras berjalan melewati jalanan yang dulu penuh debu dan asap. Meski belum sepenuhnya bersih, udara terasa sedikit lebih segar, dan pepohonan di beberapa area mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Di kejauhan, ia bisa melihat pabrik tambang yang kini sepi, tidak ada lagi aktivitas yang memekakkan telinga atau truk-truk besar yang berbaris mengangkut batubara.
Satria menghampirinya dari belakang, membawa kabar terbaru tentang program rehabilitasi. “Tim ilmuwan dari luar negeri sudah datang. Mereka bilang butuh waktu bertahun-tahun untuk benar-benar mengembalikan ekosistem, tapi setidaknya kita sudah di jalur yang benar.”
Laras tersenyum tipis, meski dalam hatinya ia tahu betapa panjang jalan yang masih harus ditempuh. “Ini baru awal. Tapi setidaknya kita tidak lagi berjuang sendirian.”
Dewi bergabung bersama mereka, membawa beberapa dokumen hasil pertemuan dengan pihak pemerintah. “Mereka sudah mulai serius menangani masalah ini. Ada juga rencana jangka panjang untuk diversifikasi ekonomi, supaya kota ini tidak lagi tergantung pada tambang. Tapi, seperti biasa, kita harus terus memantau agar tidak hanya janji kosong.”
“Benar,” kata Laras. “Kita harus terus mengawasi. Jika tidak, mereka akan kembali pada cara lama.”
Mereka bertiga berjalan bersama, mengingat kembali semua momen sulit yang telah mereka lalui. Meski ada banyak kemenangan kecil, mereka tahu bahwa perjuangan masih jauh dari selesai. Banyak pihak yang masih menentang perubahan ini, terutama para pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Laras merasakan bahwa mereka berada di jalur yang benar.
Malam itu, Laras kembali ke rumah yang dulu ia tinggali bersama ayahnya. Rumah itu sekarang sepi, namun kenangan akan Aji masih hidup di setiap sudut ruangan. Di dinding, foto Aji yang sedang tersenyum hangat membuat Laras merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa ayahnya akan bangga dengan apa yang telah ia capai.
Laras duduk di ruang tamu, merenungkan perjalanan panjang yang telah ia lalui. Dari seorang anak yang kehilangan ayahnya karena polusi tambang, hingga menjadi pemimpin perlawanan yang berhasil memaksa perusahaan tambang untuk bertanggung jawab atas kerusakan yang mereka sebabkan. Ia tidak pernah menyangka akan berada di posisi ini, tetapi kehidupan membawanya pada jalan yang penuh tantangan ini.
Ponselnya berbunyi, membuyarkan lamunannya. Ada pesan dari seorang jurnalis nasional yang tertarik untuk menulis lebih banyak tentang gerakan lingkungan yang ia pimpin. Pesan itu bukan yang pertama; sejak kemenangan di pengadilan, banyak media mulai melirik kota kecil ini sebagai simbol perjuangan lingkungan di Indonesia.
Laras tersenyum kecil dan membalas pesan itu dengan sopan, menyatakan bahwa ia bersedia untuk diwawancarai kapan pun. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa perhatian media hanyalah satu bagian dari perjuangan yang lebih besar. Yang terpenting adalah bagaimana memastikan perubahan yang nyata dan berkelanjutan.
Hari-hari terus berlalu, dan meski banyak tantangan yang masih harus dihadapi, Laras merasa bahwa ia telah menemukan tempatnya di dunia. Ia menjadi sosok yang dihormati, tidak hanya di kotanya tetapi juga di kalangan aktivis lingkungan nasional. Mereka sering meminta nasihat darinya, dan ia dengan senang hati berbagi pengalaman, sambil terus belajar dari perjuangan yang sedang ia jalani.
Di tengah semua itu, ada satu janji yang terus ia pegang teguh—janji yang ia buat pada ayahnya sebelum ia meninggal. Laras tahu bahwa meski perubahan tidak datang dalam semalam, perjuangan ini adalah untuk masa depan yang lebih baik. Bukan hanya untuknya, tapi untuk semua orang yang akan mewarisi bumi ini.
Dan setiap kali ia merasa lelah atau ragu, ia akan mengingat kembali kata-kata terakhir ayahnya: “Jangan pernah menyerah.”
Dengan keyakinan itu, Laras terus maju, siap menghadapi setiap tantangan yang datang, dengan harapan bahwa suatu hari, langit yang kelabu di kotanya akan berubah menjadi cerah kembali, dan anak-anak di masa depan akan bisa bernapas dengan bebas tanpa takut pada polusi.
Perjuangan masih panjang, tapi Laras tahu, selama ada harapan dan tekad, perubahan selalu mungkin terjadi.
TAMAT